Baik Julia maupun pria tersebut, bicara nyaris bersamaan.
Jill yang sedang menggandeng ayahnya, berseru takjub. "Kalian saling kenal?" Melihat situasi pelik ini, Julia langsung balik badan, buru-buru membungkus beberapa cookies non-gluten untuk anak yang tantrum tadi, lalu menghampiri trio ayah dan anak, yang kini sedang duduk dengan nyaman di kursi minimalis. "Maaf, ada perlu apa Anda menemui saya?" Pria tersebut menatap Julia dengan pandangan meremehkan. "Saya ayah mereka dan bukan pria tua gendut berperut buncit dengan muka berminyak." "Oh?" Julia kaget sesaat sebelum akhirnya tertawa keras. "Cuma gara-gara itu, Anda datang kemari?" Pria itu menoleh pada kedua anaknya, yang dengan patuh beranjak ke etalase, melihat-lihat kue yang mereka mau. "Jadi, selain untuk klarifikasi bahwa Anda bukan pria gendut dengan muka berminyak, hal apa lagi yang perlu saya ketahui?" Julia memperjelas fakta yang masih kabur. Pria itu memberikan kartu namanya. Di sana tertera firma hukum 'Westwood and Partner', salah satu yang terbesar di Amerika. "Saya Jhon Westwood, pemilik firma ini." Julia membetulkan nada suaranya lebih datar. "Lalu? Apakah Mrs. Westwood ibu Anda?" "Ibu saya sudah meninggal." "Berarti istri Anda?" Jhon bergerak tak nyaman. "Kenapa malah membahas dia? Kami sedang dalam proses cerai." Julia kehabisan kata-kata. Bukan soal perceraian melainkan betapa santai mulut Jim mengucapkan Mrs. Westwood semalam. Seolah sang nyonya bukanlah wanita yang melahirkannya. "Baiklah, jadi untuk apa Anda mengatakan semua ini?" Julia memutus pikirannya yang mulai melantur kemana-mana. "Setelah melihat caramu menghadapi anak nakal tadi, aku berubah pikiran. Bagaimana kalau kamu kulamar jadi ibu untuk kedua anakku? Tentu saja... setelah perceraian kami selesai." Jhon Westwood yang terlalu percaya diri bikin Julia terkesima. Pantas saja pria tampan ini langsung mengeluarkan kartu namanya di awal perkenalan. Ternyata, untuk menghipnotis dirinya dengan pesona kekayaan. "Maaf, tapi aku tak sudi menikah dengan laki-laki yang sepele sama tukang kue." Usai berkata demikian, Julia langsung bangkit. Tak sudi lagi berlama-lama memuaskan ego Adam. "Jangan terlalu sombong! Menikah denganku setidaknya membuat hidupmu lebih baik." Julia balik badan, memberi Jhon tatapan sangar. "Persetan!" Menyadari si kembar bisa saja mendengar bicaranya, dia buru-buru mengecilkan suara. "Saya tak suka kamu juga uangmu. Jadi... pergi jauh-jauh." Melihat sikap Julia, pria Westwood jadi meradang. Serta-merta dia bangkit dan menghela si kembar yang sedang asyik mengamati beragam kue. "Ayo pergi. Kitabeli kue di tempat lain." "Tidak! Aku hanya mau kue dari tempat ini? Ada apa denganmu, Jhon?" Kelakuan sang anak bikin Jhon berdecak sebal. Tatapannya yang tajam dia arahkan sepenuhnya pada si sulung Jim. Akan tetapi, bocah kecil itu tak takut sama sekali. Tanpa ragu dia membalas pandangan sang ayah. Tak mau tokonya jadi ajang peperangan antara bocah asli dan bocah yang terperangkap dalam tubuh laki-laki dewasa, Julia segera mengambil tindakan. "Jim, ini kue kesukaanmu. Sekarang pergilah sekolah, nanti terlambat," ujarnya seraya menunduk dan mengelus surai Jim. Bocah kecil yang sekejap tadi bertampang sangar, mendadak jinak. Senyumnya malu-malu seperti seekor cihuahua yang lucu. "Baik Aunty, kalau begitu kami pergi dulu." Usai berkata demikian, si sulung langsung beranjak sambil menggandeng adeknya. Tak satupun dari mereka berniat mengajak atau menunggu sang ayah. Jhon mengusap dahinya salah tingkah. Menatap netra Julia yang gelap sekali lagi, dia pun menyusul kedua anaknya. "Dasar konyol." Julia bergumam sebelum melanjutkan kegiatannya yang sempat terjeda. Meski berusaha semangat, tak urung hatinya agak was-was. Bisnis kecilnya sedang kurang baik belakangan ini. Penyebabnya, toko-toko lain mulai bermunculan dengan konsep yang lebih segar. Dan tidak seperti kebanyakan daerah Amerika yang penduduknya gemar makanan manis berlemak, di tempat elit ini