"Maaf, Nona Jasmine. Kami membutuhkan persetujuan dan pembayaran dalam waktu tiga hari. Jika tidak, kami tidak bisa melakukan tindakan medis lebih lanjut untuk Nenek Anda."
Suara seorang petugas kasir rumah sakit RSUP Candra Mulia terdengar tegas.
Jasmine berdiri kaku, memandang tagihan medis yang terasa seperti bom waktu di tangannya.
"Tiga hari?" gumamnya, hampir tidak percaya.
"Benar, kondisi pasien sangat kritis. Operasi katup jantung harus dilakukan segera. Kalau tidak, risiko gagal jantung akut meningkat," tambah wanita di balik meja dengan nada profesional tetapi dingin.
Jasmine hanya bisa mengangguk perlahan, menggenggam tagihan itu erat-erat. Langkah kakinya lemah saat meninggalkan loket pembayaran.
’Tiga hari... Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Tuhan, aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.’ Jasmine mendesah panjang, tangan gemetar saat meremas tagihan di pangkuannya.
Matanya menerawang, mengingat masa kecilnya. "Aku cuma gadis desa dari Cipta Mandala. Dari dulu, Nenek yang selalu mendukungku. Beliau yang mengajarkan aku untuk tidak menyerah, untuk terus belajar meski kami tidak punya apa-apa." Jasmine tersenyum samar, tetapi senyuman itu segera memudar.
"Nenek Cahaya sudah menggantikan posisi kedua orang tuaku yang meninggal saat aku masih 14 tahun. Tanpa beliau, aku mungkin tidak akan ada di sini hari ini. Tapi sekarang..." Jasmine melirik kertas tagihan di tangannya. "...aku bahkan tidak mampu menyelamatkan hidup beliau."
Pikirannya melayang ke perjuangannya selama ini. "Aku sudah mencoba sebaik mungkin. Berkuliah di Universitas Negeri Artaloka dengan beasiswa 50% adalah impian besar yang akhirnya bisa aku raih. Tapi itu hanya menutupi sebagian biaya. Sisanya, aku masih harus bekerja paruh waktu di toko Zora." Jasmine menghela napas berat.
"Rasanya tidak cukup. Tidak pernah cukup. Apa yang harus aku lakukan? Tuhan, tolong beri aku jalan..." Pandangan Jasmine jatuh pada ponselnya.
Jasmine berjalan lunglai ke taman kecil di halaman rumah sakit, mencoba meredakan pikirannya yang berkecamuk. Duduk di salah satu bangku kayu, Jasmine memandang kosong ke depan.
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan dari Universitas Negeri Artaloka muncul di layar:
"Kepada Saudari Jasmine Ayu Kartika. Tunggakan pembayaran uang kuliah sebesar Rp 20 juta harus segera dilunasi dalam tiga hari. Jika tidak, status Anda sebagai mahasiswa akan dicabut."
Jasmine mendesah panjang. "Dari mana aku bisa mendapatkan Rp 270 juta dalam waktu sesingkat itu?" bisiknya, suara kecilnya nyaris tenggelam oleh kebisingan di sekitarnya.
Jasmine sudah mencoba segalanya, menghubungi kerabat, teman, bahkan memikirkan untuk menjual barang-barang milik neneknya. Tapi tidak ada yang bisa membantunya.
Malam itu, Jasmine kembali ke rumah sakit setelah pulang untuk menenangkan diri. Langkahnya terasa berat memasuki ruang ICU, tempat neneknya, Cahaya Dewi, terbaring lemah dengan selang infus dan monitor yang berdetak pelan.
Seorang perawat yang sedang memeriksa kondisi neneknya menoleh, memberikan senyuman kecil yang sopan. “Nona Jasmine, Anda kembali?”
Jasmine mengangguk pelan. “Bagaimana kondisi Nenek saya, Sus?” tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.
Perawat itu menyelesaikan catatannya di papan monitoring sebelum menjawab. “Kondisi tekanan darah beliau masih tidak stabil. Kami terus memantau, tetapi jantung beliau semakin melemah. Operasi memang satu-satunya jalan, dan itu harus segera dilakukan.”
Mendengar penjelasan itu, Jasmine merasa tubuhnya hampir limbung. “Apakah... apakah ada kemungkinan lain? Kalau operasi ditunda sedikit saja, apakah Nenek masih bisa bertahan?”
