"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora.
"Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon."Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya."Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon.Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil."Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora.Brandon pun mengangguk, lalu ia pun kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan lagi kendaraannya itu untuk menuju kediamannya. Sedangkan Adora baru membuka gerbang dan memasuki kawasan kost yang cukup elit itu setelah memastikan bahwa mobil milik Brandon tak terlihat lagi dari jangkauan pandangannya.Setelah papanya menikah lagi dan memutuskan untuk pindah ke Sydney, Adora memang memilih tinggal sendiri dan menyewa sebuah kamar kost yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ia mengajar. Rumah yang mereka tempati dulu sudah dijual untuk digunakan sebagai modal usaha membuka restoran oleh papanya. Kebetulan papanya adalah mantan kepala koki di salah satu hotel ternama, maka dengan penuh pertimbangan, ia pun memilih untuk membuka usahanya di negeri orang.***Malam tiba, setelah tadi hujan sempat reda saat petang hampir tiba, kini tetesan air dari langit itu pun mulai berjatuhan kembali. Jendela kamar kost Adora terbuka, sehingga aroma tanah yang basah karena air hujan pun tercium oleh wanita itu. Adora menyukai hujan, tapi tidak dengan kilat dan petir yang menyambar. Ia pun benci ketika hujan turun, lampu padam tanpa aba-aba.Bagi Adora keadaan itu justru akan terasa sesak dan tak nyaman. Ia merasa pikirannya akan melanglang jauh memikirkan segala kesedihan yang di masa lalu sudah menimpanya. Jika hanya hujan, terbayang layaknya alunan musik yang menangkan, apalagi jika itu terjadi di malam hari.Adora duduk di kursi yang menghadap langsung ke arah jendela kamar yang terbuka. Di depannya juga ada meja yang terdapat secangkir teh hijau dengan asap yang mengudara."Sedang apa kamu di sana? Apa kita sama menyukai hujan juga?" batinnya.Suara ketukan di pintu membuat lamunannya buyar. Adora bangkit dari kursi dan membukakan pintu kamarnya. Terlihat seorang wanita dengan ikatan kuncir kuda berdiri di depannya sekarang. Ia mengangkat bungkusan plastik bening yang berisikan dua lipatan kertas nasi yang entah membungkus makanan apa. Giginya terlihat berjejer rapi saat wanita itu tersenyum lebar ke arah pemilik kamar tersebut."Bawa apa, Jen?" tanya Adora.Jenny, tetangga kost yang memang dekat dengan Adora itu pun langsung masuk ke dalam kamar tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan temannya itu. Adora langsung menutup pintu kamarnya, lalu ia pun ikut duduk bersila di atas karpet dengan Jenny."Sariawan kamu, Jen? Aku tanya malah nggak jawab," sindir Adora.Jenny pun tertawa dan baru menyadari bahwa memang ia belum memberikan jawaban untuk temannya itu. "Iya, juga. Ini aku beli bihun goreng kesukaan kita. Hujan gini enaknya 'kan makan yang pedas-pedas.""Paling pengertian memang. Makasih, loh!" Adora bangkit dan berjalan ke bagian tempat penyimpanan alat makan untuk mengambil dua piring beserta sendoknya.Wanita itu dengan cepat kembali duduk dan memberikan satu piring berserta sendoknya kepada Jenny. Mereka berdua pun menjadikan piring itu sebagai alas untuk menyimpan makanannya. Dua porsi bihung goreng ekstra pedas yang dilengkapi dengan acar, sayuran serta kerupuk pun kini tersaji di hadapan mereka."Gimana kerjaanmu di tempat baru, Jen?" tanya Adora sambil mulai memasukkan satu suapan bihun gorengnya itu."Lumayanlah, selain nggak begitu jauh, orangnya cukup asik. Beda banget sama di kantor lama. Oh, ya. Tahun ajaran baru seru, nggak?" tanya balik Jenny.Adora mengangguk. "Seru, sih. Muridnya tambah banyak. Nggak banyak yang drama pas awal masuk, lebih banyak yang kalem sebenarnya. Cuma nggak tahu ke depannya gimana, bisa saja mereka masih malu-malu gitu.""Nggak heran, sih. Anak-anak memang gitu. Cuma salutnya aku sama kamu, bisa sabar gitu menghadapi berbagai macam tingkah laku anak-anak. Buat aku yang sabarnya setipis tisu, sudahlah nyerah duluan," jujur Jenny.Adora menyimpan sendoknya. Lengkungan ke atas dari bibirnya pun ia tunjukkan kepada Jenny. "Mereka