"Bu Rara, maaf kami jadi merepotkan. Terima kasih sudah mau menemani Valerie sampai saya datang," kata Brandon.
"Nggak masalah, Pak. Sudah termasuk tugas saya sebagai guru Valerie," sahut Adora mengulas sebuah senyuman."Ayo, pulang! Aku mau tempel gambar aku di kamar, Pa," ajak Valerie sambil narik-narik ujung kemeja Brandon."Iya, sebentar. Papa 'kan harus pamitan sama Bu Rara dulu," kata Brandon."Oke, deh. Ibu, besok ketemu lagi sama aku, ya!" Mata Valerie menyipit seiring lengkungan bibir yang menghadap ke atas itu muncul."Tentu. Besok kita main bersama lagi, ya!" jawab Adora sambil beberapa kali mengelus pucuk kepala muridnya."Kalau begitu, kami pamit, Bu. Sekali lagi makasih sudah mau temani Valerie. Sampai bertemu besok," pamit Brandon."Sama-sama, Pak. Baik, hati-hati di jalan, ya. Dah, Valerie, jangan lupa cuci tangan dan kaki kalau sudah sampai rumah, ya!" Adora melambaikan tangannya.Valerie pun mengangguk. Ia membalas lambaian tangan gurunya sebelum benar-benar meninggalkan Adora yang masih berdiri di taman bermain sekolah.Setelah memastikan murid dan orang tuanya pergi, Adora pun menuju ruang pertemuan. Hari ini sebenarnya di sekolah diadakan pertemuan antara para pengajar bersama kepala sekolah. Namun, karena Valerie telat dijemput, maka Adora harus menemani muridnya tersebut sampai orang tuanya datang dan baru bisa bergabung bersama rekan kerjanya yang lain di ruang pertemuan.Adora mengetuk pintu sebelum ia memasuki ruangan tersebut. Begitu mendapatkan jawaban dan izin untuk masuk, wanita itu pun baru membuka pintu tersebut dan bergabung dalam pertemuan itu."Maaf, Bu, lama. Orang tuanya tadi sempat mengajak berbicara sebenta," ucap Adora kepada kepala sekolah karena merasa tidak enak."Pasti sudah menggatal, mau jadi pelakor lagi kayaknya kayak tahun lalu," celetuk Siska, rekan seprofesinya yang memang dari awal tidak menyukai Adora.Adora hanya bisa menghela napasnya. Sambil berucap sabar dalam hati, ia pun duduk di samping Ayumi. Linda yang merupakan kepala sekolah di TK Gemilang Cahaya pun mencoba menegur Siska agar tidak berkata yang tidak baik dalam pertemuan mereka kali ini."Ibu Siska, tolong dijaga ucapannya! Bagaimanapun kamu adalah pengajar di sekolah ini. Tidak baik bagi profesi kita berbicara seperti itu apalagi kepada rekan sendiri," tegur Linda.Siska pun memalingkan wajahnya acuh. Ia tidak meminta maaf sama sekali kepada Adora ataupun Linda. Tingkahnya memang terkesan menyebalkan. Dia merasa lebih unggul hanya karena Linda adalah kenalan mamanya.Dari awal bergabungnya Adora di sekolah tersebut, Siska memang langsung membencinya tanpa sebab. Ia merasa mendapat saingan ketika Adora mampu merebut hati anak-anak beserta para orang tuanya. Atas sikap penyayang dan perhatian yang dimiliki Adora, ia berhasil menjadi guru populer di kalangan muridnya.Di tahun terakhir ajaran sekolah kemarin, Adora banjir hadiah dari orang tua murid. Mereka sangat berterima kasih atas dedikasinya sebagai guru yang mengajar dengan tulus kepada anak-anak. Hal itu, membuat Siska terbakar api cemburu. Menurutnya posisi itu seharusnya menjadi miliknya.Ditambah tahun lalu, ada salah satu orang tua murid yang memang berusaha mendekati Adora secara lebih walau ia telah beristri. Hal tersebut sempat membuat sedikit keributan, untung saja istrinya tahu betul bagaimana Adora selama ini. Sehingga semuanya diselesaikan dengan cara baik-baik."Kita kembali bahas beberapa rencana kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun ajaran ini, ya. Jangan ada yang keluar topik, fokus pada hal yang seharusnya!" Linda memberikan intruksi dengan tegas.