"Astagfirullah, Ma... Bayi ini kan anak Mas Jaka juga," suara Ayu gemetar, tapi ia mencoba bertahan. Ayu terkesiap dengan tingkah Hayati. Matanya membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Alahh... Cuma anak perempuan. Sama sekali gak guna!" cibiran Hayati jatuh begitu saja, seakan bayi itu hanyalah benda tak berharga. Ayu merasakan kemarahan yang asing merayap di dadanya. Ia menatap Hayati dengan tatapan terluka sekaligus marah. Jaka menghela napas, wajahnya menegang. "Tapi dia tetap anakku, Ma." "Ooww... Berani bantah kamu sekarang? Mau sok-sok an bela tukang sayur ini?" Nada sinis itu memukul lebih keras daripada tamparan. Jaka menelan ludah, tampak ragu. "N-ngak, Ma. Bukan begitu maksud aku." Hayati mendengus, lalu berbalik ke arah pintu. "Sudahlah… Gerah Mama di ruangan ini. Ayo keluar! Mama kasih kamu waktu lima menit!" "Iya, Ma..." Jaka menunduk, suaranya hampir tak terdengar. Hayati melenggang keluar, bahkan tanpa menoleh sedikit pun ke arah bayi
Ayu terkejut. "Kenapa, Mas?" Jaka menatapnya serius. "Aku nggak mau dia pakai nama belakang keluargaku." "Kenapa?" Jaka mengalihkan pandangan. Wajahnya mengeras. "Aku nggak mau nasibnya seperti aku." Ayu terdiam, mencoba memahami maksud kata-kata itu. Jaka kembali menatap bayinya, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut. "Bintang Kejora. Ia mempunyai mata yang bersinar indah seperti dirimu. Bagaimana menurutmu, Yu?" Ayu tersenyum seraya mengangguk pelan. "Baiklah, Mas…" Keheningan mengisi ruangan sejenak, sebelum Jaka akhirnya berkata dengan suara yang lebih lirih. "Ayu, aku banyak salah sama kamu. Aku harap kamu memaafkanku. Mungkin… karena selama ini aku nggak pernah memperhatikan kehamilanmu, itu sebabnya bayi ini mengidap kelainan." Ayu menatapnya dalam, lalu menggenggam lengannya. "Mas, menyesal nggak guna sama sekali. Sekarang, bantulah aku mencari biaya untuk operasi anak ini, Mas." Jaka mengangguk pelan namun tegas, meski sorot matanya tampak ragu. "Tapi, apa yang ha
"Halo, Mas Baim?"Baim refleks berdiri dari kursinya, langkahnya gelisah. Ia melambaikan tangan ke arah Pak Yoga, memberi isyarat agar pria itu pergi. Setelah memastikan dirinya sendirian, ia kembali menempelkan ponsel ke telinga."Laura, bagaimana kabarmu?""Aku—aku tidak baik-baik saja, Mas." Suara Laura terdengar patah. "Bagaimana dengan anak kita? Bagaimana keadaannya?"Baim menutup matanya sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya berat. "Buruk, Laura! Mereka butuh kamu. Tidak bisakah kamu pulang?""Mas, aku ingin pulang. Aku—"Tut... Tut...Nada putus itu menggema di telinganya."Laura... Halo? Laura?"Baim menatap layar, panggilan terputus. Jemarinya mengepal erat ponsel, rahangnya mengatup.Bayangan masa lalu menyeruak. Wajah Laura, senyumnya saat menggendong bayi mereka untuk pertama kali—lalu, hilang begitu saja. Tanpa kabar. Tanpa pesan. Ponselnya tak pernah bisa dihubungi. Hingga beberapa waktu lalu, sebuah pesan datang."Aku di Jerman." Itu saja. Setelah itu,
