Keesokan harinya, ’Apa yang harus aku lakukan? Tiga hari saja, tapi rasanya seperti tiga tahun. Nenek terbaring di rumah sakit, menunggu operasi yang mungkin bisa menyelamatkan nyawanya. Tapi, bagaimana caranya aku mendapatkan uang sebanyak itu? Aku sudah mencoba semua cara, tapi tidak ada yang berhasil.’
Jasmine duduk termenung di toko serba ada milik Zora, sepupunya. Tangannya sibuk menyusun rak barang, tetapi pikirannya melayang-layang.
’Aku tidak bisa kehilangan Nenek. Nenek adalah segalanya bagiku. Aku harus mencari cara, tidak peduli seberat apa pun. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya gadis desa yang tidak punya apa-apa.’
Zora, yang sedang memeriksa laporan keuangan di kasir, mengangkat wajah dan memperhatikan Jasmine.
’Apa yang terjadi dengan Jasmine? Wajahnya terlihat lebih suram dari biasanya. Apakah ada masalah atau ada hal lain yang mengganggu pikirannya? Aku harus mencari tahu dan membantunya.’ Zora berbicara dalam hati.
"Jasmine, ada apa? Kamu kelihatan kusut sekali," tanya Zora, sepupu Jasmine dari pihak ayahnya.
Sambil melangkah mendekati Jasmine dengan ekspresi khawatir. Zora juga pemilik toko serba ada tempat Jasmine bekerja paruh waktu.
Jasmine menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan segalanya. "Nenek Cahaya, dirawat di rumah sakit karena kondisinya kritis. Dokter bilang operasi katup jantung harus dilakukan segera, tapi biayanya sangat mahal, Rp250 juta. Aku harus membayar dalam waktu tiga hari. Aku sudah mencoba semua cara, tapi tidak ada yang berhasil.”
Jamine tertunduk, lalu melanjutkan menceritakan masalah lainnya, ”Ditambah uang kuliahku Rp.20 juta, juga harus di bayar. Kalau tidak, status mahasiswaku akan di cabut. "
Zora terkejut, matanya membelalak. "Rp270 juta? Bagaimana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat? Apakah kamu sudah berbicara dengan pihak universitas tentang tunggakan biaya kuliahmu?"
"Aku sudah mencoba, kak Zora. Tapi mereka tidak mau menunda. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Nenek adalah segalanya bagiku. Aku tidak bisa kehilangannya," kata Jasmine, suaranya bergetar, air matanya menggenang.
Zora terdiam beberapa saat, matanya berbinar penuh pertimbangan. Lalu Zora berkata, "Aku mungkin punya solusi untukmu."
Jasmine mengernyit. "Solusi apa, Kak Zora?"
Zora menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Kamu tahu aku dan suamiku sudah menikah lama, tapi aku tidak bisa punya anak. Dokter menyarankan kami untuk mencari ibu pengganti. Kalau kamu setuju, aku akan membayarmu cukup untuk menyelesaikan semua masalahmu."
Kata-kata Zora terasa seperti petir di siang bolong. Jasmine memandangnya dengan mulut setengah terbuka, tidak percaya.
"Apa? Kak Zora serius?" Jasmine bertanya, suaranya bergetar.
"Aku tahu ini bukan hal yang mudah untukmu, tapi aku benar-benar membutuhkan bantuan. Aku akan memastikan kamu tidak kekurangan apa pun. Semua biaya rumah sakit nenekmu, tunggakan kuliahmu, semuanya akan aku urus," Zora mencoba meyakinkan.
Jasmine terdiam, pikirannya berkecamuk. Tawaran Zora memang solusi tercepat, tapi bertentangan dengan prinsipnya.
"Aku masih muda, masa depanku panjang. Aku tidak ingin menjadi bahan gunjingan orang," Jasmine berpikir.
"Tidak ada jalan lain, Kak Zora? Mungkin... aku bisa membuka bon di toserba milikmu?" tanya Jasmine, berharap Zora mau memberikan.
"Aku tidak bisa, Jasmine. Toserba ini franchise, urusan rugi laba diatur pusat. Tapi, jika kamu setuju dengan tawaranku, aku bisa membicarakannya dengan suamiku," jawab Zora.
Jasmine terdiam, menyusun kembali barang-barang di rak. Zora mencoba membujuknya dengan senyum. "Pikir-pikir saja dahulu."
