Share

Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO
Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO
Penulis: Libra Syafarika

Pendarahan

Penulis: Libra Syafarika
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-07 12:15:23

"Ya Allah, Mas! Tolong angkat teleponnya ...."

Suara Ayu Lestari lirih, nyaris putus asa. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil besar.

Ayu berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang temaram. Tangan kirinya menekan punggung bawah yang terasa ngilu. Perutnya yang besar hampir menyeret langkahnya, tetapi ia terus mencoba menyeimbangkan diri.

Layar ponsel di tangannya kembali redup. Sudah lebih dari sejam ia mencoba menghubungi Jaka Daud, suaminya. Tetapi, hanya nada sambung yang menjawab.

Di luar, langit semakin gelap, dan rumah itu terasa kian sepi. Ayu menatap ke bawah, matanya membulat saat melihat darah merembes di antara pahanya. Dingin menyergap tengkuknya. Tapi tidak ada kontraksi.

Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang semakin pendek. Ada sesuatu yang tidak beres.

Ayu menggigit bibir, menelan rasa takut yang menekan tenggorokannya. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengambil keputusan.

"Aku harus ke rumah Mama mertua sekarang."

Tekad Ayu sudah bulat. Sambil memikirkan ibu mertuanya, ia mengusap perutnya yang tegang.

"Semoga saja Mama mau menolong aku ...."

Ayu berusaha tetap tenang agar janinnya juga ikut tenang.

Begitu pintu terbuka, kilat membelah langit. Sedetik kemudian, suara petir menggelegar mengguncang malam. Hujan turun tanpa aba-aba, menghantam tanah dengan deras.

Ayu kembali menggigit bibir, merapatkan jaketnya. Lalu, meraih payung.

Tak ada pilihan lain. Dengan langkah terseok, Ayu berjalan menembus dinginnya hujan. Tangan kanannya erat memegang pegangan payung. Sedangkan tangan kiri memegangi perutnya yang berat.

Setiap langkah terasa seperti ujian. Kaki telanjangnya yang hanya beralas sandal tipis mulai basah dan licin di trotoar.

Akhirnya, Ayu tiba di depan rumah mertuanya yang hanya berjarak tiga rumah saja dari rumahnya.

Ayu menatap pagar besi tinggi menjulang di hadapannya dengan napas tersengal. Ia meraih bel di sisi gerbang, menekannya beberapa kali. Tak lama, ada pergerakan di balik pagar.

Seorang satpam menyibak celah kecil, matanya mengawasi tajam sebelum akhirnya bersuara.

"Ada apa, Mbak Ayu?"

Suara satpam terdengar ragu, matanya mengamati Ayu yang basah kuyup di bawah hujan yang semakin deras.

Ayu merapatkan payungnya, air menetes dari ujung rambutnya yang lepek. "Tolong bukain pagarnya, Pak! Saya harus ketemu Mama Hayati."

Suara Ayu bergetar, entah karena hawa dingin atau putus asa.

Satpam tampak bimbang, tangannya mencengkeram kunci pagar di pinggangnya.

"Maaf, Mbak. Tadi Nyonya berpesan, tidak membuka pintu untuk siapa pun."

Ayu mencengkeram besi pagar yang dingin, matanya nanar. "Pak, saya mohon! Saya mungkin mau melahirkan. Saya tidak bisa menghubungi Mas Jaka."

Satpam menelan ludah. Wajahnya sekilas menunjukkan keraguan, tapi ia menggeleng cepat. "Maaf, Mbak. Saya tidak berani melanggar perintah Nyonya."

Napas Ayu tersengal, dadanya terasa sesak bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga kepedihan. Di tempat yang seharusnya bisa Ayu datangi untuk berlindung, ia justru ditinggalkan begitu saja.

Air matanya hampir luruh, tapi ia menahannya. "Pak, saya mohon! Bantu saya kali ini saja. Saya tidak punya uang sama sekali kalau harus pergi sendiri."

Hening.

Satpam menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas berat. Tangannya merogoh saku celana, menarik selembar uang ratusan ribu yang sudah agak lecek. Ia menyelipkannya melalui celah kecil di pagar.

"Maaf, Mbak. Saya tidak bisa bantu banyak. Mas Jaka juga tidak ada di rumah. Tapi ... mungkin ini cukup buat naik angkutan."

Ayu menatap uang itu. Tangannya gemetar saat menerimanya. Ini bukan hanya selembar uang, tapi bukti bahwa di tengah dinginnya dunia, masih ada sedikit kehangatan yang tersisa untuknya.

