Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara.
"Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.
Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.
Tetap sunyi.
Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.
Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.
Setiap dorongan adalah perjuangan.
Setiap dorongan adalah doa.
Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.
Detik-detik berlalu seperti selamanya.
Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.
Tangisan.
Namun, keheningan masih menggantung di udara.
"Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ketegangan di ruangan.
Matanya terpaku pada bayi mungil yang masih terbaring diam di bawah alat bantu napas.
Dokter anak mengernyit, mendekatkan stetoskop ke dada kecil itu. Hening. Hanya denyut yang lemah, nyaris tak terasa. Lalu, samar-samar, suara berdesir yang tidak biasa terdengar di antara detak jantungnya.
"Denyut nadinya lemah," ujar dokter dengan nada serius. "Saya mendengar murmur jantung yang abnormal."
Para perawat dan bidan saling berpandangan, cemas mulai terasa di udara.
"Kita akan melakukan pemeriksaan EKG! Segera bawa dia ke ruang pemeriksaan!"
Tanpa menunda waktu, perawat dengan sigap mengambil selimut hangat, membungkus tubuh mungil bayi itu dengan hati-hati. Sementara satu perawat lainnya sudah bersiap dengan inkubator portabel, memastikan selang oksigen tetap terpasang.
"Baik, Dok!" bidan segera membantu, mendorong inkubator dengan langkah cepat keluar dari NICU.
Di lorong rumah sakit, roda inkubator berdecit halus di atas lantai. Lampu-lampu langit-langit berganti satu per satu saat mereka bergerak menuju ruang pemeriksaan.
Di dalam inkubator, bayi itu masih diam. Napasnya begitu pelan, hampir tak terlihat.
Setiap detik terasa seperti seumur hidup.
Dokter anak mengepalkan tangan. "Bertahanlah, Nak. Bertahanlah," gumamnya.
Wajahnya tampak seputih jas yang dikenakannya. Ia menatap layar monitor tanpa berkedip, sementara jemarinya mengepal di sisi meja. Garis-garis pada hasil EKG terlihat lambat, intervalnya terlalu lebar.
"Bagaimana ini, Dok?" tanya bidan, suaranya bergetar halus.
Dokter anak menghela napas pelan, seolah sedang menimbang sesuatu. Di sisi lain, dokter neonatologis mencermati lembaran hasil pemeriksaan, dahinya berkerut.
"Kita masih punya satu pemeriksaan lagi yang belum dilakukan," katanya, berusaha terdengar tenang. "Mari tetap optimis. Semoga ini hanya kekhawatiran berlebih."
Bidan dan perawat saling bertukar pandang. Yang satu menggigit bibirnya, sementara yang lain mengusap lengan bayi dengan lembut, seolah sentuhan itu bisa memberi ketenangan.
"Mari kita pastikan dengan ekokardiogram," imbuh dokter.
"Baik, Dok."
Tanpa menunda, bidan dan perawat mendorong inkubator ke ruang kardiogram. Roda-roda berderit halus melintasi lantai rumah sakit yang dingin.
Di waktu yang sama, mereka berpapasan dengan Baim Syaputra. Seorang CEO tampan yang bisnisnya bergerak di bidang perhotelan bintang lima di Jakarta.
Baim Syaputra melangkah cepat di koridor, napasnya berat. Jemarinya terus menggenggam ponsel, namun tidak ada satu pun pesan balasan yang ia harapkan.
Sesampainya di ruang kardiogram, perawat dengan hati-hati membaringkan bayi mungil Ayu. Napasnya pelan, nyaris tak terdengar. Gel bening dioleskan ke dadanya, kulitnya yang tipis bergetar sedikit karena dinginnya.
Teknisi menggerakkan transduser ke berbagai sudut, matanya tajam mengamati layar. Di sana, gambar jantung yang kecil dan rapuh itu berdenyut dalam ritme yang tak semestinya.
"Apa perlu pemeriksaan Doppler, Dok?" tanyanya, setelah beberapa saat hening.
"Iya, tolong periksa juga," jawab dokter anak, nada suaranya lebih rendah dari sebelumnya.
