"Sudahlah, Tuan. Biarkan saja perempuan itu pergi. Dia sudah menemukan pengganti, Tuan," ujar Max frustasi sendiri. Calderon meremas foto-foto yang Max berikan. Foto Almora yang dipeluk oleh pria bernama Ken, yang Calderon ketahui sebagai rekan kerjanya. "Apa kamu mendengar apa yang mereka bicarakan?"Max menghela napas saat ucapannya diabaikan. "Mereka bicara soal pernikahan."Calderon menggertakkan giginya seraya membuang foto itu ke sembarang arah. Dadanya serasa terbakar mendengar hal itu. "Mereka akan menikah?"Max mengedikkan bahunya. Dia tidak mendengar begitu jelas. Lagipula Max tak berminat mengurus hal sepele seperti ini. Dia hanya duduk di dekat meja Almora tanpa menaruh peduli pada perempuan itu. Ah, sejak awal perempuan itu selalu menyusahkannya dan Calderon malah menggilai perempuan itu."Ken menawarkan diri untuk menikahi, Almora," jawab Max.Bruk!Calderon langsung menyapu semua benda yang berada di atas meja hingga jatuh berantakan. Dia benar-benar tidak merasa tenan
Hati Ken saat ini begitu berbunga-bunga. Almora menyetujui Ken untuk bertanggung jawab. Perempuan itu menerima kalau Ken menikahinya, menjadi ayah untuk anak yang sedang dikandung perempuan itu. Saking senangnya, Ken mengajak Almora ke rumah sakit untuk mengecek kandungannya. Anggap saja ini sebagai hadiah atas ketersediaan Almora menerimanya kembali meski dipaksa oleh keadaan. Ken tentunya sadar dia ada sebagai cadangan. Pria yang Almora inginkan sudah jelas adalah Calderon. Ken hanya bisa menelan kenyataan pahit bahwa dirinya hanyalah tempat pelarian. Namun Almora tidak salah karena Ken sendiri yang menawarkan diri sebagai tempat pelarian. "Aku punya kenalan dokter kandungan yang bagus," ucap Ken melepas sealbeat di tubuhnya. "Perempuan atau laki-laki?" Almora membuka sealbeat yang menyilang di tubuhnya, tapi dia mengalami kesulitan. Melihat itu, Ken dengan sigap membantu. "Laki-laki sih. Tapi tenang aja, dia dokter profesional," jawab
"Beristirahatlah," ucap Calderon pada Camelia. Dia membantu perempuan itu berbaring di atas tempat tidur. "Kamu sendiri mau kemana?" Calderon menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya masih ada urusan.""Malam-malam begini?""Tidak usah berlebihan." Calderon menatap Camelia datar. "Saya memang biasa bekerja di malam hari dan kamu tau itu."Bibir Camelia mengatup, tak punya kalimat lagi untuk di lontarkan. "Jangan lama-lama pulangnya."Calderon mengambil jaketnya dari lemari. Mengambil topi dan sepatu converse yang hanya dipakai untuk keadaan tertentu. Dia menatap Camelia lagi. "Tidurlah lebih dulu. Jangan tunggu saya."Setelah berkata demikian, Calderon melangkah meninggalkan kamar. Mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu suara motor sport terdengar menjauh dari halaman rumah. Ini jelas meninggalkan tanda tanya bagi Camelia. Urusan seperti apa yang a
Nyatanya, Almora tidak diiringi ke pelaminan oleh Ken. Justru dirinya yang mengiringi pria itu ke tempat peristirahatan terakhirnya. Berita kematian Ken terasa seperti mimpi. Terjadi begitu saja tanpa tanda-tanda. Padahal kemarin mereka masih bisa tertawa, masih bersenang-senang dan masih baik-baik saja hingga begitu tiba-tiba polisi mengabarkan pria yang dia laporkan berada dalam bahaya ditemukan tewas tertembak.Almora benar-benar merasa dipermainkan. Apa Almora memang tidak akan memperoleh keadilan? Kehilangan ayah, dijual oleh ibu tirinya, direnggut mahkotanya, dicampakkan oleh pria yang dia cintai dan sekarang kehilangan sosok yang berarti di dalam hidupnya. Almora mulai berpikir kalau orang-orang yang hidup bersamanya selalu berakhir sial, sama seperti kehidupannya yang dipenuhi kesialan.Pukul sepuluh pagi Almora meninggalkan makam Ken. Harapan terakhirnya untuk hidup bahagia telah pupus. Satu-satunya manusia yang peduli padanya telah tiada. Almora kehilangan sosok penopang hi