Air mata Ayu jatuh juga. "Terima kasih, Pak. Maaf ... saya ambil. Semoga kebaikan Bapak dibalas yang lebih besar."

Satpam mengangguk pelan, matanya menyiratkan simpati. "Aamiin. Semoga persalinan Mbak Ayu lancar."

Ayu menggenggam uang pemberian satpam dengan erat, seakan itu satu-satunya harapan yang ia punya saat ini. Ia menarik napas dalam, menelan isak yang hampir pecah.

"Iya, Pak. Saya pergi dulu."

Ayu melangkah menjauh dari rumah mertuanya dengan perasaan hancur. Udara malam yang dingin menembus kulitnya. Namun, itu bukan apa-apa dibandingkan nyeri yang menjalar di perut dan dadanya. Harapan yang tadi digenggam erat kini luruh bersama hujan.

Ayu sendirian.

Kakinya terus melangkah, melewati trotoar yang sepi. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya yang bergetar di aspal basah. Darah masih merembes di antara pahanya, terasa lengket di kulitnya yang dingin.

Perumahan elit di Pondok Indah ini seperti kota hantu—pagar-pagar tinggi menutupi kehidupan di baliknya. Tak ada suara manusia, hanya deru hujan dan gemuruh petir di kejauhan. Sesekali, mobil mewah melintas. Namun, tak ada satupun yang memperlambat laju atau sekadar melirik Ayu.

Ayu tak lagi berharap. Ia hanya berjalan, menghitung langkah di kepalanya agar tidak kehilangan fokus. Dua kilometer terasa begitu jauh, setiap gesekan kain di antara pahanya seperti bilah pisau yang menusuk.

Sampai akhirnya di ujung jalan, Ayu melihat papan nama tempat praktek bidan yang biasa dikunjunginya.

Dengan sisa tenaga, ia meraih bel.

"Assalamu’alaikum, Bu."

Suara Ayu serak, hampir tenggelam karena air hujan.

Gerbang terbuka sedikit, seorang asisten bidan muncul dengan wajah terkejut. "Ya Allah, Mbak! Hujan-hujan begini naik apa?"

Ayu menggigit bibirnya yang membiru, tubuhnya menggigil hebat. "Saya jalan, Kak."

Asisten bidan melangkah mendekat, matanya penuh tanya. "Memangnya tidak ada yang mengantar?"

Ayu hanya menggeleng. Tangannya meringkuk di depan dada, mencoba menahan gemetar.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul. Ia adalah bidan yang biasanya memeriksa Ayu. Matanya membelalak begitu melihat Ayu.

"Mbak Ayu, kok masih besar saja perutnya?" Suaranya terdengar tegang.

Ayu mencoba tersenyum tipis, tapi air mata lebih dulu meluncur di pipinya. "Belum ada kontraksi, Bu. Tapi, saya terus mengeluarkan darah."

Wajah bidan langsung berubah. "Astagfirullah, Mbak! Ini harusnya sudah dioperasi, loh! Bukannya saya sudah bilang waktu periksa kemarin?"

Bab terkait

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Dirujuk

    Ayu menunduk. "Maaf, Bu. Saya tidak ada biaya untuk melahirkan Caesar. Bisa normal saja, Bu?" Bidan menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Ayu yang dingin. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. "Mbak, ini berbahaya. Sekarang saja tidak ada kontraksi, bagaimana mau lahiran normal? Ayo, saya periksa dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul Ayu masuk ke dalam. Hujan masih deras di luar, tetapi untuk pertama kalinya malam ini, Ayu merasakan sedikit kehangatan. Ayu berbaring di atas ranjang pasien, napasnya tersengal saat asisten bidan membantunya menekuk kaki. Hujan masih terdengar samar di luar, namun dinginnya kini berganti dengan ketegangan yang menggigit. Bidan menarik sarung tangan medis, lalu dengan hati-hati memasukkan jarinya ke liang kemaluan Ayu. Wajahnya mengeras. Hanya cukup satu jari. Tidak ada pembukaan. Bidan menarik tangannya keluar, melepas sarung tangan dengan gerakan cepat. "Mbak, ini tidak ada pembukaan sama sekali, tapi Mbak sudah pendarahan. H

