Ayu menunduk. "Maaf, Bu. Saya tidak ada biaya untuk melahirkan Caesar. Bisa normal saja, Bu?"
Bidan menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Ayu yang dingin. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. "Mbak, ini berbahaya. Sekarang saja tidak ada kontraksi, bagaimana mau lahiran normal? Ayo, saya periksa dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul Ayu masuk ke dalam. Hujan masih deras di luar, tetapi untuk pertama kalinya malam ini, Ayu merasakan sedikit kehangatan. Ayu berbaring di atas ranjang pasien, napasnya tersengal saat asisten bidan membantunya menekuk kaki. Hujan masih terdengar samar di luar, namun dinginnya kini berganti dengan ketegangan yang menggigit. Bidan menarik sarung tangan medis, lalu dengan hati-hati memasukkan jarinya ke liang kemaluan Ayu. Wajahnya mengeras. Hanya cukup satu jari. Tidak ada pembukaan. Bidan menarik tangannya keluar, melepas sarung tangan dengan gerakan cepat. "Mbak, ini tidak ada pembukaan sama sekali, tapi Mbak sudah pendarahan. Harus dirujuk ke rumah sakit sekarang juga." Ayu mencengkeram seprai dengan gemetar. "Jangan, Bu! Saya mohon, jangan! Saya tidak ada biaya." Bidan menatapnya tajam, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Bisa-bisanya dalam keadaan begini kamu masih memikirkan biaya?" Suaranya meninggi, "Ini soal nyawa kamu dan bayi kamu! Cepat masukkan ke ambulans!" Asisten bidan langsung bergerak, sementara Ayu tetap membeku di tempatnya. Dada terasa sesak oleh ketakutan yang bercampur pasrah. Tangannya dingin saat mereka membantu memindahkannya ke brankar. Apakah memang tidak ada pilihan lain? Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi buruk. Lampu-lampu jalan tampak kabur di balik jendela ambulans, sementara suara sirene menggema di sepanjang jalan. Ayu memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi, bayangan kemungkinan terburuk terus menghantui. Setibanya di rumah sakit, Ayu segera ditangani. Beberapa perawat bergerak cepat, memasangkan infus dan mengecek tekanan darahnya. Berkas rujukan dari bidan mempercepat prosesnya. Ayu akan langsung dibawa ke meja operasi sekarang juga! Namun sebelum mereka sempat mendorong ranjangnya menuju ruang operasi, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Sosok perempuan berbalut jas mewah melangkah masuk. Ia adalah Hayati. "Dasar wanita kampung!" suaranya menusuk, penuh amarah. "Berani-beraninya kamu memberikan nomorku ke pihak rumah sakit!" Ayu tersentak, tubuhnya yang lemah semakin terasa berat. Ia ingin bicara, tapi tenggorokannya terasa kering. "Maaf, Bu. Itu saya yang menelpon." Suara tegas bidan Terbit memecah ketegangan. Hayati menoleh, ekspresinya berubah dalam sekejap. "Ohh, maaf, Bu Bidan." Demi menjaga reputasinya, suara Hayati mendadak lebih lembut, seolah kemarahan tadi tak pernah ada. "Saya hanya khawatir pada menantu saya." Bidan Terbit menyilangkan tangan di dada. "Mbak Ayu ini sebelumnya sudah saya sarankan untuk operasi, Bu. Kenapa masih bertahan sampai sekarang?" Hayati mendesah dramatis, lalu tersenyum kecil. "Ohh soal itu, biasalah. Dia kan orang kampung." Matanya Hayati melirik Ayu dengan pandangan merendahkan. "Dia pasti takut dengan alat-alat rumah sakit, makanya nggak mau operasi. Padahal saya sudah memaksa dia segera ke rumah sakit." Ayu hanya bisa terdiam. Dada