Brandon menyesap rokok miliknya. Kepulan asap itu pun mengudara. Ia tengah berada di sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi dengan nuansa vintage yang melekat dengan dekorasi tempat usaha tersebut.
"Gimana rasa kopinya? Itu menu baru yang aku buat sendiri. Kamu orang ketiga yang mencoba kopi itu." Seorang pria duduk di hadapan Brandon."Cukup enak. Tidak terlalu pahit, tapi aku bisa merasakan rasa asli kopinya. Ini bagus, kamu bisa menjualnya mulai hari ini," jawab Brandon."Oke. Aku akan menjual kopi ini mulai besok saja. Gimana kabar Valerie? Aku dengar dia mulai masuk sekolah," tanya Lionel, pria yang menjadi lawan bicara Brandon itu."Ya. Dia mulai masuk TK. Walau pelafalan huruf R-nya belum lancar, setidaknya anak itu sekarang bisa mulai belajar berinteraksi dengan teman-teman seusianya," tutur Brandon sambil mengetukkan batang rokok ke asbak untuk menjatuhkan abunya.Lionel mengangguk. "Itu bagus untuknya. Nggak terasa, anak itu semakin besar. Begitu juga dengan Jayden, bukan? Apa Luna sudah bisa menerima anak itu sekarang?""Nggak sama sekali. Dia masih keras kepala menganggap anak itu hanya anak yang membatasi dirinya untuk bisa dekat dengan Jonathan. Padahal dia anak yang nggak punya dosa, dia juga tumbuh dengan baik dan sehat selama ini. Aku juga cukup kecewa kepada Luna, bukan karena aku nggak kasihan sama apa yang menimpa dia, aku pikir ini hanya seperti karma karena dia merebut Jonathan dari wanita lain," ungkap Brandon."Padahal kalau adikmu dulu menerima ajakan menikah dariku, mungkin sekarang kejadian seperti ini nggak bakalan dia alami. Sayang sekali, dia lebih memilih Jonathan saat itu hanya karena Laluna menyukai pria itu sejak dia kecil," balas Lionel dengan tersenyum getir.Brandon menekan sisa puntung rokok ke dalam asbak. Ia pun lantas tersenyum ke arah temannya itu. "Kamu harus lebih bersyukur karena gagal menikahi dia. Kalau kamu jadi suaminya, aku yakin kamu nggak bakalan tahan dengan tingkah lakunya. Masih banyak wanita lain di dunia ini, kamu bisa mendapatkan yang jauh lebih baik daripada Laluna.""Kamu ini aneh, orang lain akan membela adiknya sendiri, tapi kamu malah berkata demikian," tawa Lionel."Karena aku tahu bagaimana sifat dan sikapnya. Dia terlalu dimanjakan oleh mama, sehingga itulah hasilnya, apa yang dia mau, maka harus ia dapatkan dengan cara apapun."Brandon dan Laluna mungkin saudara kandung, tapi mereka memang sangat berbeda satu sama lain. Terlebih setelah perceraian orang tuanya yang membuat mereka harus hidup terpisah cukup lama. Laluna ikut bersama mamanya, sedangkan Brandon dibesarkan oleh papanya.Hingga tujuh tahun lalu akhirnya sang papa pun berpulang menghadap Tuhan. Hal tersebut yang membuat Brandon kembali dekat dengan mama dan adiknya itu."Ya, baiklah. Kita lupakan pembahasan soal Laluna. Aku ingin tahu, apa kamu nggak ada rencana buat nikah lagi, Brandon? Valerie sudah berusia lima tahun, aku rasa itu sudah cukup buat kamu terus menerus terjebak dengan perasaanmu untuk Bella," tanya Lionel yang peduli kepada temannya itu."Aku masih sulit buat move on dari Bella, Li. Rasanya baru kemarin kami menikah, berjanji untuk tetap bersama hingga kami tua." Sorot mata Brandon berubah menjadi sendu."Aku tahu. Ini sudah cukup lama berlalu, Brandon. Kamu nggak bisa abaikan fakta bahwa Valerie juga sebenarnya butuh sosok ibu di