Tidak ada lagi yang namanya istirahat dengan tenang. Pesan terakhir yang Calderon kirim membuat Almora merasa khawatir. Entahlah, manusia yang berusaha dia benci itu kini malah sengaja membawa Almora terlibat dalam setiap rangkaian alur hidupnya. Alih-alih menjadi manusia asing, mereka justru kian dekat. Selalu saja ada tragedi yang membuat Almora bertemu dengan Calderon.
Bagaimana bisa Almora membenci pria itu kalau ruang untuk membenci itu tidak ada? Ah, Almora juga tidak mengerti kenapa dia bisa terjebak di kehidupan yang aneh seperti ini. Calderon telah mengirimkan lokasinya. Kini Almora sedang menuju ke sana, naik ojek online andalan. Dia tidak berani naik angkutan umum. Pasti sepi dan rawan. Menghabiskan sekitar dua puluh menit, Almora tiba di lokasi. Komplek perumahan elit yang rasanya belum pernah Almora kunjungi. Ini bukan perkomplekan tempat tinggal Calderon yang kala itu dia kunjungi bersama Perl. Ini berbeda.Calderon mendapat beberapa jahitan di perutnya akibat tusukan senjata tajam. Kondisinya tidak kritis dan tergolong baik, tapi tetap harus di rawat beberapa waktu untuk proses pemulihan. Pria itu cukup kuat menahan sakit di tubuhnya sebab kata dokter, penanganan luka di perut Calderon sudah terlambat. Almora takjub dengan daya tahan Calderon."Kenapa dia tidak menghubungi saya terlebih dahulu? Kenapa dia malah menghubungi kamu?" Max menatap Almora yang berdiri di sebelahnya. "Dia tidak akan seperti ini kalau saja yang dia hubungi lebih dulu adalah saya."Almora menatap Max bingung. Pria itu tidak henti-hentinya mengomel, mempertanyakan kenapa Calderon lebih memilih mengabari Almora ketimbang dirinya. Almora tau Max khawatir, tapi mengomel tidak jelas seperti itu tidak ada gunanya. Toh yang terpenting Calderon sudah ditangani oleh dokter dan kondisinya baik. "Kenapa mengomel seperti itu?" tanya Almora menatap Max. Bibir pria itu masih menggerutu meski suaranya tak terdengar jelas.Sein
Bisa dibilang hari ini Almora tidak ada kerjaan. Calderon masih dirawat dan jadwal meeting diundur dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Semua akan kembali normal ketika Calderon keluar dari rumah sakit. Kata Joya, Almora mesti menentukan jadwal meeting karena klien perlu diberi kepastian. Namun Almora tak berani menentukan jadwal sembarangan. Dia perlu bertanya pada Calderon untuk memperoleh jadwal yang sempurna.Karena hari ini terbilang free, Almora memutuskan untuk pulang cepat. Dia hanya mencatat beberapa hal terkait apa saja yang perlu dia persiapkan, membaca buku panduan beberapa halaman, makan siang bersama Joya dan pergi meninggalkan kantor. Rencananya ingin nongkrong di sebuah cafe yang baru buka di dekat rumah sakit Ocean. "Pulang cepat, mbak?" Robert bertanya kala Almora hendak naik taxi."Iya, pak," jawab Almora seraya melempar senyum.Robert mengangguk singkat. "Hati-hati, mbak."Almora balas mengangguk, lalu masuk ke mobil. Tujuan pasti untuk saat ini adalah cafe b
Kata Joya, Calderon masih belum pulih. Mungkin akan datang dua hari lagi atau tiga. Almora tidak perlu khawatir karena selama Calderon tidak ada, dia bisa bersantai. Mengerjakan apa yang mesti dikerjakan dan menghabiskan waktu untuk membantu rekan-rekan yang lain. Kata Joya, Almora tidak perlu menggantikan Calderon meeting dengan klien penting siang ini. Jadwalnya bisa diundur karena kondisi saat ini tidak memungkinkan. Joya tau Almora belum bisa menggantikan Calderon di ruangan meeting.Ya, begitu kata Joya kala Almora datang tadi pagi.Namun entah kenapa, dengan begitu tiba-tiba, perkataan perempuan itu berubah. Jadwal meeting yang katanya akan diundur rupanya tetap jadi hari ini. Sekretaris Demon tidak menerima pengunduran jadwal meeting sebab Demon akan melakukan perjalanan ke luar negeri selama beberapa bulan. Sebenarnya tidak masalah kalau pertemuan ini dibatalkan, toh yang rugi adalah perusahaan Calderon. Tapi Joya mana mau pasrah begitu saja. Perusahaan mereka mesti mengirim
Almora pikir Demon adalah pria menakutkan, lebih menakutkan dari Calderon. Namun rupanya, pria itu ramah dan murah senyum. Dia cukup baik. Pertemuan pertama mereka berjalan dengan lancar. Tidak ada kendala selama meeting berlangsung. Justru ini berakhir diluar prediksi. "Tolong sampaikan salam saya pada Calderon. Kami akan segera mengurus surat pertanda perusahaan kita akan bekerja sama," ucap Demon.Almora mengangguk dengan wajah riang. Rasa takutnya terbayar tuntas. Almora berhasil mendapatkan persetujuan kerja sama dari Demon. "Baik, pak."Demon tersenyum tipis. Dia melirik orang-orang di belakangnya, lalu menatap Almora sekali lagi. "Baiklah, terima kasih atas pertemuannya. Saya tidak bisa berlama-lama.""Iya, pak. Terima kasih kembali," balas Almora.Demon berlalu dari restoran Omara yang menjadi tempat mereka meeting. Akhirnya, Almora bisa bernapas lega selega-leganya. Dia pikir meeting ini akan berantakan karena Almora benar-benar tidak tau bagaimana memulainya. Dia sangat gug
