"Aku telpon kamu berulang kali, Mas. Kenapa gak diangkat?""Gak sopan banget kamu ya! Baru datang bukannya mengucapkan salam pada kami," hardik Hayati."Maaf, Ma. Tapi bisakah kalian sedikit saja menganggapku? Aku baru saja habis dioperasi. Setidaknya, biarkan Mas Jaka menjemputku ke rumah sakit."Ayu sedikit memberontak, meski air matanya tak dapat dibendung lagi."Alah... Gak usah lebai deh kamu. Cuma operasi lahiran juga. Drama banget. Jadi maunya kamu diperlakukan kayak ratu begitu?" sanggah Rani."Kak, meski aku cuma lahiran, tapi itu penuh perjuangan. Aku berusaha keras untuk sampai di rumah sakit agar bayi itu terlahir dengan selamat. Tapi di mana kalian semua? Adakah sedikit saja rasa simpati?"Rani yang merasa kesal, bangkit dari kursinya lalu mendekati Ayu. Ia menjambak rambutnya dengan keras. Matanya melotot penuh amarah.Ayu tersentak saat rasa sakit menjalar dari kulit kepalanya. Rambut
Rani semakin penuh amarah. Matanya memerah. Ia kembali meraih rambut Ayu dengan kasar. "Masih berani bicara kau ya..."Namun dengan cepat, Narendra menarik tangannya. "Sayang... Sudahlah. Nanti kalau dia terluka, kamu bisa kena masalah."Seketika, Rani menghentikan aksinya. Meski dalam hatinya masih tersimpan kemarahan yang begitu besar.Ruangan yang tadinya penuh dengan ketegangan kini perlahan senyap. Hanya suara napas tertahan yang terdengar di antara mereka.Ayu masih terduduk di lantai, tangannya mencengkeram perutnya, menahan nyeri yang semakin menjadi. Matanya terus menatap Jaka, berharap ada sedikit keberanian dalam dirinya untuk berpihak kepadanya."Mas..." suaranya bergetar. "Anak kita sedang butuh kita sekarang. Dia sedang berjuang untuk bisa hidup lebih lama. Tidakkah kamu kasihan padanya, Mas?"Jaka mengepalkan tangannya, tubuhnya menegang, tapi tetap tak bergerak.Ketidakmampuannya melawan Hayati dan keluarganya membuatn
Maharani menghampiri Ayu dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. Ia mencondongkan badan, lalu menunjuk dan mendorong dahi Ayu dengan keras."Gara-gara kamu! Makan siang ini jadi berantakan!"Ayu terjungkal tanpa perlawanan. Lalu dengan satu dengusan, Rani pun melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang kini terasa lebih dingin.Narendra masih berdiri di tempatnya. Tatapannya tak lepas dari Ayu yang masih bersimpuh di lantai. Dengan satu tangan, ia mengulurkan bantuan.Ayu menatapnya ragu, matanya mencari kepastian di wajah pria itu. "Apa maksud Mas Rendra? Kenapa dia tiba-tiba bersikap baik?" batinnya."Ayo bangun," kata Narendra ringan. "Tanganku pegel nih..."Perlahan, Ayu menggapai tangannya. Telapak tangan Narendra terasa hangat, kontras dengan dinginnya ruangan yang menyesakkan.Dengan sedikit tarikan, ia berdiri.
