"Ya Allah, Mas! Tolong angkat teleponnya ...."
Suara Ayu Lestari lirih, nyaris putus asa. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil besar. Ayu berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang temaram. Tangan kirinya menekan punggung bawah yang terasa ngilu. Perutnya yang besar hampir menyeret langkahnya, tetapi ia terus mencoba menyeimbangkan diri. Layar ponsel di tangannya kembali redup. Sudah lebih dari sejam ia mencoba menghubungi Jaka Daud, suaminya. Tetapi, hanya nada sambung yang menjawab. Di luar, langit semakin gelap, dan rumah itu terasa kian sepi. Ayu menatap ke bawah, matanya membulat saat melihat darah merembes di antara pahanya. Dingin menyergap tengkuknya. Tapi tidak ada kontraksi. Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang semakin pendek. Ada sesuatu yang tidak beres. Ayu menggigit bibir, menelan rasa takut yang menekan tenggorokannya. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengambil keputusan. "Aku harus ke rumah Mama mertua sekarang." Tekad Ayu sudah bulat. Sambil memikirkan ibu mertuanya, ia mengusap perutnya yang tegang. "Semoga saja Mama mau menolong aku ...." Ayu berusaha tetap tenang agar janinnya juga ikut tenang. Begitu pintu terbuka, kilat membelah langit. Sedetik kemudian, suara petir menggelegar mengguncang malam. Hujan turun tanpa aba-aba, menghantam tanah dengan deras. Ayu kembali menggigit bibir, merapatkan jaketnya. Lalu, meraih payung. Tak ada pilihan lain. Dengan langkah terseok, Ayu berjalan menembus dinginnya hujan. Tangan kanannya erat memegang pegangan payung. Sedangkan tangan kiri memegangi perutnya yang berat. Setiap langkah terasa seperti ujian. Kaki telanjangnya yang hanya beralas sandal tipis mulai basah dan licin di trotoar. Akhirnya, Ayu tiba di depan rumah mertuanya yang hanya berjarak tiga rumah saja dari rumahnya. Ayu menatap pagar besi tinggi menjulang di hadapannya dengan napas tersengal. Ia meraih bel di sisi gerbang, menekannya beberapa kali. Tak lama, ada pergerakan di balik pagar. Seorang satpam menyibak celah kecil, matanya mengawasi tajam sebelum akhirnya bersuara. "Ada apa, Mbak Ayu?" Suara satpam terdengar ragu, matanya mengamati Ayu yang basah kuyup di bawah hujan yang semakin deras. Ayu merapatkan payungnya, air menetes dari ujung rambutnya yang lepek. "Tolong bukain pagarnya, Pak! Saya harus ketemu Mama Hayati." Suara Ayu bergetar, entah karena hawa dingin atau putus asa. Satpam tampak bimbang, tangannya mencengkeram kunci pagar di pinggangnya. "Maaf, Mbak. Tadi Nyonya berpesan, tidak membuka pintu untuk siapa pun." Ayu mencengkeram besi pagar yang dingin, matanya nanar. "Pak, saya mohon! Saya mungkin mau melahirkan. Saya tidak bisa menghubungi Mas Jaka." Satpam menelan ludah. Wajahnya sekilas menunjukkan keraguan, tapi ia menggeleng cepat. "Maaf, Mbak. Saya tidak berani melanggar perintah Nyonya." Napas Ayu tersengal, dadanya terasa sesak bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga kepedihan. Di tempat yang seharusnya bisa Ayu datangi untuk berlindung, ia justru ditinggalkan begitu saja. Air matanya hampir luruh, tapi ia menahannya. "Pak, saya mohon! Bantu saya kali ini saja. Saya tidak punya uang sama sekali kalau harus pergi sendiri." Hening. Satpam menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas berat. Tangannya merogoh saku celana, menarik selembar uang ratusan ribu yang sudah agak lecek. Ia menyelipkannya melalui celah kecil di pagar. "Maaf, Mbak. Saya tidak bisa