Share

Nostalgia

Seperti biasa, tuan Jhon yang terhormat tak mau dipersalahkan. Oleh sebab itu, Julia pun tak melanjutkan bantahannya. Dengan tatapan penuh intimidasi, dia hanya menunjukkan gestur tubuh yang isyaratnya jelas. Meminta pria di depannya segera membuka baju.

Tanpa banyak bicara, Jhon membuka kancing kemejanya dan menunjukkan bagian bahu yang lebam gara-gara hantaman bola bisbol.

"Tahanlah, ini akan sedikit sakit." Julia berkata sambil menempelkan balok es ke bagian tersebut.

Gara-gara rasa bersalah, dia bergerak sepelan mungkin sambil mengamati wajah Jhon yang berkerut menahan rasa sakit.

"Kenapa kau harus berjaga dibalik pintu dengan tongkat bisbol? Seolah kita hidup di negara berkonflik saja," protesnya.

"Kau mungkin tidak, tapi aku punya."

"Maksudmu dengan bocah Ramirez? Tenang saja, dia masih terkapar di rumah sakit."

Julia menekan bahu Jhon sedikit lebih keras hingga pria itu mengaduh. "Bagaimana kau tahu?"

"Aku bisa tahu informasi apapun yang kumau. Sekarang lepaskan tanganmu dari bahuku kalau memang tak berniat mengobati."

"Maaf, maaf, aku cuma kaget. Lagi pula, kenapa kau mesti memakai mobil yang mirip dengan punyanya."

"Apa?" Alis Jhon menukik tajam. "Bagaimana mungkin mobil mahalku mirip dengan Chevrolet bututnya?"

"Yah... setidaknya bentuk dan warnanya sangat mirip."

Kehabisan akal, Jhon hanya bisa menggeleng lemah. "Kalian perempuan kadang membuatku bingung. Persoalan otomotif, benar-benar buta tapi bicara soal fashion dan makeup, segala detailnya bisa kalian ingat."

"Karena itulah kami disebut perempuan." Julia berkomentar singkat lalu mengoleskan salep.

Usai mengurusi Jhon, dia segera menyimpan peralatan P3K lalu menyajikan segelas teh hangat dan biskuit pada tamunya.

"Kau benar-benar cekatan!"

Dalam kesempatan yang langka, Jhon berseru takjub setelah Julia duduk di hadapannya.

Meski jantungnya berdebar mendapat pujian, Julia menjaga cara bicaranya tetap tenang. "Ah, itu cuma hal kecil. Bagi orang miskin sepertiku, tak ada pilihan selain bekerja keras sepanjang waktu."

Jhon tak berkomentar lebih jauh. Tangannya yang kekar terawat, mencomot sepotong biskuit dan mencobanya. Setelah itu, dia menyesap teh yang masih mengepul panas."

"Hmm, rasanya lumayan. Kurasa, hidup denganmu kelak, tidak akan buruk."

Tentu saja! Hidupku yang bakal suram tinggal seatap dengan pria arogan sepertimu.

Lagi-lagi, Julia yang tak berdaya cuma bisa mengumpat dalam hati. Meski sudah menyiapkan mental, tetap saja reaksi angkuh Jhon terkadang membuatnya sebal setengah mati.

"Drdrtdrtdrtdrt."

Keheningan yang canggung di dapur kecil itu, tiba-tiba pecah oleh dering ponsel Jhon yang keras dan lama.

Pria bertubuh jangkung itu mengangkatnya enggan sebelum raut muka yang tadinya santai mendadak suram. Rahangnya yang kokoh dan bersih, tampak mengeras. Setelah panggilan usai, dia langsung bangkit dan menatap Julia sekilas.

"Aku harus pulang sekarang. Ada situasi yang harus ditangani."

"Baiklah, hati-hati mengemudi."

Jhon menggumam tak jelas sebelum menghilang dibalik tangga.

Perjalanan dari Delicacy Forest ke rumahnya memakan waktu sekitar setengah jam dan selama itu pula, dia tak henti-hentinya mengumpat wanita yang pernah sangat dia dambakan.

"Akhirnya kau datang, Jhon." Vivienne berkata begitu dia membuka pintu mansion mereka yang megah.

Wanita yang masih tampak menawan diusia yang sudah lewat kepala tiga itu sedang duduk bersantai dengan tangan bersedekap. Sementara itu, si kembar Jim dan Jill duduk tanpa ekspresi di depannya.

"Mau apa lagi kau datang kemari? Bukannya urusan kita sudah selesai?"

Mata indah Vivienne menyipit. "Tadinya iya, namun begitu melihat wanita yang kau pilih untuk merawat anak-anak, aku berubah pikiran."

Jhon mengusap wajah lelah. "Apa maksudmu? Seolah kau peduli dengan mereka."

"Tentu saja aku peduli. Walau sangat sibuk, aku selalu memperhatikan perkembangan mereka."

Jhon nyaris tertawa, namun demi menjaga citra istrinya didepan kedua anak mereka, dia menahan diri.