itu kayak obat dari segala kesedihan, kekecewaan sama bisa ngusir rasa sepi kita, Jen. Dengan tingkah yang menggemaskan, senyuman yang manis dan celotehan jujur mereka itu bakalan buat hati kita hangat pas melihatnya.""Itu buat kamu, Ra. Aku belum sampai sana pemikirannya. Oh, ya. Tadi kata pak Abraham, kamu diantar pulang sama cowok, ya? Mana mobilnya mewah bener lagi, siapa itu? Gak mau cerita sama tetanggamu sendiri, nih?" Jenny baru teringat kalau tadi saat menerima pesanan bihun goreng yang ia pesan dari aplikasi online, satpam di tempat kost memang sempat bilang hal itu kepadanya.Adora mengernyit. "Pak Abraham memang jagonya gosip, deh. Tadi aku pulang diantar sama orang tua murid. Anaknya memang suka paling terakhir dijemput pulang. Kebetulan juga aku mau ke makam mama, mungkin karena gak enak, dia nawarin buat nganter aku.""Tunggu!" Jenny mencerna kata-kata temannya barusan karena agak membingungkan baginya. "Jadi dia antar kamu ke makam, habis itu kamu diantarkan pulang, gitu?""Iya." Adora mengangguk."Ra, ih jangan jadi pelakor! Dosa, ingat Tuhan kamu!" Raut wajah Jenny terlihat begitu serius kali ini."Hah? Apa, sih?" Adora justru malah bingung dengan respon yang diberikan Jenny kepadanya.Jenny menyilangkan kedua tangannya di dada. Posisi kakinya ia benarkan agar menyilang dengan baik, badan pun ia tegakkan. "Dia itu suami orang, sudah punya anak. Hati-hati, bisa saja itu cowok modus biar bisa dapatkan kamu! Ingat kasus tahun kemarin itu, loh! Jangan sampai keulang lagi, aku bilang gini karena peduli sama kamu, ya."Adora malah tertawa terbahak-bahak. Membuat Jenny menjadi keheranan."Dih, ini anak dibilangin malah ketawa. Memang ada yang lucu?" tanya Jenny sambil geleng-geleng kepala."Nggak ada, sih. Cuma nggak usah khawatir. Aku juga tahu batasan, Jen. Lagian pak Brandon itu duda. Kalau dia beristri juga mana mau aku diantarkan tadi. Pasti aku tolak. Terus kamu pikir semua cowok itu tertarik sama aku? Aku nggak secantik dan semenarik itu, Jen. Tenang saja," terang Adora."Dia duda, Ra? Wah, kalau gitu gebet saja sudah!" ide gila pun akhirnya muncul dari mulut manis Jenny yang tentu membuat Adora tak habis pikir."Jangan pergi! Maafkan aku, tetap di sini, jangan tinggalkan aku!" Adora mengigau dalam tidurnya. Air matanya pun tumpah, walau matanya terpejam sekalipun. Suara lirih menandakan bahwa Adora benar-benar sedih. Bunga tidur itu tidak selalu indah, ada kalanya mampu menyayat hati hingga kepiluan menyelimuti raganya yang ringkih. Adora tiba-tiba terbangun. Ia duduk sambil meremas selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya. Menyadari pipinya basah karena air mata, wanita itu tidak menyekanya, ia justru malah terisak. Malam itu, tepat di jam setengah dua belas, luka lama dari masa lalu kembali mengusiknya. Pada akhirnya Adora terjaga hingga sekitar pukul tiga dini hari. Setelah itu, ia terlelap hingga pagi pun tiba. Begitu bangun, wanita itu melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mandi, bersiap, sarapan serta pergi bekerja. Matanya masih sedikit bengkak walau sudah berusaha ia samarkan menggunakan concealer. Ayumi yang melihat kedatangan sahabatnya itu dengan kondisi demikian pun menge
"Oh, ya! Aku baru ingat, bukannya kita pernah ketemu di supermarket pas sama-sama pilih buah mangga?" Laluna akhirnya mengingat bagaimana ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Adora. "Supermarket di jalan Kenanga itu, 'kan? Ya, ampun! saya juga baru ingat sekarang jadinya," sahut Adora yang bahkan sudah lupa juga bahwa mereka pernah mengobrol saat memilih buah mangga di supermarket.Laluna mengangguk. "Iya, itu. Wah, pantas saja wajah Ibu ini nggak asing. Ngomong-ngomong makasih ya sudah bawa keponakanku ke klinik. Kita belum kenalan, kan? Aku Laluna, tantenya Valerie. Panggil saja Luna.""Saya Adora, pengajar di kelas Valerie. Senang bisa berkenalan dengan Bu Luna." Adora menjabat tangan Laluna untuk berkenalan dengannya. "Sama-sama. Tolong berikan nomor rekening Bu Adora supaya aku bisa ganti biaya pengobatan Valerie!" Setelah jabat tangan itu terlepas, Laluna mengeluarkan ponselnya bersiap untuk mengganti uang yang sudah Adora keluarkan untuk biaya pengobatan keponakannya itu.