*** Kediaman BrandonValerie masuk ke dalam rumah dengan hati yang riang. Ia begitu tidak sabar untuk memajang karya pertamanya di dinding kamar. Saat memasuki ruang keluarga, ia melihat sosok yang tak asing baginya."Hai, Tante! Aku balu pulang sekolah, loh!" pamernya dengan bangga."Ck, ngomong yang benar dulu, Ri! Cadel gitu mau sekolah," ledek Laluna, adik kandung Brandon."Huh, Tante nyebelin! Jay mana, Tan?" Ia mencari sepupunya yang tak kelihatan di sekitar Laluna."Di rumah, ngapain juga Tante ajak dia?" tanya balik Laluna."Kenapa nggak diajak? Padahal aku mau main sama Jayden," timpal Valerie yang kini mengerucutkan bibirnya karena kesal anak yang ia tanyakan tidak ikut."Ngapain juga Tante ajak dia? Ribet, tukang rewel, lagian dia bukan anak Tante, jadi nggak perlulah dia ikut ke sini," jawab Laluna seenaknya."Luna!" Brandon pun menegur adiknya itu."Loh, bukannya Jay anak Tante sama Om ganteng, ya?" Valerie pun bingung.Brandon pun berjongkok dan memegang kedua pipi putrinya. "Riri tadi bilang mau tempel gambar yang kamu buat di sekolah, kan?""Oh, iya. Aku lupa! Kalau gitu aku ke kamal dulu, ya. Bye, Papa! Bye Tante nyebelin!" Anak itu langsung berlari menuju kamarnya sebelum Laluna kesal karena ucapannya barusan.Brandon kemudian menghampiri adiknya. Ia duduk di sofa dan menatap tajam ke arah Laluna. Berulang kali ia ingatkan agar wanita itu tidak pernah membahas asal usul mengenai Jayden di hadapan anaknya. Hal tersebut akan membuat Valerie bingung karena yang ia tahu bahwa Jayden adalah anak Laluna dengan suaminya."Apa? Mau marah lagi kamu, Kak?" tanya Laluna yang sudah paham betul apa yang akan terjadi."Kamu ini kenapa, sih? Ini sudah tiga tahun, loh! Susah banget buat kamu terima anak itu?" heran Brandon.Laluna melipat kedua tangannya di depan dada, dengan kaki menyilang ia pun menatap sinis kakaknya. "Ya, memang kenyataannya begitu. Dia bukan anak aku, jadi buat apa aku pura-pura terima dia?""Lun, kamu ini cinta 'kan sama suamimu? Kalau iya, kenapa susah banget buat kamu terima Jayden jadi anak kamu? Nggak ada manusia yang sempurna, mulus tanpa dosa, Lun. Lagian Jonathan juga sudah jadi suami kamu," kata Brandon mengingatkan adiknya.Wanita itu pun menjawab, "urusan cinta nggak ada sangkut pautnya sama anak haram itu, Kak! Aku mungkin menang atas kepemilikan Jonathan yang sekarang jadi suami aku, tapi kamu nggak tahu 'kan selama tiga tahun ini, gimana aku yang mati-matian berjuang ingin punya anak dari dia? Dia malah asik sama anak yang dibuang ibunya sendiri di depan rumahku."Brandon sempat menghela napasnya untuk beberapa saat. Ia tidak mengerti dengan pola pikir adiknya itu. Kejadiannya sudah berlalu sekitar tiga tahun lamanya, tapi sampai detik ini wanita itu belum bisa menerima kehadiran anak dari Jonathan dan mantan kekasihnya dulu."Begini saja, posisikan dirimu sebentar saja jadi dia. Apa kamu bakalan lakuin hal yang sama?" tanya Brandon.Laluna menggeleng. "Tidak! Aku nggak mau lakuin hal yang sama kayak dia. Lebih baik aku gugurin kehamilan aku pas tahu kalau calon suami aku malah nikah sama cewek lain. Lebih baik begitu, dari pada mengandung, melahirkan, eh ... anaknya malah dikasih sama mantannya. Nggak habis pikir, padahal dia tahu kalau mantannya sudah punya istri dan kehidupan baru!""Halo, Pa!" Adora mengangkat panggilan dari papanya yang kini tinggal jauh darinya. "Halo, Ra. Gimana kabar kamu? Sudah makan?" tanya Nicholas. "Baik, kok. Kabar aku juga baik. Gimana kabar, Papa? Usaha Papa lancar, kan?" Adora balik bertanya untuk mengetahui kabarnya. "Baik juga. Restoran berjalan lancar, bulan sekarang bahkan omsetnya besar. Papa barusan sudah kirim uang buat kamu, Ra. Tolong dicek nanti habis kita teleponan, ya!" pesan sang Papa. "Padahal nggak usah repot-repot kirim, Pa. Aku juga masih ada uang, kok. Mending Papa pakai buat tambah modal usaha lagi. Oh, ya, gimana kabar tante Naura?" Kali ini Adora menanyakan kabar mama tirinya. "Jangan gitu, ah! Papa juga usaha ya buat kamu juga, Ra. Papa nggak enak sudah tinggalkan kamu sendiri di sana. Kabar tante Naura baik. Dia lagi ngajar les muridnya, paling pulang setengah jam lagi," jawab Nicholas. "Bukan Papa yang tinggalin aku, tapi aku yang mau tetap tinggal di sini. Lagian aku nggak bisa jauh dari kota ini, Pa. Ta
