"Merasakan apa, Bu?"
Gerakan di ruang operasi terhenti seketika. Dokter anestesi menoleh. Suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit ketegangan di balik nadanya. Ayu menelan ludah. "Dingin, Dok. Saya masih bisa merasakannya," katanya tergagap, napasnya mulai tersengal. "Apakah sakit?" dokter anestesi kembali mencubit pahanya. Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Dok. Tapi saya bisa merasakannya. Saya tahu, ada sesuatu menyentuh kulit saya!" Dokter kandungan berpaling. "Kalau begitu, coba angkat kaki Ibu!" perintahnya. Matanya mengamati Ayu dengan cermat. Ayu mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha menggerakkan kakinya. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia tetap kaku. Napasnya menjadi semakin berat. "Enggak bisa, Dok," suaranya gemetar. "Tapi saya sesak, Dok. Enggak bisa napas." Panik mulai menyelimuti dirinya. Tangannya mencengkeram kain operasi lebih erat, tubuhnya bergetar hebat. Ayu mulai menangis. "Mbak, nggak perlu takut! Operasinya nggak lama kok," suara bidan Terbit terdengar lembut, tapi tak cukup untuk meredakan ketakutannya. "Tapi saya enggak bisa napas, Bu! Rasanya sesak!" Ayu terisak makin keras, bahunya terguncang. Ruangan operasi terasa semakin dingin, semakin sempit. Jantungnya berpacu seperti genderang yang ditabuh tanpa henti. Ia berjuang mengatur napas, tapi udara seakan menolak masuk ke paru-parunya. Ini pertama kalinya Ayu masuk rumah sakit. Jaka seharusnya ada di sini, menemaninya. Tapi, Jaka tidak pernah memedulikannya. Namun nyatanya, yang tersisa hanyalah Ayu. Ia berjuang sendirian demi dirinya dan bayi yang bahkan belum sempat ia lihat. "Dok, sepertinya dia ketakutan," kata bidan pelan. Dokter kandungan menatap Ayu yang masih terisak, dadanya naik turun tak beraturan. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya, dan matanya yang berkaca-kaca terus bergerak gelisah. "Baiklah, jika begitu bius total saja!" perintahnya tegas. Dokter anestesi segera bergerak, mendekati kepala Ayu. Ia mengganti selang oksigen dengan sebuah corong transparan, lalu dengan lembut menempelkannya di hidung dan mulut Ayu. "Ibu tidur saja yang tenang, ya!" seru dokter anestesi, mencoba menenangkannya. Ayu ingin menjawab, tapi pikirannya sudah mulai kabur. Matanya semakin berat, suara-suara di sekelilingnya memudar, hingga akhirnya semuanya menggelap. Operasi berlangsung cepat. Gerakan para dokter dan perawat begitu terampil. Pisau bedah membelah kulit dengan presisi. Darah segera dibersihkan. Lalu perlahan, seorang bayi perempuan diangkat dari dalam rahim Ayu. Seharusnya, saat ini tangisan bayi menggema di ruangan. Tapi, mengapa tidak ada suara apa-apa? Hening. Kulit bayi Ayu membiru karena kekurangan oksigen dalam darah. Dokter anak segera bertindak. Ia menyambut bayi itu dengan kedua tangan, lalu dengan sigap mulai memberikan stimulasi. Telapak tangannya yang bersarung tangan mengusap lembut kulit bayi yang masih basah, tapi tetap tak ada tangisan. Alis dokter anak berkerut. Napasnya sedikit tertahan saat ia mencoba lagi. Ia mengangkat kaki bayi itu, mengayun-ayunkannya dengan hati-hati. Masih tak ada suara. Para perawat saling berpandangan. Suasana di dalam ruang operasi berubah menegangkan. "Saya akan memindahkan bayi ini ke ruangan lain," dokter anak akhirnya bersuara, suaranya tegas namun sedikit terburu-buru. "Nadinya sangat lemah. Ia butuh oksigen segera." Tanpa menunggu lebih lama, ia membawa bayi itu keluar. Di meja operasi, Ayu