terasa sesak. Bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena ketidakadilan yang harus ia telan. Bahkan di saat seperti ini, ia masih harus mendengar kebohongan ibu mertuanya. Ayu menatap Hayati dengan rahang mengatup rapat. Meskipun marah, tetapi ia tak punya tenaga untuk meluapkannya. Sebelumnya, berkali-kali Ayu meminta tolong agar dibuatkan BPJS, tapi permohonannya hanya berakhir di udara. Bahkan, Jaka tidak memberikan kartu asuransi padanya. Sejak menikah, hidupnya seperti bayangan di keluarga mertuanya. Ayu tak pernah dinafkahi. Semua kebutuhan harus ia cukupi sendiri. Sehari-hari, Ayu berjualan di pasar pagi yang hasilnya hanya cukup untuk makan dan sesekali periksa ke bidan. Rumah sakit? Itu hanya mimpi bagi orang miskin seperti Ayu. Hayati menarik napas, memasang ekspresi lembut yang tak bertahan lama. "Kalau begitu, saya mau bicara berdua dengan menantu saya. Kasihan, dia pasti ketakutan." Bidan Terbit menyerahkan dokumen kepadanya. "Baik, Bu. Ini berkas yang harus ditandatangani agar tindakan operasi bisa segera dilakukan." Setelah bidan pergi, Hayati menatap serius lembaran itu. Wajahnya menegang. Dengan cepat, ia menghampiri Ayu dan mencubit lengannya keras. Hayati memelototi Ayu. "Dasar anak kampung! Kamu tahu tidak, berapa banyak biaya operasi yang harus aku keluarkan?" Suara Hayati tegas, menyayat lebih dalam dari sakit di tubuh Ayu. "Ini tidak murah! Manja sekali kamu, bisanya cuma merepotkan!" Ayu menggigit bibirnya, menahan isak. Ia memegang lengannya yang membiru akibat cubitan Hayati. "Saya juga tidak mau dioperasi, Ma," bantah Ayu dengan suara parau. "Tapi dia tidak mau keluar sendiri.", Hayati mendengus. "Makanya jangan malas! Kamu nggak ada pembukaan karena kurang gerak. Aku sudah suruh kamu ngepel rumah, tapi selalu saja cari alasan!" Ayu menatapnya lemah. "Tapi saya harus berjualan kalau pagi." "Ya kenapa kamu jualan? Malu-maluin saja!" Ayu menggeleng, suaranya bergetar. "Kalau nggak jualan, saya makan apa, Ma? Mas Jaka saja nggak pernah ngasih saya nafkah.""Itu urusanmu!" Hayati memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan seolah tak peduli. "Lagian, kenapa kamu miskin? Sudah, cepat tanda tangani ini!" Hayati melempar selembar kertas bermaterai ke atas perut Ayu. Dengan tangan gemetar, Ayu mengambilnya. Matanya bergerak cepat membaca isi dokumen. Dadanya seketika terasa sesak. "I—ini?" Dalam surat itu tertulis bahwa semua biaya rumah sakit akan dianggap sebagai utang piutang oleh Ibu mertuanya. Tidak hanya itu, Ayu juga tak boleh menuntut apapun dari Jaka. Bahkan, jika suatu hari Jaka berniat menikah lagi. Air mata Ayu terjatuh. Ia menatap Hayati dengan mata membulat, hatinya mencelos. "Apa maksud surat ini, Ma?" Hayati menatapnya dingin. "Sudah, tanda tangani saja! Kamu masih ingin hidup, kan?" Hayati terus berbicara, "Kalau kamu nggak mau tanda tangan, aku juga nggak akan tanda tangan dokumen rumah sakit." Ayu terisak, kepalanya berputar dalam ketakutan. Ini benar-benar tidak adil! Ayu tahu, dirinya sedang ditipu. Ta
