Seperti biasa, tuan Jhon yang terhormat tak mau dipersalahkan. Oleh sebab itu, Julia pun tak melanjutkan bantahannya. Dengan tatapan penuh intimidasi, dia hanya menunjukkan gestur tubuh yang isyaratnya jelas. Meminta pria di depannya segera membuka baju.
Tanpa banyak bicara, Jhon membuka kancing kemejanya dan menunjukkan bagian bahu yang lebam gara-gara hantaman bola bisbol. "Tahanlah, ini akan sedikit sakit." Julia berkata sambil menempelkan balok es ke bagian tersebut. Gara-gara rasa bersalah, dia bergerak sepelan mungkin sambil mengamati wajah Jhon yang berkerut menahan rasa sakit. "Kenapa kau harus berjaga dibalik pintu dengan tongkat bisbol? Seolah kita hidup di negara berkonflik saja," protesnya. "Kau mungkin tidak, tapi aku punya." "Maksudmu dengan bocah Ramirez? Tenang saja, dia masih terkapar di rumah sakit." Julia menekan bahu Jhon sedikit lebih keras hingga pria itu mengaduh. "Bagaimana kau tahu?" "Aku bisa tahu informasi apapun yang kumau. Sekarang lepaskan tanganmu dari bahuku kalau memang tak berniat mengobati." "Maaf, maaf, aku cuma kaget. Lagi pula, kenapa kau mesti memakai mobil yang mirip dengan punyanya." "Apa?" Alis Jhon menukik tajam. "Bagaimana mungkin mobil mahalku mirip dengan Chevrolet bututnya?" "Yah... setidaknya bentuk dan warnanya sangat mirip." Kehabisan akal, Jhon hanya bisa menggeleng lemah. "Kalian perempuan kadang membuatku bingung. Persoalan otomotif, benar-benar buta tapi bicara soal fashion dan makeup, segala detailnya bisa kalian ingat." "Karena itulah kami disebut perempuan." Julia berkomentar singkat lalu mengoleskan salep. Usai mengurusi Jhon, dia segera menyimpan peralatan P3K lalu menyajikan segelas teh hangat dan biskuit pada tamunya. "Kau benar-benar cekatan!" Dalam kesempatan yang langka, Jhon berseru takjub setelah Julia duduk di hadapannya. Meski jantungnya berdebar mendapat pujian, Julia menjaga cara bicaranya tetap tenang. "Ah, itu cuma hal kecil. Bagi orang miskin sepertiku, tak ada pilihan selain bekerja keras sepanjang waktu." Jhon tak berkomentar lebih jauh. Tangannya yang kekar terawat, mencomot sepotong biskuit dan mencobanya. Setelah itu, dia menyesap teh yang masih mengepul panas." "Hmm, rasanya lumayan. Kurasa, hidup denganmu kelak, tidak akan buruk." Tentu saja! Hidupku yang bakal suram tinggal seatap dengan pria arogan sepertimu. Lagi-lagi, Julia yang tak berdaya cuma bisa mengumpat dalam hati. Meski sudah menyiapkan mental, tetap saja reaksi angkuh Jhon terkadang membuatnya sebal setengah mati. "Drdrtdrtdrtdrt." Keheningan yang canggung di dapur kecil itu, tiba-tiba pecah oleh dering ponsel Jhon yang keras dan lama. Pria bertubuh jangkung itu mengangkatnya enggan sebelum raut muka yang tadinya santai mendadak suram. Rahangnya yang kokoh dan bersih, tampak mengeras. Setelah panggilan usai, dia langsung bangkit dan menatap Julia sekilas. "Aku harus pulang sekarang. Ada situasi yang harus ditangani." "Baiklah, hati-hati mengemudi." Jhon menggumam tak jelas sebelum menghilang dibalik tangga. Perjalanan dari Delicacy Forest ke rumahnya memakan waktu sekitar setengah jam dan selama itu pula, dia tak henti-hentinya mengumpat wanita