Brandon sedang berada di pusat perbelanjaan. Ia tengah belanja beberapa keperluan rumah. Saat trolinya memasuki area frozen food, pria itu tampak sedikit bingung. Ia ingin membeli sosis yang biasa Valerie makan, tapi entah kenapa dia lupa menanyakan merk sosis tersebut kepada asisten rumah tangganya. Memang rutinitas belanja biasanya dilakukan oleh pekerjanya di rumah, tapi beberapa menit yang lalu, Valerie menghubunginya dan meminta sang papa untuk membeli beberapa barang yang anak itu inginkan. Untung saja Brandon baru saja menyelesaikan meeting dengan klien di restoran yang letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pikir Pak Brandon nggak suka belanja seperti ini." Terdengar suara seorang wanita dari arah belakang Brandon. Pria itu pun menoleh, melihat siapa yang menyapanya dengan kata-kata hasil dari pemikiran demikian."Bu Adora? Belanja juga, Bu?" tanya Brandon begitu mengetahui bahwa wanita yang barusan berbicara adalah gurunya Valerie. "Iya, Pak. Beli
Adora pada akhirnya memegang tangan Valerie dan Jayden. Untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki di kediaman Brandon. Ada dua asisten rumah tangga yang menyambutnya begitu memasuki bagian dalam rumah. Wanita itu di persilahkan duduk dan Brandon langsung memberikan belanjaan serta sekotak kue yang dibelikan Adora untuk Valerie kepada salah satu pekerjanya. "Ibu belikan kue? Lasa apa?" tanya Valerie. "Karena Ibu nggak tahu kue apa yang kamu suka, jadi Ibu belikan kue mangga, kesukaan Ibu. Nggak apa-apa, kan?" tanya balik Adora. "Aku suka, Bu. Yang penting mangganya manis, pasti suka," ungkapnya dengan mata yang menyipit karena lengkungan garis bibirnya kini mengarah ke atas. "Nanti Papa minta potongan kuenya, habis itu kamu makan, ya. Bu Rara hari ini jenguk kamu, Ri. Katanya mau lihat kamu makan yang lahap, makanya nanti Bu Rara juga mau makan malam sama kita, loh!" kata Brandon. Valerie menoleh, ia ingin memastikan bahwa perkataan papanya bukan sekadar bualan semata. "Memang bena
Adora diantarkan pulang oleh Brandon setelah menemani Valerie hingga tidur. Anak itu memang enggan ditinggalkan ibu gurunya setelah makan malam tadi. Ia masih ingin bermain dan bahkan minta dibacakan buku dongeng saat Valerie mulai mengantuk. Adora tidak tega untuk menolaknya, maka dari itu, ia pun menuruti keinginan anak didiknya tersebut. "Makasih, Pak, sudah mau antarkan saya pulang," kata Adora sebelum ia keluar dari kendaraan pribadi Brandon tersebut. "Sama-sama, Bu. Harusnya saya malah yang bilang seperti itu, Ibu sudah mau ikut ke rumah, main sama Riri sampai akhirnya temani dia untuk bisa tidur. Saya banyak merepotkan Bu Rara selama ini, maaf dan makasih banyak, ya," balas Brandon. "Kembali kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit, ya. Bapak hati-hati di jalan pas pulang nanti," tutur Adora seraya membuka pintu mobil. Brandon pun mengangguk dan berkata, "baik, Bu. Selamat beristirahat, semoga malam ini mimpi indah!"Adora pun keluar dari dalam mobil tersebut. Setelah menutupkan
