"Ada perlu apa?" tanya Calderon, menghampiri Camelia yang menunggu di lobi. "Mau ngajak kamu makan siang bareng," jawabnya dengan senyuman. Sejauh ini, hanya Calderon yang merasa hubungan mereka tidak baik-baik saja. Sedangkan Camelia, dia tetap bersikap selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa.Calderon tidak langsung menjawab. Matanya bergerak, memperhatikan setiap manusia yang melewati lobi. Sebenarnya dia tidak perlu khawatir dengan karyawannya. Mereka tidak akan menggosip tentang Calderon. Tapi bagi Calderon, harga dirinya hilang jika tetap berurusan dengan Camelia. Berita perselingkuhan perempuan itu sudah menyebar ke seluruh penjuru negeri. Calderon bisa dianggap bodoh karena masih mau meladeni perempuan itu."Saya sibuk," jawab Calderon.Camelia mencebikkan bibirnya. "Ayolah, Cal.""Saya tidak bisa," tolak Calderon.Camelia menghela napas pelan. "Kalau kamu terus-terusan kayak gini, hubungan kita gak akan pernah baik, Cal.""Siapa bilang saya mau berbaikan?" tanya Calderon tan
Setibanya di kantor, Almora langsung mencari ruangan Joya. Kemarin wanita itu meminta Almora untuk menemuinya terlebih dahulu, mungkin ingin menyampaikan di bagian mana Almora akan diletakkan sebab kemarin wanita itu hanya mengatakan bahwasanya Almora telah diterima. Hanya itu saja.Selayaknya anak baru yang ingin membangun citra diri, Almora tentu akan datang lebih pagi agar tidak terlambat. Memakai kemeja putih dan rok span selutut berwarna hitam. Mona yang menyuruhnya memakai pakaian seperti itu. Katanya Almora masih baru, belum boleh banyak gaya. Terlebih dahulu Almora perlu mempelajari pakaian seperti apa yang boleh dikenakan di kantor.Sebagai anak baik dan teladan, Almora menurut saja. Sekalian cari aman."Permisi, buk." Almora mengetuk pintu ruangan Joya dengan sopan."Masuk."Setelah mendapat izin, Almora mendorong pintu dengan pelan. Dia tersenyum ramah pada Joya. Wanita itu berdiri di dekat mejanya, memegang sebuah map. Di antara bahu dan telinga kanan ada telpon yang terse
"Sudah bangun?"Almora tidak merasakan pusing atau sejenis sakit kepala lainnya kala membuka mata. Dia jatuh pingsan bukan karena sakit, tetapi karena syok menyadari kepada siapa dia bekerja. Calderon Mosaka berdiri tak jauh dari tempatnya terbaring, menatap dengan senyuman yang tampak membingungkan. Entah dia merasa menang melihat Almora terbaring tak berdaya, entah sedang mengejek karena Almora memang tidak punya kesempatan untuk lari."Apa sebelumnya kamu tidak pernah melihat pria tampan sampai pingsan begitu?" tanyanya ingin tahu. Dari sekian banyak perempuan yang bertemu dengannya, baru Almora yang bereaksi secara berlebihan. Almora bergerak bangkit. Turun dari sofa, lalu berdiri di sisi sofa dengan pandangan tertuju pada Calderon yang masih menatapnya. Almora tidak ingin membuat keributan dan meninggalkan kesan buruk sebagai seorang bawahan. Hubungan mereka memang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan Almora sangat membenci Calderon dan berharap tidak bertemu lagi dengan pria i