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Meja Operasi

    "Itu urusanmu!" Hayati memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan seolah tak peduli. "Lagian, kenapa kamu miskin? Sudah, cepat tanda tangani ini!" Hayati melempar selembar kertas bermaterai ke atas perut Ayu. Dengan tangan gemetar, Ayu mengambilnya. Matanya bergerak cepat membaca isi dokumen. Dadanya seketika terasa sesak. "I—ini?" Dalam surat itu tertulis bahwa semua biaya rumah sakit akan dianggap sebagai utang piutang oleh Ibu mertuanya. Tidak hanya itu, Ayu juga tak boleh menuntut apapun dari Jaka. Bahkan, jika suatu hari Jaka berniat menikah lagi. Air mata Ayu terjatuh. Ia menatap Hayati dengan mata membulat, hatinya mencelos. "Apa maksud surat ini, Ma?" Hayati menatapnya dingin. "Sudah, tanda tangani saja! Kamu masih ingin hidup, kan?" Hayati terus berbicara, "Kalau kamu nggak mau tanda tangan, aku juga nggak akan tanda tangan dokumen rumah sakit." Ayu terisak, kepalanya berputar dalam ketakutan. Ini benar-benar tidak adil! Ayu tahu, dirinya sedang ditipu. Ta

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Ketegangan

    "Merasakan apa, Bu?" Gerakan di ruang operasi terhenti seketika. Dokter anestesi menoleh. Suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit ketegangan di balik nadanya.Ayu menelan ludah. "Dingin, Dok. Saya masih bisa merasakannya," katanya tergagap, napasnya mulai tersengal."Apakah sakit?" dokter anestesi kembali mencubit pahanya.Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Dok. Tapi saya bisa merasakannya. Saya tahu, ada sesuatu menyentuh kulit saya!"Dokter kandungan berpaling. "Kalau begitu, coba angkat kaki Ibu!" perintahnya. Matanya mengamati Ayu dengan cermat.Ayu mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha menggerakkan kakinya. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia tetap kaku. Napasnya menjadi semakin berat."Enggak bisa, Dok," suaranya gemetar. "Tapi saya sesak, Dok. Enggak bisa napas."Panik mulai menyelimuti dirinya. Tangannya mencengkeram kain operasi lebih erat, tubuhnya bergetar hebat. Ayu mulai menangis. "Mbak, nggak perlu takut! Operasinya nggak lama kok," suara bidan Terbit terdengar lembut, tapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Bayi Malang

    Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara."Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.Tetap sunyi.Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.Setiap dorongan adalah perjuangan.Setiap dorongan adalah doa.Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.Detik-detik berlalu seperti selamanya.Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.Tangisan.Namun, keheningan masih menggantung di udara."Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ket

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Kesendirian

    Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya."Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.Baim m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Terabaikan

    Seorang perawat yang tengah memeriksa pasien lain segera berbalik, lalu bergegas ke sisi Ayu. Dengan cekatan, ia melepas corong oksigen dan memiringkan tubuh Ayu ke samping.Sesaat kemudian, cairan muntahan keluar dari mulut Ayu. Perawat menepuk punggungnya perlahan, memastikan semuanya keluar dengan lancar.Ayu terengah-engah, tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih lemah dari sebelumnya.Perawat meraih tisu, menyeka sisa cairan di sudut bibir Ayu, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan."Keluarganya di mana, Bu?" tanyanya, suaranya lembut, tapi ada nada heran di dalamnya.Ayu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar muntah—kenyataan bahwa ia benar-benar sendirian."Enggak ada," jawab Ayu lirih."Suami?" tanya perawat, suaranya lembut tapi menusuk.Ayu menggeleng pelan. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Terabaikan

    Seorang perawat yang tengah memeriksa pasien lain segera berbalik, lalu bergegas ke sisi Ayu. Dengan cekatan, ia melepas corong oksigen dan memiringkan tubuh Ayu ke samping.Sesaat kemudian, cairan muntahan keluar dari mulut Ayu. Perawat menepuk punggungnya perlahan, memastikan semuanya keluar dengan lancar.Ayu terengah-engah, tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih lemah dari sebelumnya.Perawat meraih tisu, menyeka sisa cairan di sudut bibir Ayu, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan."Keluarganya di mana, Bu?" tanyanya, suaranya lembut, tapi ada nada heran di dalamnya.Ayu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar muntah—kenyataan bahwa ia benar-benar sendirian."Enggak ada," jawab Ayu lirih."Suami?" tanya perawat, suaranya lembut tapi menusuk.Ayu menggeleng pelan. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Kesendirian

    Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya."Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.Baim m

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Bayi Malang

    Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara."Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.Tetap sunyi.Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.Setiap dorongan adalah perjuangan.Setiap dorongan adalah doa.Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.Detik-detik berlalu seperti selamanya.Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.Tangisan.Namun, keheningan masih menggantung di udara."Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ket

