Julia terperangah, sebab dia sama sekali tak punya bayangan akan identitas wanita cantik bertubuh indah, yang berdiri angkuh di depannya.
"Maaf, apakah saya mengenal Anda?" Wanita menakjubkan itu menyeringai aneh. Dengan anggun dia melepas kacamata yang bertengger manis di wajahnya, dan seketika Julia nyaris terpekik. Ternyata dia bintang film terkenal di Amerika, dan juga aktris idolanya sejak belia. "Anda.... Vivienne Miller?" Mata Julia mengerjap. Respon spontannya mengundang seringai sinis dari sang aktris. "Jadi, apakah kau sekarang sudah mengenalku?" Julia memperbaiki sikap tubuh dan nada bicaranya. Seulas senyum lebar terpatri di wajahnya. "Ma--maf, tidak langsung mengenali Anda. Apakah Anda bersedia mengambil foto dengan saya? Ini sungguh luar biasa!" "Bakery Lady, menurutmu aku datang kemari mau berfoto?" Suara Vivienne begitu ketus hingga dalam seketika Julia sadar bila sang aktris tengah menatap jijik. Menyadari tindakan noraknya membuat dia makin dipandang rendah, buru-buru Julia mengubah intonasi bicaranya. "Sejujurnya... aku tak tahu apa tujuan Anda datang kemari? Bisa Anda jelaskan?" "Tentu saja ingin tahu seperti apa perempuan yang dipilih Jhon untuk jadi penggantiku, dan ternyata... ." Sang bintang menggantung kalimatnya, dan dengan gaya dramatis menatap lawan bicaranya dari atas ke bawah, hingga yang bersangkutan jadi tak nyaman. "... kau tak lebih dari penjual kue bermuka pas-pasan. Sangat disayangkan!" lanjut Vivienne. Sekali lagi Julia terperangah, netranya yang coklat mengerjap cepat, ingin memastikan bahwa dirinya yang baru dijadikan objek hinaan oleh Vivienne. Menyadari bahwa aktris idola benar-benar tengah merendahkannya, hati Julia bergolak. Rasa kesal naik ke ubun-ubun, memenuhi setiap rongga tubuhnya. "Ms. Miller, apa hak Anda menghina saya? Lagipula sejak kapan Anda dengan Jhon? Setahuku Anda bahkan masih lajang?" Penyangkalan yang diutarakannya membuat Vivienne tersenyum samar. Perlahan, dia mendekat dan menatap Julia dengan mata birunya yang indah. "Tidak sepertimu, aku ini aktris besar. Seluruh Amerika, bahkan dunia mengenalku. Para fans tentu tak suka bila aku perempuan yang sudah kawin. Karena itulah, status pernikahanku dirahasiakan." Konyol! Hanya kata itu yang bisa dipikirkan Julia sekarang. Setelah melihat bagaimana Vivienne bersikap ditambah ambisinya yang kelewat batas -- rela menyangkal anak dan suami demi karir -- semua rasa hormat yang pernah dia miliki, menguap seketika. "Wah, kalau begitu Ms. Miller, kuucapkan selamat padamu. Sebab sebentar lagi, cita-citamu sebagai gadis lajang, akan benar-benar tercapai." "Tutup mulutmu!" Vivienne berseru marah. Mukanya yang seperti barbie merah padam. "Kau pikir Jhon akan bisa mencintaimu? Bermimpilah! Wanita berkulit gelap dan bertubuh penuh, tak pernah jadi seleranya." Serta-merta Julia bersedekap, menutup dadanya yang berukuran di atas rata-rata. Bila kebanyakan wanita dengan bangga akan pamer, dia justru sebaliknya. Gumpalan lemak beberapa pon itu adalah momok menakutkan baginya sejak belia. Kaum pria akan memandang tubuhnya penuh hasrat sedangkan wanita jadi iri dan membencinya. Sebab itulah, dia pernah hampir melakukan operasi pengecilan dada, yang sampai