masih terbaring tak sadarkan diri. Tak tahu bahwa saat ini, putranya sedang berjuang untuk bernapas. Dokter kandungan menyerahkan tugas akhir pada asisten dokter. Dengan cekatan, asisten mulai menjahit sobekan di perut Ayu, gerakannya presisi dan terlatih. Ayu selamat. Namun, ia masih terbaring tak sadar. Napasnya teratur di bawah pengaruh anestesi. Sementara itu di ruangan lain, dokter anak bergerak cepat. Ia menggendong bayi Ayu yang masih diam. Tubuh mungilnya tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Rasa panik merayapi pikirannya, tapi ia tetap menjaga ekspresi tenang. "Bawa ke NICU sekarang!" suaranya tegas. Para perawat langsung sigap. Salah satu dari mereka mendorong inkubator ke sisi dokter, sementara yang lain menyiapkan perlengkapan medis. Begitu sampai di NICU, dokter segera bertindak. Bayi itu diletakkan dengan hati-hati di tempat tidur hangat. Napasnya nyaris tak terlihat. Dada kecilnya tak naik turun seperti yang seharusnya. Dokter mengenakan sarung tangan. Lalu dengan cekatan memasukkan alat ke mulut bayi, membersihkan jalan napasnya dari lendir dan cairan ketuban. "Suction! Cepat!"Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara."Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.Tetap sunyi.Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.Setiap dorongan adalah perjuangan.Setiap dorongan adalah doa.Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.Detik-detik berlalu seperti selamanya.Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.Tangisan.Namun, keheningan masih menggantung di udara."Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ket
Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya."Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.Baim m
Seorang perawat yang tengah memeriksa pasien lain segera berbalik, lalu bergegas ke sisi Ayu. Dengan cekatan, ia melepas corong oksigen dan memiringkan tubuh Ayu ke samping.Sesaat kemudian, cairan muntahan keluar dari mulut Ayu. Perawat menepuk punggungnya perlahan, memastikan semuanya keluar dengan lancar.Ayu terengah-engah, tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih lemah dari sebelumnya.Perawat meraih tisu, menyeka sisa cairan di sudut bibir Ayu, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan."Keluarganya di mana, Bu?" tanyanya, suaranya lembut, tapi ada nada heran di dalamnya.Ayu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar muntah—kenyataan bahwa ia benar-benar sendirian."Enggak ada," jawab Ayu lirih."Suami?" tanya perawat, suaranya lembut tapi menusuk.Ayu menggeleng pelan. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang
Mata perawat itu membulat. "Apa? Jadi yang kemarin Bu Hayati ke sini itu untuk dia?""Ya... Begitulah.""Terus pergi lagi?"Bidan Terbit mengangguk, ekspresinya datar. "Kamu tahu sendiri, keluarga Gubernur itu seperti apa."Perawat itu mendengus. "Suka pamer harta dan anaknya yang cowok doyan main cewek."Bidan Terbit mencibir. "Padahal Ayu itu cuma penjual sayur di pasar. Kamu pasti bisa bayangkan, kan, bagaimana perlakuan mereka padanya?"Perawat itu menghela napas, lalu menggeleng pelan. "Tapi kalau begitu, kenapa mereka memilih menantu miskin?"Bidan Terbit hanya mengangkat bahu. "Itu aku nggak tahu. Udah, sekarang lebih baik kamu pindahkan Ayu ke ruang perawatan. Nggak usah terlalu jauh mengurusi hidup pasien.""Iya, Bu. Cuma penasaran. He-he-he..."Bidan Terbit tak menanggapi. Tangannya sudah meraih ponsel, menekan nomor Hayati. Wajahnya serius. Ada sesuatu yang harus dipastikan.Sementara itu, perawat kembali ke ruang pemulihan. Ia mendorong ranjang Ayu perlahan hingga memasuki