Brandon menyesap rokok miliknya. Kepulan asap itu pun mengudara. Ia tengah berada di sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi dengan nuansa vintage yang melekat dengan dekorasi tempat usaha tersebut. "Gimana rasa kopinya? Itu menu baru yang aku buat sendiri. Kamu orang ketiga yang mencoba kopi itu." Seorang pria duduk di hadapan Brandon. "Cukup enak. Tidak terlalu pahit, tapi aku bisa merasakan rasa asli kopinya. Ini bagus, kamu bisa menjualnya mulai hari ini," jawab Brandon. "Oke. Aku akan menjual kopi ini mulai besok saja. Gimana kabar Valerie? Aku dengar dia mulai masuk sekolah," tanya Lionel, pria yang menjadi lawan bicara Brandon itu. "Ya. Dia mulai masuk TK. Walau pelafalan huruf R-nya belum lancar, setidaknya anak itu sekarang bisa mulai belajar berinteraksi dengan teman-teman seusianya," tutur Brandon sambil mengetukkan batang rokok ke asbak untuk menjatuhkan abunya. Lionel mengangguk. "Itu bagus untuknya. Nggak terasa, anak itu semakin besar. Begitu juga dengan Jayden, bukan
Valerie menatap pusara mama Adora. Ia pun menoleh ke arah ibu gurunya itu sambil menatap sedih. Anak itu mengenggam tangan Adora dengan lembut ia pun mengatakan sesuatu yang membuat hatinya tersentuh. "Ibu, jangan nangis, nanti mama Ibu sedih lihatnya. Pasti dali Sulga mama Ibu sudah senyum sekalang lihat kita."Adora pun menoleh sembari tersenyum manis. "Nggak, kok. Ibu nggak nangis, nih lihat Ibu senyum lebar."Padahal sebernarnya Adora sudah mulai merasa bersedih. Setiap kali mengunjungi mamanya itu, ia sering menceritakan berbagai hal dengan sesekali derai air mata pun bercucuran. Apalagi kepergian sang mama bersangkutan dengan apa yang telah menimpa Adora. Rasa bersalah bertahun-tahun menyelimuti dirinya. Andai kejadian di masa lalu itu tidak pernah terjadi, mungkin saja mamanya masih ada hingga saat ini. Mereka bisa menjadi keluarga yang hangat, berkumpul bersama seperti dulu. Namun, kali ini tentu ia tidak dapat melakukannya. Ada anak kecil yang melarangnya untuk bersedih. Te
"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora. "Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon. "Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya. "Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon. Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora. Bran
"Jangan pergi! Maafkan aku, tetap di sini, jangan tinggalkan aku!" Adora mengigau dalam tidurnya. Air matanya pun tumpah, walau matanya terpejam sekalipun. Suara lirih menandakan bahwa Adora benar-benar sedih. Bunga tidur itu tidak selalu indah, ada kalanya mampu menyayat hati hingga kepiluan menyelimuti raganya yang ringkih. Adora tiba-tiba terbangun. Ia duduk sambil meremas selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya. Menyadari pipinya basah karena air mata, wanita itu tidak menyekanya, ia justru malah terisak. Malam itu, tepat di jam setengah dua belas, luka lama dari masa lalu kembali mengusiknya. Pada akhirnya Adora terjaga hingga sekitar pukul tiga dini hari. Setelah itu, ia terlelap hingga pagi pun tiba. Begitu bangun, wanita itu melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mandi, bersiap, sarapan serta pergi bekerja. Matanya masih sedikit bengkak walau sudah berusaha ia samarkan menggunakan concealer. Ayumi yang melihat kedatangan sahabatnya itu dengan kondisi demikian pun menge
"Oh, ya! Aku baru ingat, bukannya kita pernah ketemu di supermarket pas sama-sama pilih buah mangga?" Laluna akhirnya mengingat bagaimana ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Adora. "Supermarket di jalan Kenanga itu, 'kan? Ya, ampun! saya juga baru ingat sekarang jadinya," sahut Adora yang bahkan sudah lupa juga bahwa mereka pernah mengobrol saat memilih buah mangga di supermarket.Laluna mengangguk. "Iya, itu. Wah, pantas saja wajah Ibu ini nggak asing. Ngomong-ngomong makasih ya sudah bawa keponakanku ke klinik. Kita belum kenalan, kan? Aku Laluna, tantenya Valerie. Panggil saja Luna.""Saya Adora, pengajar di kelas Valerie. Senang bisa berkenalan dengan Bu Luna." Adora menjabat tangan Laluna untuk berkenalan dengannya. "Sama-sama. Tolong berikan nomor rekening Bu Adora supaya aku bisa ganti biaya pengobatan Valerie!" Setelah jabat tangan itu terlepas, Laluna mengeluarkan ponselnya bersiap untuk mengganti uang yang sudah Adora keluarkan untuk biaya pengobatan keponakannya itu.