yang pernah sangat dia dambakan. "Akhirnya kau datang, Jhon." Vivienne berkata begitu dia membuka pintu mansion mereka yang megah. Wanita yang masih tampak menawan diusia yang sudah lewat kepala tiga itu sedang duduk bersantai dengan tangan bersedekap. Sementara itu, si kembar Jim dan Jill duduk tanpa ekspresi di depannya. "Mau apa lagi kau datang kemari? Bukannya urusan kita sudah selesai?" Mata indah Vivienne menyipit. "Tadinya iya, namun begitu melihat wanita yang kau pilih untuk merawat anak-anak, aku berubah pikiran." Jhon mengusap wajah lelah. "Apa maksudmu? Seolah kau peduli dengan mereka." "Tentu saja aku peduli. Walau sangat sibuk, aku selalu memperhatikan perkembangan mereka." Jhon nyaris tertawa, namun demi menjaga citra istrinya didepan kedua anak mereka, dia menahan diri. "Tentu saja kau ibu yang peduli makanya mau repot-repot bertengkar denganku didepan anak-anak, iya kan?" Sindiran Jhon menusuk dengan tepat. Meski tak terima, Vivienne tak punya pilihan selain meminta si kembar kembali ke kamar. Begitu hanya mereka yang tinggal di ruang tamu, Jhon tak mau lagi repot-repot bersilat lidah. "Vivienne Sayang, apa maksudmu perhatian? Setahuku sejak hamil, kau sudah benci mereka. Katamu, kehadiran anak-anakku membuat bentuk tubuhmu tak seindah dulu." Vivienne berdecak sebal. "Dasar payah! Kenapa omongan perempuan hamil kau pedulikan? Kami memang suka meracau karena situasi hormonal." "Begitukah?" Mengangkat alisnya tinggi, Jhon duduk di atas meja, tepat dihadapan Vivienne. "Ketika mereka sudah sekolah, kau juga terus merengut. Berapa kali kau katakan bahwa mereka cuma beban, sesuatu yang membuatmu tertekan dan tak bebas." "Oh, ayolah Jhon, kita semua punya masa-masa sulit. Aku cuma sedang tertekan dengan pekerjaan, itu saja." Sekali lagi Jhon menghembuskan nafas lelah. Dia sendiri tak habis pikir kenapa masih sudi membuang nafasnya untuk berdialog dengan Vivienne, yang tak pernah mau mengaku salah dalam hal apapun. Apa secinta itu dia pada ibu anak-anaknya? "Sudahlah Vivienne, apa gunanya mengungkit masalah yang sudah lewat, toh kita sudah menandatangani berkas perceraian. Hanya tinggal menunggu surat pengadilan," ujarnya pasrah. "Betul, bahkan kata ayahku surat itu akan dikirim besok. Tapi perlu kau tahu Jhon, aku tak sudi bila anakku dijaga perempuan rendahan dengan bentuk tubuh mirip pe-lacur." "Tutup mulutmu, Vivienne!" Kesabaran Jhon habis. Dia memukul meja dengan tangannya hingga wanita yang sekejap lagi sah jadi mantan istrinya tampak sangat kaget. "Jhon! Ada apa denganmu? Lihatlah, hanya sebentar mengenal perempuan itu, kau sudah seperti preman jalanan." "Apa bedanya denganmu? Mukamu cantik tapi kata-kata yang kauucapkan bukan sesuatu yang pantas keluar dari mulut perempuan terhormat." Kedua manusia yang dirasuk amarah ini saling tatap, mencoba mencari setitik rasa yang masih tersisa di wajah masing-masing. Akan tetapi, sama-sama punya sifat keras kepala, membuat rasa apapun, tertutup dibawah lapisan harga diri. Pada akhirnya, baik Jhon maupun Vivienne sama-sama membuang pandang, seolah melihat wajah masing-masing sangat melelahkan. "Kurasa kita memang tidak tercipta