sekarang belum terpenuhi gara-gara masalah dana. "Entah aku selera Jhon atau tidak, itu bukan urusan Anda. Dia yang datang menawarkan diri dan melamarku, paham?" Pengakuan Julia tak membuat Vivienne mundur. Dengan kepercayaan diri yang tinggi dia mengitari Julia, dan mencemooh terang-terangan. "Tubuhmu seperti wanita penghibur, cocok untuk bersenang-senang tapi bukan untuk dibawa ke perjamuan mewah. Lagi pula statusmu yang rendah, pastilah membuat Jhon malu setengah mati." Mati-matian Julia menahan diri. Ledakan emosi apapun hanya akan membuatnya makin malu di hadapan Vivienne. Menahan suaranya tetap tenang, dia berbalik dan menatap sang aktris penuh tantangan. "Apa gunanya Anda menghinaku? Hanya membuatmu terlihat seperti perempuan sirik yang putus asa." "Beraninya kau!" Mengabaikan ancaman dalam suara lawan, Julia tersenyum tenang. "Kalau memang Anda lebih unggul dariku, sebaiknya buat Jhon membatalkan lamarannya, bagaimana?" Vivienne yang sekejap tadi nampak gagah, kehilangan kata-kata. Matanya mengerjap, seolah sedang berpikir keras. Julia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memukul mental lawannya. "Bagaimana? Anda tak berani?" "Mengapa aku harus menerima tawaranmu? Memangnya kau siapa, hah?" Julia mengedik tak acuh. "Tentu saja Anda tak harus menerimanya. Akan tetapi... bila ini terjadi maka untuk seterusnya aku akan menganggap Anda pengecut yang payah." "Dasar perempuan kurang ajar. Lihat saja, kau harus membayar penghinaan ini." Usai menutup perjumpaan mereka dengan kalimat ancaman, Vivienne memakai kacamatanya kembali lalu beranjak pergi. Setelah mobilnya tak terlihat, barulah Julia menarik nafas dalam-dalam untuk mengendurkan urat sarafnya yang sempat menegang gara-gara pertempuran tak berdarah tadi. "Dasar perempuan bodoh!" gumamnya sembari menghirup aroma sillage parfum milik Vivienne yang masih terendus meski sang pemilik sudah tak tampak lagi. Setelah dirinya agak tenang, barulah Julia melanjutkan kegiatannya yang sempat terjeda sembari memikirkan betapa beruntung Vivienne sebagai seorang wanita. Terlahir dengan sendok perak di mulutnya, mantan istri Jhon terbiasa dikelilingi perhatian, terlebih karena parasnya yang cantik. Entah kenapa, selalu saja ada manusia yang memiliki segalanya. "Astaga, apa yang kaupikirkan?" Julia menepuk dahinya ketika sadar bahwa dia mulai menyesali hidupnya yang buruk lantaran memikirkan kehidupan glamor Vivienne. Dengan setumpuk kegiatan yang membuatnya sibuk, akhirnya hari Julia berakhir. Dia berkemas dan hendak menutup pintu gerai, ketika sebuah mobil mendekat dan berhenti tepat di depannya. Jantung Julia berdegup kencang karena bentuk dan warna mobil ini persis dengan yang dipakai Jose tempo hari. Tergesa dia melangkah ke meja counter, mengambil tongkat bisbol dari bawah, lalu bersiap menunggu dibalik pintu. Bulir keringat membasahi pelipisnya, menunggu si pengunjung baru dalam detik-detik yang terasa amat panjang. "Kreeekk... ." Ketika bunyi daun pintu terdengar, Julia langsung mengayunkan tongkat di tangannya sekuat tenaga. "Arrrggghhh!" Raungan kesakitan terdengar diiringi suara maskulin yang akrab. "Julia, apa yang kaulakukan?" Suara bentakan Jhon membuat Julia langsung membuka mata