Seisi ruangan mendadak hening. Kedua asisten Vivienne segera melepas tangan Julia, sedang nyonya mereka menghampiri Jhon, yang berdiri dengan muka sedingin es.
"Ah, untunglah kau datang, Jhon. Aku benar-benar tak habis pikir bagaimana istri barumu mendidik anak-anak."Jhon tak langsung menyahut. Matanya justru memindai semua orang hingga tatapannya berhenti pada kedua bocah yang bersembunyi dibalik tubuh Julia.Menepis tangan Vivienne, dia menghampiri si kembar dan berjongkok di depan Jill. Tangannya mengusap lembut mata putrinya yang sembab."Katakan Sweetheart, apa yang terjadi? Papa ada di sini, tenanglah."Si bungsu tak menyahut. Lengan kecilnya dikalungkan pada leher Jhon, lalu melanjutkan isaknya dalam dekap sang ayah. Melihat adiknya tak mau bilang apa-apa, Jim yang emosional akhirnya buka mulut."Mantan istrimu yang memulai, Jhon. Dia tiba-tiba datang dan mulai mengatakan segala omong kosong. Bahkan dia tega memukul bJulia menatap tak berdaya, mulutnya bergetar, kehabisan kata-kata. "Itukah yang dikatakan Vivienne padamu?" tanyanya ketus "Setidaknya, begitulah yang kutangkap." "Lantas apa kau setuju cara Vivienne mendidik anak kalian? Dia memukul mereka, Jhon!" "Terkadang... Jim bisa sangat dramatis, kau tahu... sikap tegas perlu untuk anak-anak." Sangat sukar melukiskan perasaan Julia saat ini. Bila menyangkut sang mantan, suaminya seperti orang kehilangan akal, tak bisa lagi berpikir jernih "Menurutmu... Jim mengarang? Dia menciptakan bekas lebamnya sendiri? Apa kau gila Jhon?!" "Hentikan Julia! Mana mungkin ada ibu yang tega memukuli anak mereka. Lagi pula, aku sudah lama kenal Vivienne. Dia tak mungkin seperti itu." Terlalu marah untuk mendebat Jhon, akhirnya Julia bangkit dan mendorong kursi dengan kasar. "Kau benar Jhon. Aku cuma ibu tiri, tak mungkin bis
Beberapa meter di depannya, tampak Vivienne sedang berjalan mesra dengan seseorang. Kedekatan mereka, lebih mirip sepasang kekasih daripada teman. Tangan Vivienne merangkul pinggang si pria sedangkan bibirnya sesekali mendarat di leher teman kencannya. Sayang sekali, mereka sama-sama memakai sunglasses ukuran besar, dan topi hingga dia tak bisa mengenal jelas siapa pria tersebut. Rasa penasaran membuat Julia buru-buru memakai kacamata juga lalu mengikuti keduanya dalam jarak aman. Makin lama Julia menatap, makin akrab wajah pria itu terlihat. Seperti pernah dia lihat, entah di film atau majalah. Tiba-tiba blitz kamera muncul dari antah-berantah. "Sial!" Julia mengumpat kesal sebab blitz paparazzi tersebut membuat kedua sejoli tadi jadi sadar sedang dikuntit. Keduanya cepat-cepat kabur dan menghilang dari pandangan. Julia berjalan lemas menuju kedua bocah yang sudah menunggu tak sabar. "Aunty, dari mana saja? Kami
Sepeninggal suaminya, Julia masih bertanya-tanya, merasa heran dengan sikap Jhon yang seperti salah tingkah. "Paling cuma merasa bersalah sudah menuduhku sembarangan." Begitu pikirnya sebelum melanjutkan bacaannya yang tertunda. Sementara itu, Jhon yang baru keluar dari sana pun terlihat linglung, merutuki diri. Baru kali ini dia mati kutu di depan wanitan selain Vivienne. Rusak sudah reputasinya sebagai si tampan berwajah dingin. u Gusar karena kehilangan kendali atas dirinya, Mrs. Connor yang malang jadi kena amuk. "Sepertinya, kau sudah makin hebat sekarang." Dia berujar dingin ketika memasuki ruang kerjanya. "Mengapa Anda berkata demikian, Mr. Westwood? Apa salah saya?" Jhon memandang tajam pada pengurus rumah yang usianya nyaris setengah abad. Mrs. Connor bekerja di mansion atas rekomendasi keluarga Miller sebab beliau sendiri masih kerabat jauh. Ini pula sebabnya, Jhon agak sungkan mem
Begitu pertemuan dengan Selena usai, Julia langsung pulang ke rumah. Hasrat untuk belajar, padam begitu saja. Tadinya dia sempat senang ketika melihat kenalan lama. Siapa sangka, orang yang dikira bisa jadi pelipur lara, nyatanya jadi sumber lara itu sendiri. "Aunty, kau nampak lelah dan kesal. Apa yang terjadi?" Jill yang sedang menonton TV di ruang tengah langsung menyambut ibu tirinya. Serta-merta Julia memeluk si gadis kecil, menghirup aroma sabun yang menguar dari tubuhnya. "Aunty hanya lelah... juga gugup menghadapi wawancara nanti." Bagai seorang preman pasar, bocah kecil itu menggulung lengan bajunya. "Jangan takut Aunty, aku bakal memarahi mereka agar tidak macam-macam denganmu." Melihat gaya anaknya, Julia tergelak, tak lupa menjawil pipinya yang tembam. Dia tak mungkin lupa bagaimana Jill kerap menangis bila menghadapi situasi tak mengenakkan. Di rumah saja dia selalu berlagak jag