Perawat itu menatap Jasmine dengan penuh simpati. “Maaf, Nona. Operasi ini bukan hanya tentang bertahan. Semakin lama ditunda, semakin tinggi risiko gagal jantung total. Waktu adalah hal yang sangat penting dalam kasus ini.”
Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. “Saya... saya akan mencari cara. Tolong, pastikan Nenek saya tetap dalam pengawasan terbaik sampai saat itu tiba.”
“Kami akan melakukan yang terbaik, Nona Jasmine. Tapi, kami juga membutuhkan persetujuan secepatnya untuk tindakan medis berikutnya,” ujar perawat itu lembut, lalu pamit meninggalkan ruangan.
Jasmine mendekati ranjang neneknya, duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur. Dia menggenggam tangan keriput Cahaya Dewi, yang terasa dingin di kulitnya.
“Nek, Jasmine janji akan cari cara. Jasmine nggak akan biarkan Nenek pergi. Jasmine nggak akan menyerah, meskipun semuanya terasa berat sekali.” Suaranya serak, tetapi Jasmine terus berbicara, seolah-olah neneknya bisa mendengar.
Monitor di sebelah ranjang berbunyi pelan, menjadi latar suara di tengah keheningan malam. Jasmine menghela napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa takut yang menyelimuti hatinya.
"Tuhan, aku harus apa? Waktu terus berjalan, dan aku tidak tahu apakah aku bisa menyelamatkan beliau. Tolong, berikan aku jalan.” Air matanya jatuh, tanpa Jasmine sadari.
Keesokan harinya, ’Apa yang harus aku lakukan? Tiga hari saja, tapi rasanya seperti tiga tahun. Nenek terbaring di rumah sakit, menunggu operasi yang mungkin bisa menyelamatkan nyawanya. Tapi, bagaimana caranya aku mendapatkan uang sebanyak itu? Aku sudah mencoba semua cara, tapi tidak ada yang berhasil.’ Jasmine duduk termenung di toko serba ada milik Zora, sepupunya. Tangannya sibuk menyusun rak barang, tetapi pikirannya melayang-layang.’Aku tidak bisa kehilangan Nenek. Nenek adalah segalanya bagiku. Aku harus mencari cara, tidak peduli seberat apa pun. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya gadis desa yang tidak punya apa-apa.’Zora, yang sedang memeriksa laporan keuangan di kasir, mengangkat wajah dan memperhatikan Jasmine.’Apa yang terjadi dengan Jasmine? Wajahnya terlihat lebih suram dari biasanya. Apakah ada masalah atau ada hal lain yang mengganggu pikirannya? Aku harus mencari tahu dan membantunya.’ Zora berbicara dalam hati."Jasmine, ada apa? Kamu kelihatan kusut se
Tiga hari berlalu dengan penuh kegelisahan. Jasmine mencoba mencari jalan lain, tetapi tidak ada yang berhasil. Ketika rumah sakit menelepon lagi, memberitahukan bahwa kondisi neneknya semakin memburuk, Jasmine tahu dia tidak punya pilihan lain.Jasmine menghampiri Zora, yang baru sampai di Toserba. Saat itu Zora terburu- buru, tapi Jasmine berusaha menyampaiakan maksudnya."Halo, Kak Zora?" Jasmine berbicara dengan suara yang sedikit bergetar."Jasmine. Bagaimana kabarmu?" Zora menjawab dengan suara yang lembut.Zora membuka berkas di kasir dan mengambil beberapa file, lalu menumpukkan di atas meja kasir. Setelahnya dia menatap Jasmine, dengan senyuman."Kak, aku... aku butuh bantuanmu," Jasmine mengambil napas dalam-dalam.Jasmine, masih bingung. Apakah ini waktu yang tepat untuk dia mengatakan maksudnya. Tapi dia tidak bisa menunda lagi, walau dia tahu Zora tampak sibuk."Aku sudah tahu, Jasmine. Aku siap membantumu. Datang ke rumahku, kita bicarakan detailnya, saat ini aku sedang