"Mas Jaka, kamu di mana Mas? Aku sendirian di sini. Aku mohon angkat telponnya sekali saja Mas..." gumam Ayu sembari terisak.Namun, layar ponselnya hanya menampilkan satu hal—panggilan tidak terjawab.Ayu menurunkan tangannya perlahan. Matanya menatap kosong ke koridor rumah sakit yang lengang. Tak ada satu pun yang datang menjemputnya. Tak ada satu pun yang menanyakan keadaannya.Keluar dari rumah sakit, ia berdiri di bawah langit yang terik. Panas menyengat kepalanya, tubuhnya terasa limbung. Bekas jahitan di perutnya masih berdenyut, tapi ia mengabaikannya.Yang lebih mengganggunya adalah pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. " Ya Allah... Aku harus bagaimana? Bagaimana aku bisa pulang?"Air matanya terus mengalir di pipi. Tiba-tiba, jari-jarinya yang merogoh saku merasakan sesuatu. Selembar uang kertas.Ayu menariknya keluar—seratus ribu rupiah.Sejenak, matanya terpaku pada lembaran lusuh itu. Ingatan berkelebat, mengantarnya kembali ke depan rumah Hayati, saat seorang
"Aku telpon kamu berulang kali, Mas. Kenapa gak diangkat?""Gak sopan banget kamu ya! Baru datang bukannya mengucapkan salam pada kami," hardik Hayati."Maaf, Ma. Tapi bisakah kalian sedikit saja menganggapku? Aku baru saja habis dioperasi. Setidaknya, biarkan Mas Jaka menjemputku ke rumah sakit."Ayu sedikit memberontak, meski air matanya tak dapat dibendung lagi."Alah... Gak usah lebai deh kamu. Cuma operasi lahiran juga. Drama banget. Jadi maunya kamu diperlakukan kayak ratu begitu?" sanggah Rani."Kak, meski aku cuma lahiran, tapi itu penuh perjuangan. Aku berusaha keras untuk sampai di rumah sakit agar bayi itu terlahir dengan selamat. Tapi di mana kalian semua? Adakah sedikit saja rasa simpati?"Rani yang merasa kesal, bangkit dari kursinya lalu mendekati Ayu. Ia menjambak rambutnya dengan keras. Matanya melotot penuh amarah.Ayu tersentak saat rasa sakit menjalar dari kulit kepalanya. Rambut
Rani semakin penuh amarah. Matanya memerah. Ia kembali meraih rambut Ayu dengan kasar. "Masih berani bicara kau ya..."Namun dengan cepat, Narendra menarik tangannya. "Sayang... Sudahlah. Nanti kalau dia terluka, kamu bisa kena masalah."Seketika, Rani menghentikan aksinya. Meski dalam hatinya masih tersimpan kemarahan yang begitu besar.Ruangan yang tadinya penuh dengan ketegangan kini perlahan senyap. Hanya suara napas tertahan yang terdengar di antara mereka.Ayu masih terduduk di lantai, tangannya mencengkeram perutnya, menahan nyeri yang semakin menjadi. Matanya terus menatap Jaka, berharap ada sedikit keberanian dalam dirinya untuk berpihak kepadanya."Mas..." suaranya bergetar. "Anak kita sedang butuh kita sekarang. Dia sedang berjuang untuk bisa hidup lebih lama. Tidakkah kamu kasihan padanya, Mas?"Jaka mengepalkan tangannya, tubuhnya menegang, tapi tetap tak bergerak.Ketidakmampuannya melawan Hayati dan keluarganya membuatn
Maharani menghampiri Ayu dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. Ia mencondongkan badan, lalu menunjuk dan mendorong dahi Ayu dengan keras."Gara-gara kamu! Makan siang ini jadi berantakan!"Ayu terjungkal tanpa perlawanan. Lalu dengan satu dengusan, Rani pun melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang kini terasa lebih dingin.Narendra masih berdiri di tempatnya. Tatapannya tak lepas dari Ayu yang masih bersimpuh di lantai. Dengan satu tangan, ia mengulurkan bantuan.Ayu menatapnya ragu, matanya mencari kepastian di wajah pria itu. "Apa maksud Mas Rendra? Kenapa dia tiba-tiba bersikap baik?" batinnya."Ayo bangun," kata Narendra ringan. "Tanganku pegel nih..."Perlahan, Ayu menggapai tangannya. Telapak tangan Narendra terasa hangat, kontras dengan dinginnya ruangan yang menyesakkan.Dengan sedikit tarikan, ia berdiri.
