Seorang anak berusia lima tahun tengah merengek di pinggir mobil orang tuanya. Ia tidak mau masuk sekolah. Padahal hari ini adalah hari pertama anak itu menjadi murid TK. Saat menyadari apa yang tengah terjadi, Adora Claretta Jasmeen, salah satu tenaga pengajar di sekolah tersebut pun mencoba menghampirinya.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Adora dengan ramah dan sopan."Pagi juga, Bu. Ini anak saya nggak mau saya tinggal, padahal saya ada meeting sebentar lagi," keluh Pria yang menjadi lawan bicara Adora saat ini."Biar saya coba bujuk, ya." Adora berjongkok sambil mengelus pipi gembul anak itu. "Hai, boleh Ibu tahu nama kamu?""Valelie, panggil Lili saja," jawab anak itu seraya mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya."Oh, Valerie? Nama yang bagus. Nama Ibu Adora, panggil saja Bu Rara. Ibu boleh tahu kenapa papa Valerie nggak boleh pergi?" tanya Adora yang memahami ucapan gadis kecil itu yang belum fasih mengatakan namanya dengan benar."Aku takut. Nanti Papa nggak jemput aku lagi," celotehnya dengan polos.Adora tersenyum tipis. "Papa Riri pasti jemput lagi, kok. Nanti kalau telat jemput, Ibu bakalan temani Riri bermain dulu sampai dijemput. Bagaimana?"Valerie menatap lekat wajah Adora. Ia pun tersenyum dan berhenti menangis. "Ibu Lala cantik juga baik, aku mau main sama Ibu!""Kalau begitu, ayo berdiri! Kita masuk untuk bermain bersama, mau?" ajak Adora.Valerie mengangguk dengan semangat. "Mau!"Keduanya pun berdiri. Valerie langsung mengizinkan papanya untuk berangkat bekerja."Makasih, Bu Rara. Gak tahu saya kalau Ibu nggak bantu bujuk anak saya ini. Mungkin saya nggak bisa pergi, padahal meeting kali ini sangat penting buat saya," ungkap Papa Valerie."Sama-sama, Pak?" Adora belum mengetahui nama lawan bicaranya itu."Oh, ya. Perkenalkan nama saya Brandon Calvin," ucapnya memperkenalkan diri."Baik, kalau begitu Pak Brandon, saya ajak Valerie untuk masuk terlebih dahulu sehingga Bapak bisa segera berangkat. Semoga rapatnya berjalan dengan lancar, permisi, Pak!" pamit Adora sambil menggandeng tangan mungil Valerie menuju gedung sekolah.Brandon sempat terdiam, ia melihat putrinya sampai masuk ke dalam gedung sekolah untuk memastikan Valerie tidak rewel lagi. Setelah merasa aman, baru ia masuk ke dalam mobil untuk menuju tempat kerja.***Pelajaran pertama dimulai. Anak-anak diminta membuat gambar orang tua beserta saudara mereka menggunakan pensil gambar. Namun, Valerie tampak hanya diam saja sambil melihat ke sekitarnya. Teman-temannya yang lain sudah mulai sibuk dengan pensil dan buku gambar masing-masing.Adora yang merupakan pengajar di kelas Valerie pun melihat gelagat berbeda dari anak itu. Wanita itu pun mendekati meja Valerie untuk menanyakan apa yang terjadi, barangkali anak itu mengalami kesulitan atau menginginkan pensil warna lain sebelum mulai menggambar."Kenapa belum mulai, Riri? Mau pensil warna lain? Ibu bisa bantu ambilkan," tanya Adora."Lili nggak punya mama. Mama Lili meninggal, jadi cuma ada papa," jawab Valerie dengan polosnya.Adora tampak terkejut mendengar pengakuan dari anak kecil itu. Namun, sebisa mungkin ia tidak menunjukkannya. Ia tidak ingin membuat Valerie sedih dan merasa dikasihani, karena hal tersebut tentu akan melukai hatinya."Bu Rara juga nggak punya mama lagi. Kita sama, ya. Berarti Tuhan tahu