bantu banyak. Mas Jaka juga tidak ada di rumah. Tapi ... mungkin ini cukup buat naik angkutan." Ayu menatap uang itu. Tangannya gemetar saat menerimanya. Ini bukan hanya selembar uang, tapi bukti bahwa di tengah dinginnya dunia, masih ada sedikit kehangatan yang tersisa untuknya. Air mata Ayu jatuh juga. "Terima kasih, Pak. Maaf ... saya ambil. Semoga kebaikan Bapak dibalas yang lebih besar." Satpam mengangguk pelan, matanya menyiratkan simpati. "Aamiin. Semoga persalinan Mbak Ayu lancar." Ayu menggenggam uang pemberian satpam dengan erat, seakan itu satu-satunya harapan yang ia punya saat ini. Ia menarik napas dalam, menelan isak yang hampir pecah. "Iya, Pak. Saya pergi dulu." Ayu melangkah menjauh dari rumah mertuanya dengan perasaan hancur. Udara malam yang dingin menembus kulitnya. Namun, itu bukan apa-apa dibandingkan nyeri yang menjalar di perut dan dadanya. Harapan yang tadi digenggam erat kini luruh bersama hujan. Ayu sendirian. Kakinya terus melangkah, melewati trotoar yang sepi. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya yang bergetar di aspal basah. Darah masih merembes di antara pahanya, terasa lengket di kulitnya yang dingin. Perumahan elit di Pondok Indah ini seperti kota hantu—pagar-pagar tinggi menutupi kehidupan di baliknya. Tak ada suara manusia, hanya deru hujan dan gemuruh petir di kejauhan. Sesekali, mobil mewah melintas. Namun, tak ada satupun yang memperlambat laju atau sekadar melirik Ayu. Ayu tak lagi berharap. Ia hanya berjalan, menghitung langkah di kepalanya agar tidak kehilangan fokus. Dua kilometer terasa begitu jauh, setiap gesekan kain di antara pahanya seperti bilah pisau yang menusuk. Sampai akhirnya di ujung jalan, Ayu melihat papan nama tempat praktek bidan yang biasa dikunjunginya. Dengan sisa tenaga, ia meraih bel. "Assalamu’alaikum, Bu." Suara Ayu serak, hampir tenggelam karena air hujan. Gerbang terbuka sedikit, seorang asisten bidan muncul dengan wajah terkejut. "Ya Allah, Mbak! Hujan-hujan begini naik apa?" Ayu menggigit bibirnya yang membiru, tubuhnya menggigil hebat. "Saya jalan, Kak." Asisten bidan melangkah mendekat, matanya penuh tanya. "Memangnya tidak ada yang mengantar?" Ayu hanya menggeleng. Tangannya meringkuk di depan dada, mencoba menahan gemetar. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul. Ia adalah bidan yang biasanya memeriksa Ayu. Matanya membelalak begitu melihat Ayu. "Mbak Ayu, kok masih besar saja perutnya?" Suaranya terdengar tegang. Ayu mencoba tersenyum tipis, tapi air mata lebih dulu meluncur di pipinya. "Belum ada kontraksi, Bu. Tapi, saya terus mengeluarkan darah." Wajah bidan langsung berubah. "Astagfirullah, Mbak! Ini harusnya sudah dioperasi, loh! Bukannya saya sudah bilang waktu periksa kemarin?"Ayu menunduk. "Maaf, Bu. Saya tidak ada biaya untuk melahirkan Caesar. Bisa normal saja, Bu?" Bidan menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Ayu yang dingin. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. "Mbak, ini berbahaya. Sekarang saja tidak ada kontraksi, bagaimana mau lahiran normal? Ayo, saya periksa dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul Ayu masuk ke dalam. Hujan masih deras di luar, tetapi untuk pertama kalinya malam ini, Ayu merasakan sedikit kehangatan. Ayu berbaring di atas ranjang pasien, napasnya tersengal saat asisten bidan membantunya menekuk kaki. Hujan masih terdengar samar di luar, namun dinginnya kini berganti dengan ketegangan yang menggigit. Bidan menarik sarung tangan medis, lalu dengan hati-hati memasukkan jarinya ke liang kemaluan Ayu. Wajahnya mengeras. Hanya cukup satu jari. Tidak ada pembukaan. Bidan menarik tangannya keluar, melepas sarung tangan dengan gerakan cepat. "Mbak, ini tidak ada pembukaan sama sekali, tapi Mbak sudah pendarahan. H