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Ketegangan

    "Merasakan apa, Bu?" Gerakan di ruang operasi terhenti seketika. Dokter anestesi menoleh. Suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit ketegangan di balik nadanya.Ayu menelan ludah. "Dingin, Dok. Saya masih bisa merasakannya," katanya tergagap, napasnya mulai tersengal."Apakah sakit?" dokter anestesi kembali mencubit pahanya.Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Dok. Tapi saya bisa merasakannya. Saya tahu, ada sesuatu menyentuh kulit saya!"Dokter kandungan berpaling. "Kalau begitu, coba angkat kaki Ibu!" perintahnya. Matanya mengamati Ayu dengan cermat.Ayu mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha menggerakkan kakinya. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia tetap kaku. Napasnya menjadi semakin berat."Enggak bisa, Dok," suaranya gemetar. "Tapi saya sesak, Dok. Enggak bisa napas."Panik mulai menyelimuti dirinya. Tangannya mencengkeram kain operasi lebih erat, tubuhnya bergetar hebat. Ayu mulai menangis. "Mbak, nggak perlu takut! Operasinya nggak lama kok," suara bidan Terbit terdengar lembut, tapi

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Meja Operasi

    "Itu urusanmu!" Hayati memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan seolah tak peduli. "Lagian, kenapa kamu miskin? Sudah, cepat tanda tangani ini!" Hayati melempar selembar kertas bermaterai ke atas perut Ayu. Dengan tangan gemetar, Ayu mengambilnya. Matanya bergerak cepat membaca isi dokumen. Dadanya seketika terasa sesak. "I—ini?" Dalam surat itu tertulis bahwa semua biaya rumah sakit akan dianggap sebagai utang piutang oleh Ibu mertuanya. Tidak hanya itu, Ayu juga tak boleh menuntut apapun dari Jaka. Bahkan, jika suatu hari Jaka berniat menikah lagi. Air mata Ayu terjatuh. Ia menatap Hayati dengan mata membulat, hatinya mencelos. "Apa maksud surat ini, Ma?" Hayati menatapnya dingin. "Sudah, tanda tangani saja! Kamu masih ingin hidup, kan?" Hayati terus berbicara, "Kalau kamu nggak mau tanda tangan, aku juga nggak akan tanda tangan dokumen rumah sakit." Ayu terisak, kepalanya berputar dalam ketakutan. Ini benar-benar tidak adil! Ayu tahu, dirinya sedang ditipu. Ta

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Dirujuk

    Ayu menunduk. "Maaf, Bu. Saya tidak ada biaya untuk melahirkan Caesar. Bisa normal saja, Bu?" Bidan menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Ayu yang dingin. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. "Mbak, ini berbahaya. Sekarang saja tidak ada kontraksi, bagaimana mau lahiran normal? Ayo, saya periksa dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul Ayu masuk ke dalam. Hujan masih deras di luar, tetapi untuk pertama kalinya malam ini, Ayu merasakan sedikit kehangatan. Ayu berbaring di atas ranjang pasien, napasnya tersengal saat asisten bidan membantunya menekuk kaki. Hujan masih terdengar samar di luar, namun dinginnya kini berganti dengan ketegangan yang menggigit. Bidan menarik sarung tangan medis, lalu dengan hati-hati memasukkan jarinya ke liang kemaluan Ayu. Wajahnya mengeras. Hanya cukup satu jari. Tidak ada pembukaan. Bidan menarik tangannya keluar, melepas sarung tangan dengan gerakan cepat. "Mbak, ini tidak ada pembukaan sama sekali, tapi Mbak sudah pendarahan. H

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Pendarahan

    "Ya Allah, Mas! Tolong angkat teleponnya ...." Suara Ayu Lestari lirih, nyaris putus asa. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil besar. Ayu berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang temaram. Tangan kirinya menekan punggung bawah yang terasa ngilu. Perutnya yang besar hampir menyeret langkahnya, tetapi ia terus mencoba menyeimbangkan diri. Layar ponsel di tangannya kembali redup. Sudah lebih dari sejam ia mencoba menghubungi Jaka Daud, suaminya. Tetapi, hanya nada sambung yang menjawab. Di luar, langit semakin gelap, dan rumah itu terasa kian sepi. Ayu menatap ke bawah, matanya membulat saat melihat darah merembes di antara pahanya. Dingin menyergap tengkuknya. Tapi tidak ada kontraksi. Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang semakin pendek. Ada sesuatu yang tidak beres. Ayu menggigit bibir, menelan rasa takut yang menekan tenggorokannya. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengambil keputusan. "Aku harus ke rumah Mama mertua sekarang." Tekad Ayu sudah bula

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status