kalau kita ini perempuan yang kuat dan hebat. Mama kita sudah bahagia di sisi Tuhan, jadi kita di sini juga harus bahagia. Sekarang, Riri gambar saja papa dan Riri. Bisa ditambah sama tante, om, sepupu, kakek atau nenek juga boleh, kok," ucap Adora seraya mengusap rambut bagian belakang Valerie.Valerie langsung ceria. "Oke! Aku mau gambal sekalang," katanya dengan cadel."Anak pintar! Kalau begitu Ibu tinggal dulu, ya. Ibu mau lihat gambar teman-teman Riri yang lainnya. Nanti, Ibu lihat lagi punya Riri, oke?"Valerie pun mengangguk. “Ya, Bu."Adora pun berkeliling, melihat anak-anak muridnya yang lain. Tahun ini yang mendaftar di sekolah TK tempat ia mengajar cukup banyak. Sehingga bisa mendapatkan tiga kelas, padahal tahun kemarin hanya dapat dua kelas saja.Tahun ini adalah tahun kedua baginya mengajar di sekolah tersebut. Bertemu dan mengenal banyak anak-anak yang memiliki sikap serta sifat yang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Adora. Namun, kecintaannya kepada anak-anak membuatnya mampu menangani itu semua. Apalagi sekarang ia termasuk guru yang disukai oleh banyak muridnya.Setiap kelas akan ada dua guru yang bertugas mengajar anak-anak. Adora pun tentu memiliki rekan kerja. Namanya, Ayumi. Dia adalah sahabat Adora sejak lama. Melalui informasi dari Ayumi pula wanita itu dapat bekerja untuk mengajar anak-anak di sekolah tersebut.Bel berbunyi. Waktu pelajaran pertama usai. Adora dan Ayumi pun membawa kertas-kertas gambar hasil karya murid mereka. Ketika Adora mendatangi meja Valerie, anak itu sudah tersenyum lebar ke arahnya."Ibu coba lihat gambal aku!" Anak itu meminta Adora untuk memeriksa hasil karyanya.Adora pun menuruti keinginan anak itu. Ia melihat gambar yang telah dibuat oleh Valerie dengan menggunakan crayon."Wah, bagus! Riri pintar dalam menggambar. Ini Riri, papa sama satu lagi siapa?" tanya Adora yang tak lupa memberikan pujian juga."Bu Lala," jawabnya sambil cengegesan.Adora cukup terkejut mendapatkan jawaban demikian. Namun, Ia pun tetap tersenyum dan kembali memuji Valerie. "Terima kasih. Ibu senang digambar sama Valerie. Nanti setelah diberi bintang, sebelum pulang, Ibu bagikan lagi hasil gambarnya. Riri bisa kasih lihat ke papa nanti, ya!""Oke," sahutnya sambil mengangguk.Adora pun berpindah ke meja lain untuk membawa hasil karya murid yang lainnya. Baru setelah itu, ia kembali ke mejanya. Anak-anak dipersilahkan untuk bermain. Kebetulan di dalam kelas pun sudah difasilitasi berbagai mainan untuk mengasah tumbuh kembang anak.Ayumi menyenggol lengan Adora sehingga wanita itu pun menoleh ke arahnya. "Kenapa?""Baru satu hari di tahun ajaran baru, sudah ada saja anak yang mulai menempel ke kamu, Ra," kata Ayumi seraya tersenyum."Nanti juga semuanya begitu, Yum. Seperti tahun lalu, awalnya biasa saja, lama kelamaan juga pasti nempel semua ke kamu sama ke aku," sahut Adora."Anak cewek biasanya ke kamu, sih. Kalau yang cowok-cowok baru ke aku. Soalnya kalau pada berantem, aku yang pisahin, ha ha ...." Ayumi tertawa karena isi kepalanya teringat kembali kejadian anak laki-laki ketika tengah bertengkar karena hal sepele."Iya, yang cewek pada ngumpet di aku. Soalnya pada takut lihat yang lagi pada berantem. Anak-anak cowok lain 'kan malah pada nonton sambil manas-manasin," timpal Adora.Mereka pun mengobrol sambil terus mengingat kembali memori kejadian tahun lalu saat mengajar anak-anak yang naik ke kelas B atau bahkan ada yang sudah mulai masuk SD sambil menilai gambar anak-anak.