"Itu urusanmu!" Hayati memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan seolah tak peduli. "Lagian, kenapa kamu miskin? Sudah, cepat tanda tangani ini!" Hayati melempar selembar kertas bermaterai ke atas perut Ayu. Dengan tangan gemetar, Ayu mengambilnya. Matanya bergerak cepat membaca isi dokumen. Dadanya seketika terasa sesak. "I—ini?" Dalam surat itu tertulis bahwa semua biaya rumah sakit akan dianggap sebagai utang piutang oleh Ibu mertuanya. Tidak hanya itu, Ayu juga tak boleh menuntut apapun dari Jaka. Bahkan, jika suatu hari Jaka berniat menikah lagi. Air mata Ayu terjatuh. Ia menatap Hayati dengan mata membulat, hatinya mencelos. "Apa maksud surat ini, Ma?" Hayati menatapnya dingin. "Sudah, tanda tangani saja! Kamu masih ingin hidup, kan?" Hayati terus berbicara, "Kalau kamu nggak mau tanda tangan, aku juga nggak akan tanda tangan dokumen rumah sakit." Ayu terisak, kepalanya berputar dalam ketakutan. Ini benar-benar tidak adil! Ayu tahu, dirinya sedang ditipu. Ta
"Merasakan apa, Bu?" Gerakan di ruang operasi terhenti seketika. Dokter anestesi menoleh. Suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit ketegangan di balik nadanya.Ayu menelan ludah. "Dingin, Dok. Saya masih bisa merasakannya," katanya tergagap, napasnya mulai tersengal."Apakah sakit?" dokter anestesi kembali mencubit pahanya.Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Dok. Tapi saya bisa merasakannya. Saya tahu, ada sesuatu menyentuh kulit saya!"Dokter kandungan berpaling. "Kalau begitu, coba angkat kaki Ibu!" perintahnya. Matanya mengamati Ayu dengan cermat.Ayu mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha menggerakkan kakinya. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia tetap kaku. Napasnya menjadi semakin berat."Enggak bisa, Dok," suaranya gemetar. "Tapi saya sesak, Dok. Enggak bisa napas."Panik mulai menyelimuti dirinya. Tangannya mencengkeram kain operasi lebih erat, tubuhnya bergetar hebat. Ayu mulai menangis. "Mbak, nggak perlu takut! Operasinya nggak lama kok," suara bidan Terbit terdengar lembut, tapi
Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara."Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.Tetap sunyi.Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.Setiap dorongan adalah perjuangan.Setiap dorongan adalah doa.Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.Detik-detik berlalu seperti selamanya.Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.Tangisan.Namun, keheningan masih menggantung di udara."Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ket
Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya."Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.Baim m
Seorang perawat yang tengah memeriksa pasien lain segera berbalik, lalu bergegas ke sisi Ayu. Dengan cekatan, ia melepas corong oksigen dan memiringkan tubuh Ayu ke samping.Sesaat kemudian, cairan muntahan keluar dari mulut Ayu. Perawat menepuk punggungnya perlahan, memastikan semuanya keluar dengan lancar.Ayu terengah-engah, tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih lemah dari sebelumnya.Perawat meraih tisu, menyeka sisa cairan di sudut bibir Ayu, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan."Keluarganya di mana, Bu?" tanyanya, suaranya lembut, tapi ada nada heran di dalamnya.Ayu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar muntah—kenyataan bahwa ia benar-benar sendirian."Enggak ada," jawab Ayu lirih."Suami?" tanya perawat, suaranya lembut tapi menusuk.Ayu menggeleng pelan. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang
Mata perawat itu membulat. "Apa? Jadi yang kemarin Bu Hayati ke sini itu untuk dia?""Ya... Begitulah.""Terus pergi lagi?"Bidan Terbit mengangguk, ekspresinya datar. "Kamu tahu sendiri, keluarga Gubernur itu seperti apa."Perawat itu mendengus. "Suka pamer harta dan anaknya yang cowok doyan main cewek."Bidan Terbit mencibir. "Padahal Ayu itu cuma penjual sayur di pasar. Kamu pasti bisa bayangkan, kan, bagaimana perlakuan mereka padanya?"Perawat itu menghela napas, lalu menggeleng pelan. "Tapi kalau begitu, kenapa mereka memilih menantu miskin?"Bidan Terbit hanya mengangkat bahu. "Itu aku nggak tahu. Udah, sekarang lebih baik kamu pindahkan Ayu ke ruang perawatan. Nggak usah terlalu jauh mengurusi hidup pasien.""Iya, Bu. Cuma penasaran. He-he-he..."Bidan Terbit tak menanggapi. Tangannya sudah meraih ponsel, menekan nomor Hayati. Wajahnya serius. Ada sesuatu yang harus dipastikan.Sementara itu, perawat kembali ke ruang pemulihan. Ia mendorong ranjang Ayu perlahan hingga memasuki
"Apa? Kelainan jantung bawaan?" Suara Ayu nyaris pecah. Pandangannya mengabur seiring air mata yang jatuh tanpa bisa ia tahan. "Iya, Bu Ayu," ujar dokter dengan suara hati-hati. "Setelah berbagai pemeriksaan, kami menemukan bayi Anda mengalami kardiomiopati restriktif. Jantungnya kaku, tidak bisa mengembang dengan baik." Dunia Ayu seakan terhenti. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban yang tiba-tiba menekan. Napasnya pendek, terputus-putus. Bayi di pelukannya masih diam, tubuh mungilnya tetap hangat. Tapi kata-kata dokter itu merayap ke dalam pikirannya, mengguncang hingga ke akar. "Kelainan jantung bawaan," gumam Ayu seakan tak percaya. "Ya Allah... kenapa Kau mengujiku seberat ini?" Jari-jarinya menegang saat ia menarik bayi itu lebih dekat, seakan bisa melindunginya hanya dengan genggaman. Matanya terasa panas, kelopaknya bergetar menahan luapan emosi yang tak terbendung. "Ini gak mungkin terjadi..." Bibirnya bergerak, nyaris tak bersuara. "Apa yang harus saya lakukan,
Maharani mengangkat tangan, gelagapan. "Aduh… Rani lupa mau kasih tahu Mama! Pokoknya bukan itu intinya!"Ia menarik lengan ibunya, suaranya semakin mendesak."Sekarang apa yang harus kita lakukan? Gimana kalau Ayu bicara aneh-aneh ke wartawan?!"Hayati terdiam sesaat, napasnya mulai memburu.Di luar ballroom, kilatan kamera dan suara sorakan masih terdengar.Ayu ada di sini.Dan itu hanya bisa berarti satu hal—badai akan segera datang.Mata Hayati membesar, nyaris keluar dari rongganya. Rahangnya mengatup rapat, garis-garis kemarahan terukir jelas di wajahnya. "Kamu gak diundang," suaranya tajam seperti pisau. "Rakyat jelata dilarang ikut pesta orang kaya."Tawa Ayu meledak, nyaring dan penuh ejekan. Ia melangkah santai, tubuhnya condong ke depan, mendekati Hayati. "Mama… Mama…