dan menatap pria malang yang sedang kesakitan itu salah tingkah. "Ma--maaf, kukira bukan kau yang datang." Sembari berkata demikian, dia tergesa menutup pintu gerai lalu menghela Jhon ke lantai dua. "Apa maksudmu menyeretku kemari? Kau sudah tak sabar lagi?" "Hush, diamlah. Duduk di sini." Dengan kekuatan penuh, dia menekan Jhon hingga pria itu terduduk pada salah satu kursi yang ada di dapur kecilnya. Setelah itu Julia mencari kotak P3K dan sebongkah es batu. "Sekarang buka bajumu!" perintahnya tanpa ampun. Jhon menatap tak percaya. Mulutnya membuka dan menutup, seolah mencari kalimat yang tepat. Namun setelah sekian lama, tak ada kalimat yang terdengar. Melihatnya begitu, Julia mendecih sebal. "Dasar pria mesum. Menurutmu, untuk apa aku menyuruhmu membuka baju? Tentu saja mau memeriksa lukamu." Pikirannya yang sudah melantur jauh, bikin Jhon berdehem tak nyaman. "Siapa suruh kau bicara sepotong-sepotong? Isinya ambigu pula."Seperti biasa, tuan Jhon yang terhormat tak mau dipersalahkan. Oleh sebab itu, Julia pun tak melanjutkan bantahannya. Dengan tatapan penuh intimidasi, dia hanya menunjukkan gestur tubuh yang isyaratnya jelas. Meminta pria di depannya segera membuka baju. Tanpa banyak bicara, Jhon membuka kancing kemejanya dan menunjukkan bagian bahu yang lebam gara-gara hantaman bola bisbol. "Tahanlah, ini akan sedikit sakit." Julia berkata sambil menempelkan balok es ke bagian tersebut. Gara-gara rasa bersalah, dia bergerak sepelan mungkin sambil mengamati wajah Jhon yang berkerut menahan rasa sakit. "Kenapa kau harus berjaga dibalik pintu dengan tongkat bisbol? Seolah kita hidup di negara berkonflik saja," protesnya. "Kau mungkin tidak, tapi aku punya.""Maksudmu dengan bocah Ramirez? Tenang saja, dia masih terkapar di rumah sakit."Julia menekan bahu Jhon sedikit lebih keras hingga pria itu mengaduh. "Bagaimana kau tahu?"
Seminggu berselang, baik Julia dan Jhon sudah di kantor pencacatan sipil untuk mendaftarkan perkawinan mereka. Dalam waktu singkat, keduanya sudah sah sebagai pasangan suami-istri di mata hukum, meski tentu saja tak ada pesta yang diangankan Julia waktu masa mudanya dulu. Matanya yang indah mengerjap cepat, menatap jari manisnya yang tampak kosong. Jangankan pesta, bahkan untuk sekedar membeli cincin perkawinan pun, Jhon tak sudi. 'Setidaknya, dia membeimu ratusan ribu dolar setahun.' Hati kecil Julia berbisik dalam upaya putus asa untuk menenangkan hati yang mendadak mendung. Tiba-tiba, "apa yang kau pikirkan?" tanya Jhon yang sejak tadi duduk diam di sisinya. "Tak ada. Cuma agak kaget karena tiba-tiba saja aku sudah jadi istri seseorang."Jhon menyeringai tipis seraya menenggak sampanye. "Maka biasakan dirimu. Sebab menjadi istriku butuh tanggung jawab yang besar.""Aku tahu."Keduanya kembali terdiam dal
