"Tante, mau nggak jadi Mama kami?"
Julia Hernandez yang sejak tadi menunduk, terlampau serius menyusun kue-kue kecil yang cantik di etalase, sontak menengadah. Matanya mengerjap menatap dua bocah menggemaskan di depannya. Duo kembar bernama Jim dan Jill adalah pelanggan cilik yang kerap membeli cupcake di tokonya. Gara-gara sering ketemu, mereka jadi akrab. "Hush, dasar cowok vulgar. Seharusnya, kau tidak usah blak-blakan." Jill yang rambut pirangnya dikepang dua, memarahi sang kakak Tergelak kecil, Julia mengelus kepala si sulung Jim. "Maaf dear, Aunty cuma penjual cupcake. Tak cukup baik jadi mama buat siapapun." "Tapi Aunty... ." Mulut Jim langsung dibekap adiknya. Setelahnya, gadis kecil berlagak dewasa tersebut minta maaf. "Maafkan Kakak saya Aunty, sejak lahir dia memang bodoh. Kalau begitu kami pergi dulu." Julia nyaris tertawa keras melihat upaya gadis kecil itu menyeret Jim yang tubuhnya lebih besar. "Hei, bagaimana dengan cupcake? Kalian tak membelinya hari ini?" Keduanya terus berjalan ke arah pintu, cuma suara Jill pemberani yang menyahut, "maaf lagi. Hari ini, Mrs. Westwood pulang. Dia benci melihat kami makan yang manis-manis." Sejurus kemudian, pintu gerai kecil itu pun tertutup. Keriuhan yang sekejap tadi memenuhi toko tiba-tiba senyap. Mata Julia memandangi kedua bocah tadi sampai tak tampak lagi bayangannya. Netra gelap yang tadinya dipenuhi tawa, mendadak mendung. Andai saja semua tidak terjadi, mungkin dia pun akan... Julia menarik nafas berat, melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Sepanjang sisa siang, dia menjual beberapa cake dan manisan sebelum memutuskan untuk menempelkan tanda 'close' di depan pintu. Kenangan buruk bikin dia tak bersemangat lagi mencari nafkah. Meski demikian, dia tetap harus belanja ke toko kelontong di ujung jalan. Apapun ceritanya, dia harus kembali berjualan besok. Tiba-tiba, "Brukk!" Julia yang sedang melamun sambil berjalan, tiba-tiba saja menabrak laki-laki bersetelan necis. Pria tersebut juga sedang tak fokus gara-gara kelewat asyik bicara dengan seseorang lewat ponselnya. "Kamu buta, ya? Jalan selebar ini masih saja menabrak orang lain." Tadinya Julia berniat minta maaf. Akan tetapi kata-kata kasar pria ini bikin dia berubah pikiran. "Kalau begitu, kamu juga buta." "Apa? Sudah salah, masih nyolot. Apa kata 'etika' hilang dari kamusmu?" Mata indah Julia membulat. Bisa-bisanya pria parlente berkelakuan seperti orang bar-bar yang kerap dia temui di pub murahan. Lagipula, ini Upper East Side, daerah paling prestisius di Manhattan. Dari mana datangnya laki-laki gila yang pemarah? "You know what? The fuck with you!" Bagai kesatria pemberani, Julia mengacungkan jari tengahnya. Dia tercipta dengan watak keras, lahir dan besar di Texas, negeri asal para koboi yang legendaris. Sifat 'lembut' jelas tak pernah jadi bagian dari dirinya. Semenjak merantau ke Manhattan, dia berusaha keras mengubah tabiat, menyesuaikan diri dengan kelas atas yang biasanya tampil elegan dan terhormat. Sayangnya, pria ini menghancurkan kerja kerasnya dalam sekejap. Wajah laki-laki asing itu merah padam. Sepertinya belum pernah ada yang berani mengumpat di depannya secara blak-blakan. "Kau beruntung aku sedang sibuk. Kalau tidak, aku tak akan melepasmu begitu saja." Usai memberi ancaman, dia bergerak cepat, nyaris berlari ke sebuah Bentley yang parkir tak jauh dari tempat mereka adu mulut. Sejurus kemudian, suara mobil yang halus menderu pelan, sebelum meninggalkan Julia dalam amarahnya yang masih berkobar. "Sialan! Laki-laki bajingan! Keturunan iblis... ." Sambil berjalan, dia masih terus mengumpat tak karuan. Sudah lama sekali rasanya tak memaki orang, aneh sekaligus lega. Semua kemarahan yang terpendam dalam dirinya, seperti mendapat pelepasan. Tapi itu tak lama. Sebab begitu Julia sampai di depan toserba, dia tiba-tiba merasa sangat malu pada dirinya. "Persetan," gumamnya lagi. Setelah