Seorang anak berusia lima tahun tengah merengek di pinggir mobil orang tuanya. Ia tidak mau masuk sekolah. Padahal hari ini adalah hari pertama anak itu menjadi murid TK. Saat menyadari apa yang tengah terjadi, Adora Claretta Jasmeen, salah satu tenaga pengajar di sekolah tersebut pun mencoba menghampirinya. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Adora dengan ramah dan sopan. "Pagi juga, Bu. Ini anak saya nggak mau saya tinggal, padahal saya ada meeting sebentar lagi," keluh Pria yang menjadi lawan bicara Adora saat ini. "Biar saya coba bujuk, ya." Adora berjongkok sambil mengelus pipi gembul anak itu. "Hai, boleh Ibu tahu nama kamu?""Valelie, panggil Lili saja," jawab anak itu seraya mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya. "Oh, Valerie? Nama yang bagus. Nama Ibu Adora, panggil saja Bu Rara. Ibu boleh tahu kenapa papa Valerie nggak boleh pergi?" tanya Adora yang memahami ucapan gadis kecil itu yang belum fasih mengatakan namanya dengan benar. "Aku takut. Nant
"Bu Rara, maaf kami jadi merepotkan. Terima kasih sudah mau menemani Valerie sampai saya datang," kata Brandon. "Nggak masalah, Pak. Sudah termasuk tugas saya sebagai guru Valerie," sahut Adora mengulas sebuah senyuman. "Ayo, pulang! Aku mau tempel gambar aku di kamar, Pa," ajak Valerie sambil narik-narik ujung kemeja Brandon. "Iya, sebentar. Papa 'kan harus pamitan sama Bu Rara dulu," kata Brandon. "Oke, deh. Ibu, besok ketemu lagi sama aku, ya!" Mata Valerie menyipit seiring lengkungan bibir yang menghadap ke atas itu muncul. "Tentu. Besok kita main bersama lagi, ya!" jawab Adora sambil beberapa kali mengelus pucuk kepala muridnya. "Kalau begitu, kami pamit, Bu. Sekali lagi makasih sudah mau temani Valerie. Sampai bertemu besok," pamit Brandon. "Sama-sama, Pak. Baik, hati-hati di jalan, ya. Dah, Valerie, jangan lupa cuci tangan dan kaki kalau sudah sampai rumah, ya!" Adora melambaikan tangannya. Valerie pun mengangguk. Ia membalas lambaian tangan gurunya sebelum benar-benar m
"Halo, Pa!" Adora mengangkat panggilan dari papanya yang kini tinggal jauh darinya. "Halo, Ra. Gimana kabar kamu? Sudah makan?" tanya Nicholas. "Baik, kok. Kabar aku juga baik. Gimana kabar, Papa? Usaha Papa lancar, kan?" Adora balik bertanya untuk mengetahui kabarnya. "Baik juga. Restoran berjalan lancar, bulan sekarang bahkan omsetnya besar. Papa barusan sudah kirim uang buat kamu, Ra. Tolong dicek nanti habis kita teleponan, ya!" pesan sang Papa. "Padahal nggak usah repot-repot kirim, Pa. Aku juga masih ada uang, kok. Mending Papa pakai buat tambah modal usaha lagi. Oh, ya, gimana kabar tante Naura?" Kali ini Adora menanyakan kabar mama tirinya. "Jangan gitu, ah! Papa juga usaha ya buat kamu juga, Ra. Papa nggak enak sudah tinggalkan kamu sendiri di sana. Kabar tante Naura baik. Dia lagi ngajar les muridnya, paling pulang setengah jam lagi," jawab Nicholas. "Bukan Papa yang tinggalin aku, tapi aku yang mau tetap tinggal di sini. Lagian aku nggak bisa jauh dari kota ini, Pa. Ta
Adora diantarkan pulang oleh Brandon setelah menemani Valerie hingga tidur. Anak itu memang enggan ditinggalkan ibu gurunya setelah makan malam tadi. Ia masih ingin bermain dan bahkan minta dibacakan buku dongeng saat Valerie mulai mengantuk. Adora tidak tega untuk menolaknya, maka dari itu, ia pun menuruti keinginan anak didiknya tersebut. "Makasih, Pak, sudah mau antarkan saya pulang," kata Adora sebelum ia keluar dari kendaraan pribadi Brandon tersebut. "Sama-sama, Bu. Harusnya saya malah yang bilang seperti itu, Ibu sudah mau ikut ke rumah, main sama Riri sampai akhirnya temani dia untuk bisa tidur. Saya banyak merepotkan Bu Rara selama ini, maaf dan makasih banyak, ya," balas Brandon. "Kembali kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit, ya. Bapak hati-hati di jalan pas pulang nanti," tutur Adora seraya membuka pintu mobil. Brandon pun mengangguk dan berkata, "baik, Bu. Selamat beristirahat, semoga malam ini mimpi indah!"Adora pun keluar dari dalam mobil tersebut. Setelah menutupkan