Meski kesal setengah mati, Julia bersiap-siap juga di kamarnya setelah kepergian Jhon. Dia memilih salah satu evening gown dari kopernya, yang ternyata sudah diantar, ketika dia tidur tadi. Setelah mematut diri dengan cepat, dia pun turun ke lantai satu. Hanya selang beberapa menit sampai di bawah, pelayan melaporkan bila tamu mereka sudah datang. Jhon menarik tangannya, dan mereka berjalan beriringan, menuju pintu utama. Tampak mesra, layaknya pengantin baru. "Wah, kau hebat, Dude. Nasibmu memang bagus dengan para gadis." Salah satu tamu yang sepertinya rekan Jhon sesama pengacara, langsung menepuk lengannya dengan akrab sembari melempar senyum ramah pada Julia. "Sabarlah dengan temanku, mukanya memang selalu kaku mirip kayu kering," bisiknya lagi sambil merangkul Julia. Mendapat respon hangat, rasa panik yang melanda Julia mendadak hilang. Sayangnya, hal serupa tak berlaku ketika pasanga
Julia mulai waspada. Tak ada yang tahu apa motif Miranda sesungguhnya, sebab di dunia ini, nyaris tak ada hal yang gratis. Apalagi, mereka baru saja saling kenal. "Maksud Anda, Ma'am?" tanyanya"Mengapa kau jadi waspada?" Dengan muka tetap datar, Miranda duduk pada salah satu kursi taman. "Sejujurnya, aku hanya muak dengan kelakuan mereka. Bertingkah seperti orang terhormat, padahal tak lebih baik dari kaum barbar."Meski skeptis, Julia memilih duduk di hadapan Miranda, menunggu wanita yang mungkin sebaya dengan ibunya itu melanjutkan cerita. Tak menunggu lama, Miranda pun langsung ke inti pembicaraan. "Sebaiknya berhati-hati dengan Vivienne. Ayahnya cukup berkuasa, jangan sampai firma hukum suamimu jadi terpengaruh.""Ya, aku tahu." Julia menyahut tenang seraya menatap kejauhan. "Selain itu, kau juga harus waspada. Jhon dan Vivienne adalah teman masa kecil... maksudku, mereka berdua sudah kenal sejak lama dan bisa d
Julia buru-buru menarik selimut lalu menutup seluruh tubuhnya. Dengan suara bergetar, menahan amarah, dia melempar sumpah serapah. "Brengsek kau, Jhon. Semoga kau membusuk di neraka." Sebagai pria menyebalkan, Jhon hanya membalas dengan tatapan mencibir. "Sayang sekali, justru aku yang menciptakan neraka bagi hidup orang lain. Ckckckck.. Kau tak kenal suamimu sama sekali." Usai berkata demikian, dia segera beranjak. Ketika pintu kamarnya sudah tertutup, barulah Julia meratapi diri. Berjalan tertatih, dia masuk ke kamar mandi lalu merendam dirinya dalam bath up berisi air hangat. Sekujur tubuhnya yang kena sentuhan John, dia gosok sekeras mungkin. Lantaran rasa lelah yang menggerogoti pikirannya, Julia jadi tertidur dalam bath up. Ketika tubuhnya mulai tak nyaman akibat rasa dingin, barulah dia terjaga dan langsung keluar dari sana. "Bbbbrrrr..." Mengkertakkan g
Masih dengan sikap tenang yang menyebalkan, Jhon mendekat dan langsung duduk di depan Julia. Tak berhenti di situ, dia juga mencomot sepotong roti dan menikmatinya dengan lahap. "Maaf, Mrs. Westwood, tapi kau lupa lagi. Aku yang bayar tempat ini."Jawaban ini kembali memukul Julia dengan telak. Sebab sudah kehabisan kata-kata, dia memilih diam, sambil memandang ke luar lewat jendela yang terbuka. Akhirnya, mereka melahap roti dan kopi yang tersaji dalam diam. Ketika keheningan makin tak tertahankan, Julia pun buka mulut. "Katakan, sebenarnya apa maumu, Jhon? Kenapa selalu bertindak kejam? Kau menikahiku karena ingin menyiksaku?"Meski sudah berusaha tegar, tak urung suara Julia bergetar juga. Kekesalan yang menumpuk dalam hatinya, seperti lava yang menunggu dimuntahkan. Jhon yang tadinya bersikap acuh, bergerak tak nyaman. "Maaf, Julia. Kau pantas membenci atas tindakanku semalam, tapi sungguh... itu diluar kendali.