untuk satu sama lain," ujar Jhon pada akhirnya. "Terlalu banyak pertengkaran, terlalu banyak perselisihan, dan itu... sangat tidak menyenangkan untuk kita maupun anak-anak." Vivienne bangkit berdiri, berjalan menuju jendela, memandangi taman indah di depan mansion. Entah apa yang dia pikirkan, namun sejurus kemudian dia berbalik menghadap Jhon yang tengah terpekur menatap permadani Persia di bawah kakinya. "Sejujurnya Jhon, aku sudah memberimu banyak kesempatan. Kau sama sekali tak berusaha, selalu sibuk dengan pekerjaanmu dan membuatku hampir gila di rumah." Penyangkalan sang istri membuat nostalgia yang sempat menguar dalam benaknya, perlahan lenyap. Wajah Jhon yang tadi sendu, mendadak dingin. "Ya, aku memang salah sedangkan kau tak pernah... dan tak akan mungkin salah. Sekarang, katakan saja apa maumu? Jangan bertele-tele." "Dari awal sudah kubilang, tak sudi bila perempuan murahan itu yang kau pilih jadi penggantiku. Aku tak bisa membayangkannya ada di perjamuan kelas atas." "Untuk apa dia di sana? Memangnya sepertimu, selalu haus perhatian?" Mengabaikan ironi dalam kalimat terakhir sang suami, Vivienne memilih fokus pada yang terakhir. "Jadi, kau tak akan membuatnya tampil di muka umum?" "Apa pedulimu?" Tak menyerah, Vivienne terus mendesak ayah dari kedua anaknya. "Oh, ayolah Jhon. Kau tak memikirkan perasaan dan harga diriku ketika membawa perempuan itu di lingkungan kita?" Bagi khalayak ramai, Vivienne mungkin lajang. Akan tetapi dalam pergaulan kelas atas, semua orang tahu bahwa dirinya adalah istri Jhon Westwood, salah satu pria paling berpengaruh dalam industri hukum New York. "Baiklah, Julia hanya akan tinggal di rumah. Tapi ingat, kau jangan mengusik apalagi sampai mendatanginya seperti tadi."Seminggu berselang, baik Julia dan Jhon sudah di kantor pencacatan sipil untuk mendaftarkan perkawinan mereka. Dalam waktu singkat, keduanya sudah sah sebagai pasangan suami-istri di mata hukum, meski tentu saja tak ada pesta yang diangankan Julia waktu masa mudanya dulu. Matanya yang indah mengerjap cepat, menatap jari manisnya yang tampak kosong. Jangankan pesta, bahkan untuk sekedar membeli cincin perkawinan pun, Jhon tak sudi. 'Setidaknya, dia membeimu ratusan ribu dolar setahun.' Hati kecil Julia berbisik dalam upaya putus asa untuk menenangkan hati yang mendadak mendung. Tiba-tiba, "apa yang kau pikirkan?" tanya Jhon yang sejak tadi duduk diam di sisinya. "Tak ada. Cuma agak kaget karena tiba-tiba saja aku sudah jadi istri seseorang."Jhon menyeringai tipis seraya menenggak sampanye. "Maka biasakan dirimu. Sebab menjadi istriku butuh tanggung jawab yang besar.""Aku tahu."Keduanya kembali terdiam dal
Meski kesal setengah mati, Julia bersiap-siap juga di kamarnya setelah kepergian Jhon. Dia memilih salah satu evening gown dari kopernya, yang ternyata sudah diantar, ketika dia tidur tadi. Setelah mematut diri dengan cepat, dia pun turun ke lantai satu. Hanya selang beberapa menit sampai di bawah, pelayan melaporkan bila tamu mereka sudah datang. Jhon menarik tangannya, dan mereka berjalan beriringan, menuju pintu utama. Tampak mesra, layaknya pengantin baru. "Wah, kau hebat, Dude. Nasibmu memang bagus dengan para gadis." Salah satu tamu yang sepertinya rekan Jhon sesama pengacara, langsung menepuk lengannya dengan akrab sembari melempar senyum ramah pada Julia. "Sabarlah dengan temanku, mukanya memang selalu kaku mirip kayu kering," bisiknya lagi sambil merangkul Julia. Mendapat respon hangat, rasa panik yang melanda Julia mendadak hilang. Sayangnya, hal serupa tak berlaku ketika pasanga