Adora pada akhirnya memegang tangan Valerie dan Jayden. Untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki di kediaman Brandon. Ada dua asisten rumah tangga yang menyambutnya begitu memasuki bagian dalam rumah. Wanita itu di persilahkan duduk dan Brandon langsung memberikan belanjaan serta sekotak kue yang dibelikan Adora untuk Valerie kepada salah satu pekerjanya. "Ibu belikan kue? Lasa apa?" tanya Valerie. "Karena Ibu nggak tahu kue apa yang kamu suka, jadi Ibu belikan kue mangga, kesukaan Ibu. Nggak apa-apa, kan?" tanya balik Adora. "Aku suka, Bu. Yang penting mangganya manis, pasti suka," ungkapnya dengan mata yang menyipit karena lengkungan garis bibirnya kini mengarah ke atas. "Nanti Papa minta potongan kuenya, habis itu kamu makan, ya. Bu Rara hari ini jenguk kamu, Ri. Katanya mau lihat kamu makan yang lahap, makanya nanti Bu Rara juga mau makan malam sama kita, loh!" kata Brandon. Valerie menoleh, ia ingin memastikan bahwa perkataan papanya bukan sekadar bualan semata. "Memang bena
Brandon sedang berada di pusat perbelanjaan. Ia tengah belanja beberapa keperluan rumah. Saat trolinya memasuki area frozen food, pria itu tampak sedikit bingung. Ia ingin membeli sosis yang biasa Valerie makan, tapi entah kenapa dia lupa menanyakan merk sosis tersebut kepada asisten rumah tangganya. Memang rutinitas belanja biasanya dilakukan oleh pekerjanya di rumah, tapi beberapa menit yang lalu, Valerie menghubunginya dan meminta sang papa untuk membeli beberapa barang yang anak itu inginkan. Untung saja Brandon baru saja menyelesaikan meeting dengan klien di restoran yang letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pikir Pak Brandon nggak suka belanja seperti ini." Terdengar suara seorang wanita dari arah belakang Brandon. Pria itu pun menoleh, melihat siapa yang menyapanya dengan kata-kata hasil dari pemikiran demikian."Bu Adora? Belanja juga, Bu?" tanya Brandon begitu mengetahui bahwa wanita yang barusan berbicara adalah gurunya Valerie. "Iya, Pak. Beli
"Oh, ya! Aku baru ingat, bukannya kita pernah ketemu di supermarket pas sama-sama pilih buah mangga?" Laluna akhirnya mengingat bagaimana ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Adora. "Supermarket di jalan Kenanga itu, 'kan? Ya, ampun! saya juga baru ingat sekarang jadinya," sahut Adora yang bahkan sudah lupa juga bahwa mereka pernah mengobrol saat memilih buah mangga di supermarket.Laluna mengangguk. "Iya, itu. Wah, pantas saja wajah Ibu ini nggak asing. Ngomong-ngomong makasih ya sudah bawa keponakanku ke klinik. Kita belum kenalan, kan? Aku Laluna, tantenya Valerie. Panggil saja Luna.""Saya Adora, pengajar di kelas Valerie. Senang bisa berkenalan dengan Bu Luna." Adora menjabat tangan Laluna untuk berkenalan dengannya. "Sama-sama. Tolong berikan nomor rekening Bu Adora supaya aku bisa ganti biaya pengobatan Valerie!" Setelah jabat tangan itu terlepas, Laluna mengeluarkan ponselnya bersiap untuk mengganti uang yang sudah Adora keluarkan untuk biaya pengobatan keponakannya itu.