"Apa? Kelainan jantung bawaan?" Suara Ayu nyaris pecah. Pandangannya mengabur seiring air mata yang jatuh tanpa bisa ia tahan. "Iya, Bu Ayu," ujar dokter dengan suara hati-hati. "Setelah berbagai pemeriksaan, kami menemukan bayi Anda mengalami kardiomiopati restriktif. Jantungnya kaku, tidak bisa mengembang dengan baik." Dunia Ayu seakan terhenti. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban yang tiba-tiba menekan. Napasnya pendek, terputus-putus. Bayi di pelukannya masih diam, tubuh mungilnya tetap hangat. Tapi kata-kata dokter itu merayap ke dalam pikirannya, mengguncang hingga ke akar. "Kelainan jantung bawaan," gumam Ayu seakan tak percaya. "Ya Allah... kenapa Kau mengujiku seberat ini?" Jari-jarinya menegang saat ia menarik bayi itu lebih dekat, seakan bisa melindunginya hanya dengan genggaman. Matanya terasa panas, kelopaknya bergetar menahan luapan emosi yang tak terbendung. "Ini gak mungkin terjadi..." Bibirnya bergerak, nyaris tak bersuara. "Apa yang harus saya lakukan,
"Astagfirullah, Ma... Bayi ini kan anak Mas Jaka juga," suara Ayu gemetar, tapi ia mencoba bertahan. Ayu terkesiap dengan tingkah Hayati. Matanya membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Alahh... Cuma anak perempuan. Sama sekali gak guna!" cibiran Hayati jatuh begitu saja, seakan bayi itu hanyalah benda tak berharga. Ayu merasakan kemarahan yang asing merayap di dadanya. Ia menatap Hayati dengan tatapan terluka sekaligus marah. Jaka menghela napas, wajahnya menegang. "Tapi dia tetap anakku, Ma." "Ooww... Berani bantah kamu sekarang? Mau sok-sok an bela tukang sayur ini?" Nada sinis itu memukul lebih keras daripada tamparan. Jaka menelan ludah, tampak ragu. "N-ngak, Ma. Bukan begitu maksud aku." Hayati mendengus, lalu berbalik ke arah pintu. "Sudahlah… Gerah Mama di ruangan ini. Ayo keluar! Mama kasih kamu waktu lima menit!" "Iya, Ma..." Jaka menunduk, suaranya hampir tak terdengar. Hayati melenggang keluar, bahkan tanpa menoleh sedikit pun ke arah bayi
Ayu terkejut. "Kenapa, Mas?" Jaka menatapnya serius. "Aku nggak mau dia pakai nama belakang keluargaku." "Kenapa?" Jaka mengalihkan pandangan. Wajahnya mengeras. "Aku nggak mau nasibnya seperti aku." Ayu terdiam, mencoba memahami maksud kata-kata itu. Jaka kembali menatap bayinya, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut. "Bintang Kejora. Ia mempunyai mata yang bersinar indah seperti dirimu. Bagaimana menurutmu, Yu?" Ayu tersenyum seraya mengangguk pelan. "Baiklah, Mas…" Keheningan mengisi ruangan sejenak, sebelum Jaka akhirnya berkata dengan suara yang lebih lirih. "Ayu, aku banyak salah sama kamu. Aku harap kamu memaafkanku. Mungkin… karena selama ini aku nggak pernah memperhatikan kehamilanmu, itu sebabnya bayi ini mengidap kelainan." Ayu menatapnya dalam, lalu menggenggam lengannya. "Mas, menyesal nggak guna sama sekali. Sekarang, bantulah aku mencari biaya untuk operasi anak ini, Mas." Jaka mengangguk pelan namun tegas, meski sorot matanya tampak ragu. "Tapi, apa yang ha