"Merasakan apa, Bu?" Gerakan di ruang operasi terhenti seketika. Dokter anestesi menoleh. Suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit ketegangan di balik nadanya.Ayu menelan ludah. "Dingin, Dok. Saya masih bisa merasakannya," katanya tergagap, napasnya mulai tersengal."Apakah sakit?" dokter anestesi kembali mencubit pahanya.Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Dok. Tapi saya bisa merasakannya. Saya tahu, ada sesuatu menyentuh kulit saya!"Dokter kandungan berpaling. "Kalau begitu, coba angkat kaki Ibu!" perintahnya. Matanya mengamati Ayu dengan cermat.Ayu mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha menggerakkan kakinya. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia tetap kaku. Napasnya menjadi semakin berat."Enggak bisa, Dok," suaranya gemetar. "Tapi saya sesak, Dok. Enggak bisa napas."Panik mulai menyelimuti dirinya. Tangannya mencengkeram kain operasi lebih erat, tubuhnya bergetar hebat. Ayu mulai menangis. "Mbak, nggak perlu takut! Operasinya nggak lama kok," suara bidan Terbit terdengar lembut, tapi
Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara."Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.Tetap sunyi.Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.Setiap dorongan adalah perjuangan.Setiap dorongan adalah doa.Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.Detik-detik berlalu seperti selamanya.Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.Tangisan.Namun, keheningan masih menggantung di udara."Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ket
Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya."Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.Baim m
Seorang perawat yang tengah memeriksa pasien lain segera berbalik, lalu bergegas ke sisi Ayu. Dengan cekatan, ia melepas corong oksigen dan memiringkan tubuh Ayu ke samping.Sesaat kemudian, cairan muntahan keluar dari mulut Ayu. Perawat menepuk punggungnya perlahan, memastikan semuanya keluar dengan lancar.Ayu terengah-engah, tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih lemah dari sebelumnya.Perawat meraih tisu, menyeka sisa cairan di sudut bibir Ayu, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan."Keluarganya di mana, Bu?" tanyanya, suaranya lembut, tapi ada nada heran di dalamnya.Ayu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar muntah—kenyataan bahwa ia benar-benar sendirian."Enggak ada," jawab Ayu lirih."Suami?" tanya perawat, suaranya lembut tapi menusuk.Ayu menggeleng pelan. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang
Mata perawat itu membulat. "Apa? Jadi yang kemarin Bu Hayati ke sini itu untuk dia?""Ya... Begitulah.""Terus pergi lagi?"Bidan Terbit mengangguk, ekspresinya datar. "Kamu tahu sendiri, keluarga Gubernur itu seperti apa."Perawat itu mendengus. "Suka pamer harta dan anaknya yang cowok doyan main cewek."Bidan Terbit mencibir. "Padahal Ayu itu cuma penjual sayur di pasar. Kamu pasti bisa bayangkan, kan, bagaimana perlakuan mereka padanya?"Perawat itu menghela napas, lalu menggeleng pelan. "Tapi kalau begitu, kenapa mereka memilih menantu miskin?"Bidan Terbit hanya mengangkat bahu. "Itu aku nggak tahu. Udah, sekarang lebih baik kamu pindahkan Ayu ke ruang perawatan. Nggak usah terlalu jauh mengurusi hidup pasien.""Iya, Bu. Cuma penasaran. He-he-he..."Bidan Terbit tak menanggapi. Tangannya sudah meraih ponsel, menekan nomor Hayati. Wajahnya serius. Ada sesuatu yang harus dipastikan.Sementara itu, perawat kembali ke ruang pemulihan. Ia mendorong ranjang Ayu perlahan hingga memasuki