Brandon sedang berada di pusat perbelanjaan. Ia tengah belanja beberapa keperluan rumah. Saat trolinya memasuki area frozen food, pria itu tampak sedikit bingung. Ia ingin membeli sosis yang biasa Valerie makan, tapi entah kenapa dia lupa menanyakan merk sosis tersebut kepada asisten rumah tangganya. Memang rutinitas belanja biasanya dilakukan oleh pekerjanya di rumah, tapi beberapa menit yang lalu, Valerie menghubunginya dan meminta sang papa untuk membeli beberapa barang yang anak itu inginkan. Untung saja Brandon baru saja menyelesaikan meeting dengan klien di restoran yang letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pikir Pak Brandon nggak suka belanja seperti ini." Terdengar suara seorang wanita dari arah belakang Brandon. Pria itu pun menoleh, melihat siapa yang menyapanya dengan kata-kata hasil dari pemikiran demikian."Bu Adora? Belanja juga, Bu?" tanya Brandon begitu mengetahui bahwa wanita yang barusan berbicara adalah gurunya Valerie. "Iya, Pak. Beli
Adora pada akhirnya memegang tangan Valerie dan Jayden. Untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki di kediaman Brandon. Ada dua asisten rumah tangga yang menyambutnya begitu memasuki bagian dalam rumah. Wanita itu di persilahkan duduk dan Brandon langsung memberikan belanjaan serta sekotak kue yang dibelikan Adora untuk Valerie kepada salah satu pekerjanya. "Ibu belikan kue? Lasa apa?" tanya Valerie. "Karena Ibu nggak tahu kue apa yang kamu suka, jadi Ibu belikan kue mangga, kesukaan Ibu. Nggak apa-apa, kan?" tanya balik Adora. "Aku suka, Bu. Yang penting mangganya manis, pasti suka," ungkapnya dengan mata yang menyipit karena lengkungan garis bibirnya kini mengarah ke atas. "Nanti Papa minta potongan kuenya, habis itu kamu makan, ya. Bu Rara hari ini jenguk kamu, Ri. Katanya mau lihat kamu makan yang lahap, makanya nanti Bu Rara juga mau makan malam sama kita, loh!" kata Brandon. Valerie menoleh, ia ingin memastikan bahwa perkataan papanya bukan sekadar bualan semata. "Memang bena
Adora diantarkan pulang oleh Brandon setelah menemani Valerie hingga tidur. Anak itu memang enggan ditinggalkan ibu gurunya setelah makan malam tadi. Ia masih ingin bermain dan bahkan minta dibacakan buku dongeng saat Valerie mulai mengantuk. Adora tidak tega untuk menolaknya, maka dari itu, ia pun menuruti keinginan anak didiknya tersebut. "Makasih, Pak, sudah mau antarkan saya pulang," kata Adora sebelum ia keluar dari kendaraan pribadi Brandon tersebut. "Sama-sama, Bu. Harusnya saya malah yang bilang seperti itu, Ibu sudah mau ikut ke rumah, main sama Riri sampai akhirnya temani dia untuk bisa tidur. Saya banyak merepotkan Bu Rara selama ini, maaf dan makasih banyak, ya," balas Brandon. "Kembali kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit, ya. Bapak hati-hati di jalan pas pulang nanti," tutur Adora seraya membuka pintu mobil. Brandon pun mengangguk dan berkata, "baik, Bu. Selamat beristirahat, semoga malam ini mimpi indah!"Adora pun keluar dari dalam mobil tersebut. Setelah menutupkan
