Julia mulai waspada. Tak ada yang tahu apa motif Miranda sesungguhnya, sebab di dunia ini, nyaris tak ada hal yang gratis. Apalagi, mereka baru saja saling kenal.
"Maksud Anda, Ma'am?" tanyanya"Mengapa kau jadi waspada?" Dengan muka tetap datar, Miranda duduk pada salah satu kursi taman. "Sejujurnya, aku hanya muak dengan kelakuan mereka. Bertingkah seperti orang terhormat, padahal tak lebih baik dari kaum barbar."Meski skeptis, Julia memilih duduk di hadapan Miranda, menunggu wanita yang mungkin sebaya dengan ibunya itu melanjutkan cerita.Tak menunggu lama, Miranda pun langsung ke inti pembicaraan."Sebaiknya berhati-hati dengan Vivienne. Ayahnya cukup berkuasa, jangan sampai firma hukum suamimu jadi terpengaruh.""Ya, aku tahu." Julia menyahut tenang seraya menatap kejauhan."Selain itu, kau juga harus waspada. Jhon dan Vivienne adalah teman masa kecil... maksudku, mereka berdua sudah kenal sejak lama dan bisa dJulia buru-buru menarik selimut lalu menutup seluruh tubuhnya. Dengan suara bergetar, menahan amarah, dia melempar sumpah serapah. "Brengsek kau, Jhon. Semoga kau membusuk di neraka." Sebagai pria menyebalkan, Jhon hanya membalas dengan tatapan mencibir. "Sayang sekali, justru aku yang menciptakan neraka bagi hidup orang lain. Ckckckck.. Kau tak kenal suamimu sama sekali." Usai berkata demikian, dia segera beranjak. Ketika pintu kamarnya sudah tertutup, barulah Julia meratapi diri. Berjalan tertatih, dia masuk ke kamar mandi lalu merendam dirinya dalam bath up berisi air hangat. Sekujur tubuhnya yang kena sentuhan John, dia gosok sekeras mungkin. Lantaran rasa lelah yang menggerogoti pikirannya, Julia jadi tertidur dalam bath up. Ketika tubuhnya mulai tak nyaman akibat rasa dingin, barulah dia terjaga dan langsung keluar dari sana. "Bbbbrrrr..." Mengkertakkan g
Masih dengan sikap tenang yang menyebalkan, Jhon mendekat dan langsung duduk di depan Julia. Tak berhenti di situ, dia juga mencomot sepotong roti dan menikmatinya dengan lahap. "Maaf, Mrs. Westwood, tapi kau lupa lagi. Aku yang bayar tempat ini."Jawaban ini kembali memukul Julia dengan telak. Sebab sudah kehabisan kata-kata, dia memilih diam, sambil memandang ke luar lewat jendela yang terbuka. Akhirnya, mereka melahap roti dan kopi yang tersaji dalam diam. Ketika keheningan makin tak tertahankan, Julia pun buka mulut. "Katakan, sebenarnya apa maumu, Jhon? Kenapa selalu bertindak kejam? Kau menikahiku karena ingin menyiksaku?"Meski sudah berusaha tegar, tak urung suara Julia bergetar juga. Kekesalan yang menumpuk dalam hatinya, seperti lava yang menunggu dimuntahkan. Jhon yang tadinya bersikap acuh, bergerak tak nyaman. "Maaf, Julia. Kau pantas membenci atas tindakanku semalam, tapi sungguh... itu diluar kendali.