menenangkan diri, dia langsung membeli beberapa pon tepung dan gula lalu pulang ke gerainya. Lantai dua ruko kecil itu dijadikan tempat tinggal. Begitu masuk kamar, dia langsung merebahkan diri, berharap tidur akan mengurangi rasa lelah yang akhir-akhir ini makin sering mendatanginya tanpa ragu. Rupanya tidur sekejap ini berlanjut sangat panjang hingga dering telepon yang berisik membangunkan Julia tiba-tiba. "Benar dengan toko Delicacy Forest?" Suara bariton pria di ujung sana membuat kantuknya lenyap seketika. "Benar, tapi toko kami sudah tutup. Kembalilah besok jika Anda... ." Tanpa menunggunya selesai bicara, pria asing itu melanjutkan, "apakah saya bicara dengan Julia?" Jantung Julia langsung berdegup. Seingatnya, sejak sampai di tempat ini, hanya segelintir orang yang tahu namanya. Kebanyakan anak-anak sekolah yang kerap membeli kue. Pria bersuara berat dan seksi, jelas tak masuk kategori. "Benar, bagaimana Anda tahu nama Saya?" "Kalau begitu, tak usah tanggapi perkataan anak saya tadi pagi." "Maaf?" "Kedua anak Saya, Jim dan Jill, sering bertingkah konyol. Jadi apapun yang mereka katakan, sebaiknya Anda abaikan saja. Saya tentu tak berminat menikah dengan penjual kue, itu terlalu absurd." Astaga! Ada apa dengan pria? Satu hari ini, dua kali dia meradang dan dua-duanya karena ulah kaum Adam. Sekali lagi, Julia terpaksa melupakan janjinya untuk jadi gadis lembut dengan tata krama yang bagus. "Dengar baik-baik. Saya juga tak sudi menikah dengan laki-laki tua gendut, berperut buncit, dengan muka berminyak." "Apa?!" Klik. Tanpa basa-basi, Julia langsung memutus telepon dan mencabut kabelnya. Pria ini menelepon ke nomor toko, artinya dia tidak tahu nomor pribadinya. Setelah panggilan menjengkelkan itu, Julia kembali merutuk. Tak habis pikir bagaimana bisa si kembar yang manis punya ayah menyebalkan. Sikap arogannya persis laki-laki tak punya etika siang tadi. Terhuyung, Julia membuka kulkas, lalu mengambil sekaleng makanan beku dan memanaskannya di microwave. Setelah menyantapnya dua tiga suap, dia pun berhenti. Muak betul dengan rasa makanan kaleng yang begitu-begitu saja. ''Kalau sudah kaya, tak akan kusentuh lagi makanan seperti ini'. Dia membatin sebelum melanjutkan tidurnya yang terganggu. Besoknya, Julia bangun sangat subuh, melakoni kegiatan rutinnya setiap hari. Dimulai dengan menguleni adonan roti sampai kalis, melipat-lipat adonan pastry untuk membuat croissant serta memanggang beberapa cake. Tepat pukul delapan, kue-kue yang cantik sudah terpajang sempurna di etalase. "Aku mau dua croissant." Seorang bocah merengek pada nanny-nya. Wanita berkulit gelap itu tampak kepayahan membujuk si anak. "Tapi nyonya tak mengizinkanmu makan gluten." "Persetan! Aku cuma mau croissant. Dasar nanny bodoh. Percuma mommy menggajimu mahal-mahal." Sang nanny menatap Julia salah tingkah. Mukanya sudah mau menangis, campuran rasa malu, kesal dan putus asa. Entah siapa yang mau disalahkan? Kaum ibu di Upper East Side tak berminat mengurus anak sendiri. Bocah-bocah kecil ini dianggap seperti momok menakutkan, pencuri kesenangan. Pada akhirnya mereka melempar tanggung jawab itu pada nanny disertai sejumlah aturan tak masuk akal. No sugar, no gluten, no fat, no game, dan aturan konyol lain yang bahkan mereka sendiri pun tak sanggup lakukan. Lantaran kasihan, Julia menghampiri dan membungkuk di depan si anak dengan beberapa cookies tanpa gluten yang terlihat lezat. "Hai kiddo, bagaimana kalau ini saja? Rasanya jauh lebih enak dari croissant." Mulanya bocah itu menolak, tetapi melihat ekspresi Julia melahap sebuah cookies dengan nikmat, dia pun menyerah. Matanya yang biru cerah berbinar manakala menikmati cookies yang sama. "Aku mau ini, beli yang banyak," katanya pada nanny yang kini menarik nafas lega. Julia baru hendak bangkit ketika sebuah suara maskulin terdengar di ambang pintu. "Impressive! Kamu bisa menenangkan bocah." Kalimat