"Halo, Mas Baim?"Baim refleks berdiri dari kursinya, langkahnya gelisah. Ia melambaikan tangan ke arah Pak Yoga, memberi isyarat agar pria itu pergi. Setelah memastikan dirinya sendirian, ia kembali menempelkan ponsel ke telinga."Laura, bagaimana kabarmu?""Aku—aku tidak baik-baik saja, Mas." Suara Laura terdengar patah. "Bagaimana dengan anak kita? Bagaimana keadaannya?"Baim menutup matanya sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya berat. "Buruk, Laura! Mereka butuh kamu. Tidak bisakah kamu pulang?""Mas, aku ingin pulang. Aku—"Tut... Tut...Nada putus itu menggema di telinganya."Laura... Halo? Laura?"Baim menatap layar, panggilan terputus. Jemarinya mengepal erat ponsel, rahangnya mengatup.Bayangan masa lalu menyeruak. Wajah Laura, senyumnya saat menggendong bayi mereka untuk pertama kali—lalu, hilang begitu saja. Tanpa kabar. Tanpa pesan. Ponselnya tak pernah bisa dihubungi. Hingga beberapa waktu lalu, sebuah pesan datang."Aku di Jerman." Itu saja. Setelah itu,
Laura menoleh cepat ke arah tangga. Matanya menyipit, napasnya tercekat. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur—seolah berharap langkah kaki itu bukan pertanda bencana."Awas aja kalau kamu berani bicara pada orang lain," ancamnya.Ayu terdiam. Wajahnya datar, matanya tak lepas dari arah tangga. Alisnya mengernyit, mencoba mengenali siapa yang akan muncul.Langkah pelan terdengar, dan sesaat kemudian, Sari muncul dari ujung tangga.Laura menarik napas tajam, lalu melempar tatapan dingin pada Ayu. "Ingat ya, jangan bicara macam-macam.""Bu Laura... Ayu. Ada apa?"Laura menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat sedikit. "Kamu juga. Kepo banget sama urusan orang. Udah sana!"Sari tersenyum masam. Matanya bergerak cepat dari Laura ke Ayu. "Maaf, Bu, kalau saya mengganggu. Ayu... Aku nanti balik lagi ya."Ayu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lebih seperti isyarat terima kasih yang tidak terdengar.
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya
"Kok kamu kaget gitu sih, Mas?" Laura menyipitkan mata. Seolah mencium sesuatu yang tak wajar dari suaminya."Aku cuma kaget aja. Lihat kamu tidur di sebelahku.""Jadi seharusnya bukan aku? Kamu berharap Ayu yang tidur di sini?"Baim terdiam. Bibirnya terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari lubang di lantai tempat ia bisa menghilang."Nggak... Bukan begitu."Laura mendengus pelan. "Apa jangan-jangan... Ayu yang tidur di sini semalam, Mas?"Mata Baim terbelalak. Ia berusaha keras mencari jawaban yang tepat."Kok kamu bisa mikir begitu? Memangnya semalam kamu nggak di kamar ini? Kamu tidur di mana?"Laura menoleh spontan. Senyumnya tipis—ada getir yang nyaris tak bisa disembunyikan di sana. Tatapannya menari gelisah di mata Baim, lalu berpindah ke bibir, ke dagu, dan kembali lagi. Jemarinya meremas ujung selimut, seolah ingin menyembunyikan sesuatu di balik tenang wajahnya.
"Bu Laura baru datang? Syukurlah... berarti dia nggak lihat aku sama Mas Baim semalam.""Leon... aku punya keluarga di sini. Tentu saja aku harus pulang," bisik Laura sambil berjalan perlahan.Suara itu membuat dahi Ayu berkerut. Wajah Laura yang sebelumnya tampak acuh, kini terlihat gelisah."Leon lagi? Sebenarnya, apa hubungan Bu Laura dengan Leon itu?" gumam Ayu."Aku datang ke Indonesia cuma buat kamu. Apa kamu nggak hargai itu?" Suara Leon kembali terdengar.Laura mendengus pelan, menahan suara. "Oke, oke... nanti aku balik lagi ke sana.""Nah... gitu dong. Kali ini, kamu mau gaya apa?"Langkah Laura melambat. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Leon... aku masih sakit gara-gara semalam. Kamu cambuk aku terlalu keras. Sekarang badanku remuk semua.""Ayolah, Laura... kamu kan suka itu. Tapi oke, kali ini kita 'vanilla' aja. Gak ada cambuk, gak ada ikat. Cuma kamu dan aku... seperti orang jatuh cinta."