Malamnya, keluarga Westwood duduk bersama di meja makan. Usai bersantap malam, Julia meminta kedua anaknya naik ke atas sedangkan dia sendiri tetap duduk bersama Jhon. "Mr. Westwood," ujarnya memulai. "Mengapa kita tidak menaikkan gaji Mrs. Connor? Sangat jarang ada karyawan yang berdedikasi seperti dia. Aku sungguh kagum."Jhon yang sedang menikmati hidangan pencuci mulut sontak menolah, begitu pun Mrs. Connor yang mulai merapikan meja. Wanita itu buru-buru meletakkan sisa makanan yang tengah diangkatnya, lalu tersenyum canggung. "Anda terlalu menyanjung, Nyonya. Saya hanya melakukan apa yang jadi tugas saya."Jhon menatap keduanya bergantian sebelum akhirnya angkat bicara. "Mengapa tiba-tiba, Mrs. Westwood? Setahuku kau belum cukup lama tinggal di sini untuk melihat kinerja pegawaiku."Tersenyum penuh arti, Julia mengamati kegugupan Mrs. Connor. "Tadi siang waktu baru pulang dari mengantar anak-anak, Mrs. Connor menegurku karena sudah
Meski sebal, Julia tetap menampakkan raut muka tenang. "Memangnya siapa yang ingin memecatmu? Aku justru meminta suamiku menaikkan gajimu."Mrs. Connor menyeringai sinis hingga kerutan di wajahnya makin dalam. "Jangan kira aku tak tahu rencana busukmu. Perempuan miskin pasti hanya mau menguasai harta keluarga Westwood.""Kenapa kau keberatan? Kau punya niat begitu juga?"Serta-merta, wanita itu jadi berang. "Hentikan fitnahmu. Aku hanya menjaga tuan muda dari jebakan rubah sepertimu. Asal Anda tahu suatu saat nanti nyonya Vivienne akan kembali kemari."Tiba-tiba bunyi langkah kaki terdengar di tangga, dan Mrs. Connor langsung berubah. Ekspresi mukanya jadi ramah pun tutur katanya. "Silakan sarapan, Nyonya. Saya sudah menyiapkan sereal dan smoothie untuk Anda."Mengikuti akting sang pelayan, Julia pun ikut bersandiwara. "Tentu saja, Mrs. Connor. Saya sangat beruntung memiliki asisten seperti Anda."Kalimat sal
Sementara itu, gugatan class action yang menimpa perusahaan keluarga Caroline masih bergulir seperti bola api. Karena keluarga sang dekan cukup terkemuka, banyak pihak ikut terseret. Mulai dari politikus sampai praktisi dunia kesehatan. "Hakim dan dewan juri yang terhormat, seperti yang kita ketahui bersama, kebanyakan korban yang mengalami kram dada adalah mereka yang mengkonsumsi minuman bersoda. Jadi, masalah terjadi bukan pada obat yang diproduksi Protect Pharma."Jhon mengemukakan kalimat pembuka yang membela kepentingan kliennya. Pagi ini dia tampak bersemangat sebab jaksa secara tiba-tiba mencabut bukti yang diajukan pada persidangan sebelumnya. "Keberatan." Pengacara yang membela pihak lawan mendebat. "Mereka yang tidak mengkonsumsi minuman bersoda juga terkena kram dada.""Benar, tetapi air yang mereka minum mengandung Kalium yang tinggi, sebagian lagi mengkonsumsinya bersamaan dengan obat lain."Sembari berkata demik
Setelah babak kesedihan Jill usai, hidup berlanjut seperti biasa, kecuali untuk satu hal. Kehamilan Julia. Mual yang dia rasakan makin sering sementara Jhon belum juga usai dengan pergelutan di ruang sidang. Mau tak mau, Julia harus lebih mandiri dalam menjalani semuanya. Seperti pagi ini misalnya. Mereka seharusnya memeriksan kehamilannya yang sudah menginjak dua bulan. Akan tetapi, karena ada sidang yang tak bisa ditinggalkan Jhon, terpaksa dia pergi sendiri. "Kau yakin? Kunjungan ke dokter bisa kita jadwalkan ulang." Jhon menatapnya khawatir "Jangan berlebihan, Jhon. Aku kesana cuma duduk manis, dokter yang melakukan semuanya." "Kalau begitu, aku akan meminta Tim mengantarmu. Terlalu bahaya kalau menyetir sendirian." Tanpa menunggu persetujuannya, Jhon langsung menelepon sang ajudan. Setengah jam berselang, Tim sudah di rumah. Lengkap dengan seragam dan ekspresi kakunya. "Kita langsung be