”Kak Zora, bisa pinjamkan pada Ayahmu. Sebenarnya aku tidak enak , karena nenek orang tua dari pihak ibuku. Sedangkan Ayahmu adalah adik dari almarhum ayahku.” Jasmine masih berusaha agar tidak menjadi Ibu pengganti.
Walau dia tahu, Suami Zora adalah anak Tunggal konglomerat. Tapi Jasmine benar-benar belum siap.
Zora mengembuskan napas panjang. ”Bukan aku tidak mau menyampaikan ke ayah. Pasti dia akan bertanya bagaimana saudara almarhum Ibumu. Pikirkan saja dulu tawaranku, dengan begitu kamu tidak harus mengembalikan uangnya.”
Kata-kata Zora itu tidak masuk akal menurut Jasmine, spontan Jasmine menolak tawaran itu. “Maaf kak, aku tidak bisa. Aku merasa seperti menjual diriku.”
Jasmine terdiam sejenak lalu kembali berbicara, “Aku akan cari cara lain terlebih dahulu.“ Zora menarik napas panjang dan tersenyum setelah mendapat jawaban Jasmine.
Zora mengangguk pelan, "Aku mengerti, Jasmine. Aku tidak akan memaksa kamu. Tapi, ingatlah, aku selalu ada di sini untuk membantumu."
Zora menyerahkan selembar kertas dengan nomor telepon suaminya. "Jika kamu membutuhkan bantuan, hubungi dia."
Jasmine menerima kertas itu dengan ragu, kemudian menyimpannya di kantongnya. "Terima kasih, Kak Zora. Aku sangat menghargai tawaranmu."
Zora tersenyum dan memeluk Jasmine. "Kamu adalah keluarga, Jasmine. Aku tidak bisa membiarkan kamu sendirian menghadapi kesulitan ini. Kenapa aku memilihmu, karena aku tidak mau mendapat keturunan dari orang lain."
Tiga hari berlalu dengan penuh kegelisahan. Jasmine mencoba mencari jalan lain, tetapi tidak ada yang berhasil. Ketika rumah sakit menelepon lagi, memberitahukan bahwa kondisi neneknya semakin memburuk, Jasmine tahu dia tidak punya pilihan lain.Jasmine menghampiri Zora, yang baru sampai di Toserba. Saat itu Zora terburu- buru, tapi Jasmine berusaha menyampaiakan maksudnya."Halo, Kak Zora?" Jasmine berbicara dengan suara yang sedikit bergetar."Jasmine. Bagaimana kabarmu?" Zora menjawab dengan suara yang lembut.Zora membuka berkas di kasir dan mengambil beberapa file, lalu menumpukkan di atas meja kasir. Setelahnya dia menatap Jasmine, dengan senyuman."Kak, aku... aku butuh bantuanmu," Jasmine mengambil napas dalam-dalam.Jasmine, masih bingung. Apakah ini waktu yang tepat untuk dia mengatakan maksudnya. Tapi dia tidak bisa menunda lagi, walau dia tahu Zora tampak sibuk."Aku sudah tahu, Jasmine. Aku siap membantumu. Datang ke rumahku, kita bicarakan detailnya, saat ini aku sedang
Noah mengangkat alisnya, mencoba memproses apa yang baru saja dikatakan Jasmine. Sementara itu, Zora terlihat seperti ingin berkata sesuatu, tetapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara."Kamu bercanda, kan?" Noah akhirnya berkata, matanya menyipit dengan skeptis."Aku serius," jawab Jasmine tegas. "Aku tidak akan melangkah lebih jauh tanpa itu. Aku sudah menyerahkan terlalu banyak. Ini satu-satunya cara agar aku merasa ini benar, meskipun semuanya salah."Zora memandang Jasmine dengan campuran rasa marah dan bingung. "Jasmine, ini bukan waktunya untuk menawar! Kamu tahu situasinya!""Aku tahu," balas Jasmine, suaranya dingin. "Tapi aku tidak akan melanggar prinsipku. Kamu ingin anak, aku ingin menjaga moralku. Ini keputusan final."Noah menatap Zora, seolah meminta persetujuannya. Setelah beberapa detik hening yang panjang, mereka berada di sudut ruang yang jauh dari Jasmine.Zora menghela napas dengan berat, lalu mengangguk kecil. "Baiklah," katanya dengan suara yang terpaksa. "Tapi j