***Brandon datang terlambat untuk menjemput anaknya. Ia pun berjalan dengan tergesa-gesa memasuki gedung sekolah. Pria itu sempat bertanya kepada salah satu petugas kebersihan mengenai keberadaan anaknya. Setelah mendapatkan jawaban, Brandon pun pergi menuju tempat di mana anaknya berada.Sebuah taman di samping bangunan sekolah menjadi tempat Valerie menunggu papanya itu. Ia ditemani oleh Adora. Mereka tengah bermain ayunan. Brandon pun menghampiri keduanya."Itu Papa!" Valerie menunjuk ke arah Brandon.Adora pun menghentikan ayunan anak itu. Valerie langsung turun dan berlari memeluk papanya."Maaf, Papa telat jemput kamu, ya? Nunggu lama nggak, Sayang?" tanya Brandon.Valerie mengangguk. "Lama, tapi aku bisa main sama Bu Lala jadinya.""Makasih Bu Rara sudah mau ajak main Riri sambil nunggu saya datang. Maaf juga kalau sudah merepotkan," kata Brandon yang merasa tidak enak kepada ibu guru anaknya itu."Nggak apa-apa, Pak. Saya senang kok bisa ada waktu lebih main sama Riri." Adora pun tersenyum."Papa mau lihat gambal aku, nggak? Aku hali ini gambal bagus," celoteh Valerie sambil membuka resleting tasnya.Brandon pun jongkok untuk membantu putrinya memegangi tas sekolah Valerie. "Gambar apa? Papa mau lihat, dong!"Valerie mengeluarkan hasil karyanya itu, ia lantas memberikannya kepada sang papa. Brandon menerimanya dan melihat gambar tersebut."Bagus sekali! Ini Riri gambar Papa, kan?" tanya Brandon setelah memuji hasil karya anaknya."Ini Papa, aku sama Bu Lala," jawab Valerie seraya menjelaskan tentang gambar tersebut.Brandon mendongak melihat ke arah Adora. Kebetulan wanita itu juga tengah melihat ke arahnya sehingga keduanya kini saling beradu pandang."Pa, Ibu gulu aku cantik, ya?" tanya Valerie saat tahu papanya kini tengah melihat ke arah Adora."Bu Rara, maaf kami jadi merepotkan. Terima kasih sudah mau menemani Valerie sampai saya datang," kata Brandon. "Nggak masalah, Pak. Sudah termasuk tugas saya sebagai guru Valerie," sahut Adora mengulas sebuah senyuman. "Ayo, pulang! Aku mau tempel gambar aku di kamar, Pa," ajak Valerie sambil narik-narik ujung kemeja Brandon. "Iya, sebentar. Papa 'kan harus pamitan sama Bu Rara dulu," kata Brandon. "Oke, deh. Ibu, besok ketemu lagi sama aku, ya!" Mata Valerie menyipit seiring lengkungan bibir yang menghadap ke atas itu muncul. "Tentu. Besok kita main bersama lagi, ya!" jawab Adora sambil beberapa kali mengelus pucuk kepala muridnya. "Kalau begitu, kami pamit, Bu. Sekali lagi makasih sudah mau temani Valerie. Sampai bertemu besok," pamit Brandon. "Sama-sama, Pak. Baik, hati-hati di jalan, ya. Dah, Valerie, jangan lupa cuci tangan dan kaki kalau sudah sampai rumah, ya!" Adora melambaikan tangannya. Valerie pun mengangguk. Ia membalas lambaian tangan gurunya sebelum benar-benar m