Meski heran, Jhon pasrah saja saat Julia menghelanya keluar. Dia masih sempat melirik petugas apotek yang baru diajak istrinya bicara. "Kalau tak salah, petugas apotek tadi temanmu yang jahat itu, kan?" ujarnya saat mereka sudah di mobil. "Ya, aku pun tak menyangka dia bekerja di rumah sakit.""Tentu saja. Dia sudah di blacklist dari dunia hukum."Julia tak berkomentar apa-apa. Tanpa campur tangan Jhon pun, karir Selena sudah pasti tamat setelah video perselingkuhannya dengan Collins tersebar.Dia pernah dengar bahwa partner senior firma Westwood tersebut punya istri yang tangguh. Tak ada kesempatan bagi perempuan simpanan Collins untuk bertahan hidup, kalau sampai ketahuan. Terhadap nasib yang menimpa Selena, tak ada sedikitpun rasa sesal. Bekas temannya itu hanya menuai badai yang dia tabur. "Kita beli obatmu di sini saja," kata Jhon tiba-tiba seraya parkir di depan sebuah apotek. Membiarkan suaminya ambi
Kekagetan di wajah Jhon, dalam sekejap berubah jadi kemarahan. "Kau menganggapku apa, July? Aku diam karena terlalu kaget, senang, terharu, semuanya campur aduk. Bukan karena tak menginginkan anak kita."Emosi yang melanda Julia sekejap tadi, mendadak sirna. Rasa lega luar biasa membanjiri sekujur tubuhnya. Pria yang dia cintai, ternyata menginginkan anak yang dikandungnya. "Benarkah?" ujarnya tanpa bisa menyembunyikan kelegaan. Air mata haru mulai membanjiri pipinya. "Terima kasih, Jhon. Terima kasih."Kedua tangan Jhon mendekap istrinya erat. "Kenapa berterima kasih? Aku yang harus melakukannya. Kau mau melahirkan anak kita, July. Kau perempuan luar biasa."Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi rasa haru oleh alasan berbeda. Julia bahagia karena Jhon menerima anak yang dikandungnya dan sebaliknya, Jhon senang karena sang istri rela melahirkan anaknya. "Kau yakin, July?" ujar Jhon parau. "Kudengar, melahirkan bisa merusak tubuh
Kembali, keheningan menyapu udara. Sebagai dosen dan pakar hukum yang disegani, Miranda memang terkenal akan jargon yang satu ini : semua orang layak didengarkan. Dan perempuan didepannya memakai senjata yang sama untuk menyerangnya. "Katakan apa yang kau mau. Aku cuma punya dua menit," ujar Miranda akhirnya. "Berhenti mempersulit suamiku.""Dalam hal apa aku mempersulit suamimu? Jangan suka asal bicara!"Secara logika, memang tak masuk akal Miranda mempersulit Jhon, tapi bagi orang yang sedang terluka, apapun jadi mungkin. "Apakah Anda tak berani mengakui bila saksi dari pihak Jhon, Anda intervensi? Dan juga... apakah Anda cukup pengecut sehingga tak berani bilang bahwa bukti yang diajukan Jaksa di pengadilan adalah hasil manipulasi Anda?""Wow! Betapa hebatnya aku. Seorang dosen tapi bisa mengintervensi pengadilan!"Julia tersenyum kecut. Meski Miranda cuma seorang dosen, namun dia pern