Julia mulai waspada. Tak ada yang tahu apa motif Miranda sesungguhnya, sebab di dunia ini, nyaris tak ada hal yang gratis. Apalagi, mereka baru saja saling kenal. "Maksud Anda, Ma'am?" tanyanya"Mengapa kau jadi waspada?" Dengan muka tetap datar, Miranda duduk pada salah satu kursi taman. "Sejujurnya, aku hanya muak dengan kelakuan mereka. Bertingkah seperti orang terhormat, padahal tak lebih baik dari kaum barbar."Meski skeptis, Julia memilih duduk di hadapan Miranda, menunggu wanita yang mungkin sebaya dengan ibunya itu melanjutkan cerita. Tak menunggu lama, Miranda pun langsung ke inti pembicaraan. "Sebaiknya berhati-hati dengan Vivienne. Ayahnya cukup berkuasa, jangan sampai firma hukum suamimu jadi terpengaruh.""Ya, aku tahu." Julia menyahut tenang seraya menatap kejauhan. "Selain itu, kau juga harus waspada. Jhon dan Vivienne adalah teman masa kecil... maksudku, mereka berdua sudah kenal sejak lama dan bisa d
Julia buru-buru menarik selimut lalu menutup seluruh tubuhnya. Dengan suara bergetar, menahan amarah, dia melempar sumpah serapah. "Brengsek kau, Jhon. Semoga kau membusuk di neraka." Sebagai pria menyebalkan, Jhon hanya membalas dengan tatapan mencibir. "Sayang sekali, justru aku yang menciptakan neraka bagi hidup orang lain. Ckckckck.. Kau tak kenal suamimu sama sekali." Usai berkata demikian, dia segera beranjak. Ketika pintu kamarnya sudah tertutup, barulah Julia meratapi diri. Berjalan tertatih, dia masuk ke kamar mandi lalu merendam dirinya dalam bath up berisi air hangat. Sekujur tubuhnya yang kena sentuhan John, dia gosok sekeras mungkin. Lantaran rasa lelah yang menggerogoti pikirannya, Julia jadi tertidur dalam bath up. Ketika tubuhnya mulai tak nyaman akibat rasa dingin, barulah dia terjaga dan langsung keluar dari sana. "Bbbbrrrr..." Mengkertakkan g
Masih dengan sikap tenang yang menyebalkan, Jhon mendekat dan langsung duduk di depan Julia. Tak berhenti di situ, dia juga mencomot sepotong roti dan menikmatinya dengan lahap. "Maaf, Mrs. Westwood, tapi kau lupa lagi. Aku yang bayar tempat ini."Jawaban ini kembali memukul Julia dengan telak. Sebab sudah kehabisan kata-kata, dia memilih diam, sambil memandang ke luar lewat jendela yang terbuka. Akhirnya, mereka melahap roti dan kopi yang tersaji dalam diam. Ketika keheningan makin tak tertahankan, Julia pun buka mulut. "Katakan, sebenarnya apa maumu, Jhon? Kenapa selalu bertindak kejam? Kau menikahiku karena ingin menyiksaku?"Meski sudah berusaha tegar, tak urung suara Julia bergetar juga. Kekesalan yang menumpuk dalam hatinya, seperti lava yang menunggu dimuntahkan. Jhon yang tadinya bersikap acuh, bergerak tak nyaman. "Maaf, Julia. Kau pantas membenci atas tindakanku semalam, tapi sungguh... itu diluar kendali.