Rasanya belum lama Almora tinggal di kota ini. Belum banyak benar hal-hal menarik yang dia coba. Belum matang pemikirannya dalam dunia bisnis dan corporation. Belum ada kisah-kisah indah yang benar-benar terukir. Namun mau bagaimanapun, Almora harus tetap pergi. Terus-terusan menetap di tempat ini, di kota ini dan di negara ini tidak lagi ada gunanya. Bukan hanya karena Calderon yang mengkhianatinya, bukan hanya karena kematian Ken, melainkan juga tentang dirinya sendiri. Almora butuh tempat yang tenang untuk menyembuhkan dirinya. Butuh jauh dari keramaian yang dia kenal untuk berhenti memikirkan bagaimana caranya mati.Lagipula, kehidupan Almora bukan hanya tentang dirinya sendiri. Ada satu nyawa yang sedang berkembang di rahimnya. Ada gumpalan darah yang tak lama lagi akan menjadi anaknya. Demi bayi ini, Almora akan mencoba bertahan. Mungkin Almora sudah tak punya semangat untuk terus hidup tapi bayi ini, mungkin dia menunggu-nunggu kapan dia akan hidup."Jadi berangkat sekarang?" t
Satu minggu.Dua minggu.Tiga minggu.Calderon kembali mendatangi kosan Almora setelah menghilang selama tiga minggu sejak pertemuan terakhir mereka. Calderon tau Almora tak mungkin mau menemuinya, tapi bukan Calderon namanya jika hanya diam saja. Mau sebenci apapun Almora padanya, Calderon akan terus berusaha mencari maaf dari perempuan itu. Menurutnya, kesulitan dalam hubungan mereka terjadi karena kesalahan dalam berkomunikasi. Almora salah paham, begitu juga dirinya.Mereka akan baik-baik saja jika Almora mau mendengarkan alasan mengapa Calderon menikahi Camelia. Dan mungkin saja Calderon tidak akan membunuh Ken jika perempuan itu tidak menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan.Seperti biasa, Calderon tidak sadar diri. Semestinya dia juga mendengarkan Almora perihal siapa Ken sebenarnya. Bukan asal menuduh kalau Ken adalah kekasihnya yang mana berakhir seperti ini. Walau pada nyatanya, Ken memang akan menikahi Almora.Dari teras, Mona menyipitkan mata. Merasa terancam d
Satu bulan.Dua bulan."Aduh!"Akibat berjalan terburu-buru, Almora menabrak seorang pejalan kaki. Kantong yang Almora bawa jatuh membuat kotak-kotak kecil berisi kue jatuh berserakan dan barang-barang yang dibawa pria yang Almora tabrak juga berserakan di pinggir jalan."Sorry, sorry," ucap Almora bergegas membantu pria itu merapikan buku-bukunya. "Biar aku saja. Rapikan saja barang-barang mu yang juga berserakan," katanya dengan cepat memasukkan buku-buku itu ke dalam kotak.Almora terdiam sejenak, lalu menatap pria asing di hadapannya. Di tempat yang sudah amat jauh ini, Almora masih saja bertemu dengan orang dari negaranya. "Kamu dari Indonesia?"Pria itu tersenyum tipis lalu mengangguk. "Orang Indonesia ada dimana-mana," katanya lagi.Almora turut tersenyum. Kemudian berdiri kala semua kuenya sudah ditata di dalam kantong. Semoga saja kue itu baik-baik saja karena kue ini adalah pesanan orang lain.Sejak tinggal di Kroasia, negara yang terletak di bagian Selatan-Tengah benua Ero
[Obrolan dalam bahasa Inggris]"Bagaimana rasanya? Apakah sudah pas?" Seorang gadis berambut cokelat menghampiri Almora yang sedang menyusun kue di etalase. Tadi dia meminta Almora untuk mencicipi adonan kue, meminta pendapat mengenai rasa adonan tersebut.Almora menoleh. "Oh, sudah pas. Kamu sudah bisa memasukkannya ke cetakan."Gadis itu mengangguk, lalu kembali ke dapur. Almora sendiri masih sibuk menata kue yang baru matang di etalase. Kue-kue yang tadi dia bawa dari rumah sudah dijemput oleh pemiliknya. Kue itu sengaja tidak dibuat di toko karena klien berjanji akan menjemputnya sekitar pukul sembilan sedangkan mereka baru mulai memanggang sekitar pukul sebelas siang.Toko Al's Bakery tidaklah besar. Ukuran normal dengan satu lantai yang kapasitasnya muat sampai 20 orang dengan 5 meja dan empat kursi di setiap mejanya. Selain menjual kue, Al's Bakery juga menyediakan makanan berat seperti pasta, burger dan pizza. Ada juga minuman seperti aneka jenis kopi dan minuman bersoda yang