"Aku harus gimana ya, Ken? Dia masih gak ada kabar. Aku takut dia kabur," keluh Almora. Dia merasa cemas dengan Calderon yang tak kunjung mengabarinya. Pesan-pesan yang baru saja Almora kirimkan hanya dibaca. Telepon darinya juga tak diangkat. Bahkan dimatikan secara sengaja. Sikap Calderon yang demikian membuat Almora skeptis. Apa benar pria itu sungguh-sungguh ingin menikahinya? Apa jangan-jangan selama ini dia hanya mempermainkannya? Jadi, Almora benar-benar dianggap sebagai sampah?Kepala Almora sakit memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk tentang Calderon. Padahal Almora mencintai Calderon dengan sebenarnya. Tidak terbesit di benaknya untuk balas dendam atas perlakuan pria itu padanya. Mungkin ini salah Almora juga karena terlalu mudah percaya pada Calderon. Dia belum tau seperti sifat pria itu yang sebenarnya tapi sudah mau saja saat diminta menjadi kekasihnya. Belum lagi mereka telah melakukan hubungan suami istri seolah-olah Calderon benar-benar akan bertanggung jawab atas a
Apa yang Calderon lakukan bukan untuk dirinya, melainkan untuk Almora. Tuan Saka tidak main-main saat memberikan ancaman. Dia memperlihatkan sendiri bagaimana orang-orang suruhannya datang ke kos Almora, membawa dirigen besar berisi bensin. Kalau saja Calderon tidak mengiyakan, mungkin hari ini dia tidak dapat melihat Almora lagi. Kalau saja Calderon tidak menikahi Camelia saat ini juga, nyawa orang-orang di rumah itu mungkin sudah tak terselamatkan.Andai saja Calderon bisa jujur perihal apa yang terjadi padanya, akan kah Almora bisa memaklumi? Akan kah dia masih mau menerima Calderon? Bukan niat hati ingin mempermainkan perempuan itu. Calderon ingin bertanggung jawab bila Almora ingin menjadi yang kedua. Dia akan menikahi perempuan itu tanpa pengetahuan siapapun. Hidup bahagia di tempat yang jauh. Setidaknya itulah rencana Calderon untuk mempertanggungjawabkan semuanya.Pesta selesai pukul sembilan malam. Para tamu undangan sudah meninggalkan rumahnya. Yang tersisa hanyalah keluarga
"Ruangan saya kenapa masih dikunci? Almora belum datang?" Calderon datang dengan muka masam ke ruangan Joya. Dia telah menghabiskan waktu selama satu jam menunggu sekretarisnya yang bertugas membuka dan mengunci pintu.Joya segera meninggalkan berkas-berkas di meja lalu melangkah mendekati Calderon yang berdiri di depan pintu. Dia lupa memberitahu pria itu mengenai ruangannya dan si pembawa kunci. "Maaf sebelumnya, pak. Almora mengajukan resign. Surat pengunduran dirinya ada di meja bapak."Kening Calderon berkerut tidak mengerti. "Bagaimana bisa? Tadi pintu ruangan saya masih terkunci.""Iya, tadi dia datang untuk merapikan barang-barangnya serta meletakkan surat pengunduran diri lalu kembali mengunci pintu dan memberikan kuncinya pada saya," jelas Joya seraya memberikan kunci pada Calderon.Calderon menghela pelan. "Apa kamu tahu alasannya mengundurkan diri?""Hm.. katanya mau pindah, pak. Tidak tau juga pindah dalam konteks apa dan kemana," jawab Joya.Calderon sudah menduga hal in
"Sudahlah, Tuan. Biarkan saja perempuan itu pergi. Dia sudah menemukan pengganti, Tuan," ujar Max frustasi sendiri. Calderon meremas foto-foto yang Max berikan. Foto Almora yang dipeluk oleh pria bernama Ken, yang Calderon ketahui sebagai rekan kerjanya. "Apa kamu mendengar apa yang mereka bicarakan?"Max menghela napas saat ucapannya diabaikan. "Mereka bicara soal pernikahan."Calderon menggertakkan giginya seraya membuang foto itu ke sembarang arah. Dadanya serasa terbakar mendengar hal itu. "Mereka akan menikah?"Max mengedikkan bahunya. Dia tidak mendengar begitu jelas. Lagipula Max tak berminat mengurus hal sepele seperti ini. Dia hanya duduk di dekat meja Almora tanpa menaruh peduli pada perempuan itu. Ah, sejak awal perempuan itu selalu menyusahkannya dan Calderon malah menggilai perempuan itu."Ken menawarkan diri untuk menikahi, Almora," jawab Max.Bruk!Calderon langsung menyapu semua benda yang berada di atas meja hingga jatuh berantakan. Dia benar-benar tidak merasa tenan