Adora pada akhirnya memegang tangan Valerie dan Jayden. Untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki di kediaman Brandon. Ada dua asisten rumah tangga yang menyambutnya begitu memasuki bagian dalam rumah. Wanita itu di persilahkan duduk dan Brandon langsung memberikan belanjaan serta sekotak kue yang dibelikan Adora untuk Valerie kepada salah satu pekerjanya. "Ibu belikan kue? Lasa apa?" tanya Valerie. "Karena Ibu nggak tahu kue apa yang kamu suka, jadi Ibu belikan kue mangga, kesukaan Ibu. Nggak apa-apa, kan?" tanya balik Adora. "Aku suka, Bu. Yang penting mangganya manis, pasti suka," ungkapnya dengan mata yang menyipit karena lengkungan garis bibirnya kini mengarah ke atas. "Nanti Papa minta potongan kuenya, habis itu kamu makan, ya. Bu Rara hari ini jenguk kamu, Ri. Katanya mau lihat kamu makan yang lahap, makanya nanti Bu Rara juga mau makan malam sama kita, loh!" kata Brandon. Valerie menoleh, ia ingin memastikan bahwa perkataan papanya bukan sekadar bualan semata. "Memang bena
Brandon sedang berada di pusat perbelanjaan. Ia tengah belanja beberapa keperluan rumah. Saat trolinya memasuki area frozen food, pria itu tampak sedikit bingung. Ia ingin membeli sosis yang biasa Valerie makan, tapi entah kenapa dia lupa menanyakan merk sosis tersebut kepada asisten rumah tangganya. Memang rutinitas belanja biasanya dilakukan oleh pekerjanya di rumah, tapi beberapa menit yang lalu, Valerie menghubunginya dan meminta sang papa untuk membeli beberapa barang yang anak itu inginkan. Untung saja Brandon baru saja menyelesaikan meeting dengan klien di restoran yang letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pikir Pak Brandon nggak suka belanja seperti ini." Terdengar suara seorang wanita dari arah belakang Brandon. Pria itu pun menoleh, melihat siapa yang menyapanya dengan kata-kata hasil dari pemikiran demikian."Bu Adora? Belanja juga, Bu?" tanya Brandon begitu mengetahui bahwa wanita yang barusan berbicara adalah gurunya Valerie. "Iya, Pak. Beli
"Oh, ya! Aku baru ingat, bukannya kita pernah ketemu di supermarket pas sama-sama pilih buah mangga?" Laluna akhirnya mengingat bagaimana ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Adora. "Supermarket di jalan Kenanga itu, 'kan? Ya, ampun! saya juga baru ingat sekarang jadinya," sahut Adora yang bahkan sudah lupa juga bahwa mereka pernah mengobrol saat memilih buah mangga di supermarket.Laluna mengangguk. "Iya, itu. Wah, pantas saja wajah Ibu ini nggak asing. Ngomong-ngomong makasih ya sudah bawa keponakanku ke klinik. Kita belum kenalan, kan? Aku Laluna, tantenya Valerie. Panggil saja Luna.""Saya Adora, pengajar di kelas Valerie. Senang bisa berkenalan dengan Bu Luna." Adora menjabat tangan Laluna untuk berkenalan dengannya. "Sama-sama. Tolong berikan nomor rekening Bu Adora supaya aku bisa ganti biaya pengobatan Valerie!" Setelah jabat tangan itu terlepas, Laluna mengeluarkan ponselnya bersiap untuk mengganti uang yang sudah Adora keluarkan untuk biaya pengobatan keponakannya itu.