Noah mengangkat alisnya, mencoba memproses apa yang baru saja dikatakan Jasmine. Sementara itu, Zora terlihat seperti ingin berkata sesuatu, tetapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara."Kamu bercanda, kan?" Noah akhirnya berkata, matanya menyipit dengan skeptis."Aku serius," jawab Jasmine tegas. "Aku tidak akan melangkah lebih jauh tanpa itu. Aku sudah menyerahkan terlalu banyak. Ini satu-satunya cara agar aku merasa ini benar, meskipun semuanya salah."Zora memandang Jasmine dengan campuran rasa marah dan bingung. "Jasmine, ini bukan waktunya untuk menawar! Kamu tahu situasinya!""Aku tahu," balas Jasmine, suaranya dingin. "Tapi aku tidak akan melanggar prinsipku. Kamu ingin anak, aku ingin menjaga moralku. Ini keputusan final."Noah menatap Zora, seolah meminta persetujuannya. Setelah beberapa detik hening yang panjang, mereka berada di sudut ruang yang jauh dari Jasmine.Zora menghela napas dengan berat, lalu mengangguk kecil. "Baiklah," katanya dengan suara yang terpaksa. "Tapi j
"Jasmine, sudah siap?" tanyanya, suara lembut namun penuh kecemasan. Zora masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lelah meski berusaha tersenyum.Jasmine mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada kontrak itu. Hati kecilnya terasa hancur, tetapi dia tahu tak ada pilihan lain. Semua sudah diputuskan.”Atau... kamu mau sarapan dulu?” tanya Zora ramah.Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine duduk sendirian di meja makan, menatap cangkir teh yang mulai mendingin. Matanya kosong, tangannya gemetar."Noah menunggumu di ruang tamu," lanjut Zora, menepuk bahu Jasmine dengan lembut. "Kami akan menunggu di sana. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."Jasmine menatap Zora dengan mata penuh pertanyaan. "Tapi... apakah ini benar-benar yang terbaik, Zora?" Suaranya hampir tak terdengar. "Aku merasa seperti aku kehilangan diriku sendiri."Zora menarik napas panjang, ekspresinya berubah lebih serius. "Aku tahu kamu merasa seperti itu," jawabnya dengan lembut, namun nada su
Jasmine melangkah cepat menuju rumah sakit, tubuhnya terasa kaku, tetapi pikirannya penuh dengan satu tujuan, neneknya. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia ada di pundaknya.”Aku harus ke rumah sakit,” gumamnya lirih.Jasmine merasa seperti melangkah dalam mimpi buruk yang tak bisa dihentikan.Sesampainya di ruang ICU, Jasmine langsung melihat Zora duduk di kursi dekat ranjang neneknya. Wajah Zora tampak lelah, matanya sembab, seperti habis menangis.“Kamu datang juga, Jas?” suara Zora terdengar berat, meskipun ada senyum tipis yang muncul.Jasmine hanya mengangguk pelan, melangkah mendekat ke ranjang neneknya. Tubuh nenek yang biasanya penuh semangat itu kini terbaring lemah, hanya alat-alat medis yang berbunyi di sekelilingnya.Jasmine menahan napas, matanya mulai berkaca-kaca. “Gimana, kak Zor? Dokter bilang apa?”“Masih belum ada perubahan. Kita cuma bisa nunggu,” jawab Zora, menatap nenek. “Aku cuma bisa bantu dengan cara ini, Jas. Gak bisa apa-apa lagi.”Jasmine dud
"Jasmine, bersiaplah," kata Zora pelan, tetapi suaranya terdengar penuh kecemasan. Jasmine hanya mengangguk lemah, seolah separuh jiwanya tidak berada di sana.Pernikahan itu berlangsung cepat dan tanpa gegap gempita. Jasmine duduk di kursi kayu yang terasa dingin, matanya kosong memandangi penghulu yang sibuk mempersiapkan prosesi ijab kabul. Di sudut ruang tamu, Zora terlihat gelisah, sesekali meremas jemarinya sendiri.Dua saksi, Nikmah dan Paryono, berdiri di dekat meja penghulu. Mereka terlihat seperti dua orang asing yang terjebak dalam adegan yang bukan milik mereka. Jasmine bahkan tidak tahu siapa mereka sebenarnya, hanya nama mereka yang disebut Zora tadi pagi.Noah berdiri di depannya, tubuh tegap dan wajah datar tanpa ekspresi. Dia tidak mencoba menenangkan Jasmine atau berbasa-basi, hanya memberikan kesan tegas dan sedikit dingin."Kita mulai," katanya singkat, suaranya seperti perintah yang tak terbantahkan.Penghulu mengawali prosesi dengan doa pembuka. "Bismillahirrahman