Ayu meraba pipinya yang panas dan perih. Tangannya gemetar, hatinya semakin remuk. "Aku gak ngapa-ngapain, Kak. Kak Rani salah paham.""Kamu masih berani mengelak?" Maharani mengangkat tangannya lagi, siap memberikan tamparan kedua.Tapi kali ini, Narendra bertindak cepat. Ia menangkap tangan istrinya sebelum sempat mendarat di wajah Ayu. "Sudah, sayang, sudah. Gak ada gunanya meladeni dia."Maharani menatap Narendra dengan penuh emosi, masih marah, tapi juga menunggu kelanjutannya.Narendra tersenyum tipis, suaranya berubah lebih lembut. "Ayo kita pergi saja! Aku akan temani kamu shopping, oke?"Mata Maharani seketika berbinar. Seolah emosinya langsung menguap begitu saja. "Benarkah, Mas?""Tentu. Kamu mau tas Chanel terbaru itu, kan?"Maharani langsung berubah sumringah. "Iya! Aku mau!"Nar
Nirmala terlonjak, buru-buru bangkit dari kursinya. "I-iya Pak..."Tanpa menunggu lebih lama, ia membalikkan badan dan melangkah cepat ke luar, hampir tersandung kakinya sendiri saat menyeberangi ambang pintu."Bisa-bisanya dia tidak menyusui anaknya sendiri. Wanita macam apa itu!" teriak Baim. Suaranya menggema di ruangannya yang luas.Begitu pintu tertutup, Baim menghela napas panjang, lalu meraih telepon dan menekan nomor ekstensi Yoga dengan gerakan cepat."Pak… cepat panggil wanita selanjutnya!" suaranya terdengar lebih tajam dari sebelumnya.Di ujung sana, Yoga sempat terdiam sejenak sebelum menjawab, "B-baik, Pak."Ia segera bangkit dari mejanya, menata napas yang sedikit berantakan. "Apa yang baru saja terjadi di dalam sana?" batin Yoga.Sementara itu jauh di luar sana, Ayu berusaha keluar dari rumah Hayati den
Kemampuan tubuh Ayu terbatas. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, kakinya mulai gemetar. Setiap langkah di kakinya, terasa seperti menapaki bara api."Ya Allah... kuatkan aku," gumamnya.Ia tidak tahu berapa lama lagi bisa bertahan. Satu hal yang pasti—ia harus sampai ke rumah sakit sebelum tubuhnya menyerah.Ayu melangkah lagi setelah sempat berhenti sejenak. Nafasnya tersengal, bukan karena lelah, tapi karena hatinya yang masih dikepung kecemasan. Di depan pintu ruang perawatan bayi, ia menarik napas panjang sebelum masuk."Suster, saya mau menyusui Bintang," suaranya lirih, peluhnya masih menetes di pelipis.Perawat yang berjaga menoleh, lalu tersenyum lembut. "Baik, Bu Ayu. Silakan bersihkan diri dulu, ya. Pastikan juga payudara Ibu sudah bersih.""Baik, Sus..." Ayu bergegas ke toilet. Air dingin menyapu wajahnya, sedikit meredakan ketegangan di dadanya. Tangannya gemetar saat membasuh tubuh, pikirannya penuh dengan bayinya yan
Wanita itu mengangguk, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Iya, Pak.""Anak ke berapa?""Yang ke-enam, Pak."Mata Baim membelalak. "Apa? Enam?"Wanita itu tertawa kecil, seolah sudah terbiasa mendapat reaksi seperti ini. "Iya, Pak. Sekarang saya sedang menyusui anak kelima dan keenam sekaligus. Karena jarak kelahiran mereka dekat, kakaknya tetap menyusu meski sempat berhenti.""Apa jabatan Ibu di hotel ini?""Saya di bagian dapur, Pak. Mencuci piring dan membersihkan area dapur."Baim terdiam. Tubuhnya perlahan bersandar ke belakang, matanya menatap kosong ke langit-langit. Sejenak, ia tak tahu harus merespons bagaimana.Tanpa banyak bicara, tangannya kembali terulur ke telepon, menekan tombol ekstensi Yoga."Ke ruanganku, Pak Yoga!" suara Baim menggema, tegas dan tanpa keraguan.Tak butuh waktu lama, pintu kembali terbuka. Yoga melangkah masuk dengan ekspresi sedikit bingung. "Iya, Pak. Ada yang harus saya lakukan?
