"Kemejanya kenapa, pak?" tanya Joya, salah satu pegawai yang lumayan ramah terhadapnya. Padahal Calderon sering kali jutek dan judes, tapi Joya tidak mempan dengan hal itu."Ketumpahan kopi," jawab Calderon menatap noda yang telah mengering di kemejanya. Terlihat jelek dan merusak pemandangan. Calderon benci melihatnya."Aduh, pak. Sebentar lagi kan bapak ada meeting," ucap Joya memegangi kepalanya, syok dengan ketidakpedulian Calderon terhadap penampilannya.Dahi pria itu berkerut. "Kenapa? Kan bisa saya ganti.""Bawa baju ganti memangnya?""Bawalah."Barulah senyum terkembang di wajah Joya. Akhir-akhir ini tidak ada yang memperhatikan Calderon. Dia baru saja kehilangan sekretarisnya karena suatu kecelakaan. Max ada, tapi Joya tidak yakin pria itu bisa diandalkan untuk mengurus jadwal dan penampilan Calderon. Max tidak ahli bekerja di dalam kantor. Anak itu lebih cocok bertugas di lapangan. Namun sesekali, Max akan membantu mengatur jadwal Calderon. Tapi untuk beberapa hari ini, Max
"Ada perlu apa?" tanya Calderon, menghampiri Camelia yang menunggu di lobi. "Mau ngajak kamu makan siang bareng," jawabnya dengan senyuman. Sejauh ini, hanya Calderon yang merasa hubungan mereka tidak baik-baik saja. Sedangkan Camelia, dia tetap bersikap selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa.Calderon tidak langsung menjawab. Matanya bergerak, memperhatikan setiap manusia yang melewati lobi. Sebenarnya dia tidak perlu khawatir dengan karyawannya. Mereka tidak akan menggosip tentang Calderon. Tapi bagi Calderon, harga dirinya hilang jika tetap berurusan dengan Camelia. Berita perselingkuhan perempuan itu sudah menyebar ke seluruh penjuru negeri. Calderon bisa dianggap bodoh karena masih mau meladeni perempuan itu."Saya sibuk," jawab Calderon.Camelia mencebikkan bibirnya. "Ayolah, Cal.""Saya tidak bisa," tolak Calderon.Camelia menghela napas pelan. "Kalau kamu terus-terusan kayak gini, hubungan kita gak akan pernah baik, Cal.""Siapa bilang saya mau berbaikan?" tanya Calderon tan
Setibanya di kantor, Almora langsung mencari ruangan Joya. Kemarin wanita itu meminta Almora untuk menemuinya terlebih dahulu, mungkin ingin menyampaikan di bagian mana Almora akan diletakkan sebab kemarin wanita itu hanya mengatakan bahwasanya Almora telah diterima. Hanya itu saja.Selayaknya anak baru yang ingin membangun citra diri, Almora tentu akan datang lebih pagi agar tidak terlambat. Memakai kemeja putih dan rok span selutut berwarna hitam. Mona yang menyuruhnya memakai pakaian seperti itu. Katanya Almora masih baru, belum boleh banyak gaya. Terlebih dahulu Almora perlu mempelajari pakaian seperti apa yang boleh dikenakan di kantor.Sebagai anak baik dan teladan, Almora menurut saja. Sekalian cari aman."Permisi, buk." Almora mengetuk pintu ruangan Joya dengan sopan."Masuk."Setelah mendapat izin, Almora mendorong pintu dengan pelan. Dia tersenyum ramah pada Joya. Wanita itu berdiri di dekat mejanya, memegang sebuah map. Di antara bahu dan telinga kanan ada telpon yang terse
"Sudah bangun?"Almora tidak merasakan pusing atau sejenis sakit kepala lainnya kala membuka mata. Dia jatuh pingsan bukan karena sakit, tetapi karena syok menyadari kepada siapa dia bekerja. Calderon Mosaka berdiri tak jauh dari tempatnya terbaring, menatap dengan senyuman yang tampak membingungkan. Entah dia merasa menang melihat Almora terbaring tak berdaya, entah sedang mengejek karena Almora memang tidak punya kesempatan untuk lari."Apa sebelumnya kamu tidak pernah melihat pria tampan sampai pingsan begitu?" tanyanya ingin tahu. Dari sekian banyak perempuan yang bertemu dengannya, baru Almora yang bereaksi secara berlebihan. Almora bergerak bangkit. Turun dari sofa, lalu berdiri di sisi sofa dengan pandangan tertuju pada Calderon yang masih menatapnya. Almora tidak ingin membuat keributan dan meninggalkan kesan buruk sebagai seorang bawahan. Hubungan mereka memang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan Almora sangat membenci Calderon dan berharap tidak bertemu lagi dengan pria i