"Ke mana Anda selama ini?"Suara-suara itu bertubi-tubi, menusuk gendang telinga Ayu dari segala arah. Dadanya mulai sesak, napasnya tersendat. Jemarinya yang menggenggam tas mulai bergetar.Kerumunan terasa semakin mendekat, seperti dinding yang siap meremukkannya kapan saja. Lututnya lemas, instingnya berteriak untuk kabur.Namun, di antara sorotan kamera yang menyilaukan, matanya menangkap sosok yang familiar.Baim.Berdiri tak jauh dari sana, mengenakan setelan jas hitam yang elegan, tangannya diselipkan ke dalam saku.Ia tidak berkata apa-apa.Hanya sebuah senyum tipis yang menghiasi wajahnya, tatapan matanya tenang, penuh keyakinan.Seakan-akan ia sedang berbisik tanpa suara, "Semuanya akan baik-baik saja."Ayu menelan ludah. Jemarinya yang gemetar perlahan mengendur. I
Ayu mengangguk, meski hatinya masih berdegup kencang.Baim melangkah pergi, meninggalkan Ayu dengan debaran hebat di dadanya. Punggungnya semakin menjauh, tetapi jejak kehadirannya masih tertinggal di hati Ayu, menggetarkan seluruh perasaannya."Ya Allah, Mas… Bagaimana mungkin aku bisa menahan perasaan ini?" batinnya lirih.Ia menarik napas panjang, mencoba meredam kekacauan dalam dirinya. Matanya jatuh pada tas yang tergeletak di dekatnya—tas yang dibelikan Baim tempo hari. Perlahan, ia meraihnya, jemarinya menelusuri permukaannya seakan mencari jawaban.Ia teringat kata-kata Baim saat memberikannya tas itu. "Kamu akan membutuhkannya suatu saat nanti."Ayu tersenyum miris. "Ternyata dia benar."Siapa sangka, hari itu telah tiba. Hari di mana ia harus berdiri tegak, menyaksikan suaminya bersanding dengan wanita lain di pela
Ayu mengangguk, meski keraguan masih menyelimuti dirinya. "Tapi... mungkinkah saya bisa cantik?"Baim menatap mata Ayu dalam-dalam, seolah ingin meyakinkan bahwa perkataannya benar. "Kamu sudah cantik, Ayu. Polesan ini hanya akan membuat kecantikanmu semakin bersinar."Ayu terenyuh. Baim adalah orang pertama yang pernah memujinya. Sementara Jaka, suaminya, bahkan tak pernah sudi menatap wajahnya lama-lama. Terlebih lagi mertua dan iparnya—yang selama ini hanya memberinya cacian dan hinaan. Hal itu membuatnya tidak percaya diri dan yakin bahwa dirinya memang sehina itu."Ayu… apa yang membuatmu ragu?" tanya Baim."Saya… saya tidak yakin bisa terlihat menarik, bahkan dengan riasan sekalipun.""Ayu, lupakan mereka yang merendahkanmu. Orang yang menganggapmu tak berharga hanyalah mereka yang tak mampu melihat keistimewaanmu. Di tangan yang tepat, kamu akan selalu bernilai."Setelah berpikir sedikit lama, Ayu akhirnya mantap u
Baim mengangguk, matanya lurus ke jalan di depan. "Yah. Di pesta itu, pasti akan banyak wartawan. Kamera di mana-mana. Kamu harus berdiri di sana sebagai seorang ratu." Ia menoleh lagi, menatap Ayu dengan sorot mata yang tajam namun hangat. "Tegakkan kepalamu. Jangan pernah tertunduk, setakut apa pun kamu nantinya. Tetaplah pura-pura berani seperti sekarang."Ayu terpaku. Kata-kata itu menyusup ke dalam dirinya, menggetarkan sesuatu yang selama ini rapuh. Ia menatap Baim dalam-dalam, seakan mencari kepastian."Tapi… bagaimana kalau saya gagal, Mas?" suaranya pelan, nyaris berbisik.Baim tak langsung menjawab. Ia menarik napas, lalu tersenyum, kali ini lebih lembut. "Kamu nggak boleh gagal," ucapnya mantap. "Aku akan mengawasimu dari kejauhan."Ayu menggigit bibirnya. Pikirannya berkecamuk. Kata-kata Baim seperti sebuah perisai, tapi di saat yang sama, ketakutan itu tetap men