"Aduh... lututku," rintih Ayu memegang lututnya. Ia mengangkat wajah, napasnya tercekat sejenak.Ayu tersentak. Tadi pria itu masih berdiri di seberang ruangan, tapi kini ia sudah berjongkok tepat di hadapannya.Lelaki itu mengulurkan tangan, jemarinya besar namun gerakannya lembut. Sorot matanya tajam, tapi bukan menusuk—ada sesuatu yang menenangkan di sana. Ayu menelan ludah. Wajahnya bersih, rahangnya tegas, dan ada senyum samar yang hampir tak kentara di bibirnya. Setelan kasualnya tampak rapi, berkelas, seperti seseorang yang terbiasa berada di tempat-tempat eksklusif.Baim. Ayah si kembar yang baru saja disusui ayu."Apa Mbak baik-baik saja?" tanya Baim.Ayu tetap diam. Pikirannya berkelebat pada sosok lain—Narendra. Baru beberapa jam yang lalu, pria itu sekan-akan menawarkan bantuan. Tapi yang terjadi sesungguhnya, ia hanyalah ingin melecehkan Ayu
Laura menoleh cepat ke arah tangga. Matanya menyipit, napasnya tercekat. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur—seolah berharap langkah kaki itu bukan pertanda bencana."Awas aja kalau kamu berani bicara pada orang lain," ancamnya.Ayu terdiam. Wajahnya datar, matanya tak lepas dari arah tangga. Alisnya mengernyit, mencoba mengenali siapa yang akan muncul.Langkah pelan terdengar, dan sesaat kemudian, Sari muncul dari ujung tangga.Laura menarik napas tajam, lalu melempar tatapan dingin pada Ayu. "Ingat ya, jangan bicara macam-macam.""Bu Laura... Ayu. Ada apa?"Laura menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat sedikit. "Kamu juga. Kepo banget sama urusan orang. Udah sana!"Sari tersenyum masam. Matanya bergerak cepat dari Laura ke Ayu. "Maaf, Bu, kalau saya mengganggu. Ayu... Aku nanti balik lagi ya."Ayu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lebih seperti isyarat terima kasih yang tidak terdengar.
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya
"Kok kamu kaget gitu sih, Mas?" Laura menyipitkan mata. Seolah mencium sesuatu yang tak wajar dari suaminya."Aku cuma kaget aja. Lihat kamu tidur di sebelahku.""Jadi seharusnya bukan aku? Kamu berharap Ayu yang tidur di sini?"Baim terdiam. Bibirnya terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari lubang di lantai tempat ia bisa menghilang."Nggak... Bukan begitu."Laura mendengus pelan. "Apa jangan-jangan... Ayu yang tidur di sini semalam, Mas?"Mata Baim terbelalak. Ia berusaha keras mencari jawaban yang tepat."Kok kamu bisa mikir begitu? Memangnya semalam kamu nggak di kamar ini? Kamu tidur di mana?"Laura menoleh spontan. Senyumnya tipis—ada getir yang nyaris tak bisa disembunyikan di sana. Tatapannya menari gelisah di mata Baim, lalu berpindah ke bibir, ke dagu, dan kembali lagi. Jemarinya meremas ujung selimut, seolah ingin menyembunyikan sesuatu di balik tenang wajahnya.
"Bu Laura baru datang? Syukurlah... berarti dia nggak lihat aku sama Mas Baim semalam.""Leon... aku punya keluarga di sini. Tentu saja aku harus pulang," bisik Laura sambil berjalan perlahan.Suara itu membuat dahi Ayu berkerut. Wajah Laura yang sebelumnya tampak acuh, kini terlihat gelisah."Leon lagi? Sebenarnya, apa hubungan Bu Laura dengan Leon itu?" gumam Ayu."Aku datang ke Indonesia cuma buat kamu. Apa kamu nggak hargai itu?" Suara Leon kembali terdengar.Laura mendengus pelan, menahan suara. "Oke, oke... nanti aku balik lagi ke sana.""Nah... gitu dong. Kali ini, kamu mau gaya apa?"Langkah Laura melambat. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Leon... aku masih sakit gara-gara semalam. Kamu cambuk aku terlalu keras. Sekarang badanku remuk semua.""Ayolah, Laura... kamu kan suka itu. Tapi oke, kali ini kita 'vanilla' aja. Gak ada cambuk, gak ada ikat. Cuma kamu dan aku... seperti orang jatuh cinta."
