Share

Menjadi Ibu Pengganti Anak Kembar Milyuner Tampan
Menjadi Ibu Pengganti Anak Kembar Milyuner Tampan
Penulis: Auphi

Jadilah Mama Kami

"Tante, mau nggak jadi Mama kami?"

Julia Hernandez yang sejak tadi menunduk, terlampau serius menyusun kue-kue kecil yang cantik di etalase, sontak menengadah. Matanya mengerjap menatap dua bocah menggemaskan di depannya.

Duo kembar bernama Jim dan Jill adalah pelanggan cilik yang kerap membeli cupcake di tokonya. Gara-gara sering ketemu, mereka jadi akrab.

"Hush, dasar cowok vulgar. Seharusnya, kau tidak usah blak-blakan." Jill yang rambut pirangnya dikepang dua, memarahi sang kakak

Tergelak kecil, Julia mengelus kepala si sulung Jim. "Maaf dear, Aunty cuma penjual cupcake. Tak cukup baik jadi mama buat siapapun."

"Tapi Aunty... ."

Mulut Jim langsung dibekap adiknya. Setelahnya, gadis kecil berlagak dewasa tersebut minta maaf. "Maafkan Kakak saya Aunty, sejak lahir dia memang bodoh. Kalau begitu kami pergi dulu."

Julia nyaris tertawa keras melihat upaya gadis kecil itu menyeret Jim yang tubuhnya lebih besar. "Hei, bagaimana dengan cupcake? Kalian tak membelinya hari ini?"

Keduanya terus berjalan ke arah pintu, cuma suara Jill pemberani yang menyahut, "maaf lagi. Hari ini, Mrs. Westwood pulang. Dia benci melihat kami makan yang manis-manis."

Sejurus kemudian, pintu gerai kecil itu pun tertutup. Keriuhan yang sekejap tadi memenuhi toko tiba-tiba senyap.

Mata Julia memandangi kedua bocah tadi sampai tak tampak lagi bayangannya. Netra gelap yang tadinya dipenuhi tawa, mendadak mendung.

Andai saja semua tidak terjadi, mungkin dia pun akan...

Julia menarik nafas berat, melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

Sepanjang sisa siang, dia menjual beberapa cake dan manisan sebelum memutuskan untuk menempelkan tanda 'close' di depan pintu. Kenangan buruk bikin dia tak bersemangat lagi mencari nafkah.

Meski demikian, dia tetap harus belanja ke toko kelontong di ujung jalan. Apapun ceritanya, dia harus kembali berjualan besok.

Tiba-tiba, "Brukk!"

Julia yang sedang melamun sambil berjalan, tiba-tiba saja menabrak laki-laki bersetelan necis. Pria tersebut juga sedang tak fokus gara-gara kelewat asyik bicara dengan seseorang lewat ponselnya.

"Kamu buta, ya? Jalan selebar ini masih saja menabrak orang lain."

Tadinya Julia berniat minta maaf. Akan tetapi kata-kata kasar pria ini bikin dia berubah pikiran. "Kalau begitu, kamu juga buta."

"Apa? Sudah salah, masih nyolot. Apa kata 'etika' hilang dari kamusmu?"

Mata indah Julia membulat. Bisa-bisanya pria parlente berkelakuan seperti orang bar-bar yang kerap dia temui di pub murahan.

Lagipula, ini Upper East Side, daerah paling prestisius di Manhattan. Dari mana datangnya laki-laki gila yang pemarah?

"You know what? The fuck with you!" Bagai kesatria pemberani, Julia mengacungkan jari tengahnya.

Dia tercipta dengan watak keras, lahir dan besar di Texas, negeri asal para koboi yang legendaris. Sifat 'lembut' jelas tak pernah jadi bagian dari dirinya.

Semenjak merantau ke Manhattan, dia berusaha keras mengubah tabiat, menyesuaikan diri dengan kelas atas yang biasanya tampil elegan dan terhormat. Sayangnya, pria ini menghancurkan kerja kerasnya dalam sekejap.

Wajah laki-laki asing itu merah padam. Sepertinya belum pernah ada yang berani mengumpat di depannya secara blak-blakan. "Kau beruntung aku sedang sibuk. Kalau tidak, aku tak akan melepasmu begitu saja."

Usai memberi ancaman, dia bergerak cepat, nyaris berlari ke sebuah Bentley yang parkir tak jauh dari tempat mereka adu mulut. Sejurus kemudian, suara mobil yang halus menderu pelan, sebelum meninggalkan Julia dalam amarahnya yang masih berkobar.

"Sialan! Laki-laki bajingan! Keturunan iblis... ."

Sambil berjalan, dia masih terus mengumpat tak karuan. Sudah lama sekali rasanya tak memaki orang, aneh sekaligus lega. Semua kemarahan yang terpendam dalam dirinya, seperti mendapat pelepasan.