"Halo, Pa!" Adora mengangkat panggilan dari papanya yang kini tinggal jauh darinya. "Halo, Ra. Gimana kabar kamu? Sudah makan?" tanya Nicholas. "Baik, kok. Kabar aku juga baik. Gimana kabar, Papa? Usaha Papa lancar, kan?" Adora balik bertanya untuk mengetahui kabarnya. "Baik juga. Restoran berjalan lancar, bulan sekarang bahkan omsetnya besar. Papa barusan sudah kirim uang buat kamu, Ra. Tolong dicek nanti habis kita teleponan, ya!" pesan sang Papa. "Padahal nggak usah repot-repot kirim, Pa. Aku juga masih ada uang, kok. Mending Papa pakai buat tambah modal usaha lagi. Oh, ya, gimana kabar tante Naura?" Kali ini Adora menanyakan kabar mama tirinya. "Jangan gitu, ah! Papa juga usaha ya buat kamu juga, Ra. Papa nggak enak sudah tinggalkan kamu sendiri di sana. Kabar tante Naura baik. Dia lagi ngajar les muridnya, paling pulang setengah jam lagi," jawab Nicholas. "Bukan Papa yang tinggalin aku, tapi aku yang mau tetap tinggal di sini. Lagian aku nggak bisa jauh dari kota ini, Pa. Ta
Brandon menyesap rokok miliknya. Kepulan asap itu pun mengudara. Ia tengah berada di sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi dengan nuansa vintage yang melekat dengan dekorasi tempat usaha tersebut. "Gimana rasa kopinya? Itu menu baru yang aku buat sendiri. Kamu orang ketiga yang mencoba kopi itu." Seorang pria duduk di hadapan Brandon. "Cukup enak. Tidak terlalu pahit, tapi aku bisa merasakan rasa asli kopinya. Ini bagus, kamu bisa menjualnya mulai hari ini," jawab Brandon. "Oke. Aku akan menjual kopi ini mulai besok saja. Gimana kabar Valerie? Aku dengar dia mulai masuk sekolah," tanya Lionel, pria yang menjadi lawan bicara Brandon itu. "Ya. Dia mulai masuk TK. Walau pelafalan huruf R-nya belum lancar, setidaknya anak itu sekarang bisa mulai belajar berinteraksi dengan teman-teman seusianya," tutur Brandon sambil mengetukkan batang rokok ke asbak untuk menjatuhkan abunya. Lionel mengangguk. "Itu bagus untuknya. Nggak terasa, anak itu semakin besar. Begitu juga dengan Jayden, bukan
Valerie menatap pusara mama Adora. Ia pun menoleh ke arah ibu gurunya itu sambil menatap sedih. Anak itu mengenggam tangan Adora dengan lembut ia pun mengatakan sesuatu yang membuat hatinya tersentuh. "Ibu, jangan nangis, nanti mama Ibu sedih lihatnya. Pasti dali Sulga mama Ibu sudah senyum sekalang lihat kita."Adora pun menoleh sembari tersenyum manis. "Nggak, kok. Ibu nggak nangis, nih lihat Ibu senyum lebar."Padahal sebernarnya Adora sudah mulai merasa bersedih. Setiap kali mengunjungi mamanya itu, ia sering menceritakan berbagai hal dengan sesekali derai air mata pun bercucuran. Apalagi kepergian sang mama bersangkutan dengan apa yang telah menimpa Adora. Rasa bersalah bertahun-tahun menyelimuti dirinya. Andai kejadian di masa lalu itu tidak pernah terjadi, mungkin saja mamanya masih ada hingga saat ini. Mereka bisa menjadi keluarga yang hangat, berkumpul bersama seperti dulu. Namun, kali ini tentu ia tidak dapat melakukannya. Ada anak kecil yang melarangnya untuk bersedih. Te
"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora. "Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon. "Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya. "Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon. Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora. Bran