"Saya nggak ngapa-ngapain kok, Mbak," jawab Ayu spontan, suaranya terdengar panik.Fatma dan Sari saling pandang."Nggak ngapa-ngapain gimana maksudnya?"Ayu salah tingkah. Perkataannya sendiri seolah menjebaknya."Ya maksudnya... saya cuma tidur sama si kembar. Terus, pas main, mereka... ngacak-ngacak rambut saya. Iya, gitu aja, Mbak.""Padahal kami pikir kamu nggak bisa tidur karena sibuk jagain mereka berdua. Eh, ternyata kamu nyenyak tidur?" kata Sari, sedikit menggoda.Ayu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Iya. Nyenyak, kok, Mbak.""Oh... syukurlah kalau begitu. Soalnya biasanya kamu selalu tampil rapi dan cantik," jelas Sari."Iya, aku sampai mikir kamu punya aura alami gitu, lho," timpal Fatma sambil tersenyum kecil. "Tapi hari ini... kamu kelihatan capek banget. Udah, deh, besok-besok jangan ajak si kembar tidur di sini lagi. Kamu juga butuh istirahat."Ayu tertawa—cepat dan singkat.
"Nggak ada orang lewat, kan?" bisik Ayu, memastikan situasi benar-benar aman.Pandangan matanya menyapu lorong panjang. Saat merasa cukup yakin, ia menyelinap keluar, menutup pintu di belakangnya sepelan mungkin.Ayu berlari kecil, berjinjit di atas lantai dingin. Napasnya terengah, pendek-pendek. Ia berdoa dalam hati, berharap tak seorang pun memergokinya keluar dari kamar Baim.Setibanya di kamarnya, Ayu menutup pintu dengan cepat. Tubuhnya langsung bersandar di daun pintu. Bahunya naik-turun menahan napas yang tercekat. Jantungnya masih berdetak kencang, seolah baru saja lolos dari kejaran binatang buas."Apa yang sudah kamu lakukan, Ayu? Ya Allah..."Matanya terpejam. Ia mencoba mencerna kesalahan yang baru saja terjadi—lalu menenangkan dirinya sendiri. Berharap bayangan semalam segera sirna dari pelupuk mata.Pandangannya beralih ke ranjang. Dua bayi mungil terbaring di sana, kaki-kaki kecil mereka menendang-nendang selimut,
"Apa kamu minta maaf karena kita bersentuhan?" tanya Baim, dingin.Ia terus menatap Ayu—mata itu dalam, teduh, dan kali ini tak lagi sanggup menyembunyikan perasaan yang selama ini terikat rapat.Ayu menundukkan pandangannya, tapi tubuhnya tetap diam."I-iya... Saya nggak bermaksud lancang sama Mas Baim."Lalu perlahan, dalam diam yang tak diundang, Baim melangkah mendekat. Geraknya kecil, tapi pasti. Ayu bisa merasakan panas tubuhnya kian mendekat."Baru sebulan keadaan memisahkan kita. Sekarang, apa kita kembali menjadi orang asing?"Spontan, Ayu menegakkan pandangannya. Ia menelan ludah. Matanya mulai basah, bibirnya bergetar. Tapi tak satu kata pun berhasil keluar.Mereka saling menatap—dalam diam yang mampu menjelaskan segalanya.Dan tanpa banyak kata, Baim menarik Ayu ke dalam pelukannya.Seketika, dunia di dalam lift mengecil. Yang tersisa hanyalah napas yang menyatu dan detak jantung yang terlal