hidupnya. Begitu juga dengan kamu yang nggak bisa selamanya sendiri. Sudah waktunya buat kamu coba buka hati kamu lagi buat wanita lain," saran Lionel."Ck!" Brandon berdecak dan tersenyum menyinggung. "Katakan itu juga sama diri kamu! Kamu juga semakin tua, cepat menikah atau kamu akan jadi bujang lapuk yang nggak laku," guraunya."Ah, sial! Aku kena lagi," kekeh Lionel."Tapi Valerie memang sedikit aneh sepulang ia sekolah. Dia tiba-tiba bertanya kalau dia punya ibu baru, Bella akan marah atau nggak sama dia, itu membuatku kaget sebenarnya. Apa memang anak itu ingin punya mama lagi?" Brandon kini menatap serius Lionel, berharap mendapatkan jawaban yang masuk akal.Lionel mengangguk. "Bisa jadi begitu. Mungkin gara-gara di sekolah kebanyakan anak pasti bakalan ada interaksi sama mama mereka, kan? Riri kayaknya mau kayak teman-temannya juga. Aku rasa memang kamu harus mulai memikirkan hal ini juga, Brandon."Brandon terdiam, ia mencerna perkataan dari Lionel dengan sebaik-baiknya. Ia mungkin belum mau membina rumah tangga lagi, tapi berbeda dengan putrinya yang bisa saja merindukan sosok ibu yang menyayanginya.***Adora meminta Ayumi untuk menemani Valerie sampai papanya datang untuk menjemput. Lagi-lagi pria itu telat untuk menjemput putrinya ketika jam pulang sekolah. Adora harus segera pergi ke pemakaman sebelum sore tiba, apalagi cuaca hari ini cukup mendung. Namun, Valerie merengek dan tidak ingin ditemani oleh Ayumi."Gimana, dong? Anaknya nggak mau. Aku bukan nggak mau bantu kamu, Ra. Cuma 'kan Valerie sendiri yang mau kamu temani," tanya Ayumi kebingungan."Aku cuma takut kesorean dan hujan. Bus yang menuju ke sana juga jarang lewat kalau sudah sore. Ya, gimana lagi, kalau anaknya memang nggak mau sama kamu, aku temani saja. Biar nanti aku hubungi papanya supaya tidak terlalu lama," jawab Adora."Iya, lebih baik kamu telepon saja papanya. Bilang saja alasan kamu itu, Ra. Aku rasa dia pasti bisa mengerti. Maaf, ya. Aku bukannya nggak mau bantu kamu, loh!" Wanita itu pun merasa tidak enak."Nggak masalah. Kalau gitu, kamu bisa pulang duluan, Yum. Biar Valerie sama aku," kata Adora.Ayumi pun berpamitan dan ia pulang terlebih dahulu. Sementara itu, Adora masih berada di sekolah bersama Valerie menunggu kedatangan Brandon. Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor Brandon dari grup orang tua kelas. Setelah mendapatkannya, Adora pun mencoba menghubungi pria itu."Halo, dengan siapa?" Brandon ternyata langsung menjawab panggilan tersebut."Selamat siang, Pak Brandon. Saya Adora, pengajar dari TK Gemilang Cahaya. Maaf, Pak, apa masih lama untuk bisa sampai di sekolah?" tanya Adora."Oh, Bu Rara. Ini saya sedang di jalan. Cuma kejebak macet, nggak tahu ada apa di depan sana. Maaf, Bu, saya medan Valerie merepotkan Ibu terus," kata Brandon."Begitu, ya. Hati-hati di jalan kalau begitu, Pak. Saya temani putri Bapak di sekolah, jangan khawatir!" ungkap Adora yang ragu untuk menjelaskan alasan utama ia menghubungi pria itu."Baik, Bu. Terima kasih. Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya. Titip Riri, ya," pesan Brandon."Baik, Pak."Percakapan mereka pun berakhir begitu saja. Adora memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia pun melanjutkan menemani Valerie yang tengah bermain lego di ruang khusus bermain."Riri, papamu memang selalu sibuk, ya?" tanya Adora.Valerie pun mengangguk. "Iya. Papa sibuk kelja. Makanya aku sekalang senang bisa sekolah, jadi punya teman, nggak sendili telus kayak di lumah. Kalau di lumah paling sama Sustel saja mainnya."Adora mengusap rambut anak itu dengan lembut. "Kalau keluarga Riri yang lain ke mana? Suka datang ke rumah?"Valerie menoleh dan melihat wajah Adora serta berkata, "kebanyakan dali meleka pada sibuk, Bu. Opa aku sudah meninggal, mama juga. Oma sibuk kelja, tante sibuk belanja. Meleka juga beda lumah. Kalau Abah Ambu, tinggalnya jauh dali sini halus enam jam balu sampai."Anak kecil memang tidak pernah berbohong. Sekalipun melakukannya, tentu saja itu ia tiru dari orang dewasa disekitarnya. Adora merasa kasihan kepada muridnya itu. Ia seolah melihat dirinya ada pada sosok kecil itu.Mereka sama-sama merasa kesepian di dunia ini. Orang yang mereka sayang berada jauh, bahkan ada yang tidak bisa dijangkau oleh sebuah pertemuan lagi. Maka dari itu, anak ini dianggap berbeda di mata Adora. Ia anak kecil yang harus mengalami hal dan situasi yang tidak biasa.Beberapa menit berlalu. Brandon akhirnya datang dan menemui putrinya beserta Adora. Ia mengucapkan terima kasih dan meminta maaf karena terus-terusan merepotkan guru putrinya itu."Nggak apa-apa, Pak. Saya juga sebenarnya nggak bakalan menghubungi Bapak dan terkesan meminta Bapak untuk cepat datang, hanya saja saya harus pergi ke pemakaman sebelum sore dan hujan turun. Kebetulan bus yang melintasi jalur sana cukup jarang kalau sore hari," jelas Adora yang tidak ingin Brandon salah paham kepadanya."Pemakaman? Ada apa? Apa ada keluarga Bu Rara yang meninggal?" tanya Brandon.Adora menggeleng dan tersenyum tipis. "Bukan, Pak. Hari ini ulang tahun mendiang mama saya. Saya ingin berkunjung ke sana sambil membawa buket bunga kesukaannya.""Kalau begitu, mari saya antar! Ri, kamu mau 'kan antar Bu Rara ke makam mamanya?" Brandon menoleh ke arah putrinya itu."Mau, Pa. Ayo, kita antar Bu Lala!" sahut Valerie dengan semangat.Valerie menatap pusara mama Adora. Ia pun menoleh ke arah ibu gurunya itu sambil menatap sedih. Anak itu mengenggam tangan Adora dengan lembut ia pun mengatakan sesuatu yang membuat hatinya tersentuh. "Ibu, jangan nangis, nanti mama Ibu sedih lihatnya. Pasti dali Sulga mama Ibu sudah senyum sekalang lihat kita."Adora pun menoleh sembari tersenyum manis. "Nggak, kok. Ibu nggak nangis, nih lihat Ibu senyum lebar."Padahal sebernarnya Adora sudah mulai merasa bersedih. Setiap kali mengunjungi mamanya itu, ia sering menceritakan berbagai hal dengan sesekali derai air mata pun bercucuran. Apalagi kepergian sang mama bersangkutan dengan apa yang telah menimpa Adora. Rasa bersalah bertahun-tahun menyelimuti dirinya. Andai kejadian di masa lalu itu tidak pernah terjadi, mungkin saja mamanya masih ada hingga saat ini. Mereka bisa menjadi keluarga yang hangat, berkumpul bersama seperti dulu. Namun, kali ini tentu ia tidak dapat melakukannya. Ada anak kecil yang melarangnya untuk bersedih. Te
"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora. "Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon. "Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya. "Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon. Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora. Bran