Malamnya, keluarga Westwood duduk bersama di meja makan. Usai bersantap malam, Julia meminta kedua anaknya naik ke atas sedangkan dia sendiri tetap duduk bersama Jhon. "Mr. Westwood," ujarnya memulai. "Mengapa kita tidak menaikkan gaji Mrs. Connor? Sangat jarang ada karyawan yang berdedikasi seperti dia. Aku sungguh kagum."Jhon yang sedang menikmati hidangan pencuci mulut sontak menolah, begitu pun Mrs. Connor yang mulai merapikan meja. Wanita itu buru-buru meletakkan sisa makanan yang tengah diangkatnya, lalu tersenyum canggung. "Anda terlalu menyanjung, Nyonya. Saya hanya melakukan apa yang jadi tugas saya."Jhon menatap keduanya bergantian sebelum akhirnya angkat bicara. "Mengapa tiba-tiba, Mrs. Westwood? Setahuku kau belum cukup lama tinggal di sini untuk melihat kinerja pegawaiku."Tersenyum penuh arti, Julia mengamati kegugupan Mrs. Connor. "Tadi siang waktu baru pulang dari mengantar anak-anak, Mrs. Connor menegurku karena sudah
Meski sebal, Julia tetap menampakkan raut muka tenang. "Memangnya siapa yang ingin memecatmu? Aku justru meminta suamiku menaikkan gajimu."Mrs. Connor menyeringai sinis hingga kerutan di wajahnya makin dalam. "Jangan kira aku tak tahu rencana busukmu. Perempuan miskin pasti hanya mau menguasai harta keluarga Westwood.""Kenapa kau keberatan? Kau punya niat begitu juga?"Serta-merta, wanita itu jadi berang. "Hentikan fitnahmu. Aku hanya menjaga tuan muda dari jebakan rubah sepertimu. Asal Anda tahu suatu saat nanti nyonya Vivienne akan kembali kemari."Tiba-tiba bunyi langkah kaki terdengar di tangga, dan Mrs. Connor langsung berubah. Ekspresi mukanya jadi ramah pun tutur katanya. "Silakan sarapan, Nyonya. Saya sudah menyiapkan sereal dan smoothie untuk Anda."Mengikuti akting sang pelayan, Julia pun ikut bersandiwara. "Tentu saja, Mrs. Connor. Saya sangat beruntung memiliki asisten seperti Anda."Kalimat sal
Seisi ruangan mendadak hening. Kedua asisten Vivienne segera melepas tangan Julia, sedang nyonya mereka menghampiri Jhon, yang berdiri dengan muka sedingin es. "Ah, untunglah kau datang, Jhon. Aku benar-benar tak habis pikir bagaimana istri barumu mendidik anak-anak."Jhon tak langsung menyahut. Matanya justru memindai semua orang hingga tatapannya berhenti pada kedua bocah yang bersembunyi dibalik tubuh Julia. Menepis tangan Vivienne, dia menghampiri si kembar dan berjongkok di depan Jill. Tangannya mengusap lembut mata putrinya yang sembab. "Katakan Sweetheart, apa yang terjadi? Papa ada di sini, tenanglah."Si bungsu tak menyahut. Lengan kecilnya dikalungkan pada leher Jhon, lalu melanjutkan isaknya dalam dekap sang ayah. Melihat adiknya tak mau bilang apa-apa, Jim yang emosional akhirnya buka mulut. "Mantan istrimu yang memulai, Jhon. Dia tiba-tiba datang dan mulai mengatakan segala omong kosong. Bahkan dia tega memukul b
Julia menatap tak berdaya, mulutnya bergetar, kehabisan kata-kata. "Itukah yang dikatakan Vivienne padamu?" tanyanya ketus "Setidaknya, begitulah yang kutangkap." "Lantas apa kau setuju cara Vivienne mendidik anak kalian? Dia memukul mereka, Jhon!" "Terkadang... Jim bisa sangat dramatis, kau tahu... sikap tegas perlu untuk anak-anak." Sangat sukar melukiskan perasaan Julia saat ini. Bila menyangkut sang mantan, suaminya seperti orang kehilangan akal, tak bisa lagi berpikir jernih "Menurutmu... Jim mengarang? Dia menciptakan bekas lebamnya sendiri? Apa kau gila Jhon?!" "Hentikan Julia! Mana mungkin ada ibu yang tega memukuli anak mereka. Lagi pula, aku sudah lama kenal Vivienne. Dia tak mungkin seperti itu." Terlalu marah untuk mendebat Jhon, akhirnya Julia bangkit dan mendorong kursi dengan kasar. "Kau benar Jhon. Aku cuma ibu tiri, tak mungkin bis