"Kau tampak pucat, ada apa Sayang?"Kekhawatiran di wajah suaminya, bikin Julia serba salah. Seminggu terakhir dia memang kerap mual, terlebih di pagi hari. Awalnya, Julia acuh dan menganggap hal tersebut disebabkan oleh makanan atau kondisi cuaca yang tidak menentu. Akan tetapi, ketika hal serupa terus-menerus terjadi, benaknya mulai memikirkan hal yang nyaris mustahil. Kehamilan. Cepat-cepat Julia menepis kemungkinan ini. Saat keguguran dulu, dokter jelas bilang rahimnya rusak parah. Kecil sekali kemungkinannya bisa hamil lagi. Ini pula yang membuatnya tak pernah meminta Jhon memakai pengaman saat bercinta. Padahal, sudah tiga minggu ini mereka tidur seranjang. Jhon yang punya stamina luar biasa, melakukannya nyaris tiap malam. Bahkan di sela kesibukan yang luar biasa, pria buas itu masih tetap memangsanya. "July, kau baik-baik saja?"Teguran Jhon menarik Julia kembali ke dunia nyata. "Tentu... aku baik-baik saja," ujarnya
Julia menanti dengan sabar. Pria ini hanya menatapnya tanpa berkedip. Dia bisa merasakan jarak mereka makin dekat, bahkan kini ... bibir Jhon nyaris menyentuh dirinya. Hati kecilnya berseru agar dia menghindar. Namun kaki Julia seperti terkunci. Dia malah mematung, menanti ciuman tersebut dengan segenap rindu. Detik berikutnya, sesuatu yang hangat dan lembut mendarat di bibirnya. Mula-mula hanya sentuhan setipis bulu, terasa menggelitik. Lama-lama, jadi sesuatu yang mendesak, memuntut. Mereka berdua sama-sama lapar akan satu sama lain. Setelah nafasnya terengah, barulah Julia melepaskan diri. Dia membuang muka karena terlalu malu. "Lihat Sayang, tak satu pun dari kita ingin berpisah. Kenapa harus mengingkari perasaanmu?" "Aku tak ... ." Sebelum dia sempat berkata-kata, Jhon sudah berlutut di depannya. Pada salah satu tangannya, pria itu memegang sebuah cincin. "Maaf terlalu
Akibat permintaan Jhon, besok malamnya Julia dan si kembar berkemas. Meski perjalanan hanya di dalam kota, kedua bocah tetap penasaran. Mereka tak henti berceloteh sepanjang jalan. "Papa, kemana kita mau pergi?"Pertanyaan sang kakak, bikin Jill ikut bertanya, "benar, kenapa tiba-tiba mengajak kita keluar? Bukankah Papa sedang sibuk?""Anak-anak, tenanglah. Biarkan Papa menyetir dengan tenang."Teguran Julia membuat kedua bocah bungkam sementara Jhon mengelus punggung tangannya penuh kelembutan. Mata pria itu terlihat hangat juga penuh harap di saat yang sama. Julia memalingkan muka. Sikap manis Jhon membuat hatinya bergetar. Ini sangat berbahaya. Bagaimana caranya bilang selamat tinggal jika dia terus-terusan tergoda? Di luar sana para gelandangan sedang meringkuk di emperan. Beberapa terlalu mengantuk untuk peduli dengan cuaca dingin. Julia miris memikirkan bahwa dirinya bisa jadi salah satu dari mereka bila tak bertemu Jhon
Julia tahu bahwa Tim tidak sedang main-main, sebab bukan pertama kali hal ini terjadi. Setiap ada berita tak sedap, Jhon dan tim humas Westwood Corporation biasanya langsung turun tangan. Akan tetapi, memikirkan bahwa dia terus menambah beban kerja sang suami, bikin perasaannya makin buruk. "Terima kasih." Julia berujar letih. "Semoga urusan kami cepat selesai agar Jhon tak perlu lagi membereskan masalahku."Lewat center mirror, Tim hanya menatap sekilas. Setelahnya, pemuda pendiam itu tak berkata apa-apa lagi. Lima menit kemudian, mereka sampai di mansion.Julia bergegas masuk ke dalam, namun di ambang pintu langkahnya mendadak terhenti. Bukankah yang duduk di sofa itu David dan perempuan simpanannya, Mel? Kenapa mereka ada di sini? Tak butuh waktu lama bagi Julia memikirkan jawaban sebab detik berikutnya kedua orang itu menoleh ke pintu, lalu menyambutnya dengan keramahan yang palsu. "Hai Julia