"Jangan pergi! Maafkan aku, tetap di sini, jangan tinggalkan aku!" Adora mengigau dalam tidurnya. Air matanya pun tumpah, walau matanya terpejam sekalipun. Suara lirih menandakan bahwa Adora benar-benar sedih. Bunga tidur itu tidak selalu indah, ada kalanya mampu menyayat hati hingga kepiluan menyelimuti raganya yang ringkih. Adora tiba-tiba terbangun. Ia duduk sambil meremas selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya. Menyadari pipinya basah karena air mata, wanita itu tidak menyekanya, ia justru malah terisak. Malam itu, tepat di jam setengah dua belas, luka lama dari masa lalu kembali mengusiknya. Pada akhirnya Adora terjaga hingga sekitar pukul tiga dini hari. Setelah itu, ia terlelap hingga pagi pun tiba. Begitu bangun, wanita itu melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mandi, bersiap, sarapan serta pergi bekerja. Matanya masih sedikit bengkak walau sudah berusaha ia samarkan menggunakan concealer. Ayumi yang melihat kedatangan sahabatnya itu dengan kondisi demikian pun menge
"Oh, ya! Aku baru ingat, bukannya kita pernah ketemu di supermarket pas sama-sama pilih buah mangga?" Laluna akhirnya mengingat bagaimana ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Adora. "Supermarket di jalan Kenanga itu, 'kan? Ya, ampun! saya juga baru ingat sekarang jadinya," sahut Adora yang bahkan sudah lupa juga bahwa mereka pernah mengobrol saat memilih buah mangga di supermarket.Laluna mengangguk. "Iya, itu. Wah, pantas saja wajah Ibu ini nggak asing. Ngomong-ngomong makasih ya sudah bawa keponakanku ke klinik. Kita belum kenalan, kan? Aku Laluna, tantenya Valerie. Panggil saja Luna.""Saya Adora, pengajar di kelas Valerie. Senang bisa berkenalan dengan Bu Luna." Adora menjabat tangan Laluna untuk berkenalan dengannya. "Sama-sama. Tolong berikan nomor rekening Bu Adora supaya aku bisa ganti biaya pengobatan Valerie!" Setelah jabat tangan itu terlepas, Laluna mengeluarkan ponselnya bersiap untuk mengganti uang yang sudah Adora keluarkan untuk biaya pengobatan keponakannya itu.
Brandon sedang berada di pusat perbelanjaan. Ia tengah belanja beberapa keperluan rumah. Saat trolinya memasuki area frozen food, pria itu tampak sedikit bingung. Ia ingin membeli sosis yang biasa Valerie makan, tapi entah kenapa dia lupa menanyakan merk sosis tersebut kepada asisten rumah tangganya. Memang rutinitas belanja biasanya dilakukan oleh pekerjanya di rumah, tapi beberapa menit yang lalu, Valerie menghubunginya dan meminta sang papa untuk membeli beberapa barang yang anak itu inginkan. Untung saja Brandon baru saja menyelesaikan meeting dengan klien di restoran yang letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pikir Pak Brandon nggak suka belanja seperti ini." Terdengar suara seorang wanita dari arah belakang Brandon. Pria itu pun menoleh, melihat siapa yang menyapanya dengan kata-kata hasil dari pemikiran demikian."Bu Adora? Belanja juga, Bu?" tanya Brandon begitu mengetahui bahwa wanita yang barusan berbicara adalah gurunya Valerie. "Iya, Pak. Beli
