"Apa maksudmu tidak ditemukan? Si Maira barusan masih naik tali apalah itu namanya!"
Sekar kemudian melongok wahana yang dinaiki Almaira beberapa menit yang lalu. Anak itu betulan tidak ada. "Si Maira itu memang seperti tupai. Loncat ke sana, loncat ke sini. Cari lagi yang benar. Pasti dia mencoba yang lain." Sekar membuat gerakan mengusir menggunakan tangannya.Ika kembali mencari anak-anak. Tadi Xavier pamit ingin mencoba memanah. Ika pun bertanya kepada petugasnya dengan mengatakan ciri-ciri Xavier. Benar, Xavier mencoba archery. Namun, sekarang entah ke mana dia.Berbagai wahana Ika cek satu per satu."Bagaimana?" tanya Sekar yang memilih menyusul.Ika menggeleng. "Tidak ada, Bu. Keduanya tidak ada.""Aduh! Benar-benar mereka berdua! Kalau ketemu, saya akan menyuruh mereka memijati saya," ucap Sekar geregetan."Mungkin sudah lebih dulu pergi ke tempatnya Bu Lova.""Apa iya? Kurang ajar sekali tidak memberi tXavier menerima semprotan berukuran segenggaman tangannya dari Almaira. Anak itu lalu menghela napas untuk menyiapkan mental. Xavier sering menonton film super hero. Dia pernah bermimpi ingin melawan penjahat. Namun, berhadapan secara nyata ternyata menakutkan. Xavier gemetaran."Aduh, lama!"Almaira merebut kembali semprotan miliknya. Dengan cepat dia mengarahkan lubang semprotan itu ke arah para penculik. Almaira lalu menekannya. Cairan menyembur. Namun, hanya mengenai satu wajah penculik yang perempuan. Raung kepanasan dan perih terdengar.Dua temannya membelalak terkejut. Salah satunya melangkah hendak merebut semprotan, tetapi Xavier mendahului dan menyemprotkan ke wajah pria itu."Argh! Sialan! Berhenti!" pekik pria itu."Air! Air!" Penculik perempuan tidak kalah heboh.Xavier tersenyum lebar. Dia terus menyemprot dan membayangkan menjadi pemadam kebakaran. Anak itu merasa sangat keren. Namun, jeritan Almaira kemudian terde
"Terus Tante Freya cekik aku." Almaira memeragakan bagaimana Freya mencekik lehernya. "Aku tidak bisa napas." Almaira juga berakting seolah dia sedang asma.Lova mendengarkan cerita Almaira sambil bercucuran air mata. Ucapan putrinya membuat gambaran-gambaran sangat mengerikan. Lova tidak sanggup membayangkannya."Mama sudah mengerti. Cukup, Sayang." Lova tidak ingin tahu lebih lanjut. Sekarang Almaira sudah bersamanya dalam keadaan baik-baik saja. Perempuan itu lalu memeluk Almaira erat. Sangat erat. Almaira jadi kesulitan bernapas lagi."Mama, aku tidak bisa napas," kata anak itu."Bagus! Lain kali ikuti orang asing lagi, ya." Sekar menjewer pelan Almaira. "Kamu membuat jantung Oma hampir copot. Kamu juga membuat Oma disalahkan oleh mama kamu itu.""Maaf, Oma." Almaira menunduk. "Tapi penculik itu tahu nama Mama. Aku pikir dia teman Mama.""Freya merencanakan ini dengan baik," ucap Ardhan."Memang kurang ajar itu perem
"Anak-anak ingin mampir dulu beli es krim," ucap Ardhan yang berjalan di samping Lova.Jarak pemakaman dan rumah Bu Mar cukup dekat, sehingga Ardhan memutuskan untuk berjalan kaki. Lagi pula, tidak ada pelayat lain yang naik kendaraan. Sementara Sekar dan anak-anak menunggu di mobil."Pantas mereka ribut ingin ikut," kata Lova."Ya, didukung oleh Mama."Sekar biasanya tidak ingin peduli kepada orang-orang selain yang beliau suka. Namun, Sekar mendadak ingin melayat. Ternyata setelah sampai, beliau justru enggan keluar dari mobil. Sekar juga yang meminta anak-anak menemaninya."Aduh, Mbak. Kenapa, sih, jalannya grasa-grusu begitu?" Seseorang di belakang sana berseru. Ardhan dan Lova refleks menoleh. Ardhan kemudian mengernyit saat seorang perempuan berkerudung dan berkacamata hitam sibuk menerobos orang-orang yang ada di hadapannya. Perempuan itu tidak memedulikan makian yang dia terima lantaran menabrak sana-sini.Semak