Malam itu terasa hening. Jasmine melangkah masuk ke kamar pengantin yang telah disiapkan oleh Zora. Rumah di kompleks perumahan Raflesia Hill itu terlihat megah, tetapi Jasmine merasa kecil dan terasing di dalamnya.“Kamar ini... terlalu mewah,” gumam Jasmine, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, suaranya terdengar bergetar.Kamar itu cukup luas, dengan dekorasi yang elegan. Wangi aromaterapi memenuhi udara, campuran lavender dan melati yang begitu kuat hingga membuat kepala Jasmine sedikit ringan. Cahaya lampu temaram memantul dari dinding krem, menciptakan suasana yang aneh, hampir seperti mimpi.“Noah akan datang,” gumamnya pelan. Hatinya berdebar kencang.Saat Jasmine duduk di tepi tempat tidur, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Noah masuk dengan langkah tenang, tetapi ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Jasmine langsung berdiri, merasa canggung.“Noah...” Jasmine mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. “Aku... aku tidak tahu harus bagaimana.”Noah tidak menjawab. Dia
Jasmine duduk di tepi ranjang, tangannya memeluk lutut. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya kacau. Mata Jasmine memejam mengingat tubuh Noah yang bergerak di atasnya semalam.”Zora!” Suara Noah memangil istrinya membuat Jasmine merasa kotor dan bersalah.Saat Jasmine menyentuh bibirnya terasa benar lembut sentuhan dari Noah, yang membuatnya tengelam kembali dalam keintiman dan rasa sakit.”Jangan bergerak aku hampir selesai,” ucap Noah, yang setelahnya di ikuti erangan terngiang di benak Jassmine. Membuat Jasmine mengingat jeritan dan rasa aneh yang pertama kali dia rasakan seumur hidupnya.Jasmine mendongak, memandang ke sekeliling kamar pengantin yang sunyi. Hanya sisa aroma melati dari malam sebelumnya yang mengingatkannya pada apa yang telah terjadi.Pintu kamar terbuka perlahan. Jasmine menoleh dengan cepat dan di sana berdiri Noah, dengan kemeja yang sebagian terbuka dan wajah dingin seperti biasanya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya berjalan menuju meja di dekat ranjang, meng
Hening pagi di rumah keluarga Dirgantara tak lagi terasa nyaman bagi Jasmine. Sejak Noah mengutarakan niatnya untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Dursilla, hati Jasmine terus dihinggapi kecemasan.Dia tahu, satu kebohongan yang terkuak akan membuka lembaran panjang kebusukan lain. Dan di balik semua itu Zora menunggu.Di sisi lain kota, Zora duduk di dalam mobil hitam mewah yang terparkir di depan gedung kecil bergaya lama. Matanya tertuju pada papan nama di depan bangunan: "Kantor Arsip Kesehatan Kota Beverly".Juan yang duduk di kursi kemudi menoleh. “Kamu yakin Jasmine menyembunyikan sesuatu dari masa lalunya di tempat ini?”Zora menyeringai kecil. “Orang-orang seperti Jasmine selalu menyisakan jejak. Bahkan jika mereka mencoba menutupinya.”Dia turun dari mobil dengan langkah mantap, memasuki gedung arsip dengan mata yang menelusuri tiap sudut. Ia menyodorkan berkas legal yang menunjukkan haknya sebagai wali hukum suami Jasmine—sebuah kartu truf dari pernikahan palsu mereka du
Pagi menyelinap perlahan dari balik tirai putih yang berkibar pelan. Sinar matahari menghangatkan kulit Jasmine yang masih terbaring dalam selimut tipis, di sisi ranjang hotel yang masih menyisakan aroma Noah.Ia membuka matanya perlahan. Perasaan damai menyelimuti dadanya, meskipun hatinya berdebar karena kenyataan semalam belum sepenuhnya terasa nyata.Noah belum kembali ke kamar, tapi bantal di sampingnya masih hangat. Jasmine membalikkan tubuh, memeluk guling dan menatap langit-langit kamar."Apakah ini awal atau justru akhir yang lebih menyakitkan?" pikirnya pelan.Pintu terbuka dengan bunyi lembut. Jasmine menoleh cepat. Noah masuk dengan dua cangkir kopi di tangan dan senyum kecil di bibirnya.“Pagi,” ucapnya ringan, namun hangat.“Pagi…” Jasmine membalas dengan suara serak, lalu duduk pelan di ranjang. Gaun tidur putihnya jatuh lembut di pundaknya.“Untukmu.” Noah menyerahkan cangkir. Tangan mereka sempat bersentuhan, dan sejenak waktu terasa membeku.Mereka minum dalam diam. T