"Jangan pergi! Maafkan aku, tetap di sini, jangan tinggalkan aku!" Adora mengigau dalam tidurnya. Air matanya pun tumpah, walau matanya terpejam sekalipun. Suara lirih menandakan bahwa Adora benar-benar sedih. Bunga tidur itu tidak selalu indah, ada kalanya mampu menyayat hati hingga kepiluan menyelimuti raganya yang ringkih. Adora tiba-tiba terbangun. Ia duduk sambil meremas selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya. Menyadari pipinya basah karena air mata, wanita itu tidak menyekanya, ia justru malah terisak. Malam itu, tepat di jam setengah dua belas, luka lama dari masa lalu kembali mengusiknya. Pada akhirnya Adora terjaga hingga sekitar pukul tiga dini hari. Setelah itu, ia terlelap hingga pagi pun tiba. Begitu bangun, wanita itu melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mandi, bersiap, sarapan serta pergi bekerja. Matanya masih sedikit bengkak walau sudah berusaha ia samarkan menggunakan concealer. Ayumi yang melihat kedatangan sahabatnya itu dengan kondisi demikian pun menge
"Oh, ya! Aku baru ingat, bukannya kita pernah ketemu di supermarket pas sama-sama pilih buah mangga?" Laluna akhirnya mengingat bagaimana ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Adora. "Supermarket di jalan Kenanga itu, 'kan? Ya, ampun! saya juga baru ingat sekarang jadinya," sahut Adora yang bahkan sudah lupa juga bahwa mereka pernah mengobrol saat memilih buah mangga di supermarket.Laluna mengangguk. "Iya, itu. Wah, pantas saja wajah Ibu ini nggak asing. Ngomong-ngomong makasih ya sudah bawa keponakanku ke klinik. Kita belum kenalan, kan? Aku Laluna, tantenya Valerie. Panggil saja Luna.""Saya Adora, pengajar di kelas Valerie. Senang bisa berkenalan dengan Bu Luna." Adora menjabat tangan Laluna untuk berkenalan dengannya. "Sama-sama. Tolong berikan nomor rekening Bu Adora supaya aku bisa ganti biaya pengobatan Valerie!" Setelah jabat tangan itu terlepas, Laluna mengeluarkan ponselnya bersiap untuk mengganti uang yang sudah Adora keluarkan untuk biaya pengobatan keponakannya itu.
Brandon sedang berada di pusat perbelanjaan. Ia tengah belanja beberapa keperluan rumah. Saat trolinya memasuki area frozen food, pria itu tampak sedikit bingung. Ia ingin membeli sosis yang biasa Valerie makan, tapi entah kenapa dia lupa menanyakan merk sosis tersebut kepada asisten rumah tangganya. Memang rutinitas belanja biasanya dilakukan oleh pekerjanya di rumah, tapi beberapa menit yang lalu, Valerie menghubunginya dan meminta sang papa untuk membeli beberapa barang yang anak itu inginkan. Untung saja Brandon baru saja menyelesaikan meeting dengan klien di restoran yang letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pikir Pak Brandon nggak suka belanja seperti ini." Terdengar suara seorang wanita dari arah belakang Brandon. Pria itu pun menoleh, melihat siapa yang menyapanya dengan kata-kata hasil dari pemikiran demikian."Bu Adora? Belanja juga, Bu?" tanya Brandon begitu mengetahui bahwa wanita yang barusan berbicara adalah gurunya Valerie. "Iya, Pak. Beli
Adora diantarkan pulang oleh Brandon setelah menemani Valerie hingga tidur. Anak itu memang enggan ditinggalkan ibu gurunya setelah makan malam tadi. Ia masih ingin bermain dan bahkan minta dibacakan buku dongeng saat Valerie mulai mengantuk. Adora tidak tega untuk menolaknya, maka dari itu, ia pun menuruti keinginan anak didiknya tersebut. "Makasih, Pak, sudah mau antarkan saya pulang," kata Adora sebelum ia keluar dari kendaraan pribadi Brandon tersebut. "Sama-sama, Bu. Harusnya saya malah yang bilang seperti itu, Ibu sudah mau ikut ke rumah, main sama Riri sampai akhirnya temani dia untuk bisa tidur. Saya banyak merepotkan Bu Rara selama ini, maaf dan makasih banyak, ya," balas Brandon. "Kembali kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit, ya. Bapak hati-hati di jalan pas pulang nanti," tutur Adora seraya membuka pintu mobil. Brandon pun mengangguk dan berkata, "baik, Bu. Selamat beristirahat, semoga malam ini mimpi indah!"Adora pun keluar dari dalam mobil tersebut. Setelah menutupkan