Almora benar-benar dibawa memasuki ruangan rapat. Duduk bersama orang-orang penting yang siap mendengarkan presentasi dari Calderon mengenai proyek selanjutnya. Almora pikir meeting yang dimaksud hanya bertemu dengan satu klien saja. Tapi ternyata, bertemu dengan banyak orang di suatu ruangan. Ah, dia benar-benar tidak tahu menahu soal ini.Tugas Almora memang hanya sekedar mendengar saja, lalu mencatat bagian penting. Calderon hanya memintanya untuk melakukan hal itu. Lalu saat rapat selesai, mereka meninggalkan ruangan. Hanya sebatas itu saja. Mudah bagi Almora untuk melakukannya."Kita makan siang dulu," ujar Calderon pada Almora dan sopir yang menunggu di depan ruangan."Baik, pak," jawab keduanya serempak.Calderon menoleh sekilas, menatap dua manusia yang mengekori langkahnya menuju kantin. Lalu tersenyum tipis dan memilih tidak berkata apa-apa. "Silahkan pesan," ucap Calderon. "Saya ingin ke toilet sebentar."Sopir bernama Ajo menganggukkan kepalanya. Almora turut mengangguk s
"Mau langsung pulang?" tanya Joya kala menemukan Almora sedang merapikan meja kerjanya. Perempuan itu difasilitasi satu meja di dalam ruangan Calderon yang artinya mereka akan bekerja dalam satu ruangan yang sama.Almora menoleh, lalu mengangguk. Pekerjaannya sudah selesai. Calderon juga sudah mengizinkan Almora pulang. "Kamu sendiri?""Ya, ini, mau pulang juga." Joya mengangkat tasnya, menunjukkan barang bawaannya pada Almora pertanda dia juga ingin meninggalkan kantor. Almora mengangguk singkat sebelum kembali fokus pada apa yang sedang dia kerjakan. Buku berisi catatan penting selama meeting. Jadwal meeting untuk besok yang telah Almora susun dan buku panduan menjadi sekretaris yang baik. Buku-buku itu adalah barang penting yang tak boleh ditinggalkan.Usai memasukkan semuanya ke dalam tas, Almora menyusul Joya yang katanya menunggu di depan ruangan. Almora bertugas mengunci pintu karena menjadi yang terakhir pulang. Calderon berkata
Tidak ada lagi yang namanya istirahat dengan tenang. Pesan terakhir yang Calderon kirim membuat Almora merasa khawatir. Entahlah, manusia yang berusaha dia benci itu kini malah sengaja membawa Almora terlibat dalam setiap rangkaian alur hidupnya. Alih-alih menjadi manusia asing, mereka justru kian dekat. Selalu saja ada tragedi yang membuat Almora bertemu dengan Calderon. Bagaimana bisa Almora membenci pria itu kalau ruang untuk membenci itu tidak ada? Ah, Almora juga tidak mengerti kenapa dia bisa terjebak di kehidupan yang aneh seperti ini. Calderon telah mengirimkan lokasinya. Kini Almora sedang menuju ke sana, naik ojek online andalan. Dia tidak berani naik angkutan umum. Pasti sepi dan rawan. Menghabiskan sekitar dua puluh menit, Almora tiba di lokasi. Komplek perumahan elit yang rasanya belum pernah Almora kunjungi. Ini bukan perkomplekan tempat tinggal Calderon yang kala itu dia kunjungi bersama Perl. Ini berbeda.
Calderon mendapat beberapa jahitan di perutnya akibat tusukan senjata tajam. Kondisinya tidak kritis dan tergolong baik, tapi tetap harus di rawat beberapa waktu untuk proses pemulihan. Pria itu cukup kuat menahan sakit di tubuhnya sebab kata dokter, penanganan luka di perut Calderon sudah terlambat. Almora takjub dengan daya tahan Calderon."Kenapa dia tidak menghubungi saya terlebih dahulu? Kenapa dia malah menghubungi kamu?" Max menatap Almora yang berdiri di sebelahnya. "Dia tidak akan seperti ini kalau saja yang dia hubungi lebih dulu adalah saya."Almora menatap Max bingung. Pria itu tidak henti-hentinya mengomel, mempertanyakan kenapa Calderon lebih memilih mengabari Almora ketimbang dirinya. Almora tau Max khawatir, tapi mengomel tidak jelas seperti itu tidak ada gunanya. Toh yang terpenting Calderon sudah ditangani oleh dokter dan kondisinya baik. "Kenapa mengomel seperti itu?" tanya Almora menatap Max. Bibir pria itu masih menggerutu meski suaranya tak terdengar jelas.Sein