"Jasmine, sudah siap?" tanyanya, suara lembut namun penuh kecemasan. Zora masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lelah meski berusaha tersenyum.Jasmine mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada kontrak itu. Hati kecilnya terasa hancur, tetapi dia tahu tak ada pilihan lain. Semua sudah diputuskan.”Atau... kamu mau sarapan dulu?” tanya Zora ramah.Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine duduk sendirian di meja makan, menatap cangkir teh yang mulai mendingin. Matanya kosong, tangannya gemetar."Noah menunggumu di ruang tamu," lanjut Zora, menepuk bahu Jasmine dengan lembut. "Kami akan menunggu di sana. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."Jasmine menatap Zora dengan mata penuh pertanyaan. "Tapi... apakah ini benar-benar yang terbaik, Zora?" Suaranya hampir tak terdengar. "Aku merasa seperti aku kehilangan diriku sendiri."Zora menarik napas panjang, ekspresinya berubah lebih serius. "Aku tahu kamu merasa seperti itu," jawabnya dengan lembut, namun nada su
Jasmine melangkah cepat menuju rumah sakit, tubuhnya terasa kaku, tetapi pikirannya penuh dengan satu tujuan, neneknya. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia ada di pundaknya.”Aku harus ke rumah sakit,” gumamnya lirih.Jasmine merasa seperti melangkah dalam mimpi buruk yang tak bisa dihentikan.Sesampainya di ruang ICU, Jasmine langsung melihat Zora duduk di kursi dekat ranjang neneknya. Wajah Zora tampak lelah, matanya sembab, seperti habis menangis.“Kamu datang juga, Jas?” suara Zora terdengar berat, meskipun ada senyum tipis yang muncul.Jasmine hanya mengangguk pelan, melangkah mendekat ke ranjang neneknya. Tubuh nenek yang biasanya penuh semangat itu kini terbaring lemah, hanya alat-alat medis yang berbunyi di sekelilingnya.Jasmine menahan napas, matanya mulai berkaca-kaca. “Gimana, kak Zor? Dokter bilang apa?”“Masih belum ada perubahan. Kita cuma bisa nunggu,” jawab Zora, menatap nenek. “Aku cuma bisa bantu dengan cara ini, Jas. Gak bisa apa-apa lagi.”Jasmine dud
"Jasmine, bersiaplah," kata Zora pelan, tetapi suaranya terdengar penuh kecemasan. Jasmine hanya mengangguk lemah, seolah separuh jiwanya tidak berada di sana.Pernikahan itu berlangsung cepat dan tanpa gegap gempita. Jasmine duduk di kursi kayu yang terasa dingin, matanya kosong memandangi penghulu yang sibuk mempersiapkan prosesi ijab kabul. Di sudut ruang tamu, Zora terlihat gelisah, sesekali meremas jemarinya sendiri.Dua saksi, Nikmah dan Paryono, berdiri di dekat meja penghulu. Mereka terlihat seperti dua orang asing yang terjebak dalam adegan yang bukan milik mereka. Jasmine bahkan tidak tahu siapa mereka sebenarnya, hanya nama mereka yang disebut Zora tadi pagi.Noah berdiri di depannya, tubuh tegap dan wajah datar tanpa ekspresi. Dia tidak mencoba menenangkan Jasmine atau berbasa-basi, hanya memberikan kesan tegas dan sedikit dingin."Kita mulai," katanya singkat, suaranya seperti perintah yang tak terbantahkan.Penghulu mengawali prosesi dengan doa pembuka. "Bismillahirrahma
Malam itu terasa hening. Jasmine melangkah masuk ke kamar pengantin yang telah disiapkan oleh Zora. Rumah di kompleks perumahan Raflesia Hill itu terlihat megah, tetapi Jasmine merasa kecil dan terasing di dalamnya.“Kamar ini... terlalu mewah,” gumam Jasmine, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, suaranya terdengar bergetar.Kamar itu cukup luas, dengan dekorasi yang elegan. Wangi aromaterapi memenuhi udara, campuran lavender dan melati yang begitu kuat hingga membuat kepala Jasmine sedikit ringan. Cahaya lampu temaram memantul dari dinding krem, menciptakan suasana yang aneh, hampir seperti mimpi.“Noah akan datang,” gumamnya pelan. Hatinya berdebar kencang.Saat Jasmine duduk di tepi tempat tidur, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Noah masuk dengan langkah tenang, tetapi ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Jasmine langsung berdiri, merasa canggung.“Noah...” Jasmine mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. “Aku... aku tidak tahu harus bagaimana.”Noah tidak menjawab. Dia