Almora benar-benar dibawa memasuki ruangan rapat. Duduk bersama orang-orang penting yang siap mendengarkan presentasi dari Calderon mengenai proyek selanjutnya. Almora pikir meeting yang dimaksud hanya bertemu dengan satu klien saja. Tapi ternyata, bertemu dengan banyak orang di suatu ruangan. Ah, dia benar-benar tidak tahu menahu soal ini.Tugas Almora memang hanya sekedar mendengar saja, lalu mencatat bagian penting. Calderon hanya memintanya untuk melakukan hal itu. Lalu saat rapat selesai, mereka meninggalkan ruangan. Hanya sebatas itu saja. Mudah bagi Almora untuk melakukannya."Kita makan siang dulu," ujar Calderon pada Almora dan sopir yang menunggu di depan ruangan."Baik, pak," jawab keduanya serempak.Calderon menoleh sekilas, menatap dua manusia yang mengekori langkahnya menuju kantin. Lalu tersenyum tipis dan memilih tidak berkata apa-apa. "Silahkan pesan," ucap Calderon. "Saya ingin ke toilet sebentar."Sopir bernama Ajo menganggukkan kepalanya. Almora turut mengangguk s
"Mau langsung pulang?" tanya Joya kala menemukan Almora sedang merapikan meja kerjanya. Perempuan itu difasilitasi satu meja di dalam ruangan Calderon yang artinya mereka akan bekerja dalam satu ruangan yang sama.Almora menoleh, lalu mengangguk. Pekerjaannya sudah selesai. Calderon juga sudah mengizinkan Almora pulang. "Kamu sendiri?""Ya, ini, mau pulang juga." Joya mengangkat tasnya, menunjukkan barang bawaannya pada Almora pertanda dia juga ingin meninggalkan kantor. Almora mengangguk singkat sebelum kembali fokus pada apa yang sedang dia kerjakan. Buku berisi catatan penting selama meeting. Jadwal meeting untuk besok yang telah Almora susun dan buku panduan menjadi sekretaris yang baik. Buku-buku itu adalah barang penting yang tak boleh ditinggalkan.Usai memasukkan semuanya ke dalam tas, Almora menyusul Joya yang katanya menunggu di depan ruangan. Almora bertugas mengunci pintu karena menjadi yang terakhir pulang. Calderon berkata
Tidak ada lagi yang namanya istirahat dengan tenang. Pesan terakhir yang Calderon kirim membuat Almora merasa khawatir. Entahlah, manusia yang berusaha dia benci itu kini malah sengaja membawa Almora terlibat dalam setiap rangkaian alur hidupnya. Alih-alih menjadi manusia asing, mereka justru kian dekat. Selalu saja ada tragedi yang membuat Almora bertemu dengan Calderon. Bagaimana bisa Almora membenci pria itu kalau ruang untuk membenci itu tidak ada? Ah, Almora juga tidak mengerti kenapa dia bisa terjebak di kehidupan yang aneh seperti ini. Calderon telah mengirimkan lokasinya. Kini Almora sedang menuju ke sana, naik ojek online andalan. Dia tidak berani naik angkutan umum. Pasti sepi dan rawan. Menghabiskan sekitar dua puluh menit, Almora tiba di lokasi. Komplek perumahan elit yang rasanya belum pernah Almora kunjungi. Ini bukan perkomplekan tempat tinggal Calderon yang kala itu dia kunjungi bersama Perl. Ini berbeda.