Beberapa meter di depannya, tampak Vivienne sedang berjalan mesra dengan seseorang. Kedekatan mereka, lebih mirip sepasang kekasih daripada teman. Tangan Vivienne merangkul pinggang si pria sedangkan bibirnya sesekali mendarat di leher teman kencannya. Sayang sekali, mereka sama-sama memakai sunglasses ukuran besar, dan topi hingga dia tak bisa mengenal jelas siapa pria tersebut. Rasa penasaran membuat Julia buru-buru memakai kacamata juga lalu mengikuti keduanya dalam jarak aman. Makin lama Julia menatap, makin akrab wajah pria itu terlihat. Seperti pernah dia lihat, entah di film atau majalah. Tiba-tiba blitz kamera muncul dari antah-berantah. "Sial!" Julia mengumpat kesal sebab blitz paparazzi tersebut membuat kedua sejoli tadi jadi sadar sedang dikuntit. Keduanya cepat-cepat kabur dan menghilang dari pandangan. Julia berjalan lemas menuju kedua bocah yang sudah menunggu tak sabar. "Aunty, dari mana saja? Kami
Sepeninggal suaminya, Julia masih bertanya-tanya, merasa heran dengan sikap Jhon yang seperti salah tingkah. "Paling cuma merasa bersalah sudah menuduhku sembarangan." Begitu pikirnya sebelum melanjutkan bacaannya yang tertunda. Sementara itu, Jhon yang baru keluar dari sana pun terlihat linglung, merutuki diri. Baru kali ini dia mati kutu di depan wanitan selain Vivienne. Rusak sudah reputasinya sebagai si tampan berwajah dingin. u Gusar karena kehilangan kendali atas dirinya, Mrs. Connor yang malang jadi kena amuk. "Sepertinya, kau sudah makin hebat sekarang." Dia berujar dingin ketika memasuki ruang kerjanya. "Mengapa Anda berkata demikian, Mr. Westwood? Apa salah saya?" Jhon memandang tajam pada pengurus rumah yang usianya nyaris setengah abad. Mrs. Connor bekerja di mansion atas rekomendasi keluarga Miller sebab beliau sendiri masih kerabat jauh. Ini pula sebabnya, Jhon agak sungkan mem
Sontak semua mata mengarah ke pintu, dan Julia nyaris pingsan. Dia tak mungkin salah, tak mungkin silap sebab di kamar ayahnya foto calon anggota baru tersebut masih terpajang rapi. Bagaimana mungkin ibu kandungnya, Saoirse McGregor ada di sini? Ketika akhirnya wanita itu ikut bergabung, mata birunya yang cerah langsung bersirobok dengan netra gelap Julia. Dan bila Julia masih seperti orang linglung, wanita tersebut bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. "Hai semua, aku Saoirse, kalian boleh memanggilku Sasha," sapanya manja dan ceria. Sejak dulu ibunya memang agak centil. Suara dan postur tubuhnya yang mungil, menunjang tabiatnya ini. Hingga sekarang, Julia masih mengingatnya. Meski guratan tipis mulai tampak di wajah, Saoirse tetap berlagak seperti sosok perempuan muda, sebagaimana yang terekam dalam ingatan Julia. Hal ini menimbulkan cibiran dari beberapa perempuan aristokrat yang seumur hidup terbias