Jasmine duduk di tepi ranjang, tangannya memeluk lutut. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya kacau. Mata Jasmine memejam mengingat tubuh Noah yang bergerak di atasnya semalam.”Zora!” Suara Noah memangil istrinya membuat Jasmine merasa kotor dan bersalah.Saat Jasmine menyentuh bibirnya terasa benar lembut sentuhan dari Noah, yang membuatnya tengelam kembali dalam keintiman dan rasa sakit.”Jangan bergerak aku hampir selesai,” ucap Noah, yang setelahnya di ikuti erangan terngiang di benak Jassmine. Membuat Jasmine mengingat jeritan dan rasa aneh yang pertama kali dia rasakan seumur hidupnya.Jasmine mendongak, memandang ke sekeliling kamar pengantin yang sunyi. Hanya sisa aroma melati dari malam sebelumnya yang mengingatkannya pada apa yang telah terjadi.Pintu kamar terbuka perlahan. Jasmine menoleh dengan cepat dan di sana berdiri Noah, dengan kemeja yang sebagian terbuka dan wajah dingin seperti biasanya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya berjalan menuju meja di dekat ranjang, meng
“Ugh!”Jasmine masih merasa sakit di sekujur badannya, padahal waktu sudah berlalu berhari-hari. Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Jasmine.Setiap pagi dimulai dengan rutinitas yang sama: bangun, sarapan sendirian, dan menunggu kabar dari Zora atau Noah. Rumah besar itu terasa seperti penjara yang mewah, dengan tembok-temboknya yang dingin dan sunyi.“Aku bosan, mana aku belum waktunya kuliah. Kapan liburan semester ini berakhir,” gumamnya lebih memprotes diri sendiri.Pagi itu, Jasmine memutuskan untuk menghubungi rumah sakit. Dengan hati-hati, dia mengambil ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur dan mengetik nomor rumah sakit. Setelah beberapa dering, suara ramah dari seorang perawat terdengar di seberang telepon.Perawat: "Selamat pagi, Rumah Sakit RSUP Candra Mulia, ada yang bisa saya bantu?"Jasmine: (menarik napas dalam sebelum berbicara) "Selamat pagi, Sus. Saya Jasmine Ayu Kartika, keluarga pasien Cahaya Dewi. Nenek saya sedang dirawat di ruang ICU. Saya ingin
Malam itu, Jasmine memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja Noah. Dia tahu pria itu mungkin akan mengabaikannya, tetapi dia tidak ingin menyerah untuk mencoba.Noah membuka pintu, tampak terkejut melihat Jasmine berdiri di sana. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan nada dingin."Aku hanya ingin berbicara. Tidak lama," kata Jasmine dengan nada memohon.Noah menghela napas dan membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan agar Jasmine masuk. Ruang kerja itu besar dan penuh dengan rak buku, tetapi suasananya terasa sama dinginnya dengan Noah."Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Noah sambil duduk di kursi kerjanya.Jasmine duduk di seberang meja, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku ingin tahu... apakah kita bisa mencoba menjalani ini dengan lebih baik? Maksudku, aku tahu ini semua adalah perjanjian, tapi aku ingin hubungan kita tidak terlalu tegang. Seperti manusia pada umumnya."Noah menatapnya lama sebelum menjawab. "Kamu ingin hubungan ini menjadi lebih baik? Jasmine, ini bu
“Ugh!”Jasmine masih merasa sakit di sekujur badannya, padahal waktu sudah berlalu berhari-hari. Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Jasmine.Setiap pagi dimulai dengan rutinitas yang sama: bangun, sarapan sendirian, dan menunggu kabar dari Zora atau Noah. Rumah besar itu terasa seperti penjara yang mewah, dengan tembok-temboknya yang dingin dan sunyi.“Aku bosan, mana aku belum waktunya kuliah. Kapan liburan semester ini berakhir,” gumamnya lebih memprotes diri sendiri.Pagi itu, Jasmine memutuskan untuk menghubungi rumah sakit. Dengan hati-hati, dia mengambil ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur dan mengetik nomor rumah sakit. Setelah beberapa dering, suara ramah dari seorang perawat terdengar di seberang telepon.Perawat: "Selamat pagi, Rumah Sakit RSUP Candra Mulia, ada yang bisa saya bantu?"Jasmine: (menarik napas dalam sebelum berbicara) "Selamat pagi, Sus. Saya Jasmine Ayu Kartika, keluarga pasien Cahaya Dewi. Nenek saya sedang dirawat di ruang ICU. Saya ingin