Teknisi mengganti mode pemeriksaan. Di layar, aliran darah tampak seperti gelombang warna-warni, memperlihatkan setiap hambatan yang tak kasatmata.
Di ruangan yang dingin itu, semua yang hadir menahan napas, menunggu jawaban yang mungkin tak ingin mereka dengar.
Di ruangan bayi, Baim berdiri di balik kaca besar, menatap dua bayi mungil yang terbaring dalam inkubator. Kulit mereka masih merah muda, napasnya halus, dada kecil mereka naik turun perlahan.
Baim mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
"Ayah apa aku ini! Kenapa aku nggak bisa melakukan sesuatu untuk mereka?" sesalnya sendiri.
Pikirannya kalut. Bayi-bayi itu butuh ASI, dan sejauh ini, tidak ada satu pun donor yang tersedia.
Baim menempelkan telapak tangannya di kaca inkubator, seolah berharap kehangatannya bisa meresap hingga ke tubuh mungil di dalamnya.
"Halo, sayang… bagaimana kabar kalian?" suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara mesin medis di ruangan itu.
Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya."Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.Baim m
Seorang perawat yang tengah memeriksa pasien lain segera berbalik, lalu bergegas ke sisi Ayu. Dengan cekatan, ia melepas corong oksigen dan memiringkan tubuh Ayu ke samping.Sesaat kemudian, cairan muntahan keluar dari mulut Ayu. Perawat menepuk punggungnya perlahan, memastikan semuanya keluar dengan lancar.Ayu terengah-engah, tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih lemah dari sebelumnya.Perawat meraih tisu, menyeka sisa cairan di sudut bibir Ayu, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan."Keluarganya di mana, Bu?" tanyanya, suaranya lembut, tapi ada nada heran di dalamnya.Ayu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar muntah—kenyataan bahwa ia benar-benar sendirian."Enggak ada," jawab Ayu lirih."Suami?" tanya perawat, suaranya lembut tapi menusuk.Ayu menggeleng pelan. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang
Mata perawat itu membulat. "Apa? Jadi yang kemarin Bu Hayati ke sini itu untuk dia?""Ya... Begitulah.""Terus pergi lagi?"Bidan Terbit mengangguk, ekspresinya datar. "Kamu tahu sendiri, keluarga Gubernur itu seperti apa."Perawat itu mendengus. "Suka pamer harta dan anaknya yang cowok doyan main cewek."Bidan Terbit mencibir. "Padahal Ayu itu cuma penjual sayur di pasar. Kamu pasti bisa bayangkan, kan, bagaimana perlakuan mereka padanya?"Perawat itu menghela napas, lalu menggeleng pelan. "Tapi kalau begitu, kenapa mereka memilih menantu miskin?"Bidan Terbit hanya mengangkat bahu. "Itu aku nggak tahu. Udah, sekarang lebih baik kamu pindahkan Ayu ke ruang perawatan. Nggak usah terlalu jauh mengurusi hidup pasien.""Iya, Bu. Cuma penasaran. He-he-he..."Bidan Terbit tak menanggapi. Tangannya sudah meraih ponsel, menekan nomor Hayati. Wajahnya serius. Ada sesuatu yang harus dipastikan.Sementara itu, perawat kembali ke ruang pemulihan. Ia mendorong ranjang Ayu perlahan hingga memasuki