"Apa? Kelainan jantung bawaan?" Suara Ayu nyaris pecah. Pandangannya mengabur seiring air mata yang jatuh tanpa bisa ia tahan. "Iya, Bu Ayu," ujar dokter dengan suara hati-hati. "Setelah berbagai pemeriksaan, kami menemukan bayi Anda mengalami kardiomiopati restriktif. Jantungnya kaku, tidak bisa mengembang dengan baik." Dunia Ayu seakan terhenti. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban yang tiba-tiba menekan. Napasnya pendek, terputus-putus. Bayi di pelukannya masih diam, tubuh mungilnya tetap hangat. Tapi kata-kata dokter itu merayap ke dalam pikirannya, mengguncang hingga ke akar. "Kelainan jantung bawaan," gumam Ayu seakan tak percaya. "Ya Allah... kenapa Kau mengujiku seberat ini?" Jari-jarinya menegang saat ia menarik bayi itu lebih dekat, seakan bisa melindunginya hanya dengan genggaman. Matanya terasa panas, kelopaknya bergetar menahan luapan emosi yang tak terbendung. "Ini gak mungkin terjadi..." Bibirnya bergerak, nyaris tak bersuara. "Apa yang harus saya lakukan,
"Astagfirullah, Ma... Bayi ini kan anak Mas Jaka juga," suara Ayu gemetar, tapi ia mencoba bertahan. Ayu terkesiap dengan tingkah Hayati. Matanya membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Alahh... Cuma anak perempuan. Sama sekali gak guna!" cibiran Hayati jatuh begitu saja, seakan bayi itu hanyalah benda tak berharga. Ayu merasakan kemarahan yang asing merayap di dadanya. Ia menatap Hayati dengan tatapan terluka sekaligus marah. Jaka menghela napas, wajahnya menegang. "Tapi dia tetap anakku, Ma." "Ooww... Berani bantah kamu sekarang? Mau sok-sok an bela tukang sayur ini?" Nada sinis itu memukul lebih keras daripada tamparan. Jaka menelan ludah, tampak ragu. "N-ngak, Ma. Bukan begitu maksud aku." Hayati mendengus, lalu berbalik ke arah pintu. "Sudahlah… Gerah Mama di ruangan ini. Ayo keluar! Mama kasih kamu waktu lima menit!" "Iya, Ma..." Jaka menunduk, suaranya hampir tak terdengar. Hayati melenggang keluar, bahkan tanpa menoleh sedikit pun ke arah bayi
Maharani mengangkat tangan, gelagapan. "Aduh… Rani lupa mau kasih tahu Mama! Pokoknya bukan itu intinya!"Ia menarik lengan ibunya, suaranya semakin mendesak."Sekarang apa yang harus kita lakukan? Gimana kalau Ayu bicara aneh-aneh ke wartawan?!"Hayati terdiam sesaat, napasnya mulai memburu.Di luar ballroom, kilatan kamera dan suara sorakan masih terdengar.Ayu ada di sini.Dan itu hanya bisa berarti satu hal—badai akan segera datang.Mata Hayati membesar, nyaris keluar dari rongganya. Rahangnya mengatup rapat, garis-garis kemarahan terukir jelas di wajahnya. "Kamu gak diundang," suaranya tajam seperti pisau. "Rakyat jelata dilarang ikut pesta orang kaya."Tawa Ayu meledak, nyaring dan penuh ejekan. Ia melangkah santai, tubuhnya condong ke depan, mendekati Hayati. "Mama… Mama…
"Ke mana Anda selama ini?"Suara-suara itu bertubi-tubi, menusuk gendang telinga Ayu dari segala arah. Dadanya mulai sesak, napasnya tersendat. Jemarinya yang menggenggam tas mulai bergetar.Kerumunan terasa semakin mendekat, seperti dinding yang siap meremukkannya kapan saja. Lututnya lemas, instingnya berteriak untuk kabur.Namun, di antara sorotan kamera yang menyilaukan, matanya menangkap sosok yang familiar.Baim.Berdiri tak jauh dari sana, mengenakan setelan jas hitam yang elegan, tangannya diselipkan ke dalam saku.Ia tidak berkata apa-apa.Hanya sebuah senyum tipis yang menghiasi wajahnya, tatapan matanya tenang, penuh keyakinan.Seakan-akan ia sedang berbisik tanpa suara, "Semuanya akan baik-baik saja."Ayu menelan ludah. Jemarinya yang gemetar perlahan mengendur. I