"Jangan pergi! Maafkan aku, tetap di sini, jangan tinggalkan aku!" Adora mengigau dalam tidurnya. Air matanya pun tumpah, walau matanya terpejam sekalipun. Suara lirih menandakan bahwa Adora benar-benar sedih. Bunga tidur itu tidak selalu indah, ada kalanya mampu menyayat hati hingga kepiluan menyelimuti raganya yang ringkih. Adora tiba-tiba terbangun. Ia duduk sambil meremas selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya. Menyadari pipinya basah karena air mata, wanita itu tidak menyekanya, ia justru malah terisak. Malam itu, tepat di jam setengah dua belas, luka lama dari masa lalu kembali mengusiknya. Pada akhirnya Adora terjaga hingga sekitar pukul tiga dini hari. Setelah itu, ia terlelap hingga pagi pun tiba. Begitu bangun, wanita itu melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mandi, bersiap, sarapan serta pergi bekerja. Matanya masih sedikit bengkak walau sudah berusaha ia samarkan menggunakan concealer. Ayumi yang melihat kedatangan sahabatnya itu dengan kondisi demikian pun menge
"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora. "Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon. "Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya. "Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon. Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora. Bran
Valerie menatap pusara mama Adora. Ia pun menoleh ke arah ibu gurunya itu sambil menatap sedih. Anak itu mengenggam tangan Adora dengan lembut ia pun mengatakan sesuatu yang membuat hatinya tersentuh. "Ibu, jangan nangis, nanti mama Ibu sedih lihatnya. Pasti dali Sulga mama Ibu sudah senyum sekalang lihat kita."Adora pun menoleh sembari tersenyum manis. "Nggak, kok. Ibu nggak nangis, nih lihat Ibu senyum lebar."Padahal sebernarnya Adora sudah mulai merasa bersedih. Setiap kali mengunjungi mamanya itu, ia sering menceritakan berbagai hal dengan sesekali derai air mata pun bercucuran. Apalagi kepergian sang mama bersangkutan dengan apa yang telah menimpa Adora. Rasa bersalah bertahun-tahun menyelimuti dirinya. Andai kejadian di masa lalu itu tidak pernah terjadi, mungkin saja mamanya masih ada hingga saat ini. Mereka bisa menjadi keluarga yang hangat, berkumpul bersama seperti dulu. Namun, kali ini tentu ia tidak dapat melakukannya. Ada anak kecil yang melarangnya untuk bersedih. Te
Brandon menyesap rokok miliknya. Kepulan asap itu pun mengudara. Ia tengah berada di sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi dengan nuansa vintage yang melekat dengan dekorasi tempat usaha tersebut. "Gimana rasa kopinya? Itu menu baru yang aku buat sendiri. Kamu orang ketiga yang mencoba kopi itu." Seorang pria duduk di hadapan Brandon. "Cukup enak. Tidak terlalu pahit, tapi aku bisa merasakan rasa asli kopinya. Ini bagus, kamu bisa menjualnya mulai hari ini," jawab Brandon. "Oke. Aku akan menjual kopi ini mulai besok saja. Gimana kabar Valerie? Aku dengar dia mulai masuk sekolah," tanya Lionel, pria yang menjadi lawan bicara Brandon itu. "Ya. Dia mulai masuk TK. Walau pelafalan huruf R-nya belum lancar, setidaknya anak itu sekarang bisa mulai belajar berinteraksi dengan teman-teman seusianya," tutur Brandon sambil mengetukkan batang rokok ke asbak untuk menjatuhkan abunya. Lionel mengangguk. "Itu bagus untuknya. Nggak terasa, anak itu semakin besar. Begitu juga dengan Jayden, bukan
"Halo, Pa!" Adora mengangkat panggilan dari papanya yang kini tinggal jauh darinya. "Halo, Ra. Gimana kabar kamu? Sudah makan?" tanya Nicholas. "Baik, kok. Kabar aku juga baik. Gimana kabar, Papa? Usaha Papa lancar, kan?" Adora balik bertanya untuk mengetahui kabarnya. "Baik juga. Restoran berjalan lancar, bulan sekarang bahkan omsetnya besar. Papa barusan sudah kirim uang buat kamu, Ra. Tolong dicek nanti habis kita teleponan, ya!" pesan sang Papa. "Padahal nggak usah repot-repot kirim, Pa. Aku juga masih ada uang, kok. Mending Papa pakai buat tambah modal usaha lagi. Oh, ya, gimana kabar tante Naura?" Kali ini Adora menanyakan kabar mama tirinya. "Jangan gitu, ah! Papa juga usaha ya buat kamu juga, Ra. Papa nggak enak sudah tinggalkan kamu sendiri di sana. Kabar tante Naura baik. Dia lagi ngajar les muridnya, paling pulang setengah jam lagi," jawab Nicholas. "Bukan Papa yang tinggalin aku, tapi aku yang mau tetap tinggal di sini. Lagian aku nggak bisa jauh dari kota ini, Pa. Ta