Adora pada akhirnya memegang tangan Valerie dan Jayden. Untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki di kediaman Brandon. Ada dua asisten rumah tangga yang menyambutnya begitu memasuki bagian dalam rumah. Wanita itu di persilahkan duduk dan Brandon langsung memberikan belanjaan serta sekotak kue yang dibelikan Adora untuk Valerie kepada salah satu pekerjanya. "Ibu belikan kue? Lasa apa?" tanya Valerie. "Karena Ibu nggak tahu kue apa yang kamu suka, jadi Ibu belikan kue mangga, kesukaan Ibu. Nggak apa-apa, kan?" tanya balik Adora. "Aku suka, Bu. Yang penting mangganya manis, pasti suka," ungkapnya dengan mata yang menyipit karena lengkungan garis bibirnya kini mengarah ke atas. "Nanti Papa minta potongan kuenya, habis itu kamu makan, ya. Bu Rara hari ini jenguk kamu, Ri. Katanya mau lihat kamu makan yang lahap, makanya nanti Bu Rara juga mau makan malam sama kita, loh!" kata Brandon. Valerie menoleh, ia ingin memastikan bahwa perkataan papanya bukan sekadar bualan semata. "Memang bena
Brandon sedang berada di pusat perbelanjaan. Ia tengah belanja beberapa keperluan rumah. Saat trolinya memasuki area frozen food, pria itu tampak sedikit bingung. Ia ingin membeli sosis yang biasa Valerie makan, tapi entah kenapa dia lupa menanyakan merk sosis tersebut kepada asisten rumah tangganya. Memang rutinitas belanja biasanya dilakukan oleh pekerjanya di rumah, tapi beberapa menit yang lalu, Valerie menghubunginya dan meminta sang papa untuk membeli beberapa barang yang anak itu inginkan. Untung saja Brandon baru saja menyelesaikan meeting dengan klien di restoran yang letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pikir Pak Brandon nggak suka belanja seperti ini." Terdengar suara seorang wanita dari arah belakang Brandon. Pria itu pun menoleh, melihat siapa yang menyapanya dengan kata-kata hasil dari pemikiran demikian."Bu Adora? Belanja juga, Bu?" tanya Brandon begitu mengetahui bahwa wanita yang barusan berbicara adalah gurunya Valerie. "Iya, Pak. Beli
"Oh, ya! Aku baru ingat, bukannya kita pernah ketemu di supermarket pas sama-sama pilih buah mangga?" Laluna akhirnya mengingat bagaimana ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Adora. "Supermarket di jalan Kenanga itu, 'kan? Ya, ampun! saya juga baru ingat sekarang jadinya," sahut Adora yang bahkan sudah lupa juga bahwa mereka pernah mengobrol saat memilih buah mangga di supermarket.Laluna mengangguk. "Iya, itu. Wah, pantas saja wajah Ibu ini nggak asing. Ngomong-ngomong makasih ya sudah bawa keponakanku ke klinik. Kita belum kenalan, kan? Aku Laluna, tantenya Valerie. Panggil saja Luna.""Saya Adora, pengajar di kelas Valerie. Senang bisa berkenalan dengan Bu Luna." Adora menjabat tangan Laluna untuk berkenalan dengannya. "Sama-sama. Tolong berikan nomor rekening Bu Adora supaya aku bisa ganti biaya pengobatan Valerie!" Setelah jabat tangan itu terlepas, Laluna mengeluarkan ponselnya bersiap untuk mengganti uang yang sudah Adora keluarkan untuk biaya pengobatan keponakannya itu.