Ayu mengangguk, meski hatinya masih berdegup kencang.Baim melangkah pergi, meninggalkan Ayu dengan debaran hebat di dadanya. Punggungnya semakin menjauh, tetapi jejak kehadirannya masih tertinggal di hati Ayu, menggetarkan seluruh perasaannya."Ya Allah, Mas… Bagaimana mungkin aku bisa menahan perasaan ini?" batinnya lirih.Ia menarik napas panjang, mencoba meredam kekacauan dalam dirinya. Matanya jatuh pada tas yang tergeletak di dekatnya—tas yang dibelikan Baim tempo hari. Perlahan, ia meraihnya, jemarinya menelusuri permukaannya seakan mencari jawaban.Ia teringat kata-kata Baim saat memberikannya tas itu. "Kamu akan membutuhkannya suatu saat nanti."Ayu tersenyum miris. "Ternyata dia benar."Siapa sangka, hari itu telah tiba. Hari di mana ia harus berdiri tegak, menyaksikan suaminya bersanding dengan wanita lain di pela
Ayu mengangguk, meski keraguan masih menyelimuti dirinya. "Tapi... mungkinkah saya bisa cantik?"Baim menatap mata Ayu dalam-dalam, seolah ingin meyakinkan bahwa perkataannya benar. "Kamu sudah cantik, Ayu. Polesan ini hanya akan membuat kecantikanmu semakin bersinar."Ayu terenyuh. Baim adalah orang pertama yang pernah memujinya. Sementara Jaka, suaminya, bahkan tak pernah sudi menatap wajahnya lama-lama. Terlebih lagi mertua dan iparnya—yang selama ini hanya memberinya cacian dan hinaan. Hal itu membuatnya tidak percaya diri dan yakin bahwa dirinya memang sehina itu."Ayu… apa yang membuatmu ragu?" tanya Baim."Saya… saya tidak yakin bisa terlihat menarik, bahkan dengan riasan sekalipun.""Ayu, lupakan mereka yang merendahkanmu. Orang yang menganggapmu tak berharga hanyalah mereka yang tak mampu melihat keistimewaanmu. Di tangan yang tepat, kamu akan selalu bernilai."Setelah berpikir sedikit lama, Ayu akhirnya mantap u
Baim mengangguk, matanya lurus ke jalan di depan. "Yah. Di pesta itu, pasti akan banyak wartawan. Kamera di mana-mana. Kamu harus berdiri di sana sebagai seorang ratu." Ia menoleh lagi, menatap Ayu dengan sorot mata yang tajam namun hangat. "Tegakkan kepalamu. Jangan pernah tertunduk, setakut apa pun kamu nantinya. Tetaplah pura-pura berani seperti sekarang."Ayu terpaku. Kata-kata itu menyusup ke dalam dirinya, menggetarkan sesuatu yang selama ini rapuh. Ia menatap Baim dalam-dalam, seakan mencari kepastian."Tapi… bagaimana kalau saya gagal, Mas?" suaranya pelan, nyaris berbisik.Baim tak langsung menjawab. Ia menarik napas, lalu tersenyum, kali ini lebih lembut. "Kamu nggak boleh gagal," ucapnya mantap. "Aku akan mengawasimu dari kejauhan."Ayu menggigit bibirnya. Pikirannya berkecamuk. Kata-kata Baim seperti sebuah perisai, tapi di saat yang sama, ketakutan itu tetap men