"Apa? Kelainan jantung bawaan?" Suara Ayu nyaris pecah. Pandangannya mengabur seiring air mata yang jatuh tanpa bisa ia tahan. "Iya, Bu Ayu," ujar dokter dengan suara hati-hati. "Setelah berbagai pemeriksaan, kami menemukan bayi Anda mengalami kardiomiopati restriktif. Jantungnya kaku, tidak bisa mengembang dengan baik." Dunia Ayu seakan terhenti. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban yang tiba-tiba menekan. Napasnya pendek, terputus-putus. Bayi di pelukannya masih diam, tubuh mungilnya tetap hangat. Tapi kata-kata dokter itu merayap ke dalam pikirannya, mengguncang hingga ke akar. "Kelainan jantung bawaan," gumam Ayu seakan tak percaya. "Ya Allah... kenapa Kau mengujiku seberat ini?" Jari-jarinya menegang saat ia menarik bayi itu lebih dekat, seakan bisa melindunginya hanya dengan genggaman. Matanya terasa panas, kelopaknya bergetar menahan luapan emosi yang tak terbendung. "Ini gak mungkin terjadi..." Bibirnya bergerak, nyaris tak bersuara. "Apa yang harus saya lakukan,
"Astagfirullah, Ma... Bayi ini kan anak Mas Jaka juga," suara Ayu gemetar, tapi ia mencoba bertahan. Ayu terkesiap dengan tingkah Hayati. Matanya membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Alahh... Cuma anak perempuan. Sama sekali gak guna!" cibiran Hayati jatuh begitu saja, seakan bayi itu hanyalah benda tak berharga. Ayu merasakan kemarahan yang asing merayap di dadanya. Ia menatap Hayati dengan tatapan terluka sekaligus marah. Jaka menghela napas, wajahnya menegang. "Tapi dia tetap anakku, Ma." "Ooww... Berani bantah kamu sekarang? Mau sok-sok an bela tukang sayur ini?" Nada sinis itu memukul lebih keras daripada tamparan. Jaka menelan ludah, tampak ragu. "N-ngak, Ma. Bukan begitu maksud aku." Hayati mendengus, lalu berbalik ke arah pintu. "Sudahlah… Gerah Mama di ruangan ini. Ayo keluar! Mama kasih kamu waktu lima menit!" "Iya, Ma..." Jaka menunduk, suaranya hampir tak terdengar. Hayati melenggang keluar, bahkan tanpa menoleh sedikit pun ke arah bayi
Ayu terkejut. "Kenapa, Mas?" Jaka menatapnya serius. "Aku nggak mau dia pakai nama belakang keluargaku." "Kenapa?" Jaka mengalihkan pandangan. Wajahnya mengeras. "Aku nggak mau nasibnya seperti aku." Ayu terdiam, mencoba memahami maksud kata-kata itu. Jaka kembali menatap bayinya, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut. "Bintang Kejora. Ia mempunyai mata yang bersinar indah seperti dirimu. Bagaimana menurutmu, Yu?" Ayu tersenyum seraya mengangguk pelan. "Baiklah, Mas…" Keheningan mengisi ruangan sejenak, sebelum Jaka akhirnya berkata dengan suara yang lebih lirih. "Ayu, aku banyak salah sama kamu. Aku harap kamu memaafkanku. Mungkin… karena selama ini aku nggak pernah memperhatikan kehamilanmu, itu sebabnya bayi ini mengidap kelainan." Ayu menatapnya dalam, lalu menggenggam lengannya. "Mas, menyesal nggak guna sama sekali. Sekarang, bantulah aku mencari biaya untuk operasi anak ini, Mas." Jaka mengangguk pelan namun tegas, meski sorot matanya tampak ragu. "Tapi, apa yang ha
"Halo, Mas Baim?"Baim refleks berdiri dari kursinya, langkahnya gelisah. Ia melambaikan tangan ke arah Pak Yoga, memberi isyarat agar pria itu pergi. Setelah memastikan dirinya sendirian, ia kembali menempelkan ponsel ke telinga."Laura, bagaimana kabarmu?""Aku—aku tidak baik-baik saja, Mas." Suara Laura terdengar patah. "Bagaimana dengan anak kita? Bagaimana keadaannya?"Baim menutup matanya sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya berat. "Buruk, Laura! Mereka butuh kamu. Tidak bisakah kamu pulang?""Mas, aku ingin pulang. Aku—"Tut... Tut...Nada putus itu menggema di telinganya."Laura... Halo? Laura?"Baim menatap layar, panggilan terputus. Jemarinya mengepal erat ponsel, rahangnya mengatup.Bayangan masa lalu menyeruak. Wajah Laura, senyumnya saat menggendong bayi mereka untuk pertama kali—lalu, hilang begitu saja. Tanpa kabar. Tanpa pesan. Ponselnya tak pernah bisa dihubungi. Hingga beberapa waktu lalu, sebuah pesan datang."Aku di Jerman." Itu saja. Setelah itu,