ini diikuti oleh seruan Jim . "Aunty, ini papa kami." Julia mendongak dan dalam sekejap dia nyaris berteriak. "Kau!" "Kau!"Baik Julia maupun pria tersebut, bicara nyaris bersamaan. Jill yang sedang menggandeng ayahnya, berseru takjub. "Kalian saling kenal?" Melihat situasi pelik ini, Julia langsung balik badan, buru-buru membungkus beberapa cookies non-gluten untuk anak yang tantrum tadi, lalu menghampiri trio ayah dan anak, yang kini sedang duduk dengan nyaman di kursi minimalis. "Maaf, ada perlu apa Anda menemui saya?" Pria tersebut menatap Julia dengan pandangan meremehkan. "Saya ayah mereka dan bukan pria tua gendut berperut buncit dengan muka berminyak." "Oh?" Julia kaget sesaat sebelum akhirnya tertawa keras. "Cuma gara-gara itu, Anda datang kemari?" Pria itu menoleh pada kedua anaknya, yang dengan patuh beranjak ke etalase, melihat-lihat kue yang mereka mau. "Jadi, selain untuk klarifikasi bahwa Anda bukan pria gendut dengan muka berminyak, hal apa lagi yang perlu saya ketahui?" Julia memperjelas fakta yang masih kabur. Pria itu memberikan kartu namanya. Di sana tertera firma hukum 'West
Jose buru-buru melepas rambut Julia lalu mengenakan kacamata hitamnya. Setelah itu dia melenggang, melewati wanita itu dan asistennya, seolah tak terjadi apa-apa. Wanita yang baru masuk itu mendekat perlahan, dan ketika melihat situasi Julia dia kembali berseru, "Astaga! Ada apa denganmu? Siapa bajingan tadi? Apa perlu kulapor polisi?" "Tidak apa-apa, Ma'am. Aku baik-baik saja. Ada perlu apa Anda kemari?" Julia buru-buru bangkit seraya merapikan baju dan rambutnya yang berantakan. "Hmmm, mau menginformasikan kalau sewa toko akan kunaikkan untuk kontrak berikutnya. Seperti yang kau tahu... harga-harga sedang naik, tentu saja pemeliharaan gedung pun ikut naik." Julia nyaris tak percaya. Mukanya masih berantakan sesudah dihajar Jose, namun pemilik gedung sudah langsung mencecarnya dengan uang sewa. Sepertinya, empati adalah barang langka di zaman modern. "Hello Ms. Julia, still here?" Wanita berambut keperakan itu mulai gerah melihat sikap diam penyewanya. "Ehm, ya m
Ada senyum tipis di bibir Jhon.Seharusnya, terlihat indah di wajah maskulinnya yang agung. Akan tetapi, Julia tak bisa menikmati sebab di matanya senyum itu lebih mirip ejekan. Memutar gelas wine-nya perlahan, Jhon bertanya lagi. "Kenapa tiba-tiba? Bukannya... kau sangat benci padaku?Memang! Hampir saja Julia meneriakkan kata ini. Untunglah otaknya lebih cepat bertindak dari pada mulutnya. "Seperti yang Anda tahu, hati manusia gampang berubah.""Aku tidak begitu," sambar JhonSebab kau bukan manusia! Lagi-lagi pikiran Julia mendebat si sombong Westwood. "Jadi, apa tawaran Anda kemarin masih berlaku?" tanya Julia pasrah. Berdebat dengan Jhon tak akan ada ujungnya, terlebih ketika dia pihak yang kalah. "Boleh, akan tetapi kontrak yang bisa kutawarkan jauh lebih rendah dari yang seharusnya."Julia yang sedang memainkan ujung jarinya terkesiap. "Maaf?"Jhon tak menyahut, melainkan meletakkan sebuah dokumen di depan wanita cantik bergaun biru itu. Demi memuaskan rasa penasaran, Ju
Baik Julia maupun sang mantan sama-sama terkesiap, bahkan pegangan Jose pada rambutnya sampai terlepas. "Bedebah sialan! Kau siapa, hah? Berani mengatur-atur hidupku?" Sorot mata Jhon dingin, penuh ancaman. "Kau tuli? Sudah kubilang dia istriku." Ternyata, bahasa tubuh Jhon tak membuat bocah Ramirez ciut. Dengan berani dia mendatangi pria yang berdiri tegak beberapa meter dari tempatnya. "Istrimu? Kalau kau tak bisa menunjukkan sertifikat perkawinan, jangan membual. Lagipula, apa peduliku kalau dia istrimu?" Mata Jhon menyipit, memindai muka Ramirez dengan seksama. Tato kecil di bagian kiri leher menunjukkan bahwa ini anggota geng mafia kecil di wilayah pantai timur. Penuh penekanan, Jhon bertanya sekali lagi. "Apa kau yakin ingin cari masalah denganku?" Bukannya bersurut langkah, Jose malah makin menjadi. Tangannya yang kekar menyentuh pipi Jhon, menepuk-nepuknya seperti memperlakukan seorang bocah. "Tentu saja. Bocah manja yang takut sinar matahari sepertimu tida