Adora pada akhirnya memegang tangan Valerie dan Jayden. Untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki di kediaman Brandon. Ada dua asisten rumah tangga yang menyambutnya begitu memasuki bagian dalam rumah. Wanita itu di persilahkan duduk dan Brandon langsung memberikan belanjaan serta sekotak kue yang dibelikan Adora untuk Valerie kepada salah satu pekerjanya. "Ibu belikan kue? Lasa apa?" tanya Valerie. "Karena Ibu nggak tahu kue apa yang kamu suka, jadi Ibu belikan kue mangga, kesukaan Ibu. Nggak apa-apa, kan?" tanya balik Adora. "Aku suka, Bu. Yang penting mangganya manis, pasti suka," ungkapnya dengan mata yang menyipit karena lengkungan garis bibirnya kini mengarah ke atas. "Nanti Papa minta potongan kuenya, habis itu kamu makan, ya. Bu Rara hari ini jenguk kamu, Ri. Katanya mau lihat kamu makan yang lahap, makanya nanti Bu Rara juga mau makan malam sama kita, loh!" kata Brandon. Valerie menoleh, ia ingin memastikan bahwa perkataan papanya bukan sekadar bualan semata. "Memang bena
Adora diantarkan pulang oleh Brandon setelah menemani Valerie hingga tidur. Anak itu memang enggan ditinggalkan ibu gurunya setelah makan malam tadi. Ia masih ingin bermain dan bahkan minta dibacakan buku dongeng saat Valerie mulai mengantuk. Adora tidak tega untuk menolaknya, maka dari itu, ia pun menuruti keinginan anak didiknya tersebut. "Makasih, Pak, sudah mau antarkan saya pulang," kata Adora sebelum ia keluar dari kendaraan pribadi Brandon tersebut. "Sama-sama, Bu. Harusnya saya malah yang bilang seperti itu, Ibu sudah mau ikut ke rumah, main sama Riri sampai akhirnya temani dia untuk bisa tidur. Saya banyak merepotkan Bu Rara selama ini, maaf dan makasih banyak, ya," balas Brandon. "Kembali kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit, ya. Bapak hati-hati di jalan pas pulang nanti," tutur Adora seraya membuka pintu mobil. Brandon pun mengangguk dan berkata, "baik, Bu. Selamat beristirahat, semoga malam ini mimpi indah!"Adora pun keluar dari dalam mobil tersebut. Setelah menutupkan
Seorang anak berusia lima tahun tengah merengek di pinggir mobil orang tuanya. Ia tidak mau masuk sekolah. Padahal hari ini adalah hari pertama anak itu menjadi murid TK. Saat menyadari apa yang tengah terjadi, Adora Claretta Jasmeen, salah satu tenaga pengajar di sekolah tersebut pun mencoba menghampirinya. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Adora dengan ramah dan sopan. "Pagi juga, Bu. Ini anak saya nggak mau saya tinggal, padahal saya ada meeting sebentar lagi," keluh Pria yang menjadi lawan bicara Adora saat ini. "Biar saya coba bujuk, ya." Adora berjongkok sambil mengelus pipi gembul anak itu. "Hai, boleh Ibu tahu nama kamu?""Valelie, panggil Lili saja," jawab anak itu seraya mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya. "Oh, Valerie? Nama yang bagus. Nama Ibu Adora, panggil saja Bu Rara. Ibu boleh tahu kenapa papa Valerie nggak boleh pergi?" tanya Adora yang memahami ucapan gadis kecil itu yang belum fasih mengatakan namanya dengan benar. "Aku takut. Nant
Adora diantarkan pulang oleh Brandon setelah menemani Valerie hingga tidur. Anak itu memang enggan ditinggalkan ibu gurunya setelah makan malam tadi. Ia masih ingin bermain dan bahkan minta dibacakan buku dongeng saat Valerie mulai mengantuk. Adora tidak tega untuk menolaknya, maka dari itu, ia pun menuruti keinginan anak didiknya tersebut. "Makasih, Pak, sudah mau antarkan saya pulang," kata Adora sebelum ia keluar dari kendaraan pribadi Brandon tersebut. "Sama-sama, Bu. Harusnya saya malah yang bilang seperti itu, Ibu sudah mau ikut ke rumah, main sama Riri sampai akhirnya temani dia untuk bisa tidur. Saya banyak merepotkan Bu Rara selama ini, maaf dan makasih banyak, ya," balas Brandon. "Kembali kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit, ya. Bapak hati-hati di jalan pas pulang nanti," tutur Adora seraya membuka pintu mobil. Brandon pun mengangguk dan berkata, "baik, Bu. Selamat beristirahat, semoga malam ini mimpi indah!"Adora pun keluar dari dalam mobil tersebut. Setelah menutupkan