"Mas Jaka, kamu di mana Mas? Aku sendirian di sini. Aku mohon angkat telponnya sekali saja Mas..." gumam Ayu sembari terisak.Namun, layar ponselnya hanya menampilkan satu hal—panggilan tidak terjawab.Ayu menurunkan tangannya perlahan. Matanya menatap kosong ke koridor rumah sakit yang lengang. Tak ada satu pun yang datang menjemputnya. Tak ada satu pun yang menanyakan keadaannya.Keluar dari rumah sakit, ia berdiri di bawah langit yang terik. Panas menyengat kepalanya, tubuhnya terasa limbung. Bekas jahitan di perutnya masih berdenyut, tapi ia mengabaikannya.Yang lebih mengganggunya adalah pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. " Ya Allah... Aku harus bagaimana? Bagaimana aku bisa pulang?"Air matanya terus mengalir di pipi. Tiba-tiba, jari-jarinya yang merogoh saku merasakan sesuatu. Selembar uang kertas.Ayu menariknya keluar—seratus ribu rupiah.Sejenak, matanya terpaku pada lembaran lusuh itu. Ingatan berkelebat, mengantarnya kembali ke depan rumah Hayati, saat seorang
Laura menoleh cepat ke arah tangga. Matanya menyipit, napasnya tercekat. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur—seolah berharap langkah kaki itu bukan pertanda bencana."Awas aja kalau kamu berani bicara pada orang lain," ancamnya.Ayu terdiam. Wajahnya datar, matanya tak lepas dari arah tangga. Alisnya mengernyit, mencoba mengenali siapa yang akan muncul.Langkah pelan terdengar, dan sesaat kemudian, Sari muncul dari ujung tangga.Laura menarik napas tajam, lalu melempar tatapan dingin pada Ayu. "Ingat ya, jangan bicara macam-macam.""Bu Laura... Ayu. Ada apa?"Laura menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat sedikit. "Kamu juga. Kepo banget sama urusan orang. Udah sana!"Sari tersenyum masam. Matanya bergerak cepat dari Laura ke Ayu. "Maaf, Bu, kalau saya mengganggu. Ayu... Aku nanti balik lagi ya."Ayu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lebih seperti isyarat terima kasih yang tidak terdengar.
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya
"Kok kamu kaget gitu sih, Mas?" Laura menyipitkan mata. Seolah mencium sesuatu yang tak wajar dari suaminya."Aku cuma kaget aja. Lihat kamu tidur di sebelahku.""Jadi seharusnya bukan aku? Kamu berharap Ayu yang tidur di sini?"Baim terdiam. Bibirnya terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari lubang di lantai tempat ia bisa menghilang."Nggak... Bukan begitu."Laura mendengus pelan. "Apa jangan-jangan... Ayu yang tidur di sini semalam, Mas?"Mata Baim terbelalak. Ia berusaha keras mencari jawaban yang tepat."Kok kamu bisa mikir begitu? Memangnya semalam kamu nggak di kamar ini? Kamu tidur di mana?"Laura menoleh spontan. Senyumnya tipis—ada getir yang nyaris tak bisa disembunyikan di sana. Tatapannya menari gelisah di mata Baim, lalu berpindah ke bibir, ke dagu, dan kembali lagi. Jemarinya meremas ujung selimut, seolah ingin menyembunyikan sesuatu di balik tenang wajahnya.