Julia terperangah, sebab dia sama sekali tak punya bayangan akan identitas wanita cantik bertubuh indah, yang berdiri angkuh di depannya. "Maaf, apakah saya mengenal Anda?" Wanita menakjubkan itu menyeringai aneh. Dengan anggun dia melepas kacamata yang bertengger manis di wajahnya, dan seketika Julia nyaris terpekik. Ternyata dia bintang film terkenal di Amerika, dan juga aktris idolanya sejak belia. "Anda.... Vivienne Miller?" Mata Julia mengerjap. Respon spontannya mengundang seringai sinis dari sang aktris. "Jadi, apakah kau sekarang sudah mengenalku?" Julia memperbaiki sikap tubuh dan nada bicaranya. Seulas senyum lebar terpatri di wajahnya. "Ma--maf, tidak langsung mengenali Anda. Apakah Anda bersedia mengambil foto dengan saya? Ini sungguh luar biasa!" "Bakery Lady, menurutmu aku datang kemari mau berfoto?" Suara Vivienne begitu ketus hingga dalam seketika Julia sadar bila sang aktris tengah menatap jijik. Menyadari tindakan noraknya membuat dia makin dipanda
Seperti biasa, tuan Jhon yang terhormat tak mau dipersalahkan. Oleh sebab itu, Julia pun tak melanjutkan bantahannya. Dengan tatapan penuh intimidasi, dia hanya menunjukkan gestur tubuh yang isyaratnya jelas. Meminta pria di depannya segera membuka baju. Tanpa banyak bicara, Jhon membuka kancing kemejanya dan menunjukkan bagian bahu yang lebam gara-gara hantaman bola bisbol. "Tahanlah, ini akan sedikit sakit." Julia berkata sambil menempelkan balok es ke bagian tersebut. Gara-gara rasa bersalah, dia bergerak sepelan mungkin sambil mengamati wajah Jhon yang berkerut menahan rasa sakit. "Kenapa kau harus berjaga dibalik pintu dengan tongkat bisbol? Seolah kita hidup di negara berkonflik saja," protesnya. "Kau mungkin tidak, tapi aku punya.""Maksudmu dengan bocah Ramirez? Tenang saja, dia masih terkapar di rumah sakit."Julia menekan bahu Jhon sedikit lebih keras hingga pria itu mengaduh. "Bagaimana kau tahu?"
Seminggu berselang, baik Julia dan Jhon sudah di kantor pencacatan sipil untuk mendaftarkan perkawinan mereka. Dalam waktu singkat, keduanya sudah sah sebagai pasangan suami-istri di mata hukum, meski tentu saja tak ada pesta yang diangankan Julia waktu masa mudanya dulu. Matanya yang indah mengerjap cepat, menatap jari manisnya yang tampak kosong. Jangankan pesta, bahkan untuk sekedar membeli cincin perkawinan pun, Jhon tak sudi. 'Setidaknya, dia membeimu ratusan ribu dolar setahun.' Hati kecil Julia berbisik dalam upaya putus asa untuk menenangkan hati yang mendadak mendung. Tiba-tiba, "apa yang kau pikirkan?" tanya Jhon yang sejak tadi duduk diam di sisinya. "Tak ada. Cuma agak kaget karena tiba-tiba saja aku sudah jadi istri seseorang."Jhon menyeringai tipis seraya menenggak sampanye. "Maka biasakan dirimu. Sebab menjadi istriku butuh tanggung jawab yang besar.""Aku tahu."Keduanya kembali terdiam dal
Meski kesal setengah mati, Julia bersiap-siap juga di kamarnya setelah kepergian Jhon. Dia memilih salah satu evening gown dari kopernya, yang ternyata sudah diantar, ketika dia tidur tadi. Setelah mematut diri dengan cepat, dia pun turun ke lantai satu. Hanya selang beberapa menit sampai di bawah, pelayan melaporkan bila tamu mereka sudah datang. Jhon menarik tangannya, dan mereka berjalan beriringan, menuju pintu utama. Tampak mesra, layaknya pengantin baru. "Wah, kau hebat, Dude. Nasibmu memang bagus dengan para gadis." Salah satu tamu yang sepertinya rekan Jhon sesama pengacara, langsung menepuk lengannya dengan akrab sembari melempar senyum ramah pada Julia. "Sabarlah dengan temanku, mukanya memang selalu kaku mirip kayu kering," bisiknya lagi sambil merangkul Julia. Mendapat respon hangat, rasa panik yang melanda Julia mendadak hilang. Sayangnya, hal serupa tak berlaku ketika pasanga