orang-orang mulai peduli kesehatan. Karena itu, kue-kue lezat tak lagi jadi primadona. Satu hal yang masih patut disyukuri, kue bikinannya bisa dijual lebih mahal. Alasannya klasik. This is Upper East Side, Manhattan. Pintu kaca kembali terkuak. "Hi Sweety, akhirnya kutemukan kau." Sapaan ini sontak bikin Julia mendongak. Matanya membulat sempurna melihat laki-laki yang sudah lama dia hindari, muncul begitu saja. Aura jahat pria ini tampak makin kentara. "Ke--kenapa kau kemari? Kita tak ada urusan apapun... ." "Benarkah?" Suara pria itu mengalun. Tangannya yang kekar kecoklatan merogoh saku lalu menyalakan pemantik logam, menikmati sebatang rokok sambil mengamati reaksi Julia penuh minat. Terlihat benar dia menikmati ketakutannya. "Sayangnya, Mi Amor, bukan kau yang memutuskan kita sudah selesai atau belum." Mendekati etalase kue, dia menjulurkan tangan hendak menyentuh dagu Julia. Sontak Julia beringsut mundur, sampai tubuhnya menabrak tembok. "Tolong... jauhi aku. Pergilah, aku tak ingin punya urusan apapun denganmu. Suaranya bergetar hebat, dia sangat ketakutan. Pria yang menatapnya bagai predator bukan sembarang pria. Namanya Jose Ramirez dan merupakan mantan kekasih Julia. Pria tampan yang sudah menumbuhkan benih cinta sekaligus kengerian dalam hidupnya. Melihat raut muka Julia, Jose mendadak berang. "Prangg!" Ditonjoknya etalase kaca hingga pecah. Kue-kue yang sekejap tadi terlihat cantik menawan kini hancur berantakan. "Estupido! Kau tak mengerti ucapanku barusan? Mau mati, hah?" Suara Jose rendah dan dalam hingga tulang punggung Julia dijalari rasa dingin. Sementara itu, tangannya sudah basah oleh keringat. Demi lari dari mimpi buruk, dia jauh-jauh merantau ke New York. Selama ini dia mengira sudah bebas, namun kemunculan Jose yang tiba-tiba membuat semua angannya menguap tanpa bekas. Haruskah dia kembali lagi ke neraka yang sama? "Jose, kumohon... ." Dengan air mata berlinang, Julia bersimpuh di lantai yang dingin. "Tolong... jangan gangu aku lagi." Alih-alih kasihan, Ramirez makin berang. Dia mendekat dan menginjak bahu Julia hingga wanita itu tergeletak tak berdaya. "Kau kira aku monster sampai kau harus ketakutan seperti itu, hah? Kau merendahkan aku, sialan!" Rasa putus asa membuat Julia jadi nekad. Dengan suara bergetar, dia berucap, "kau salah paham. Aku... aku sudah menikah. Kalau suamiku tahu, dia akan mengejarmu." "Plakk!" Ramirez menempeleng kepala Julia sangat keras. "Sialan! Sekarang kau sudah belajar membohongiku, hah?" "Tidak, aku tidak mungkin bohong. Suamiku sangat pencemburu dan psikopat. Dia akan mengejar laki-laki manapun yang terlihat dekat denganku." Serta-merta Jose menjambak rambut Julia hingga wanita itu mendongak. "Jangan coba-coba menipuku. Lagipula, aku tak takut dengan suamimu. Aku bahkan akan mencabulimu di depan matanya, hahahha... ." Julia makin bergidik. Kadar kegilaan Jose memang tak ada obatnya. Entah kenapa, dia yang naif bisa terjebak bersama pria menakutkan. "Kreekk." Mendadak, pintu toko terkuak diikuti seruan yang yang sangat nyaring. "Astaga! kekacauan macam apa ini?"Jose buru-buru melepas rambut Julia lalu mengenakan kacamata hitamnya. Setelah itu dia melenggang, melewati wanita itu dan asistennya, seolah tak terjadi apa-apa. Wanita yang baru masuk itu mendekat perlahan, dan ketika melihat situasi Julia dia kembali berseru, "Astaga! Ada apa denganmu? Siapa bajingan tadi? Apa perlu kulapor polisi?" "Tidak apa-apa, Ma'am. Aku baik-baik saja. Ada perlu apa Anda kemari?" Julia buru-buru bangkit seraya merapikan baju dan rambutnya yang berantakan. "Hmmm, mau menginformasikan kalau sewa toko akan kunaikkan untuk kontrak berikutnya. Seperti yang kau tahu... harga-harga sedang naik, tentu saja pemeliharaan gedung pun ikut naik." Julia nyaris tak percaya. Mukanya masih berantakan sesudah dihajar Jose, namun pemilik gedung sudah langsung mencecarnya dengan uang sewa. Sepertinya, empati adalah barang langka di zaman modern. "Hello Ms. Julia, still here?" Wanita berambut keperakan itu mulai gerah melihat sikap diam penyewanya. "Ehm, ya m