Ardhan langsung bangun begitu menyadari Lova tidak berada di sampingnya. Dia sempat mencari ke toilet dan kamar anak-anak, tetapi tidak menemukan Lova. Ardhan justru mendapati istri dan sang mama berada di dapur di lantai bawah.Awalnya Ardhan khawatir Sekar melakukan sesuatu kepada Lova. Namun, yang terlihat justru sebaliknya. Lova duduk manis, sedangkan Sekar sibuk membolak-balik daging di atas wajan. Sambil mengomel, tentu saja."Lihat baik-baik, biar kamu bisa bikin sendiri.""Iya, Bu," jawab Lova. "Masih lama, ya?""Sabar, dong. Kamu pikir bisa simsalabim jadi?"Ardhan tersenyum senang dari kejauhan. Meskipun Sekar masih menunjukkan ketidaksukaannya kepada Lova, tetapi perlahan Sekar mulai menerima Lova. Sekar yang tidak suka menyebut nama Lova pun, sekarang sudah ada kemajuan walau salah.Ardhan yakin mamanya itu memang sengaja memanggil Nares alih-alih Lova karena gengsi. Sifat tsundere Almaira diwarisi dari Sekar rupanya."Nih, sudah. Saya tidak mau tahu, kamu harus menghabiska
"Mai, ada lamaran lagi yang datang untuk kamu," ucap Ardhan kepada putri sulungnya."Aku menolak," jawab Almaira tanpa berpikir dua kali.Lova menghela napas, tidak tahan memberi komentar. "Setidaknya cari tahu dulu siapa yang melamar kamu, jangan asal menolak seperti itu."Almaira tersenyum. "Mama, kan, sudah tahu jawabannya.""Belum siap? Atau, kamu memang tidak mempersiapkan diri?" Lova mengernyit."Mama, aku masih 25. Tenang sajalah. Kita ini hidup di kota besar, loh. Yang 35-an masih single juga banyak."Ardhan dan Lova bersitatap. Hal itu memang benar. Namun, Lova khawatir karena di usia Almaira yang sudah seperempat abad, anak itu tidak pernah menunjukkan ketertarikan soal pernikahan. Almaira terlalu cuek, dan itu sangat mengganggu Lova."Lalu kamu siapnya kapan?" tanya Ardhan. "Dan apa yang membuat kamu tidak siap?"Almaira mengedik. Dia sendiri tidak tahu. Apakah Almaira pernah membayangkan sebuah perni
"Hubungan apa? Aku tidak berteman dengan laki-laki. Aku juga tidak suka pacaran, dan aku belum mau menikah," kata Almaira tegas.Dari reaksi Shaka, Almaira sudah tahu maksud ucapannya. Sekalian saja menegaskan dari awal."Kira-kira, kapan kamu mau menikah?""Tidak tahu." Almaira mengedik."Aku rela menunggu, Al."Almaira menghela napas. "Jangan bebani aku, Kak Shaka. Jangan membuat aku merasa punya utang, padahal aku tidak menjanjikan apapun. Entah kapan aku siap menikah, dan saat waktunya tiba, belum tentu aku akan menerima Kakak."Setelah menyedot habis minumannya, Almaira bangkit berdiri. "Kalau begitu aku permisi," ucapnya, kemudian berlalu meninggalkan Shaka.Sebelum itu Almaira menyempatkan diri melirik Xavier yang entah sejak kapan sudah duduk di dekat meja Almaira. Apa Xavier mendengar pembicaraannya?"Memangnya kalau dengar kenapa? Kalau tidak juga kenapa? Dia tidak sepenting itu buatku," gumam Almaira
Chyara memasuki butik milik kakaknya dengan langkah ringan. Wajahnya berseri. Dia bahkan menyapa pegawai dan pelanggan yang dia temui."Kak Mai!" serunya saat menemukan sang kakak sedang berbincang dengan salah satu pegawai. Chyara langsung berlari dan memeluk Almaira."Ada apa?" tanya Almaira dengan kening mengerut.Chyara menarik Almaira ke sofa terdekat. Wajahnya memerah. Dia lalu menunduk. "Aku sudah bilang ke Papa soal perasaan aku ke Kak Vier," ucapnya pelan.Almaira sontak membelalak. "Apa?""Iya. Aku sudah bilang ke Papa kalau aku suka Kak Vier. Papa kasih restu. Papa bilang, Papa mau membicarakan hal ini dengan Kak Vier."Almaira justru mematung di tempat. Entah kenapa udara menjadi sulit dihirup. Sesak sekali. "Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Almaira."Doakan, ya, Kak. Semoga Kak Vier mau menikah sama aku." Chyara menggenggam kedua tangan Almaira.Almaira tidak menjawab. Pandangannya lurus ke dep
"Ke-kenapa Kak Vier mau melamarku?"Xavier membasahi bibir bawahnya. "Karena ... yang aku cintai itu kamu, Mai."Almaira tertegun. Waktu seolah-olah ikut berhenti. Aktivitas di sekelilingnya tidak Almaira hiraukan. Dia hanya fokus menatap pria yang duduk di meja samping sana. Pria yang baru saja menyatakan cinta kepadanya."A-aku?" Almaira menunjuk dirinya sendiri, setelah pulih dari keterkejutan luar biasa."Iya. Aku cinta kamu." Xavier mengulangi ucapannya. Sudah tidak ada jalan lagi untuk mundur. Xavier juga tidak ingin terus memendam perasaannya yang semakin menggebu setiap kali melihat Almaira."Tidak mungkin, kan?" Almaira masih tidak bisa percaya. Xavier, teman bertengkarnya saat kecil, mengaku mencintainya."Kenapa?""Kita ini sudah seperti saudara," jawab Almaira."Kita tidak memiliki hubungan darah, Mai. Chy juga menyukaiku, kan? Tapi, yang aku cinta itu kamu."Almaira menelan ludah. "Kak Vier