Hati Ken saat ini begitu berbunga-bunga. Almora menyetujui Ken untuk bertanggung jawab. Perempuan itu menerima kalau Ken menikahinya, menjadi ayah untuk anak yang sedang dikandung perempuan itu. Saking senangnya, Ken mengajak Almora ke rumah sakit untuk mengecek kandungannya. Anggap saja ini sebagai hadiah atas ketersediaan Almora menerimanya kembali meski dipaksa oleh keadaan. Ken tentunya sadar dia ada sebagai cadangan. Pria yang Almora inginkan sudah jelas adalah Calderon. Ken hanya bisa menelan kenyataan pahit bahwa dirinya hanyalah tempat pelarian. Namun Almora tidak salah karena Ken sendiri yang menawarkan diri sebagai tempat pelarian. "Aku punya kenalan dokter kandungan yang bagus," ucap Ken melepas sealbeat di tubuhnya. "Perempuan atau laki-laki?" Almora membuka sealbeat yang menyilang di tubuhnya, tapi dia mengalami kesulitan. Melihat itu, Ken dengan sigap membantu. "Laki-laki sih. Tapi tenang aja, dia dokter profesional," jawab
"Beristirahatlah," ucap Calderon pada Camelia. Dia membantu perempuan itu berbaring di atas tempat tidur. "Kamu sendiri mau kemana?" Calderon menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya masih ada urusan.""Malam-malam begini?""Tidak usah berlebihan." Calderon menatap Camelia datar. "Saya memang biasa bekerja di malam hari dan kamu tau itu."Bibir Camelia mengatup, tak punya kalimat lagi untuk di lontarkan. "Jangan lama-lama pulangnya."Calderon mengambil jaketnya dari lemari. Mengambil topi dan sepatu converse yang hanya dipakai untuk keadaan tertentu. Dia menatap Camelia lagi. "Tidurlah lebih dulu. Jangan tunggu saya."Setelah berkata demikian, Calderon melangkah meninggalkan kamar. Mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu suara motor sport terdengar menjauh dari halaman rumah. Ini jelas meninggalkan tanda tanya bagi Camelia. Urusan seperti apa yang a
Nyatanya, Almora tidak diiringi ke pelaminan oleh Ken. Justru dirinya yang mengiringi pria itu ke tempat peristirahatan terakhirnya. Berita kematian Ken terasa seperti mimpi. Terjadi begitu saja tanpa tanda-tanda. Padahal kemarin mereka masih bisa tertawa, masih bersenang-senang dan masih baik-baik saja hingga begitu tiba-tiba polisi mengabarkan pria yang dia laporkan berada dalam bahaya ditemukan tewas tertembak.Almora benar-benar merasa dipermainkan. Apa Almora memang tidak akan memperoleh keadilan? Kehilangan ayah, dijual oleh ibu tirinya, direnggut mahkotanya, dicampakkan oleh pria yang dia cintai dan sekarang kehilangan sosok yang berarti di dalam hidupnya. Almora mulai berpikir kalau orang-orang yang hidup bersamanya selalu berakhir sial, sama seperti kehidupannya yang dipenuhi kesialan.Pukul sepuluh pagi Almora meninggalkan makam Ken. Harapan terakhirnya untuk hidup bahagia telah pupus. Satu-satunya manusia yang peduli padanya telah tiada. Almora kehilangan sosok penopang hi
Rasanya belum lama Almora tinggal di kota ini. Belum banyak benar hal-hal menarik yang dia coba. Belum matang pemikirannya dalam dunia bisnis dan corporation. Belum ada kisah-kisah indah yang benar-benar terukir. Namun mau bagaimanapun, Almora harus tetap pergi. Terus-terusan menetap di tempat ini, di kota ini dan di negara ini tidak lagi ada gunanya. Bukan hanya karena Calderon yang mengkhianatinya, bukan hanya karena kematian Ken, melainkan juga tentang dirinya sendiri. Almora butuh tempat yang tenang untuk menyembuhkan dirinya. Butuh jauh dari keramaian yang dia kenal untuk berhenti memikirkan bagaimana caranya mati.Lagipula, kehidupan Almora bukan hanya tentang dirinya sendiri. Ada satu nyawa yang sedang berkembang di rahimnya. Ada gumpalan darah yang tak lama lagi akan menjadi anaknya. Demi bayi ini, Almora akan mencoba bertahan. Mungkin Almora sudah tak punya semangat untuk terus hidup tapi bayi ini, mungkin dia menunggu-nunggu kapan dia akan hidup."Jadi berangkat sekarang?" t