"Tentu saja kau ibu yang peduli makanya mau repot-repot bertengkar denganku didepan anak-anak, iya kan?"

Sindiran Jhon menusuk dengan tepat. Meski tak terima, Vivienne tak punya pilihan selain meminta si kembar kembali ke kamar.

Begitu hanya mereka yang tinggal di ruang tamu, Jhon tak mau lagi repot-repot bersilat lidah.

"Vivienne Sayang, apa maksudmu perhatian? Setahuku sejak hamil, kau sudah benci mereka. Katamu, kehadiran anak-anakku membuat bentuk tubuhmu tak seindah dulu."

Vivienne berdecak sebal. "Dasar payah! Kenapa omongan perempuan hamil kau pedulikan? Kami memang suka meracau karena situasi hormonal."

"Begitukah?" Mengangkat alisnya tinggi, Jhon duduk di atas meja, tepat dihadapan Vivienne. "Ketika mereka sudah sekolah, kau juga terus merengut. Berapa kali kau katakan bahwa mereka cuma beban, sesuatu yang membuatmu tertekan dan tak bebas."

"Oh, ayolah Jhon, kita semua punya masa-masa sulit. Aku cuma sedang tertekan dengan pekerjaan, itu saja."

Sekali lagi Jhon menghembuskan nafas lelah. Dia sendiri tak habis pikir kenapa masih sudi membuang nafasnya untuk berdialog dengan Vivienne, yang tak pernah mau mengaku salah dalam hal apapun.

Apa secinta itu dia pada ibu anak-anaknya?

"Sudahlah Vivienne, apa gunanya mengungkit masalah yang sudah lewat, toh kita sudah menandatangani berkas perceraian. Hanya tinggal menunggu surat pengadilan," ujarnya pasrah.

"Betul, bahkan kata ayahku surat itu akan dikirim besok. Tapi perlu kau tahu Jhon, aku tak sudi bila anakku dijaga perempuan rendahan dengan bentuk tubuh mirip pe-lacur."

"Tutup mulutmu, Vivienne!"

Kesabaran Jhon habis. Dia memukul meja dengan tangannya hingga wanita yang sekejap lagi sah jadi mantan istrinya tampak sangat kaget.

"Jhon! Ada apa denganmu? Lihatlah, hanya sebentar mengenal perempuan itu, kau sudah seperti preman jalanan."

"Apa bedanya denganmu? Mukamu cantik tapi kata-kata yang kauucapkan bukan sesuatu yang pantas keluar dari mulut perempuan terhormat."

Kedua manusia yang dirasuk amarah ini saling tatap, mencoba mencari setitik rasa yang masih tersisa di wajah masing-masing. Akan tetapi, sama-sama punya sifat keras kepala, membuat rasa apapun, tertutup dibawah lapisan harga diri.

Pada akhirnya, baik Jhon maupun Vivienne sama-sama membuang pandang, seolah melihat wajah masing-masing sangat melelahkan.

"Kurasa kita memang tidak tercipta untuk satu sama lain," ujar Jhon pada akhirnya. "Terlalu banyak pertengkaran, terlalu banyak perselisihan, dan itu... sangat tidak menyenangkan untuk kita maupun anak-anak."

Vivienne bangkit berdiri, berjalan menuju jendela, memandangi taman indah di depan mansion. Entah apa yang dia pikirkan, namun sejurus kemudian dia berbalik menghadap Jhon yang tengah terpekur menatap permadani Persia di bawah kakinya.

"Sejujurnya Jhon, aku sudah memberimu banyak kesempatan. Kau sama sekali tak berusaha, selalu sibuk dengan pekerjaanmu dan membuatku hampir gila di rumah."

Penyangkalan sang istri membuat nostalgia yang sempat menguar dalam benaknya, perlahan lenyap. Wajah Jhon yang tadi sendu, mendadak dingin.

"Ya, aku memang salah sedangkan kau tak pernah... dan tak akan mungkin salah. Sekarang, katakan saja apa maumu? Jangan bertele-tele."

"Dari awal sudah kubilang, tak sudi bila perempuan murahan itu yang kau pilih jadi penggantiku. Aku tak bisa membayangkannya ada di perjamuan kelas atas."

"Untuk apa dia di sana? Memangnya sepertimu, selalu haus perhatian?"

Mengabaikan ironi dalam kalimat terakhir sang suami, Vivienne memilih fokus pada yang terakhir.

"Jadi, kau tak akan membuatnya tampil di muka umum?"

"Apa pedulimu?"

Tak menyerah, Vivienne terus mendesak ayah dari kedua anaknya. "Oh, ayolah Jhon. Kau tak memikirkan perasaan dan harga diriku ketika membawa perempuan itu di lingkungan kita?"

Bagi khalayak ramai, Vivienne mungkin lajang. Akan tetapi dalam pergaulan kelas atas, semua orang tahu bahwa dirinya adalah istri Jhon Westwood, salah satu pria paling berpengaruh dalam industri hukum New York.

"Baiklah, Julia hanya akan tinggal di rumah. Tapi ingat, kau jangan mengusik apalagi sampai mendatanginya seperti tadi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status