Malamnya, keluarga Westwood duduk bersama di meja makan. Usai bersantap malam, Julia meminta kedua anaknya naik ke atas sedangkan dia sendiri tetap duduk bersama Jhon. "Mr. Westwood," ujarnya memulai. "Mengapa kita tidak menaikkan gaji Mrs. Connor? Sangat jarang ada karyawan yang berdedikasi seperti dia. Aku sungguh kagum."Jhon yang sedang menikmati hidangan pencuci mulut sontak menolah, begitu pun Mrs. Connor yang mulai merapikan meja. Wanita itu buru-buru meletakkan sisa makanan yang tengah diangkatnya, lalu tersenyum canggung. "Anda terlalu menyanjung, Nyonya. Saya hanya melakukan apa yang jadi tugas saya."Jhon menatap keduanya bergantian sebelum akhirnya angkat bicara. "Mengapa tiba-tiba, Mrs. Westwood? Setahuku kau belum cukup lama tinggal di sini untuk melihat kinerja pegawaiku."Tersenyum penuh arti, Julia mengamati kegugupan Mrs. Connor. "Tadi siang waktu baru pulang dari mengantar anak-anak, Mrs. Connor menegurku karena sudah
Meski sebal, Julia tetap menampakkan raut muka tenang. "Memangnya siapa yang ingin memecatmu? Aku justru meminta suamiku menaikkan gajimu."Mrs. Connor menyeringai sinis hingga kerutan di wajahnya makin dalam. "Jangan kira aku tak tahu rencana busukmu. Perempuan miskin pasti hanya mau menguasai harta keluarga Westwood.""Kenapa kau keberatan? Kau punya niat begitu juga?"Serta-merta, wanita itu jadi berang. "Hentikan fitnahmu. Aku hanya menjaga tuan muda dari jebakan rubah sepertimu. Asal Anda tahu suatu saat nanti nyonya Vivienne akan kembali kemari."Tiba-tiba bunyi langkah kaki terdengar di tangga, dan Mrs. Connor langsung berubah. Ekspresi mukanya jadi ramah pun tutur katanya. "Silakan sarapan, Nyonya. Saya sudah menyiapkan sereal dan smoothie untuk Anda."Mengikuti akting sang pelayan, Julia pun ikut bersandiwara. "Tentu saja, Mrs. Connor. Saya sangat beruntung memiliki asisten seperti Anda."Kalimat sal
Seisi ruangan mendadak hening. Kedua asisten Vivienne segera melepas tangan Julia, sedang nyonya mereka menghampiri Jhon, yang berdiri dengan muka sedingin es. "Ah, untunglah kau datang, Jhon. Aku benar-benar tak habis pikir bagaimana istri barumu mendidik anak-anak."Jhon tak langsung menyahut. Matanya justru memindai semua orang hingga tatapannya berhenti pada kedua bocah yang bersembunyi dibalik tubuh Julia. Menepis tangan Vivienne, dia menghampiri si kembar dan berjongkok di depan Jill. Tangannya mengusap lembut mata putrinya yang sembab. "Katakan Sweetheart, apa yang terjadi? Papa ada di sini, tenanglah."Si bungsu tak menyahut. Lengan kecilnya dikalungkan pada leher Jhon, lalu melanjutkan isaknya dalam dekap sang ayah. Melihat adiknya tak mau bilang apa-apa, Jim yang emosional akhirnya buka mulut. "Mantan istrimu yang memulai, Jhon. Dia tiba-tiba datang dan mulai mengatakan segala omong kosong. Bahkan dia tega memukul b
Meski heran, Jhon pasrah saja saat Julia menghelanya keluar. Dia masih sempat melirik petugas apotek yang baru diajak istrinya bicara. "Kalau tak salah, petugas apotek tadi temanmu yang jahat itu, kan?" ujarnya saat mereka sudah di mobil. "Ya, aku pun tak menyangka dia bekerja di rumah sakit.""Tentu saja. Dia sudah di blacklist dari dunia hukum."Julia tak berkomentar apa-apa. Tanpa campur tangan Jhon pun, karir Selena sudah pasti tamat setelah video perselingkuhannya dengan Collins tersebar.Dia pernah dengar bahwa partner senior firma Westwood tersebut punya istri yang tangguh. Tak ada kesempatan bagi perempuan simpanan Collins untuk bertahan hidup, kalau sampai ketahuan. Terhadap nasib yang menimpa Selena, tak ada sedikitpun rasa sesal. Bekas temannya itu hanya menuai badai yang dia tabur. "Kita beli obatmu di sini saja," kata Jhon tiba-tiba seraya parkir di depan sebuah apotek. Membiarkan suaminya ambi