Calderon mendapat beberapa jahitan di perutnya akibat tusukan senjata tajam. Kondisinya tidak kritis dan tergolong baik, tapi tetap harus di rawat beberapa waktu untuk proses pemulihan. Pria itu cukup kuat menahan sakit di tubuhnya sebab kata dokter, penanganan luka di perut Calderon sudah terlambat. Almora takjub dengan daya tahan Calderon."Kenapa dia tidak menghubungi saya terlebih dahulu? Kenapa dia malah menghubungi kamu?" Max menatap Almora yang berdiri di sebelahnya. "Dia tidak akan seperti ini kalau saja yang dia hubungi lebih dulu adalah saya."Almora menatap Max bingung. Pria itu tidak henti-hentinya mengomel, mempertanyakan kenapa Calderon lebih memilih mengabari Almora ketimbang dirinya. Almora tau Max khawatir, tapi mengomel tidak jelas seperti itu tidak ada gunanya. Toh yang terpenting Calderon sudah ditangani oleh dokter dan kondisinya baik. "Kenapa mengomel seperti itu?" tanya Almora menatap Max. Bibir pria itu masih menggerutu meski suaranya tak terdengar jelas.Sein
Bisa dibilang hari ini Almora tidak ada kerjaan. Calderon masih dirawat dan jadwal meeting diundur dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Semua akan kembali normal ketika Calderon keluar dari rumah sakit. Kata Joya, Almora mesti menentukan jadwal meeting karena klien perlu diberi kepastian. Namun Almora tak berani menentukan jadwal sembarangan. Dia perlu bertanya pada Calderon untuk memperoleh jadwal yang sempurna.Karena hari ini terbilang free, Almora memutuskan untuk pulang cepat. Dia hanya mencatat beberapa hal terkait apa saja yang perlu dia persiapkan, membaca buku panduan beberapa halaman, makan siang bersama Joya dan pergi meninggalkan kantor. Rencananya ingin nongkrong di sebuah cafe yang baru buka di dekat rumah sakit Ocean. "Pulang cepat, mbak?" Robert bertanya kala Almora hendak naik taxi."Iya, pak," jawab Almora seraya melempar senyum.Robert mengangguk singkat. "Hati-hati, mbak."Almora balas mengangguk, lalu masuk ke mobil. Tujuan pasti untuk saat ini adalah cafe b
Optima 434.Calderon berdiri di balkon, menatap hamparan kota di bawah kukungan langit biru. Kota tampak begitu jelas, seperti susunan rumah di game minecraft. Ini adalah bagian paling menyenangkan saat berkunjung ke Optima. Calderon bisa merasa tenang hanya dengan melihat bangunan-bangunan itu."Tumben mengajak saya ke sini," kata Max yang muncul dari balik punggung Calderon. Dia memang meminta pria itu untuk datang juga. Membosankan rasanya bila hanya sendirian di flat ini."Tidak suka?" Calderon menatap pria itu tajam. Selalu saja berkomentar. Nurut saja apa susahnya?"Suka, tapi kan aneh."Calderon mengabaikan. Dia memilih mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Dia tidak bisa leluasa merokok di rumah. Selain karena dilarang Nyonya besar, keberadaan Camelia yang sedang hamil juga menjadi alasannya. Calderon tentu tidak ingin anak itu meregang nyawa karena bapak tirinya hobi menghembuskan asap nikotin."Masih ngerokok?" heran Max.Calderon menyelipkan rokok itu di bibirnya l
Camelia rasa tubuhnya sudah agak mendingan. Tadi pagi hanya sedikit pusing karena tidur terlalu lama, tapi Calderon dan seluruh manusia di rumah itu menganggap dirinya sedang demam tinggi. Padahal hanya butuh berbaring sebentar, Camelia bisa pulih.Usai makan siang, Camelia berencana untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Sudah lama Camelia tidak berkunjung ke rumah. Kedua orang tuanya juga jarang memberi kabar seolah lupa dengan anaknya yang satu ini."Mau kemana?"Langkahnya dihadang oleh Calderon yang tiba-tiba muncul. Berdiri di depan pintu utama seraya melipat kedua tangan di depan dada. Ah, magic. Pria itu penyihir. Sekejap di kamar, sekejap di ruang kerjanya dan sekejap lagi ada di depan mata."Ke rumah orang tuaku." Camelia menatap Calderon.Salah satu alis pria itu terangkat. "Sendiri?""Memangnya kamu mau ikut?" tanya Camelia, sangsi. Calderon benci sekali dengan ayahnya. Mana mungkin pria itu mau ikut dengannya bertemu mama dan papa.Sesuai dugaan, Calderon menggelengkan