"Jangan pergi! Maafkan aku, tetap di sini, jangan tinggalkan aku!" Adora mengigau dalam tidurnya. Air matanya pun tumpah, walau matanya terpejam sekalipun. Suara lirih menandakan bahwa Adora benar-benar sedih. Bunga tidur itu tidak selalu indah, ada kalanya mampu menyayat hati hingga kepiluan menyelimuti raganya yang ringkih. Adora tiba-tiba terbangun. Ia duduk sambil meremas selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya. Menyadari pipinya basah karena air mata, wanita itu tidak menyekanya, ia justru malah terisak. Malam itu, tepat di jam setengah dua belas, luka lama dari masa lalu kembali mengusiknya. Pada akhirnya Adora terjaga hingga sekitar pukul tiga dini hari. Setelah itu, ia terlelap hingga pagi pun tiba. Begitu bangun, wanita itu melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mandi, bersiap, sarapan serta pergi bekerja. Matanya masih sedikit bengkak walau sudah berusaha ia samarkan menggunakan concealer. Ayumi yang melihat kedatangan sahabatnya itu dengan kondisi demikian pun menge
"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora. "Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon. "Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya. "Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon. Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora. Bran
Valerie menatap pusara mama Adora. Ia pun menoleh ke arah ibu gurunya itu sambil menatap sedih. Anak itu mengenggam tangan Adora dengan lembut ia pun mengatakan sesuatu yang membuat hatinya tersentuh. "Ibu, jangan nangis, nanti mama Ibu sedih lihatnya. Pasti dali Sulga mama Ibu sudah senyum sekalang lihat kita."Adora pun menoleh sembari tersenyum manis. "Nggak, kok. Ibu nggak nangis, nih lihat Ibu senyum lebar."Padahal sebernarnya Adora sudah mulai merasa bersedih. Setiap kali mengunjungi mamanya itu, ia sering menceritakan berbagai hal dengan sesekali derai air mata pun bercucuran. Apalagi kepergian sang mama bersangkutan dengan apa yang telah menimpa Adora. Rasa bersalah bertahun-tahun menyelimuti dirinya. Andai kejadian di masa lalu itu tidak pernah terjadi, mungkin saja mamanya masih ada hingga saat ini. Mereka bisa menjadi keluarga yang hangat, berkumpul bersama seperti dulu. Namun, kali ini tentu ia tidak dapat melakukannya. Ada anak kecil yang melarangnya untuk bersedih. Te
Brandon menyesap rokok miliknya. Kepulan asap itu pun mengudara. Ia tengah berada di sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi dengan nuansa vintage yang melekat dengan dekorasi tempat usaha tersebut. "Gimana rasa kopinya? Itu menu baru yang aku buat sendiri. Kamu orang ketiga yang mencoba kopi itu." Seorang pria duduk di hadapan Brandon. "Cukup enak. Tidak terlalu pahit, tapi aku bisa merasakan rasa asli kopinya. Ini bagus, kamu bisa menjualnya mulai hari ini," jawab Brandon. "Oke. Aku akan menjual kopi ini mulai besok saja. Gimana kabar Valerie? Aku dengar dia mulai masuk sekolah," tanya Lionel, pria yang menjadi lawan bicara Brandon itu. "Ya. Dia mulai masuk TK. Walau pelafalan huruf R-nya belum lancar, setidaknya anak itu sekarang bisa mulai belajar berinteraksi dengan teman-teman seusianya," tutur Brandon sambil mengetukkan batang rokok ke asbak untuk menjatuhkan abunya. Lionel mengangguk. "Itu bagus untuknya. Nggak terasa, anak itu semakin besar. Begitu juga dengan Jayden, bukan
"Halo, Pa!" Adora mengangkat panggilan dari papanya yang kini tinggal jauh darinya. "Halo, Ra. Gimana kabar kamu? Sudah makan?" tanya Nicholas. "Baik, kok. Kabar aku juga baik. Gimana kabar, Papa? Usaha Papa lancar, kan?" Adora balik bertanya untuk mengetahui kabarnya. "Baik juga. Restoran berjalan lancar, bulan sekarang bahkan omsetnya besar. Papa barusan sudah kirim uang buat kamu, Ra. Tolong dicek nanti habis kita teleponan, ya!" pesan sang Papa. "Padahal nggak usah repot-repot kirim, Pa. Aku juga masih ada uang, kok. Mending Papa pakai buat tambah modal usaha lagi. Oh, ya, gimana kabar tante Naura?" Kali ini Adora menanyakan kabar mama tirinya. "Jangan gitu, ah! Papa juga usaha ya buat kamu juga, Ra. Papa nggak enak sudah tinggalkan kamu sendiri di sana. Kabar tante Naura baik. Dia lagi ngajar les muridnya, paling pulang setengah jam lagi," jawab Nicholas. "Bukan Papa yang tinggalin aku, tapi aku yang mau tetap tinggal di sini. Lagian aku nggak bisa jauh dari kota ini, Pa. Ta