Sejak perdebatan dengan Jhon malam itu, suasana dingin kembali menyelimuti mansion Westwood. Julia memilih menjaga jarak dengan suaminya. Kalau bukan karena kasus penangkapan mafia yang melibatkan keluarga Antonietti, mungkin dia sudah pindah sekarang juga. Hari ini, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Julia bergegas ke rumah. Istirahat dan membaca buku yang dikirim Rebecca, sebab siang nanti akan ada pertemuan klub baca buku. "July, kau ada acara hari ini?"Suara Jhon di ambang pintu berhasil mengalihkan matanya dari halaman buku. "Ya, kenapa?"Alih-alih menyahut, Jhon malah menghampirinya. "Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?""Tak ada. Aku sedang sibuk, tak sempat kemana-mana."Jhon mengangguk paham. "Besok jadwal sidang terakhir Jose."Untuk sesaat, Julia berhenti membaca deretan huruf di depannya. Nyaris dua bulan tak mendengar nama yang pernah menggores kenangan manis dan kengerian dalam hidupny
"Kau mau merokok, July?" ujar Vivienne tiba-tiba Memikirkan betapa besar kemarahan wanita ini tadi, sebelum menampilkan keramahan yang terasa palsu, membuat Julia tak ragu lagi bila Vivienne adalah psikopat yang sebenarnya. Tak punya rasa takut, perasaan yang sukar ditebak, serta standar nilai moral yang kacau. "Tidak, aku tak biasa merokok," tolaknya. "Hmph, dasar perempuan naif." Vivienne melanjutkan kegiatannya seraya meniup-niup asap rokok dalam lingkaran besar. Aromanya segera memenuhi ruangan, bikin Julia mulai tak nyaman. "Kau tahu, Chayenne suka sekali merokok sembunyi-sembunyi tetapi karena orang tua kami tak tahu, mereka selalu berpikir bahwa dia gadis polos." "Karena sangat membencinya, mengapa kau tak cerita?" Vivienne memadamkan puntung rokok di asbak. "Kau pikir mereka percaya? Seperti yang kau bilang, aku cuma pecundang, hahahaha..."
Keheningan membeku di udara, sebelum Vivienne akhirnya terbahak-bahak. Matanya sampai berair akibat gelak yang hebat. "Ternyata kau punya bakat melawak. Menurutmu, Jhon bisa ditipu dengan mudah?" ujarnya kemudian. Tampilan Vivienne yang begitu meyakinkan, tidak membuat hati Julia gentar. Bertaruh atas keyakinan, dia mengemukakan dugaannya. "Tentu saja Jhon tak mudah ditipu, kecuali bila kau punya stuntman luar biasa, seperti... saudara kembar yang sudah mati misalnya."Ekspresi geli di muka Vivienne langsung lenyap. "Apa maksudmu?""Bahwa yang menolong Jhon adalah Chayenne, bukan kau."Secepat kilat Vivienne maju, hendak menerjang lawannya. Akan tetapi Julia yang sudah sering berlatih bela diri bersama Tim, lebih dulu mengelak. Tubuh rampingnya meliuk ke samping hingga tangan Vivienne mengenai udara kosong. "Kenapa kau marah ketika aku menyebutkan fakta?" ujarnya seraya merapikan rambut yang tergerai. "Aku
Julia bingung mau ketawa atau marah. Singa betina? Apa segarang itu mukanya saat menantang para nyonya tadi? Dia memundurkan tubuh hingga jarak mereka makin lebar. Aroma Jhon yang tercium samar-samar adalah godaan yang jahat. "Kau berlebihan, Jhon. Aku cuma membalas kata-kata mereka.""Memang. Sebab itulah kau terlihat sangat cantik malam ini. Semata-mata bukan karena apa yang kau pakai, tetapi kepercayaan diri yang terpancar dari wajahmu.Kurasa, itu juga yang membuat Rebecca berniat mengenalmu."Sebagian diri Julia mengamini kata-kata Jhon.Waktu percakapannya dengan Rebecca tadi, terlihat benar bila wanita itu sudi memanggilnya karena berani mendebat para nyonya kaya. Kalau saja dia tetap diam, mungkin Rebecca tak akan sudi mengenalnya. Julia tengah hanyut dengan pikirannya ketika mobil berhenti di depan mansion. "Baiklah, kita sudah sampai Jhon. Selamat malam dan terima kasih buat gaunnya."Usai mengatak