Ayu meraba pipinya yang panas dan perih. Tangannya gemetar, hatinya semakin remuk. "Aku gak ngapa-ngapain, Kak. Kak Rani salah paham.""Kamu masih berani mengelak?" Maharani mengangkat tangannya lagi, siap memberikan tamparan kedua.Tapi kali ini, Narendra bertindak cepat. Ia menangkap tangan istrinya sebelum sempat mendarat di wajah Ayu. "Sudah, sayang, sudah. Gak ada gunanya meladeni dia."Maharani menatap Narendra dengan penuh emosi, masih marah, tapi juga menunggu kelanjutannya.Narendra tersenyum tipis, suaranya berubah lebih lembut. "Ayo kita pergi saja! Aku akan temani kamu shopping, oke?"Mata Maharani seketika berbinar. Seolah emosinya langsung menguap begitu saja. "Benarkah, Mas?""Tentu. Kamu mau tas Chanel terbaru itu, kan?"Maharani langsung berubah sumringah. "Iya! Aku mau!"Nar
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya
"Kok kamu kaget gitu sih, Mas?" Laura menyipitkan mata. Seolah mencium sesuatu yang tak wajar dari suaminya."Aku cuma kaget aja. Lihat kamu tidur di sebelahku.""Jadi seharusnya bukan aku? Kamu berharap Ayu yang tidur di sini?"Baim terdiam. Bibirnya terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari lubang di lantai tempat ia bisa menghilang."Nggak... Bukan begitu."Laura mendengus pelan. "Apa jangan-jangan... Ayu yang tidur di sini semalam, Mas?"Mata Baim terbelalak. Ia berusaha keras mencari jawaban yang tepat."Kok kamu bisa mikir begitu? Memangnya semalam kamu nggak di kamar ini? Kamu tidur di mana?"Laura menoleh spontan. Senyumnya tipis—ada getir yang nyaris tak bisa disembunyikan di sana. Tatapannya menari gelisah di mata Baim, lalu berpindah ke bibir, ke dagu, dan kembali lagi. Jemarinya meremas ujung selimut, seolah ingin menyembunyikan sesuatu di balik tenang wajahnya.
"Bu Laura baru datang? Syukurlah... berarti dia nggak lihat aku sama Mas Baim semalam.""Leon... aku punya keluarga di sini. Tentu saja aku harus pulang," bisik Laura sambil berjalan perlahan.Suara itu membuat dahi Ayu berkerut. Wajah Laura yang sebelumnya tampak acuh, kini terlihat gelisah."Leon lagi? Sebenarnya, apa hubungan Bu Laura dengan Leon itu?" gumam Ayu."Aku datang ke Indonesia cuma buat kamu. Apa kamu nggak hargai itu?" Suara Leon kembali terdengar.Laura mendengus pelan, menahan suara. "Oke, oke... nanti aku balik lagi ke sana.""Nah... gitu dong. Kali ini, kamu mau gaya apa?"Langkah Laura melambat. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Leon... aku masih sakit gara-gara semalam. Kamu cambuk aku terlalu keras. Sekarang badanku remuk semua.""Ayolah, Laura... kamu kan suka itu. Tapi oke, kali ini kita 'vanilla' aja. Gak ada cambuk, gak ada ikat. Cuma kamu dan aku... seperti orang jatuh cinta."