Senja baru saja jatuh di balik gedung-gedung tinggi ketika Jasmine dan Noah keluar dari ruang rapat. Ruangan itu tadinya dipenuhi ketegangan, namun kini berubah menjadi saksi langkah awal mereka untuk berjalan berdampingan—bukan hanya sebagai orang tua dari seorang anak, tapi juga sebagai dua insan yang mulai mengizinkan hati untuk saling bersandar.Lift turun perlahan menuju lantai parkir eksekutif. Di dalamnya, Noah berdiri di sisi Jasmine, tak berkata apa-apa, namun jemarinya diam-diam menggenggam tangan wanita itu.Jasmine menoleh, sempat terkejut, namun ia tidak menarik tangannya. Ada kehangatan baru di antara mereka, sesuatu yang belum pernah muncul di hari-hari awal pernikahan mereka yang penuh kepalsuan.“Ayo makan malam di luar,” kata Noah pelan saat mereka melangkah ke parkiran pribadi.“Malam ini?” Jasmine menatapnya. “Tumben kamu ngajak duluan.”“Aku butuh suasana yang lebih tenang. Bukan kantor. Bukan rumah yang penuh bayang-bayang kesepakatan.”Jasmine tersenyum kecil. “
Cahaya matahari pagi menembus jendela ruang kerja pribadi Jasmine di kantor pusat Jorse Corp. Di meja kayu besar berwarna gelap, berbagai dokumen tertata rapi, tetapi matanya hanya terpaku pada satu berkas yang membuatnya terdiam lebih dari lima menit.Suara ketukan pelan di pintu memecah keheningan."Noah?" gumam Jasmine saat melihat pria itu masuk tanpa menunggu izin.Noah tersenyum kecil, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak datang hanya untuk menyapa. “Kita perlu bicara.”Jasmine mengangguk, memberi isyarat agar Noah duduk di seberangnya. Begitu pria itu duduk, Jasmine langsung menunjukkan berkas yang tadi ia tatap. “Ini... proposal ekspansi ke sektor teknologi AI untuk Jorse Corp. Aku rasa ini adalah langkah tepat untuk masa depan.”Noah menatapnya sejenak, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak yakin ini saat yang tepat, Jasmine. Dirgantara Group juga sedang menghadapi pergeseran besar di sektor logistik. Jika kita tidak fokus mempertahankan kekuatan utama, semuanya bisa k
Hari-hari berikutnya di Jorse Corp semakin menantang bagi Jasmine. Meskipun ia mulai membangun kredibilitasnya, masih ada bayang-bayang keraguan dari beberapa eksekutif yang lebih senior. Setiap keputusan yang ia buat tampaknya selalu mendapat pengawasan ketat, seolah mereka menunggu kesalahannya.Pagi itu, Jasmine baru saja tiba di ruangannya ketika sekretaris pribadinya, Aline, datang dengan ekspresi gelisah."Nona Jasmine, saya baru saja mendengar kabar bahwa ada sekelompok direksi yang diam-diam mengadakan pertemuan tertutup tadi malam," ucap Aline.Jasmine meletakkan tasnya di meja dan menatap Aline dengan serius. "Pertemuan tertutup? Tentang apa?"Aline menelan ludah. "Saya tidak tahu detailnya, tapi rumor yang beredar mengatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk mengusulkan pergeseran kepemimpinan perusahaan."Jasmine mengernyit. Ia sudah menduga akan ada perlawanan, tetapi tidak menyangka mereka akan bergerak secepat ini."S