Mak Ti mengangguk kecil, kemudian berjalan menuju telepon. "Biar saya panggilkan lewat saluran telepon, Pak."Baim mengangguk. "Terima kasih, Mak..." Suaranya terdengar lebih lembut kini, seraya matanya kembali menyapu ruangan, menangkap sisa kehangatan yang sempat terhenti oleh kehadirannya.Matanya sesekali melirik ke arah Fatma dan Sari yang duduk di sofa. Ia menyandarkan satu tangan ke pinggang, lalu berkata dengan nada tenang, "Oh ya. Fatma... Sari. Aku sudah ambil ASIP di rumah sakit. Kalian ambil di mobil, ya."Fatma menegakkan punggungnya, sementara Sari menoleh dengan tatapan bertanya."Hari ini Ayu ikut denganku. Kemungkinan sampai malam. Jadi kalian susui si kembar dengan ASIP dulu."Fatma dan Sari segera bangkit. "Baik, Pak," jawab mereka hampir bersamaan, lalu bergegas keluar rumah.Dari sudut ruangan, Indri menyipitkan mata, bibirnya sedikit mengerucut. Ada yang menggelitik rasa ingin tahunya. Ia akhirnya melangkah mendekat, me
Seperti api tersulut bensin, wajah Indri memerah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Hei, Ayu!" suaranya melengking. "Gak tahu diri banget kamu, ya! Pak Baim itu masih punya istri! Kamu juga punya suami!"Ia melangkah lebih dekat, hampir menudingkan jari ke wajah Ayu. "Teganya ya kamu jadi pelakor!"Udara di dapur seketika menjadi lebih panas. Fatma dan Sari menahan napas, mata mereka melebar, sementara Bi Imah yang baru kembali dari sudut ruangan hanya menggeleng pelan, menghela napas panjang.Ayu masih diam, tapi kali ini tatapannya mulai berubah. Tidak lagi penuh sindiran, tapi lebih tajam. Seolah dalam kepalanya, ia sedang memutuskan apakah akan membalas... atau membiarkan Indri tenggelam dalam amarahnya sendiri.Ayu menyandarkan satu tangan di pinggang, bibirnya melengkung tipis. Tatapannya menusuk langsung ke mata Indri."Indri... Indri," suaranya terdengar pelan, tapi penuh ejekan. "Kasihan kamu ya. Gak dapet respon dari Mas Baim. Makanya
Fatma dan Sari saling melirik, tapi tak ada yang berani buka suara.Indri, sebaliknya, malah menyeringai. Tatapannya tajam, penuh tantangan. "Iya. Kami membicarakanmu. Kenapa?"Ayu tersenyum miring, nada suaranya ringan, tapi menusuk. "Nggak apa-apa, sih. Pasti kamu mulai suka sama aku, ya? Makanya selalu kepo sama kehidupanku."Sari menahan napas, Fatma menggigit bibir. Mereka tahu betul Indri tak akan membiarkan sindiran itu berlalu begitu saja.Dan benar saja.Indri mendengus tajam, wajahnya seketika berubah masam. "Ih… najis! Aku justru makin gak suka sama kamu!"Ketegangan kembali mengisi ruangan. Hanya suara Bi Imah yang sibuk mengaduk panci yang terdengar, seakan menjadi satu-satunya hal yang masih berjalan normal di dapur itu.Bi Imah datang membawa mangkuk berisi rebusan daun katuk, lalu meletakkannya di meja dekat Ayu."Indri… cukup." Suaranya tegas, tapi tetap lembut.Indri mendengus, menyilangka
Sari menggeleng pelan, alisnya berkerut dalam. "Iya. Dia bukan seperti Ayu yang kita kenal dulu," gumamnya, suaranya sarat kebingungan. Jemarinya mengetuk meja dapur, seakan berharap menemukan jawaban di sana."Ayu yang kita kenal, bukankah dia lemah lembut dan polos?" lanjutnya, kali ini lebih pelan. "Kenapa dia tiba-tiba jadi seganas itu ya?"Di sudut meja makan, Indri yang tengah menyendok sarapannya terhenti. Ia menegakkan punggung, matanya membesar. "Ada apa? Pagi-pagi wajah kalian udah kayak awan mendung gitu," tanyanya, menatap mereka bergantian.Sari duduk di meja makan, mengaduk sendoknya tanpa niat makan. Fatma di sebelahnya masih sibuk mengelus rambutnya yang tadi dijambak Ayu."Ini si Fatma," kata Sari akhirnya, suaranya sedikit pelan tapi penuh arti. "Baru aja abis dijambak sama Ayu."Indri yang sedang menyeruput kopi spontan berdiri. Cangkir nyaris terjatuh saat tangannya menggebrak meja. "Apa?! Serius kalian?""Ngapain juga ak