Kau yakin dengan ini?" Jhon bertanya ragu. Ekspresi mukanya yang mirip bocah baru kencan, bikin Julia nyaris tertawa. Semalam setelah membicarakan rencana, mereka langsung melaksanakannya sekarang. Demi kejutan ini, Jhon rela membolos dari pekerjaan yang sangat dia cintai. "Percayalah, anak-anakmu itu para malaikat berhati lembut." Julia meyakinkan hingga raut muka Jhon sedikit membaik. Tak lama berselang, pintu restoran terbuka, dan tampaklah kedua anak yang baru pulang sekolah muncul dari balik pintu. "Aunty, kau bilang ini jadi acara kita bertiga." Jim berkata tanpa ragu. Raut mukanya penuh permusuhan terhadap sang ayah. "Jim, bisakah kita makan dulu sebelum bicara?"Si sulung nyaris membantah, namun tatapan mata Julia yang penuh harap membuatnya menelan kembali semua kata-kata penolakan. "Baiklah, tapi bukan berarti aku sudah memaafkan seseorang."Usai berkata demikian, dia langsung duduk di
Keempat penghuni mansion yang baru datang, langsung berhenti di tempat. Jhon yang tadinya menampilkan ekspresi tenang, mendadak beku. Kedatangan Vivienne ke kediamannya, mulai terasa mengusik. "Ada apa dengan kedatanganmu yang tiba-tiba? Bukannya kau sangat sibuk?" ujarnya menahan geram. Segurat senyum yang tak mirip senyum terukir di wajah Vivienne. Tatapan matanya yang tajam memindai semua orang, hingga berhenti tepat pada Julia. "Rupanya wajah lugumu hanya tipuan. Sekarang, kau bahkan membuat Jhon dan kedua anakku makin menjauh." Tak tahu menahu arah pembicaraan mantan nyonya Westwood, Julia menatap suaminya putus asa. Helaan nafasnya yang berat, bikin hati Jhon tergugah. "Anak-anak, tolong naik ke atas. Ada yang mau kami bicarakan di sini." Jhon berkata dengan otoritas yang tak terbantahkan. Begitu kedua anaknya sudah pergi, barulah dia duduk di hadapan Vivienne. Dan tepat pada saat ini
Setelah percakapan terakhir dengan suami, Julia memilih fokus dengan hidupnya sendiri. Salah satu yang dia persiapkan dengan matang adalah portofolio dan juga materi wawancara untuk hari ini. Pagi sekali, satu jam lebih awal dari kesepakatan, dia sudah duduk di ruang tunggu kantor dekan fakultas Sastra universitas Borough Riverdale. Pukul sepuluh, sang dekan yang ditunggu, akhirnya memasuki ruangan. "Kau yang bernama Julia?" ujarnya kaku. "Ya, Ms. Caroline."Julia mengamati wanita berpenampilan rapi itu dengan seksama. Perasannya sedikit was-was, sebab menurut cerita yang beredar, Caroline sedikit keras dan perfeksionis. "Jadi, kau pernah kuliah di college sebelumnya? Ada artikel atau jurnal yang sudah kau tulis?" Caroline berujar lagi seraya memeriksa dokumen yang diberikan Julia. Mendapat pertanyaan yang sudah diduga sebelumnya, Julia berusaha tetap tenang. "Maaf Ma'am, saya hanya kuliah setahun, jadi..
Mengabaikan kata-kata sang suami, Julia langsung menaiki tangga, membanting pintu kamar, dan menghempaskan diri di atas ranjang. Berurusan dengan manusia minim empati sepanjang hari, benar-benar melelahkan.Sementara itu, Jhon yang tertinggal sendiri di ruang tengah, menghembuskan nafas kasar. "Dasar perempuan," gumamnya kesal ketika menyadari bahwa sang istri bahkan tak mau repot-repot menunggunya selesai bicara. Tak mau berlama-lama memikirkan kelakuan Julia, dia segera mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. "Nona Caroline Copper, kau sedang bermain-main denganku?" ujarnya ketika panggilan sudah terhubung. "Maaf Mr. Jhon, tapi calon mahasiswa yang Anda rekomendasikan memang benar-benar payah. Sebenarnya... apa hubungan Anda dengannya?""Hubunganku dengan siapa pun, bukan urusanmu. Apa yang kupermasalahkan adalah kenyataan bahwa Anda berani menentangku."Didesak dengan cara tidak sopan, membuat Caroline hilang kesa