Adora pada akhirnya memegang tangan Valerie dan Jayden. Untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki di kediaman Brandon. Ada dua asisten rumah tangga yang menyambutnya begitu memasuki bagian dalam rumah. Wanita itu di persilahkan duduk dan Brandon langsung memberikan belanjaan serta sekotak kue yang dibelikan Adora untuk Valerie kepada salah satu pekerjanya. "Ibu belikan kue? Lasa apa?" tanya Valerie. "Karena Ibu nggak tahu kue apa yang kamu suka, jadi Ibu belikan kue mangga, kesukaan Ibu. Nggak apa-apa, kan?" tanya balik Adora. "Aku suka, Bu. Yang penting mangganya manis, pasti suka," ungkapnya dengan mata yang menyipit karena lengkungan garis bibirnya kini mengarah ke atas. "Nanti Papa minta potongan kuenya, habis itu kamu makan, ya. Bu Rara hari ini jenguk kamu, Ri. Katanya mau lihat kamu makan yang lahap, makanya nanti Bu Rara juga mau makan malam sama kita, loh!" kata Brandon. Valerie menoleh, ia ingin memastikan bahwa perkataan papanya bukan sekadar bualan semata. "Memang bena
Brandon sedang berada di pusat perbelanjaan. Ia tengah belanja beberapa keperluan rumah. Saat trolinya memasuki area frozen food, pria itu tampak sedikit bingung. Ia ingin membeli sosis yang biasa Valerie makan, tapi entah kenapa dia lupa menanyakan merk sosis tersebut kepada asisten rumah tangganya. Memang rutinitas belanja biasanya dilakukan oleh pekerjanya di rumah, tapi beberapa menit yang lalu, Valerie menghubunginya dan meminta sang papa untuk membeli beberapa barang yang anak itu inginkan. Untung saja Brandon baru saja menyelesaikan meeting dengan klien di restoran yang letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pikir Pak Brandon nggak suka belanja seperti ini." Terdengar suara seorang wanita dari arah belakang Brandon. Pria itu pun menoleh, melihat siapa yang menyapanya dengan kata-kata hasil dari pemikiran demikian."Bu Adora? Belanja juga, Bu?" tanya Brandon begitu mengetahui bahwa wanita yang barusan berbicara adalah gurunya Valerie. "Iya, Pak. Beli
"Oh, ya! Aku baru ingat, bukannya kita pernah ketemu di supermarket pas sama-sama pilih buah mangga?" Laluna akhirnya mengingat bagaimana ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Adora. "Supermarket di jalan Kenanga itu, 'kan? Ya, ampun! saya juga baru ingat sekarang jadinya," sahut Adora yang bahkan sudah lupa juga bahwa mereka pernah mengobrol saat memilih buah mangga di supermarket.Laluna mengangguk. "Iya, itu. Wah, pantas saja wajah Ibu ini nggak asing. Ngomong-ngomong makasih ya sudah bawa keponakanku ke klinik. Kita belum kenalan, kan? Aku Laluna, tantenya Valerie. Panggil saja Luna.""Saya Adora, pengajar di kelas Valerie. Senang bisa berkenalan dengan Bu Luna." Adora menjabat tangan Laluna untuk berkenalan dengannya. "Sama-sama. Tolong berikan nomor rekening Bu Adora supaya aku bisa ganti biaya pengobatan Valerie!" Setelah jabat tangan itu terlepas, Laluna mengeluarkan ponselnya bersiap untuk mengganti uang yang sudah Adora keluarkan untuk biaya pengobatan keponakannya itu.