"Kenapa? Apa sudah kalian temukan bajingan itu?" tanya Calderon melihat beberapa anak buahnya datang dengan napas tak beraturan. Mereka berlari dari gerbang utama seperti dikejar anjing gila.Yang paling besar, mengangkat tangan pertanda butuh beberapa detik untuk bisa bernapas normal. Yang satu lagi, menatap Calderon dengan napas yang mulai teratur. Apa yang mengejar sampai bernapas saja terlihat sulit? Roh mereka seakan tercabut dari tubuh hanya karena berlari dari gerbang."Ada berita buruk." Kalau tidak salah namanya Rob, entah Robert entah Roblok. Calderon tidak bisa mengingat nama-nama anak buahnya.Berita buruk sudah menjadi makanan sehari-hari Calderon. Jadi, dia tidak terkejut bila akan ada kabar buruk lagi yang dia dengar."Apa?""Ternyata Kaleo punya hubungan kerja sama dengan kartel di Kroasia," jawab Rob.Ah, masalah kartel lagi. Calderon malas sekali mengurus orang-orang yang terlibat kartel. Hal itu benar-benar memuakkan."Kroasia? Ada kartel di sana?" tanya Calderon. D
Calvin beringsut menaiki tempat tidur, merebahkan tubuh di sebelah Almora yang sudah lebih dulu berbaring. Mereka tidak punya kegiatan apapun lagi sebab tadi siang sudah menghabiskan banyak waktu dengan bermain game dan menonton beberapa film komedi rekomendasi dari Calvin sendiri. Sebenarnya Calvin masih punya beberapa pekerjaan yang mesti diselesaikan. Akan tetapi dia merasa tidak tenang jika Almora belum tidur. Pekerjaan yang menumpuk itu bisa diselesaikan nanti atau saat mepet deadline. Namun menemani Almora tidur tidak sama dengan pekerjaan yang bisa ditunda."Mau dibacain dongeng apa?" Calvin menatap Almora sembari mengembangkan sebuah buku cerita."Kamu pikir aku anak kecil?" Almora balik menatap Calvin. "Eh, itu buku dongeng siapa yang kamu curi?""Enak aja." Calvin menutup buku cerita dengan judul kisah petualangan seru kancil dan teman-temannya. "Ini aku beli di Indonesia. Sudah lama sih."Almora tertawa pelan. "Kok bisa kepikiran buat beli buku dongeng itu? Mana judulnya m
"Bayinya sehat. Ibunya juga sehat."Senyum di wajah Calvin tak luntur kala kalimat dokter yang memeriksa Almora tadi pagi terus bergema di kepalanya. "Bayinya laki-laki."Semakin senang hati Calvin mendengarnya. Bayi mereka laki-laki. Terlepas dari siapa sebenarnya ayah kandung dari bayi itu, untuk saat ini yang bertanggung jawab dan akan mengemban peran bapak adalah dirinya. Tentu saja Calvin bersuka cita mendengar kabar baik itu.Ibunya sehat, bayinya sehat dan bayinya laki-laki."Bahagia banget kayaknya," ucap Almora. Matanya tak luput dari wajah pria yang sedang berkutat di pantry itu. Katanya dia ingin memasak makan siang untuk Almora. Sekalian mencoba resep baru untuk kue yang tadi malam baru saja diriset oleh pria itu.Dia produktif sekali jadi suaminya. Dan semenjak kehamilan Almora memasuki masa menuju pembukaan, pria itu memutuskan bekerja dari rumah saja. Katanya dia takut meninggalkan Almora di rumah sendirian.Calvin sangat siap untuk menjadi seorang suami."Iya dong. An