"Saya nggak ngapa-ngapain kok, Mbak," jawab Ayu spontan, suaranya terdengar panik.Fatma dan Sari saling pandang."Nggak ngapa-ngapain gimana maksudnya?"Ayu salah tingkah. Perkataannya sendiri seolah menjebaknya."Ya maksudnya... saya cuma tidur sama si kembar. Terus, pas main, mereka... ngacak-ngacak rambut saya. Iya, gitu aja, Mbak.""Padahal kami pikir kamu nggak bisa tidur karena sibuk jagain mereka berdua. Eh, ternyata kamu nyenyak tidur?" kata Sari, sedikit menggoda.Ayu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Iya. Nyenyak, kok, Mbak.""Oh... syukurlah kalau begitu. Soalnya biasanya kamu selalu tampil rapi dan cantik," jelas Sari."Iya, aku sampai mikir kamu punya aura alami gitu, lho," timpal Fatma sambil tersenyum kecil. "Tapi hari ini... kamu kelihatan capek banget. Udah, deh, besok-besok jangan ajak si kembar tidur di sini lagi. Kamu juga butuh istirahat."Ayu tertawa—cepat dan singkat.
"Nggak ada orang lewat, kan?" bisik Ayu, memastikan situasi benar-benar aman.Pandangan matanya menyapu lorong panjang. Saat merasa cukup yakin, ia menyelinap keluar, menutup pintu di belakangnya sepelan mungkin.Ayu berlari kecil, berjinjit di atas lantai dingin. Napasnya terengah, pendek-pendek. Ia berdoa dalam hati, berharap tak seorang pun memergokinya keluar dari kamar Baim.Setibanya di kamarnya, Ayu menutup pintu dengan cepat. Tubuhnya langsung bersandar di daun pintu. Bahunya naik-turun menahan napas yang tercekat. Jantungnya masih berdetak kencang, seolah baru saja lolos dari kejaran binatang buas."Apa yang sudah kamu lakukan, Ayu? Ya Allah..."Matanya terpejam. Ia mencoba mencerna kesalahan yang baru saja terjadi—lalu menenangkan dirinya sendiri. Berharap bayangan semalam segera sirna dari pelupuk mata.Pandangannya beralih ke ranjang. Dua bayi mungil terbaring di sana, kaki-kaki kecil mereka menendang-nendang selimut,
"Apa kamu minta maaf karena kita bersentuhan?" tanya Baim, dingin.Ia terus menatap Ayu—mata itu dalam, teduh, dan kali ini tak lagi sanggup menyembunyikan perasaan yang selama ini terikat rapat.Ayu menundukkan pandangannya, tapi tubuhnya tetap diam."I-iya... Saya nggak bermaksud lancang sama Mas Baim."Lalu perlahan, dalam diam yang tak diundang, Baim melangkah mendekat. Geraknya kecil, tapi pasti. Ayu bisa merasakan panas tubuhnya kian mendekat."Baru sebulan keadaan memisahkan kita. Sekarang, apa kita kembali menjadi orang asing?"Spontan, Ayu menegakkan pandangannya. Ia menelan ludah. Matanya mulai basah, bibirnya bergetar. Tapi tak satu kata pun berhasil keluar.Mereka saling menatap—dalam diam yang mampu menjelaskan segalanya.Dan tanpa banyak kata, Baim menarik Ayu ke dalam pelukannya.Seketika, dunia di dalam lift mengecil. Yang tersisa hanyalah napas yang menyatu dan detak jantung yang terlal
"Malam, Pak Baim," sapa para karyawan hampir bersamaan.Di ruang TV, mereka sedang duduk, berselonjor santai di karpet sambil menikmati tayangan ringan."Malam," jawab Baim singkat, lalu menoleh ke arah Fatma yang duduk di ujung sofa. "Laura sudah pulang?"Fatma menggeleng pelan. "Belum, Pak."Baim melirik jam dinding yang berdetak pelan di ruang tengah, menandai pukul sembilan malam lewat sepuluh menit.Sekilas raut kecewa terlintas di wajahnya, tapi ia menyembunyikan itu dengan anggukannya yang tenang."Si kembar sudah tidur?"Sari, yang baru muncul dari dapur, menjawab sambil menyeka tangannya dengan serbet. "Tidur di kamar Ayu, Pak. Tadi Ayu minta... katanya cuma malam ini."Baim tidak berkata apa-apa. Tapi senyum kecil sempat muncul, nyaris tak terlihat. "Baiklah. Nikmati waktu santai kalian."Ia melangkah naik ke lantai dua. Rumah terasa semakin sunyi saat suara langkahnya menjauh dari ruang bawah