"Kenapa udah pulang?" Ini adalah salah satu alasan kenapa Calderon malas pulang ke rumah. Bertemu Camelia dan menghadapi perempuan itu adalah hal yang paling tidak dia sukai. Namun sayangnya, Tuan Saka tahu kalau Calderon sudah meninggalkan rumah sakit. Lalu memintanya untuk pulang ke rumah agar bisa mengintrogasi putra satu-satunya yang bandel itu.Kalau tau seperti ini, lebih baik Calderon mengabaikan pesan dari Tuan Saka. Persetan dengan amarah pria itu, kenyamanannya jelas lebih penting."Tidak senang?" tanya Calderon seraya meminta Max mendorong kursi rodanya terus ke dalam.Camelia mencebikkan bibirnya. "Aku senang kamu pulang, tapi kamu belum sembuh.""Siapa yang mengatakan saya belum sembuh?"Camelia terdiam. Tidak bertanya lagi dan membiarkan Calderon berlalu menuju ruang tengah. Camelia tidak mengerti kenapa Calderon bisa berubah secepat itu. Apa dia benar-benar sudah menghilangkan Camelia dari hatinya? Apakah rasa cinta yang katanya melebihi besar bumi itu sudah tiada? Hil
"Serius nih aku yang keluar? Malam-malam begini?" tanya Almora memastikan lagi."Iya," angguk Mona. "Kau mau melihat ku seperti ini sampai besok pagi? Bagaimana kalau aku mati?"Kontan Almora memukul lengan Mona. "Jangan bicara begitu. Itu hanya luka kecil. Bagaimana bisa mati hanya karena jari kelingking kakak terlindas ban motor?""Kau tidak tau saja, Al," balas Mona.Almora merotasikan bola matanya malas. Mona berlebihan sekali. Jari kelingking kaki perempuan itu tak sengaja terlindas motor. Kukunya berdarah, mungkin ada bagian yang hancur. Dia meminta Almora ke apotik, membeli obat lalu mampir di gerobak nasi goreng. Tidak masalah sebenarnya kalau Almora pergi berdua dengan Mona. Namun masalahnya, perempuan itu tidak mau pergi dengan alasan tidak bisa berjalan. Almora mana mau berjalan sendirian pada pukul sepuluh malam. Biarpun jalanan ramai, tidak dapat dipungkiri tidak ada pelaku kriminal di sana."Aku gak mau pergi sendirian," tolak Almora seraya melipat kedua tangan di depan
Pagi itu tampak begitu cerah, berbeda dengan suasana kantor yang mendadak mendung dan suram. Di lobi terjadi baku hantam. Dua aktor yang adu kekuatan di pagi ini dikerumuni oleh karyawan yang tampaknya baru datang. Ada juga yang berusaha melerai dua pria itu agar berhenti bertengkar. Almora melangkah mendekat, ingin melihat lebih jelas manusia mana yang tidak bisa menahan egonya di pagi yang mesti indah ini."Bilang kepada Tuan mu untuk berhenti menguntit kantor saya!" teriak Calderon yang ditahan Robert. Wajahnya memerah, tidak dapat menahan amarah. Agaknya bisa membunuh lawannya saat itu juga kalau saja Robert tidak menahan Calderon.Pria lain yang ditahan Kemal hanya bisa diam dengan tatapan bengis. Wajahnya penuh lebam, habis dipukul Calderon. Namun jika dilihat lagi, wajah Calderon juga dipenuhi lebam tapi tidak separah lawannya."Ini ada apa, Joy?" tanya Almora dengan suara pelan pada Joya yang kebetulan berdiri di depannya. "Ada penguntit," jawab Joy balas berbisik.Almora men
"Bagaimana? Aman?"Almora terkesiap dengan kehadiran Robert yang tiba-tiba. Almora tidak mendengar langkah kaki memasuki dapur. Robert seharusnya menyapa Almora terlebih dahulu agar dirinya tidak terkejut."Bikin kaget aja, pak," ucap Almora menatap Robert yang sedang mengambil air di dispenser.Pria tua berkumis abu-abu itu tersenyum. "Bagaimana? Tuan aman?""Aman. Nih, dia minta dibikinin kopi," jawab Almora seraya menyingkir sedikit agar Robert bisa melihat gelas kopi gelap yang berada di hadapan Almora."Mantap," ucap pria itu. "Saya duluan ya.""Iya, pak," balas Almora turut meninggalkan dapur. Kebetulan dia sudah selesai.Almora kembali ke ruangan Calderon. Hanya membawa segelas kopi untuk Calderon karena sebetulnya ke dapur hanyalah alibi agar bisa meninggalkan ruangan Calderon. Dan sekarang dia harus kembali bertemu pria itu.Baru sampai di depan pintu, Almora tak melanjutkan langkahnya. Calderon memang punya banyak gebrakan. Tadi meminta Almora menjadi kekasihnya, lalu sekar