Jasmine duduk di tepi ranjang, tangannya memeluk lutut. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya kacau. Mata Jasmine memejam mengingat tubuh Noah yang bergerak di atasnya semalam.”Zora!” Suara Noah memangil istrinya membuat Jasmine merasa kotor dan bersalah.Saat Jasmine menyentuh bibirnya terasa benar lembut sentuhan dari Noah, yang membuatnya tengelam kembali dalam keintiman dan rasa sakit.”Jangan bergerak aku hampir selesai,” ucap Noah, yang setelahnya di ikuti erangan terngiang di benak Jassmine. Membuat Jasmine mengingat jeritan dan rasa aneh yang pertama kali dia rasakan seumur hidupnya.Jasmine mendongak, memandang ke sekeliling kamar pengantin yang sunyi. Hanya sisa aroma melati dari malam sebelumnya yang mengingatkannya pada apa yang telah terjadi.Pintu kamar terbuka perlahan. Jasmine menoleh dengan cepat dan di sana berdiri Noah, dengan kemeja yang sebagian terbuka dan wajah dingin seperti biasanya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya berjalan menuju meja di dekat ranjang, meng
Malam itu terasa hening. Jasmine melangkah masuk ke kamar pengantin yang telah disiapkan oleh Zora. Rumah di kompleks perumahan Raflesia Hill itu terlihat megah, tetapi Jasmine merasa kecil dan terasing di dalamnya.“Kamar ini... terlalu mewah,” gumam Jasmine, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, suaranya terdengar bergetar.Kamar itu cukup luas, dengan dekorasi yang elegan. Wangi aromaterapi memenuhi udara, campuran lavender dan melati yang begitu kuat hingga membuat kepala Jasmine sedikit ringan. Cahaya lampu temaram memantul dari dinding krem, menciptakan suasana yang aneh, hampir seperti mimpi.“Noah akan datang,” gumamnya pelan. Hatinya berdebar kencang.Saat Jasmine duduk di tepi tempat tidur, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Noah masuk dengan langkah tenang, tetapi ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Jasmine langsung berdiri, merasa canggung.“Noah...” Jasmine mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. “Aku... aku tidak tahu harus bagaimana.”Noah tidak menjawab. Dia
"Jasmine, bersiaplah," kata Zora pelan, tetapi suaranya terdengar penuh kecemasan. Jasmine hanya mengangguk lemah, seolah separuh jiwanya tidak berada di sana.Pernikahan itu berlangsung cepat dan tanpa gegap gempita. Jasmine duduk di kursi kayu yang terasa dingin, matanya kosong memandangi penghulu yang sibuk mempersiapkan prosesi ijab kabul. Di sudut ruang tamu, Zora terlihat gelisah, sesekali meremas jemarinya sendiri.Dua saksi, Nikmah dan Paryono, berdiri di dekat meja penghulu. Mereka terlihat seperti dua orang asing yang terjebak dalam adegan yang bukan milik mereka. Jasmine bahkan tidak tahu siapa mereka sebenarnya, hanya nama mereka yang disebut Zora tadi pagi.Noah berdiri di depannya, tubuh tegap dan wajah datar tanpa ekspresi. Dia tidak mencoba menenangkan Jasmine atau berbasa-basi, hanya memberikan kesan tegas dan sedikit dingin."Kita mulai," katanya singkat, suaranya seperti perintah yang tak terbantahkan.Penghulu mengawali prosesi dengan doa pembuka. "Bismillahirrahma