Hari pertama Jasmine kembali bekerja di Jorse Corp terasa lebih berat dari yang ia perkirakan. Sejak pagi, ia sudah tenggelam dalam tumpukan dokumen yang menunggu persetujuannya. Tim keuangan, pemasaran, dan pengembangan bisnis bergantian datang ke ruangannya untuk meminta arahan.Di satu sisi, Jasmine menikmati tantangan ini. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan tatapan beberapa karyawan senior yang tampaknya masih meragukan kemampuannya. Meskipun ia adalah putri pemilik lama perusahaan ini, banyak yang menganggapnya hanya sebagai pewaris yang tidak berpengalaman.Saat rapat pertama bersama tim eksekutif dimulai, Jasmine merasakan ketegangan di ruangan itu. Beberapa direktur tampak enggan menerima perintahnya, dan bahkan ada yang secara terang-terangan mempertanyakan keputusannya.“Nona Jasmine, dengan segala hormat, apakah Anda yakin dengan perubahan strategi ini? Selama ini, kebijakan yang kami jalankan sudah cukup stabil,” ucap salah satu direkt
Pagi itu, cahaya matahari menerobos masuk melalui tirai kamar Jasmine dan Noah. Burung-burung berkicau di luar jendela, memberikan suasana yang lebih hidup dibanding hari-hari sebelumnya. Jasmine membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan yang begitu berbeda. Untuk pertama kalinya, ia bangun tanpa beban di dadanya.Saat ia berbalik, Noah masih tertidur di sampingnya, napasnya teratur, wajahnya tampak lebih damai dari biasanya. Jasmine tersenyum kecil. Ada ketenangan di sana, sesuatu yang selama ini sulit ia temukan dalam hubungan mereka.Ia bangkit perlahan dari tempat tidur, mencoba tidak membangunkan Noah. Setelah membersihkan diri, ia turun ke ruang makan, di mana Dursila sudah duduk dengan secangkir teh di tangannya. Aroma roti panggang dan kopi memenuhi ruangan, menciptakan kehangatan yang terasa lebih akrab.“Selamat pagi, Jasmine,” sapa Dursila tanpa mengalihkan pandangannya dari surat kabar di tangannya.“Selamat pagi, Nek,&r
Malam itu, setelah semua keputusannya bulat, Jasmine berdiri di balkon kamarnya, memandangi langit yang mulai cerah setelah hujan turun. Cahaya bulan samar-samar menerangi taman di bawahnya, dan angin malam yang sejuk membelai kulitnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan ketenangan dalam hatinya.Pintu kamarnya terbuka perlahan. Noah berdiri di sana, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung hingga siku. Wajahnya terlihat lebih rileks dibanding beberapa hari terakhir, tetapi sorot matanya tetap tajam saat menatap Jasmine."Kau belum tidur?" tanyanya, berjalan mendekat.Jasmine menggeleng pelan. "Aku hanya ingin menikmati malam ini. Rasanya seperti beban di dadaku perlahan menghilang."Noah berdiri di sampingnya, menyandarkan lengannya ke pagar balkon. "Aku mengerti. Kau telah melalui banyak hal. Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Jasmine. Aku berjanji, kau tidak akan pernah merasa sendiri lagi."Jasmine menoleh, menatapny
Jasmine berdiri di depan Ryan, hatinya berdegup kencang. Pria itu masih menatapnya, menunggu jawaban yang selama ini ia nantikan. Hujan tipis mulai turun, menyisakan embun di rerumputan taman keluarga Dirgantara. Udara yang dingin membuat napas Jasmine berembun, tetapi bukan itu yang membuat tubuhnya terasa membeku. Melainkan pertanyaan yang Ryan ajukan padanya.“Jika semua ini tidak pernah terjadi—jika tidak ada kontrak, tidak ada tekanan dari keluargamu atau Noah—apakah kau akan memilihku?”Jasmine menutup matanya sejenak. Seakan mencoba mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Ia telah mengajukan pertanyaan itu berkali-kali dalam pikirannya, dan sekarang, saat ia harus mengatakannya dengan lantang, dadanya terasa sesak.Ryan tetap menunggu, tidak mendesak, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat menginginkan jawaban yang berpihak padanya.Jasmine mengangkat wajahnya, menatap Ryan lurus-lurus. “Ryan... jika se