Kekagetan di wajah Jhon, dalam sekejap berubah jadi kemarahan. "Kau menganggapku apa, July? Aku diam karena terlalu kaget, senang, terharu, semuanya campur aduk. Bukan karena tak menginginkan anak kita."Emosi yang melanda Julia sekejap tadi, mendadak sirna. Rasa lega luar biasa membanjiri sekujur tubuhnya. Pria yang dia cintai, ternyata menginginkan anak yang dikandungnya. "Benarkah?" ujarnya tanpa bisa menyembunyikan kelegaan. Air mata haru mulai membanjiri pipinya. "Terima kasih, Jhon. Terima kasih."Kedua tangan Jhon mendekap istrinya erat. "Kenapa berterima kasih? Aku yang harus melakukannya. Kau mau melahirkan anak kita, July. Kau perempuan luar biasa."Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi rasa haru oleh alasan berbeda. Julia bahagia karena Jhon menerima anak yang dikandungnya dan sebaliknya, Jhon senang karena sang istri rela melahirkan anaknya. "Kau yakin, July?" ujar Jhon parau. "Kudengar, melahirkan bisa merusak tubuh
Kembali, keheningan menyapu udara. Sebagai dosen dan pakar hukum yang disegani, Miranda memang terkenal akan jargon yang satu ini : semua orang layak didengarkan. Dan perempuan didepannya memakai senjata yang sama untuk menyerangnya. "Katakan apa yang kau mau. Aku cuma punya dua menit," ujar Miranda akhirnya. "Berhenti mempersulit suamiku.""Dalam hal apa aku mempersulit suamimu? Jangan suka asal bicara!"Secara logika, memang tak masuk akal Miranda mempersulit Jhon, tapi bagi orang yang sedang terluka, apapun jadi mungkin. "Apakah Anda tak berani mengakui bila saksi dari pihak Jhon, Anda intervensi? Dan juga... apakah Anda cukup pengecut sehingga tak berani bilang bahwa bukti yang diajukan Jaksa di pengadilan adalah hasil manipulasi Anda?""Wow! Betapa hebatnya aku. Seorang dosen tapi bisa mengintervensi pengadilan!"Julia tersenyum kecut. Meski Miranda cuma seorang dosen, namun dia pern
"Kau tampak pucat, ada apa Sayang?"Kekhawatiran di wajah suaminya, bikin Julia serba salah. Seminggu terakhir dia memang kerap mual, terlebih di pagi hari. Awalnya, Julia acuh dan menganggap hal tersebut disebabkan oleh makanan atau kondisi cuaca yang tidak menentu. Akan tetapi, ketika hal serupa terus-menerus terjadi, benaknya mulai memikirkan hal yang nyaris mustahil. Kehamilan. Cepat-cepat Julia menepis kemungkinan ini. Saat keguguran dulu, dokter jelas bilang rahimnya rusak parah. Kecil sekali kemungkinannya bisa hamil lagi. Ini pula yang membuatnya tak pernah meminta Jhon memakai pengaman saat bercinta. Padahal, sudah tiga minggu ini mereka tidur seranjang. Jhon yang punya stamina luar biasa, melakukannya nyaris tiap malam. Bahkan di sela kesibukan yang luar biasa, pria buas itu masih tetap memangsanya. "July, kau baik-baik saja?"Teguran Jhon menarik Julia kembali ke dunia nyata. "Tentu... aku baik-baik saja," ujarnya
Julia menanti dengan sabar. Pria ini hanya menatapnya tanpa berkedip. Dia bisa merasakan jarak mereka makin dekat, bahkan kini ... bibir Jhon nyaris menyentuh dirinya. Hati kecilnya berseru agar dia menghindar. Namun kaki Julia seperti terkunci. Dia malah mematung, menanti ciuman tersebut dengan segenap rindu. Detik berikutnya, sesuatu yang hangat dan lembut mendarat di bibirnya. Mula-mula hanya sentuhan setipis bulu, terasa menggelitik. Lama-lama, jadi sesuatu yang mendesak, memuntut. Mereka berdua sama-sama lapar akan satu sama lain. Setelah nafasnya terengah, barulah Julia melepaskan diri. Dia membuang muka karena terlalu malu. "Lihat Sayang, tak satu pun dari kita ingin berpisah. Kenapa harus mengingkari perasaanmu?" "Aku tak ... ." Sebelum dia sempat berkata-kata, Jhon sudah berlutut di depannya. Pada salah satu tangannya, pria itu memegang sebuah cincin. "Maaf terlalu