"Bu Laura baru datang? Syukurlah... berarti dia nggak lihat aku sama Mas Baim semalam.""Leon... aku punya keluarga di sini. Tentu saja aku harus pulang," bisik Laura sambil berjalan perlahan.Suara itu membuat dahi Ayu berkerut. Wajah Laura yang sebelumnya tampak acuh, kini terlihat gelisah."Leon lagi? Sebenarnya, apa hubungan Bu Laura dengan Leon itu?" gumam Ayu."Aku datang ke Indonesia cuma buat kamu. Apa kamu nggak hargai itu?" Suara Leon kembali terdengar.Laura mendengus pelan, menahan suara. "Oke, oke... nanti aku balik lagi ke sana.""Nah... gitu dong. Kali ini, kamu mau gaya apa?"Langkah Laura melambat. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Leon... aku masih sakit gara-gara semalam. Kamu cambuk aku terlalu keras. Sekarang badanku remuk semua.""Ayolah, Laura... kamu kan suka itu. Tapi oke, kali ini kita 'vanilla' aja. Gak ada cambuk, gak ada ikat. Cuma kamu dan aku... seperti orang jatuh cinta."
"Saya nggak ngapa-ngapain kok, Mbak," jawab Ayu spontan, suaranya terdengar panik.Fatma dan Sari saling pandang."Nggak ngapa-ngapain gimana maksudnya?"Ayu salah tingkah. Perkataannya sendiri seolah menjebaknya."Ya maksudnya... saya cuma tidur sama si kembar. Terus, pas main, mereka... ngacak-ngacak rambut saya. Iya, gitu aja, Mbak.""Padahal kami pikir kamu nggak bisa tidur karena sibuk jagain mereka berdua. Eh, ternyata kamu nyenyak tidur?" kata Sari, sedikit menggoda.Ayu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Iya. Nyenyak, kok, Mbak.""Oh... syukurlah kalau begitu. Soalnya biasanya kamu selalu tampil rapi dan cantik," jelas Sari."Iya, aku sampai mikir kamu punya aura alami gitu, lho," timpal Fatma sambil tersenyum kecil. "Tapi hari ini... kamu kelihatan capek banget. Udah, deh, besok-besok jangan ajak si kembar tidur di sini lagi. Kamu juga butuh istirahat."Ayu tertawa—cepat dan singkat.
"Nggak ada orang lewat, kan?" bisik Ayu, memastikan situasi benar-benar aman.Pandangan matanya menyapu lorong panjang. Saat merasa cukup yakin, ia menyelinap keluar, menutup pintu di belakangnya sepelan mungkin.Ayu berlari kecil, berjinjit di atas lantai dingin. Napasnya terengah, pendek-pendek. Ia berdoa dalam hati, berharap tak seorang pun memergokinya keluar dari kamar Baim.Setibanya di kamarnya, Ayu menutup pintu dengan cepat. Tubuhnya langsung bersandar di daun pintu. Bahunya naik-turun menahan napas yang tercekat. Jantungnya masih berdetak kencang, seolah baru saja lolos dari kejaran binatang buas."Apa yang sudah kamu lakukan, Ayu? Ya Allah..."Matanya terpejam. Ia mencoba mencerna kesalahan yang baru saja terjadi—lalu menenangkan dirinya sendiri. Berharap bayangan semalam segera sirna dari pelupuk mata.Pandangannya beralih ke ranjang. Dua bayi mungil terbaring di sana, kaki-kaki kecil mereka menendang-nendang selimut,
"Apa kamu minta maaf karena kita bersentuhan?" tanya Baim, dingin.Ia terus menatap Ayu—mata itu dalam, teduh, dan kali ini tak lagi sanggup menyembunyikan perasaan yang selama ini terikat rapat.Ayu menundukkan pandangannya, tapi tubuhnya tetap diam."I-iya... Saya nggak bermaksud lancang sama Mas Baim."Lalu perlahan, dalam diam yang tak diundang, Baim melangkah mendekat. Geraknya kecil, tapi pasti. Ayu bisa merasakan panas tubuhnya kian mendekat."Baru sebulan keadaan memisahkan kita. Sekarang, apa kita kembali menjadi orang asing?"Spontan, Ayu menegakkan pandangannya. Ia menelan ludah. Matanya mulai basah, bibirnya bergetar. Tapi tak satu kata pun berhasil keluar.Mereka saling menatap—dalam diam yang mampu menjelaskan segalanya.Dan tanpa banyak kata, Baim menarik Ayu ke dalam pelukannya.Seketika, dunia di dalam lift mengecil. Yang tersisa hanyalah napas yang menyatu dan detak jantung yang terlal