"Jangan pergi! Maafkan aku, tetap di sini, jangan tinggalkan aku!" Adora mengigau dalam tidurnya. Air matanya pun tumpah, walau matanya terpejam sekalipun. Suara lirih menandakan bahwa Adora benar-benar sedih. Bunga tidur itu tidak selalu indah, ada kalanya mampu menyayat hati hingga kepiluan menyelimuti raganya yang ringkih. Adora tiba-tiba terbangun. Ia duduk sambil meremas selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya. Menyadari pipinya basah karena air mata, wanita itu tidak menyekanya, ia justru malah terisak. Malam itu, tepat di jam setengah dua belas, luka lama dari masa lalu kembali mengusiknya. Pada akhirnya Adora terjaga hingga sekitar pukul tiga dini hari. Setelah itu, ia terlelap hingga pagi pun tiba. Begitu bangun, wanita itu melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mandi, bersiap, sarapan serta pergi bekerja. Matanya masih sedikit bengkak walau sudah berusaha ia samarkan menggunakan concealer. Ayumi yang melihat kedatangan sahabatnya itu dengan kondisi demikian pun menge
"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora. "Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon. "Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya. "Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon. Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora. Bran
Valerie menatap pusara mama Adora. Ia pun menoleh ke arah ibu gurunya itu sambil menatap sedih. Anak itu mengenggam tangan Adora dengan lembut ia pun mengatakan sesuatu yang membuat hatinya tersentuh. "Ibu, jangan nangis, nanti mama Ibu sedih lihatnya. Pasti dali Sulga mama Ibu sudah senyum sekalang lihat kita."Adora pun menoleh sembari tersenyum manis. "Nggak, kok. Ibu nggak nangis, nih lihat Ibu senyum lebar."Padahal sebernarnya Adora sudah mulai merasa bersedih. Setiap kali mengunjungi mamanya itu, ia sering menceritakan berbagai hal dengan sesekali derai air mata pun bercucuran. Apalagi kepergian sang mama bersangkutan dengan apa yang telah menimpa Adora. Rasa bersalah bertahun-tahun menyelimuti dirinya. Andai kejadian di masa lalu itu tidak pernah terjadi, mungkin saja mamanya masih ada hingga saat ini. Mereka bisa menjadi keluarga yang hangat, berkumpul bersama seperti dulu. Namun, kali ini tentu ia tidak dapat melakukannya. Ada anak kecil yang melarangnya untuk bersedih. Te
Brandon menyesap rokok miliknya. Kepulan asap itu pun mengudara. Ia tengah berada di sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi dengan nuansa vintage yang melekat dengan dekorasi tempat usaha tersebut. "Gimana rasa kopinya? Itu menu baru yang aku buat sendiri. Kamu orang ketiga yang mencoba kopi itu." Seorang pria duduk di hadapan Brandon. "Cukup enak. Tidak terlalu pahit, tapi aku bisa merasakan rasa asli kopinya. Ini bagus, kamu bisa menjualnya mulai hari ini," jawab Brandon. "Oke. Aku akan menjual kopi ini mulai besok saja. Gimana kabar Valerie? Aku dengar dia mulai masuk sekolah," tanya Lionel, pria yang menjadi lawan bicara Brandon itu. "Ya. Dia mulai masuk TK. Walau pelafalan huruf R-nya belum lancar, setidaknya anak itu sekarang bisa mulai belajar berinteraksi dengan teman-teman seusianya," tutur Brandon sambil mengetukkan batang rokok ke asbak untuk menjatuhkan abunya. Lionel mengangguk. "Itu bagus untuknya. Nggak terasa, anak itu semakin besar. Begitu juga dengan Jayden, bukan
"Halo, Pa!" Adora mengangkat panggilan dari papanya yang kini tinggal jauh darinya. "Halo, Ra. Gimana kabar kamu? Sudah makan?" tanya Nicholas. "Baik, kok. Kabar aku juga baik. Gimana kabar, Papa? Usaha Papa lancar, kan?" Adora balik bertanya untuk mengetahui kabarnya. "Baik juga. Restoran berjalan lancar, bulan sekarang bahkan omsetnya besar. Papa barusan sudah kirim uang buat kamu, Ra. Tolong dicek nanti habis kita teleponan, ya!" pesan sang Papa. "Padahal nggak usah repot-repot kirim, Pa. Aku juga masih ada uang, kok. Mending Papa pakai buat tambah modal usaha lagi. Oh, ya, gimana kabar tante Naura?" Kali ini Adora menanyakan kabar mama tirinya. "Jangan gitu, ah! Papa juga usaha ya buat kamu juga, Ra. Papa nggak enak sudah tinggalkan kamu sendiri di sana. Kabar tante Naura baik. Dia lagi ngajar les muridnya, paling pulang setengah jam lagi," jawab Nicholas. "Bukan Papa yang tinggalin aku, tapi aku yang mau tetap tinggal di sini. Lagian aku nggak bisa jauh dari kota ini, Pa. Ta