Katanya tidak cinta, tapi begitu menemukan Camelia di dekat salon, Calderon langsung memeluknya. Dia cemas kala tau Kaleo berkeliaran di sekitar mereka. Entah kenapa, disaat Tuan Saka berkata Kaleo ingin kembali merebut Camelia, ada rasa khawatir yang luar biasa dalam diri Calderon. Mungkin karena Calderon tau bahwa kemunculan Kaleo adalah alarm bahaya bagi Camelia. Pria itu memang ayah kandung dari bayi yang Camelia kandung tapi mengingat bagaimana sepak terjangnya sebagai manusia, Calderon tidak bisa menyerahkan Camelia pada pria itu."C-Cal, are you okay?" Camelia yang dipeluk secara tiba-tiba jelas terkejut. Calderon masih belum melepaskan pelukannya. "Saya pikir kamu kenapa-kenapa."Setelah berminggu-minggu pernikahan mereka, ini kali pertama Calderon menunjukkan kepeduliannya secara tulus. Bukan karena terpaksa, bukan karena ayahnya, bukan karena orang-orang dan media yang meliput mereka tapi karena diri Calderon sendiri. Camelia terharu melihat Calderon mengkhawatirkannya. Ini
Kembali ke tanah air.Kericuhan terjadi di kediaman Tuan Saka. Ayah dan anak itu bertengkar perihal Kaleo yang hilang dari lokasi penyekapan di California. Entah apa yang terjadi sampai pria itu bisa lolos dari pengawasan dua kubu. Dan Calderon duga, ini terjadi karena ayahnya berusaha merebut Kaleo dari genggamannya."Coba saja ayah tidak ikut-ikutan, mungkin Kaleo masih ada di rumah penyekapan," kata Calderon dengan dada kembang kempis. Dia berusaha sabar untuk tidak memukul pria yang menjadi penyebab kekacauan itu terjadi."Itu bukan tanggung jawab mu, Cal. Mengurus Kaleo adalah tugas saya. Kamu cukup menjalankan peranmu sebagai suaminya hingga anaknya lahir," balas Tuan Saka dengan wajah tak kalah bengis.Karena kekacauan ini, aksi penyelundupannya terbongkar.Calderon mendengus kasar. Dia bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Dia tau kenapa Tuan Saka mau turun tangan mengurus Kaleo. Sudah pasti karena tidak ingin pernikahannya dan Camelia berakhir. Tuan Saka ingin Calderon terus
Mari menikah denganku.Semudah itu Calvin mengajaknya untuk menikah dan semudah itu pula Almora mengiyakan ajakan tersebut. Kesannya seperti sedang main nikah-nikahan. Rasanya memang aneh bagi mereka yang baru kenal, baru akrab. Terlalu cepat bagi mereka untuk naik ke jenjang yang lebih serius. Menikah bukan hanya soal tanggung jawab, bukan hanya soal nafkah tapi juga soal resiko yang harus mereka hadapi setelah ini. Almora masih takut. Bayang-bayang Ken tewas karena dirinya jelas belum usai menghantui.Namun hidup harus terus berjalan. Almora tidak menapik bahwasanya dia butuh pendamping hidup. Dia butuh seseorang untuk menemaninya membesarkan bayinya. Butuh seseorang untuk membersamai hari tuanya.Karena Calvin tampak serius, Almora juga akan serius. Jika Calvin memang ingin bermain-main, seharusnya pria itu mengajaknya pacaran, bukan menikah.Satu minggu setelah will you marry me dadakan itu, Calvin dan Almora resmi menjadi pasangan suami-isteri. Menikah dengan orang dari negara s
Hari-hari Almora benar-benar menjadi lebih baik usai bertemu dengan Calvin. Di belahan bumi yang jauh itu, Almora tidak lagi merasa kesepian. Sebelumnya ada banyak orang yang Almora kenal. Temannya juga lumayan untuk ukuran warga asing yang baru menempati wilayah lokal. Namun rasanya berbeda saat bertemu dengan Calvin. Teman Almora yang banyak itu tak cukup mampu menghilangkan rasa sepinya. Justru Calvin yang baru dia kenal kemarin sore mampu membuat Almora merasakan bagaimana hidup bersama teman yang seolah sudah dikenal sejak lama. Rasanya seperti pulang ke rumah."Aku sudah jarang ke pantai," ucap Calvin. Sore itu entah karena gerangan apa, Calvin mengajak Almora bermain ke pantai.Mereka duduk di atas bebatuan. Menatap birunya air laut. Sama halnya dengan Calvin, Almora juga sudah jarang ke pantai atau mungkin tidak pernah. Jarak dari kota ke pantai tidak begitu jauh, tapi tidak pernah sekalipun Almora ingin mengunjungi perairan luas nan indah itu. Ini saja kalau bukan karena ajak