"Saya nggak ngapa-ngapain kok, Mbak," jawab Ayu spontan, suaranya terdengar panik.Fatma dan Sari saling pandang."Nggak ngapa-ngapain gimana maksudnya?"Ayu salah tingkah. Perkataannya sendiri seolah menjebaknya."Ya maksudnya... saya cuma tidur sama si kembar. Terus, pas main, mereka... ngacak-ngacak rambut saya. Iya, gitu aja, Mbak.""Padahal kami pikir kamu nggak bisa tidur karena sibuk jagain mereka berdua. Eh, ternyata kamu nyenyak tidur?" kata Sari, sedikit menggoda.Ayu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Iya. Nyenyak, kok, Mbak.""Oh... syukurlah kalau begitu. Soalnya biasanya kamu selalu tampil rapi dan cantik," jelas Sari."Iya, aku sampai mikir kamu punya aura alami gitu, lho," timpal Fatma sambil tersenyum kecil. "Tapi hari ini... kamu kelihatan capek banget. Udah, deh, besok-besok jangan ajak si kembar tidur di sini lagi. Kamu juga butuh istirahat."Ayu tertawa—cepat dan singkat.
"Nggak ada orang lewat, kan?" bisik Ayu, memastikan situasi benar-benar aman.Pandangan matanya menyapu lorong panjang. Saat merasa cukup yakin, ia menyelinap keluar, menutup pintu di belakangnya sepelan mungkin.Ayu berlari kecil, berjinjit di atas lantai dingin. Napasnya terengah, pendek-pendek. Ia berdoa dalam hati, berharap tak seorang pun memergokinya keluar dari kamar Baim.Setibanya di kamarnya, Ayu menutup pintu dengan cepat. Tubuhnya langsung bersandar di daun pintu. Bahunya naik-turun menahan napas yang tercekat. Jantungnya masih berdetak kencang, seolah baru saja lolos dari kejaran binatang buas."Apa yang sudah kamu lakukan, Ayu? Ya Allah..."Matanya terpejam. Ia mencoba mencerna kesalahan yang baru saja terjadi—lalu menenangkan dirinya sendiri. Berharap bayangan semalam segera sirna dari pelupuk mata.Pandangannya beralih ke ranjang. Dua bayi mungil terbaring di sana, kaki-kaki kecil mereka menendang-nendang selimut,
"Apa kamu minta maaf karena kita bersentuhan?" tanya Baim, dingin.Ia terus menatap Ayu—mata itu dalam, teduh, dan kali ini tak lagi sanggup menyembunyikan perasaan yang selama ini terikat rapat.Ayu menundukkan pandangannya, tapi tubuhnya tetap diam."I-iya... Saya nggak bermaksud lancang sama Mas Baim."Lalu perlahan, dalam diam yang tak diundang, Baim melangkah mendekat. Geraknya kecil, tapi pasti. Ayu bisa merasakan panas tubuhnya kian mendekat."Baru sebulan keadaan memisahkan kita. Sekarang, apa kita kembali menjadi orang asing?"Spontan, Ayu menegakkan pandangannya. Ia menelan ludah. Matanya mulai basah, bibirnya bergetar. Tapi tak satu kata pun berhasil keluar.Mereka saling menatap—dalam diam yang mampu menjelaskan segalanya.Dan tanpa banyak kata, Baim menarik Ayu ke dalam pelukannya.Seketika, dunia di dalam lift mengecil. Yang tersisa hanyalah napas yang menyatu dan detak jantung yang terlal