Jasmine melangkah cepat menuju rumah sakit, tubuhnya terasa kaku, tetapi pikirannya penuh dengan satu tujuan, neneknya. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia ada di pundaknya.”Aku harus ke rumah sakit,” gumamnya lirih.Jasmine merasa seperti melangkah dalam mimpi buruk yang tak bisa dihentikan.Sesampainya di ruang ICU, Jasmine langsung melihat Zora duduk di kursi dekat ranjang neneknya. Wajah Zora tampak lelah, matanya sembab, seperti habis menangis.“Kamu datang juga, Jas?” suara Zora terdengar berat, meskipun ada senyum tipis yang muncul.Jasmine hanya mengangguk pelan, melangkah mendekat ke ranjang neneknya. Tubuh nenek yang biasanya penuh semangat itu kini terbaring lemah, hanya alat-alat medis yang berbunyi di sekelilingnya.Jasmine menahan napas, matanya mulai berkaca-kaca. “Gimana, kak Zor? Dokter bilang apa?”“Masih belum ada perubahan. Kita cuma bisa nunggu,” jawab Zora, menatap nenek. “Aku cuma bisa bantu dengan cara ini, Jas. Gak bisa apa-apa lagi.”Jasmine dud
"Jasmine, sudah siap?" tanyanya, suara lembut namun penuh kecemasan. Zora masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lelah meski berusaha tersenyum.Jasmine mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada kontrak itu. Hati kecilnya terasa hancur, tetapi dia tahu tak ada pilihan lain. Semua sudah diputuskan.”Atau... kamu mau sarapan dulu?” tanya Zora ramah.Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine duduk sendirian di meja makan, menatap cangkir teh yang mulai mendingin. Matanya kosong, tangannya gemetar."Noah menunggumu di ruang tamu," lanjut Zora, menepuk bahu Jasmine dengan lembut. "Kami akan menunggu di sana. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."Jasmine menatap Zora dengan mata penuh pertanyaan. "Tapi... apakah ini benar-benar yang terbaik, Zora?" Suaranya hampir tak terdengar. "Aku merasa seperti aku kehilangan diriku sendiri."Zora menarik napas panjang, ekspresinya berubah lebih serius. "Aku tahu kamu merasa seperti itu," jawabnya dengan lembut, namun nada su
Noah mengangkat alisnya, mencoba memproses apa yang baru saja dikatakan Jasmine. Sementara itu, Zora terlihat seperti ingin berkata sesuatu, tetapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara."Kamu bercanda, kan?" Noah akhirnya berkata, matanya menyipit dengan skeptis."Aku serius," jawab Jasmine tegas. "Aku tidak akan melangkah lebih jauh tanpa itu. Aku sudah menyerahkan terlalu banyak. Ini satu-satunya cara agar aku merasa ini benar, meskipun semuanya salah."Zora memandang Jasmine dengan campuran rasa marah dan bingung. "Jasmine, ini bukan waktunya untuk menawar! Kamu tahu situasinya!""Aku tahu," balas Jasmine, suaranya dingin. "Tapi aku tidak akan melanggar prinsipku. Kamu ingin anak, aku ingin menjaga moralku. Ini keputusan final."Noah menatap Zora, seolah meminta persetujuannya. Setelah beberapa detik hening yang panjang, mereka berada di sudut ruang yang jauh dari Jasmine.Zora menghela napas dengan berat, lalu mengangguk kecil. "Baiklah," katanya dengan suara yang terpaksa. "Tapi j
Tiga hari berlalu dengan penuh kegelisahan. Jasmine mencoba mencari jalan lain, tetapi tidak ada yang berhasil. Ketika rumah sakit menelepon lagi, memberitahukan bahwa kondisi neneknya semakin memburuk, Jasmine tahu dia tidak punya pilihan lain.Jasmine menghampiri Zora, yang baru sampai di Toserba. Saat itu Zora terburu- buru, tapi Jasmine berusaha menyampaiakan maksudnya."Halo, Kak Zora?" Jasmine berbicara dengan suara yang sedikit bergetar."Jasmine. Bagaimana kabarmu?" Zora menjawab dengan suara yang lembut.Zora membuka berkas di kasir dan mengambil beberapa file, lalu menumpukkan di atas meja kasir. Setelahnya dia menatap Jasmine, dengan senyuman."Kak, aku... aku butuh bantuanmu," Jasmine mengambil napas dalam-dalam.Jasmine, masih bingung. Apakah ini waktu yang tepat untuk dia mengatakan maksudnya. Tapi dia tidak bisa menunda lagi, walau dia tahu Zora tampak sibuk."Aku sudah tahu, Jasmine. Aku siap membantumu. Datang ke rumahku, kita bicarakan detailnya, saat ini aku sedang