Ada senyum tipis di bibir Jhon.Seharusnya, terlihat indah di wajah maskulinnya yang agung. Akan tetapi, Julia tak bisa menikmati sebab di matanya senyum itu lebih mirip ejekan. Memutar gelas wine-nya perlahan, Jhon bertanya lagi. "Kenapa tiba-tiba? Bukannya... kau sangat benci padaku?Memang! Hampir saja Julia meneriakkan kata ini. Untunglah otaknya lebih cepat bertindak dari pada mulutnya. "Seperti yang Anda tahu, hati manusia gampang berubah.""Aku tidak begitu," sambar JhonSebab kau bukan manusia! Lagi-lagi pikiran Julia mendebat si sombong Westwood. "Jadi, apa tawaran Anda kemarin masih berlaku?" tanya Julia pasrah. Berdebat dengan Jhon tak akan ada ujungnya, terlebih ketika dia pihak yang kalah. "Boleh, akan tetapi kontrak yang bisa kutawarkan jauh lebih rendah dari yang seharusnya."Julia yang sedang memainkan ujung jarinya terkesiap. "Maaf?"Jhon tak menyahut, melainkan meletakkan sebuah dokumen di depan wanita cantik bergaun biru itu. Demi memuaskan rasa penasaran, Ju
Baik Julia maupun sang mantan sama-sama terkesiap, bahkan pegangan Jose pada rambutnya sampai terlepas. "Bedebah sialan! Kau siapa, hah? Berani mengatur-atur hidupku?" Sorot mata Jhon dingin, penuh ancaman. "Kau tuli? Sudah kubilang dia istriku." Ternyata, bahasa tubuh Jhon tak membuat bocah Ramirez ciut. Dengan berani dia mendatangi pria yang berdiri tegak beberapa meter dari tempatnya. "Istrimu? Kalau kau tak bisa menunjukkan sertifikat perkawinan, jangan membual. Lagipula, apa peduliku kalau dia istrimu?" Mata Jhon menyipit, memindai muka Ramirez dengan seksama. Tato kecil di bagian kiri leher menunjukkan bahwa ini anggota geng mafia kecil di wilayah pantai timur. Penuh penekanan, Jhon bertanya sekali lagi. "Apa kau yakin ingin cari masalah denganku?" Bukannya bersurut langkah, Jose malah makin menjadi. Tangannya yang kekar menyentuh pipi Jhon, menepuk-nepuknya seperti memperlakukan seorang bocah. "Tentu saja. Bocah manja yang takut sinar matahari sepertimu tida
Julia terperangah, sebab dia sama sekali tak punya bayangan akan identitas wanita cantik bertubuh indah, yang berdiri angkuh di depannya. "Maaf, apakah saya mengenal Anda?" Wanita menakjubkan itu menyeringai aneh. Dengan anggun dia melepas kacamata yang bertengger manis di wajahnya, dan seketika Julia nyaris terpekik. Ternyata dia bintang film terkenal di Amerika, dan juga aktris idolanya sejak belia. "Anda.... Vivienne Miller?" Mata Julia mengerjap. Respon spontannya mengundang seringai sinis dari sang aktris. "Jadi, apakah kau sekarang sudah mengenalku?" Julia memperbaiki sikap tubuh dan nada bicaranya. Seulas senyum lebar terpatri di wajahnya. "Ma--maf, tidak langsung mengenali Anda. Apakah Anda bersedia mengambil foto dengan saya? Ini sungguh luar biasa!" "Bakery Lady, menurutmu aku datang kemari mau berfoto?" Suara Vivienne begitu ketus hingga dalam seketika Julia sadar bila sang aktris tengah menatap jijik. Menyadari tindakan noraknya membuat dia makin dipanda
Seperti biasa, tuan Jhon yang terhormat tak mau dipersalahkan. Oleh sebab itu, Julia pun tak melanjutkan bantahannya. Dengan tatapan penuh intimidasi, dia hanya menunjukkan gestur tubuh yang isyaratnya jelas. Meminta pria di depannya segera membuka baju. Tanpa banyak bicara, Jhon membuka kancing kemejanya dan menunjukkan bagian bahu yang lebam gara-gara hantaman bola bisbol. "Tahanlah, ini akan sedikit sakit." Julia berkata sambil menempelkan balok es ke bagian tersebut. Gara-gara rasa bersalah, dia bergerak sepelan mungkin sambil mengamati wajah Jhon yang berkerut menahan rasa sakit. "Kenapa kau harus berjaga dibalik pintu dengan tongkat bisbol? Seolah kita hidup di negara berkonflik saja," protesnya. "Kau mungkin tidak, tapi aku punya.""Maksudmu dengan bocah Ramirez? Tenang saja, dia masih terkapar di rumah sakit."Julia menekan bahu Jhon sedikit lebih keras hingga pria itu mengaduh. "Bagaimana kau tahu?"