"Jangan pergi! Maafkan aku, tetap di sini, jangan tinggalkan aku!" Adora mengigau dalam tidurnya. Air matanya pun tumpah, walau matanya terpejam sekalipun. Suara lirih menandakan bahwa Adora benar-benar sedih. Bunga tidur itu tidak selalu indah, ada kalanya mampu menyayat hati hingga kepiluan menyelimuti raganya yang ringkih. Adora tiba-tiba terbangun. Ia duduk sambil meremas selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya. Menyadari pipinya basah karena air mata, wanita itu tidak menyekanya, ia justru malah terisak. Malam itu, tepat di jam setengah dua belas, luka lama dari masa lalu kembali mengusiknya. Pada akhirnya Adora terjaga hingga sekitar pukul tiga dini hari. Setelah itu, ia terlelap hingga pagi pun tiba. Begitu bangun, wanita itu melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mandi, bersiap, sarapan serta pergi bekerja. Matanya masih sedikit bengkak walau sudah berusaha ia samarkan menggunakan concealer. Ayumi yang melihat kedatangan sahabatnya itu dengan kondisi demikian pun menge
"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora. "Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon. "Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya. "Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon. Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora. Bran
Valerie menatap pusara mama Adora. Ia pun menoleh ke arah ibu gurunya itu sambil menatap sedih. Anak itu mengenggam tangan Adora dengan lembut ia pun mengatakan sesuatu yang membuat hatinya tersentuh. "Ibu, jangan nangis, nanti mama Ibu sedih lihatnya. Pasti dali Sulga mama Ibu sudah senyum sekalang lihat kita."Adora pun menoleh sembari tersenyum manis. "Nggak, kok. Ibu nggak nangis, nih lihat Ibu senyum lebar."Padahal sebernarnya Adora sudah mulai merasa bersedih. Setiap kali mengunjungi mamanya itu, ia sering menceritakan berbagai hal dengan sesekali derai air mata pun bercucuran. Apalagi kepergian sang mama bersangkutan dengan apa yang telah menimpa Adora. Rasa bersalah bertahun-tahun menyelimuti dirinya. Andai kejadian di masa lalu itu tidak pernah terjadi, mungkin saja mamanya masih ada hingga saat ini. Mereka bisa menjadi keluarga yang hangat, berkumpul bersama seperti dulu. Namun, kali ini tentu ia tidak dapat melakukannya. Ada anak kecil yang melarangnya untuk bersedih. Te
Brandon menyesap rokok miliknya. Kepulan asap itu pun mengudara. Ia tengah berada di sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi dengan nuansa vintage yang melekat dengan dekorasi tempat usaha tersebut. "Gimana rasa kopinya? Itu menu baru yang aku buat sendiri. Kamu orang ketiga yang mencoba kopi itu." Seorang pria duduk di hadapan Brandon. "Cukup enak. Tidak terlalu pahit, tapi aku bisa merasakan rasa asli kopinya. Ini bagus, kamu bisa menjualnya mulai hari ini," jawab Brandon. "Oke. Aku akan menjual kopi ini mulai besok saja. Gimana kabar Valerie? Aku dengar dia mulai masuk sekolah," tanya Lionel, pria yang menjadi lawan bicara Brandon itu. "Ya. Dia mulai masuk TK. Walau pelafalan huruf R-nya belum lancar, setidaknya anak itu sekarang bisa mulai belajar berinteraksi dengan teman-teman seusianya," tutur Brandon sambil mengetukkan batang rokok ke asbak untuk menjatuhkan abunya. Lionel mengangguk. "Itu bagus untuknya. Nggak terasa, anak itu semakin besar. Begitu juga dengan Jayden, bukan
"Halo, Pa!" Adora mengangkat panggilan dari papanya yang kini tinggal jauh darinya. "Halo, Ra. Gimana kabar kamu? Sudah makan?" tanya Nicholas. "Baik, kok. Kabar aku juga baik. Gimana kabar, Papa? Usaha Papa lancar, kan?" Adora balik bertanya untuk mengetahui kabarnya. "Baik juga. Restoran berjalan lancar, bulan sekarang bahkan omsetnya besar. Papa barusan sudah kirim uang buat kamu, Ra. Tolong dicek nanti habis kita teleponan, ya!" pesan sang Papa. "Padahal nggak usah repot-repot kirim, Pa. Aku juga masih ada uang, kok. Mending Papa pakai buat tambah modal usaha lagi. Oh, ya, gimana kabar tante Naura?" Kali ini Adora menanyakan kabar mama tirinya. "Jangan gitu, ah! Papa juga usaha ya buat kamu juga, Ra. Papa nggak enak sudah tinggalkan kamu sendiri di sana. Kabar tante Naura baik. Dia lagi ngajar les muridnya, paling pulang setengah jam lagi," jawab Nicholas. "Bukan Papa yang tinggalin aku, tapi aku yang mau tetap tinggal di sini. Lagian aku nggak bisa jauh dari kota ini, Pa. Ta