Nostalgia adalah hal menyenangkan bila yang diingat kenangan indah. Demikian pula yang terjadi pada Rebecca. Sembari menerawang jauh, matanya dipenuhi sinar teduh. "Sebastian dan aku sangat dekat, bahkan banyak orang berpikir suatu saat nanti kami akan menikah."Rebecca memulai ceritanya. Matanya yang sewarna zamrud menatap Julia lekat-lekat. "Dan memang begitulah adanya. Siapa sangka, dia malah jatuh cinta dan menikah dengan ibumu. Gara-gara patah hati, aku akhirnya kabur ke New York."Sungguh Julia bingung harus menanggapi cerita ini seperti apa. Ayahnya adalah pria tak beruntung. Melepas wanita yang mencintainya, lalu menikah dengan dia yang meninggalkannya. "Pada akhirnya, kau bernasib lebih baik dari Papa," cetus Julia sendu. "Ya, tentu saja. Suamiku sangat tergila-gila padaku, makanya perkawinan kami awet sampai sekarang."Amy yang duduk di sebelah Rebecca menambahkan, "tak hanya tergila, dia juga mengizinkanmu menguasai
Sontak semuanya bungkam.Di tengah keheningan ini, Julia segera beranjak. Baru satu langkah berjalan, hal mengejutkan terjadi lagi. "Prok, prok, prok!"Tepukan nyaring membuat langkahnya berhenti. Dia menoleh ke belakang, dan melihat bahwa pelakunya adalah perempuan yang sejak tadi duduk tenang. Pada saat dia kebingungan, wanita itu kembali berkata, "impressive! Nyonya Westwood ternyata lebih menarik dari yang kukira. Kalau tak keberatan, kau boleh duduk di sini."Ketika perempuan lain saling tatap, Julia melangkah menuju perempuan asing tersebut. Meski belum bertegur sapa, firasatnya bilang jika yang satu ini tidak bermaksud jahat. "Kenalkan, aku Rebecca Wilson," ujar wanita itu lalu menoleh pada teman di sebelahnya. "Sedangkan dia Emy Warren."Setelah menjabat mereka bergantian, Julia pun duduk di hadapan Rebecca. Samar-samar otaknya mulai mengingat nama ini. Bukankah penerbit yang menerima bukunya adalah Wilson Pub
Jhon menatap curiga, setidaknya itu yang dirasakan Julia. "Kenapa harus kuizinkan? Memangnya ada yang salah kalau dia mengekoriku?"Pengacara perempuan itu tergelak kecil. "Oh, ayolah Jhon. Bukan zamannya lagi kami, wanita harus mengekor di belakang kalian, iya kan Julia?"Sekarang, ketika namanya pun terseret, mau tak mau Julia harus terjun ke arena. Menilik dari rupa si pengacara, sepertinya ada niat terselubung. Meski sejak tadi terselip senyum lebar di wajah itu, namun tak ada kehangatan di sana. Sebaliknya, tercium aroma persekongkolan. Akan tetapi, sampai kapan dia harus berlindung di belakang Jhon? Jika terus begini, para wanita kalangan atas, akan terus meremehkannya. "Tentu saja itu benar." Julia menyahut mantap. "Jhon, kau pergilah dengan teman-temanmu. Biarkan para wanita memiliki acara sendiri.""Kau yakin?" Kekhawatiran Jhon tergambar jelas lewat tatapan matanya. "Sangat yakin. Tak mu
Jika dibilang Jhon tak terpengaruh suasana, jelas bohong besar. Sudah lama sejak terakhir kali dirinya merasakan kehangatan Julia. Akan tetapi, sebagai manusia waras, dia juga sadar bahwa sekarang bukan saat yang tepat memikirkan hal primitif. Maka dari itu, perlahan dia menjauhkan tubuh Julia hingga kedua pasang netra mereka saling tatap. "Tak apa, Sayang. Itu sudah jadi tugasku sebagai suami. Aku bangga bisa berbuat sesuatu untukmu."Mereka saling tatap sejenak, sebelum Jhon kembali menambahkan, "sebenarnya... aku juga punya permintaan. Tetapi kau boleh menolak kalau tak nyaman.""Katakan.""Lusa ada pertemuan para pengacara dan entah orang tolol mana yang kasih gagasan bahwa kami semua harus datang ... berpasangan."Terdengar sederhana, namun menimbulkan masalah dalam situasi mereka sekarang. Walau secara teknis, masih berstatus suami istri, pembicaraan untuk cerai sudah sempat keluar. Lagi pula, Julia masih trauma