Seminggu berselang, baik Julia dan Jhon sudah di kantor pencacatan sipil untuk mendaftarkan perkawinan mereka. Dalam waktu singkat, keduanya sudah sah sebagai pasangan suami-istri di mata hukum, meski tentu saja tak ada pesta yang diangankan Julia waktu masa mudanya dulu. Matanya yang indah mengerjap cepat, menatap jari manisnya yang tampak kosong. Jangankan pesta, bahkan untuk sekedar membeli cincin perkawinan pun, Jhon tak sudi. 'Setidaknya, dia membeimu ratusan ribu dolar setahun.' Hati kecil Julia berbisik dalam upaya putus asa untuk menenangkan hati yang mendadak mendung. Tiba-tiba, "apa yang kau pikirkan?" tanya Jhon yang sejak tadi duduk diam di sisinya. "Tak ada. Cuma agak kaget karena tiba-tiba saja aku sudah jadi istri seseorang."Jhon menyeringai tipis seraya menenggak sampanye. "Maka biasakan dirimu. Sebab menjadi istriku butuh tanggung jawab yang besar.""Aku tahu."Keduanya kembali terdiam dal
Meski kesal setengah mati, Julia bersiap-siap juga di kamarnya setelah kepergian Jhon. Dia memilih salah satu evening gown dari kopernya, yang ternyata sudah diantar, ketika dia tidur tadi. Setelah mematut diri dengan cepat, dia pun turun ke lantai satu. Hanya selang beberapa menit sampai di bawah, pelayan melaporkan bila tamu mereka sudah datang. Jhon menarik tangannya, dan mereka berjalan beriringan, menuju pintu utama. Tampak mesra, layaknya pengantin baru. "Wah, kau hebat, Dude. Nasibmu memang bagus dengan para gadis." Salah satu tamu yang sepertinya rekan Jhon sesama pengacara, langsung menepuk lengannya dengan akrab sembari melempar senyum ramah pada Julia. "Sabarlah dengan temanku, mukanya memang selalu kaku mirip kayu kering," bisiknya lagi sambil merangkul Julia. Mendapat respon hangat, rasa panik yang melanda Julia mendadak hilang. Sayangnya, hal serupa tak berlaku ketika pasanga
Julia mulai waspada. Tak ada yang tahu apa motif Miranda sesungguhnya, sebab di dunia ini, nyaris tak ada hal yang gratis. Apalagi, mereka baru saja saling kenal. "Maksud Anda, Ma'am?" tanyanya"Mengapa kau jadi waspada?" Dengan muka tetap datar, Miranda duduk pada salah satu kursi taman. "Sejujurnya, aku hanya muak dengan kelakuan mereka. Bertingkah seperti orang terhormat, padahal tak lebih baik dari kaum barbar."Meski skeptis, Julia memilih duduk di hadapan Miranda, menunggu wanita yang mungkin sebaya dengan ibunya itu melanjutkan cerita. Tak menunggu lama, Miranda pun langsung ke inti pembicaraan. "Sebaiknya berhati-hati dengan Vivienne. Ayahnya cukup berkuasa, jangan sampai firma hukum suamimu jadi terpengaruh.""Ya, aku tahu." Julia menyahut tenang seraya menatap kejauhan. "Selain itu, kau juga harus waspada. Jhon dan Vivienne adalah teman masa kecil... maksudku, mereka berdua sudah kenal sejak lama dan bisa d