Mak Ti mengangguk kecil, kemudian berjalan menuju telepon. "Biar saya panggilkan lewat saluran telepon, Pak."Baim mengangguk. "Terima kasih, Mak..." Suaranya terdengar lebih lembut kini, seraya matanya kembali menyapu ruangan, menangkap sisa kehangatan yang sempat terhenti oleh kehadirannya.Matanya sesekali melirik ke arah Fatma dan Sari yang duduk di sofa. Ia menyandarkan satu tangan ke pinggang, lalu berkata dengan nada tenang, "Oh ya. Fatma... Sari. Aku sudah ambil ASIP di rumah sakit. Kalian ambil di mobil, ya."Fatma menegakkan punggungnya, sementara Sari menoleh dengan tatapan bertanya."Hari ini Ayu ikut denganku. Kemungkinan sampai malam. Jadi kalian susui si kembar dengan ASIP dulu."Fatma dan Sari segera bangkit. "Baik, Pak," jawab mereka hampir bersamaan, lalu bergegas keluar rumah.Dari sudut ruangan, Indri menyipitkan mata, bibirnya sedikit mengerucut. Ada yang menggelitik rasa ingin tahunya. Ia akhirnya melangkah mendekat, me
Seperti api tersulut bensin, wajah Indri memerah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Hei, Ayu!" suaranya melengking. "Gak tahu diri banget kamu, ya! Pak Baim itu masih punya istri! Kamu juga punya suami!"Ia melangkah lebih dekat, hampir menudingkan jari ke wajah Ayu. "Teganya ya kamu jadi pelakor!"Udara di dapur seketika menjadi lebih panas. Fatma dan Sari menahan napas, mata mereka melebar, sementara Bi Imah yang baru kembali dari sudut ruangan hanya menggeleng pelan, menghela napas panjang.Ayu masih diam, tapi kali ini tatapannya mulai berubah. Tidak lagi penuh sindiran, tapi lebih tajam. Seolah dalam kepalanya, ia sedang memutuskan apakah akan membalas... atau membiarkan Indri tenggelam dalam amarahnya sendiri.Ayu menyandarkan satu tangan di pinggang, bibirnya melengkung tipis. Tatapannya menusuk langsung ke mata Indri."Indri... Indri," suaranya terdengar pelan, tapi penuh ejekan. "Kasihan kamu ya. Gak dapet respon dari Mas Baim. Makanya
Fatma dan Sari saling melirik, tapi tak ada yang berani buka suara.Indri, sebaliknya, malah menyeringai. Tatapannya tajam, penuh tantangan. "Iya. Kami membicarakanmu. Kenapa?"Ayu tersenyum miring, nada suaranya ringan, tapi menusuk. "Nggak apa-apa, sih. Pasti kamu mulai suka sama aku, ya? Makanya selalu kepo sama kehidupanku."Sari menahan napas, Fatma menggigit bibir. Mereka tahu betul Indri tak akan membiarkan sindiran itu berlalu begitu saja.Dan benar saja.Indri mendengus tajam, wajahnya seketika berubah masam. "Ih… najis! Aku justru makin gak suka sama kamu!"Ketegangan kembali mengisi ruangan. Hanya suara Bi Imah yang sibuk mengaduk panci yang terdengar, seakan menjadi satu-satunya hal yang masih berjalan normal di dapur itu.Bi Imah datang membawa mangkuk berisi rebusan daun katuk, lalu meletakkannya di meja dekat Ayu."Indri… cukup." Suaranya tegas, tapi tetap lembut.Indri mendengus, menyilangka
Sari menggeleng pelan, alisnya berkerut dalam. "Iya. Dia bukan seperti Ayu yang kita kenal dulu," gumamnya, suaranya sarat kebingungan. Jemarinya mengetuk meja dapur, seakan berharap menemukan jawaban di sana."Ayu yang kita kenal, bukankah dia lemah lembut dan polos?" lanjutnya, kali ini lebih pelan. "Kenapa dia tiba-tiba jadi seganas itu ya?"Di sudut meja makan, Indri yang tengah menyendok sarapannya terhenti. Ia menegakkan punggung, matanya membesar. "Ada apa? Pagi-pagi wajah kalian udah kayak awan mendung gitu," tanyanya, menatap mereka bergantian.Sari duduk di meja makan, mengaduk sendoknya tanpa niat makan. Fatma di sebelahnya masih sibuk mengelus rambutnya yang tadi dijambak Ayu."Ini si Fatma," kata Sari akhirnya, suaranya sedikit pelan tapi penuh arti. "Baru aja abis dijambak sama Ayu."Indri yang sedang menyeruput kopi spontan berdiri. Cangkir nyaris terjatuh saat tangannya menggebrak meja. "Apa?! Serius kalian?""Ngapain juga ak