Akibat permintaan Jhon, besok malamnya Julia dan si kembar berkemas. Meski perjalanan hanya di dalam kota, kedua bocah tetap penasaran. Mereka tak henti berceloteh sepanjang jalan. "Papa, kemana kita mau pergi?"Pertanyaan sang kakak, bikin Jill ikut bertanya, "benar, kenapa tiba-tiba mengajak kita keluar? Bukankah Papa sedang sibuk?""Anak-anak, tenanglah. Biarkan Papa menyetir dengan tenang."Teguran Julia membuat kedua bocah bungkam sementara Jhon mengelus punggung tangannya penuh kelembutan. Mata pria itu terlihat hangat juga penuh harap di saat yang sama. Julia memalingkan muka. Sikap manis Jhon membuat hatinya bergetar. Ini sangat berbahaya. Bagaimana caranya bilang selamat tinggal jika dia terus-terusan tergoda? Di luar sana para gelandangan sedang meringkuk di emperan. Beberapa terlalu mengantuk untuk peduli dengan cuaca dingin. Julia miris memikirkan bahwa dirinya bisa jadi salah satu dari mereka bila tak bertemu Jhon
Julia tahu bahwa Tim tidak sedang main-main, sebab bukan pertama kali hal ini terjadi. Setiap ada berita tak sedap, Jhon dan tim humas Westwood Corporation biasanya langsung turun tangan. Akan tetapi, memikirkan bahwa dia terus menambah beban kerja sang suami, bikin perasaannya makin buruk. "Terima kasih." Julia berujar letih. "Semoga urusan kami cepat selesai agar Jhon tak perlu lagi membereskan masalahku."Lewat center mirror, Tim hanya menatap sekilas. Setelahnya, pemuda pendiam itu tak berkata apa-apa lagi. Lima menit kemudian, mereka sampai di mansion.Julia bergegas masuk ke dalam, namun di ambang pintu langkahnya mendadak terhenti. Bukankah yang duduk di sofa itu David dan perempuan simpanannya, Mel? Kenapa mereka ada di sini? Tak butuh waktu lama bagi Julia memikirkan jawaban sebab detik berikutnya kedua orang itu menoleh ke pintu, lalu menyambutnya dengan keramahan yang palsu. "Hai Julia
Sekelebat rasa bersalah terbit di muka Saoirse, namun secepat kilat, ekpresinya kembali normal. "Tentu saja aku tak sempurna," sahutnya tenang. "Sebab itu aku meninggalkan Papamu yang terlalu baik.""Sudahlah, aku capek mendengar pembelaan diri yang tak berujung." Julia bangkit dari duduknya. "Biarlah ini jadi pertemuan terakhir kita. Aku tak mau punya urusan apa-apa denganmu."Usai berkata demikian, Julia langsung lenyap dibalik pagar pembatas. Hatinya lega saat mendapati Tim masih berjaga di sana, menunggunya. "Langsung ke rumah saja," ujarnya sebelum pria itu sempat bertanya. Perjalanan ke mansion terasa lama sebab dia amat terpukul. Mulutnya terlalu malas berbasa-basi, matanya terlalu lelah untuk membuka.Dia mengutuk semua nasib buruk yang menimpanya bertubi-tubi. Seharusnya, Saoirse saja yang mati duluan bukan Sebastian. Mengapa ayah yang baik harus meninggalkan dunia lebih cepat sementara orang-orang licik seperti ibuny
Sontak semua mata mengarah ke pintu, dan Julia nyaris pingsan. Dia tak mungkin salah, tak mungkin silap sebab di kamar ayahnya foto calon anggota baru tersebut masih terpajang rapi. Bagaimana mungkin ibu kandungnya, Saoirse McGregor ada di sini? Ketika akhirnya wanita itu ikut bergabung, mata birunya yang cerah langsung bersirobok dengan netra gelap Julia. Dan bila Julia masih seperti orang linglung, wanita tersebut bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. "Hai semua, aku Saoirse, kalian boleh memanggilku Sasha," sapanya manja dan ceria. Sejak dulu ibunya memang agak centil. Suara dan postur tubuhnya yang mungil, menunjang tabiatnya ini. Hingga sekarang, Julia masih mengingatnya. Meski guratan tipis mulai tampak di wajah, Saoirse tetap berlagak seperti sosok perempuan muda, sebagaimana yang terekam dalam ingatan Julia. Hal ini menimbulkan cibiran dari beberapa perempuan aristokrat yang seumur hidup terbias