Tapi itu tak lama. Sebab begitu Julia sampai di depan toserba, dia tiba-tiba merasa sangat malu pada dirinya.

"Persetan," gumamnya lagi.

Setelah menenangkan diri, dia langsung membeli beberapa pon tepung dan gula lalu pulang ke gerainya. Lantai dua ruko kecil itu dijadikan tempat tinggal. Begitu masuk kamar, dia langsung merebahkan diri, berharap tidur akan mengurangi rasa lelah yang akhir-akhir ini makin sering mendatanginya tanpa ragu.

Rupanya tidur sekejap ini berlanjut sangat panjang hingga dering telepon yang berisik membangunkan Julia tiba-tiba.

"Benar dengan toko Delicacy Forest?"

Suara bariton pria di ujung sana membuat kantuknya lenyap seketika.

"Benar, tapi toko kami sudah tutup. Kembalilah besok jika Anda... ."

Tanpa menunggunya selesai bicara, pria asing itu melanjutkan, "apakah saya bicara dengan Julia?"

Jantung Julia langsung berdegup. Seingatnya, sejak sampai di tempat ini, hanya segelintir orang yang tahu namanya. Kebanyakan anak-anak sekolah yang kerap membeli kue. Pria bersuara berat dan seksi, jelas tak masuk kategori.

"Benar, bagaimana Anda tahu nama Saya?"

"Kalau begitu, tak usah tanggapi perkataan anak saya tadi pagi."

"Maaf?"

"Kedua anak Saya, Jim dan Jill, sering bertingkah konyol. Jadi apapun yang mereka katakan, sebaiknya Anda abaikan saja. Saya tentu tak berminat menikah dengan penjual kue, itu terlalu absurd."

Astaga! Ada apa dengan pria?

Satu hari ini, dua kali dia meradang dan dua-duanya karena ulah kaum Adam.

Sekali lagi, Julia terpaksa melupakan janjinya untuk jadi gadis lembut dengan tata krama yang bagus. "Dengar baik-baik. Saya juga tak sudi menikah dengan laki-laki tua gendut, berperut buncit, dengan muka berminyak."

"Apa?!"

Klik.

Tanpa basa-basi, Julia langsung memutus telepon dan mencabut kabelnya. Pria ini menelepon ke nomor toko, artinya dia tidak tahu nomor pribadinya.

Setelah panggilan menjengkelkan itu, Julia kembali merutuk. Tak habis pikir bagaimana bisa si kembar yang manis punya ayah menyebalkan. Sikap arogannya persis laki-laki tak punya etika siang tadi.

Terhuyung, Julia membuka kulkas, lalu mengambil sekaleng makanan beku dan memanaskannya di microwave. Setelah menyantapnya dua tiga suap, dia pun berhenti. Muak betul dengan rasa makanan kaleng yang begitu-begitu saja.

''Kalau sudah kaya, tak akan kusentuh lagi makanan seperti ini'.

Dia membatin sebelum melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Besoknya, Julia bangun sangat subuh, melakoni kegiatan rutinnya setiap hari. Dimulai dengan menguleni adonan roti sampai kalis, melipat-lipat adonan pastry untuk membuat croissant serta memanggang beberapa cake. Tepat pukul delapan, kue-kue yang cantik sudah terpajang sempurna di etalase.

"Aku mau dua croissant." Seorang bocah merengek pada nanny-nya.

Wanita berkulit gelap itu tampak kepayahan membujuk si anak. "Tapi nyonya tak mengizinkanmu makan gluten."

"Persetan! Aku cuma mau croissant. Dasar nanny bodoh. Percuma mommy menggajimu mahal-mahal."

Sang nanny menatap Julia salah tingkah. Mukanya sudah mau menangis, campuran rasa malu, kesal dan putus asa. Entah siapa yang mau disalahkan?

Kaum ibu di Upper East Side tak berminat mengurus anak sendiri. Bocah-bocah kecil ini dianggap seperti momok menakutkan, pencuri kesenangan.

Pada akhirnya mereka melempar tanggung jawab itu pada nanny disertai sejumlah aturan tak masuk akal. No sugar, no gluten, no fat, no game, dan aturan konyol lain yang bahkan mereka sendiri pun tak sanggup lakukan.

Lantaran kasihan, Julia menghampiri dan membungkuk di depan si anak dengan beberapa cookies tanpa gluten yang terlihat lezat. "Hai kiddo, bagaimana kalau ini saja? Rasanya jauh lebih enak dari croissant."

Mulanya bocah itu menolak, tetapi melihat ekspresi Julia melahap sebuah cookies dengan nikmat, dia pun menyerah.

Matanya yang biru cerah berbinar manakala menikmati cookies yang sama. "Aku mau ini, beli yang banyak," katanya pada nanny yang kini menarik nafas lega.

Julia baru hendak bangkit ketika sebuah suara maskulin terdengar di ambang pintu.

"Impressive! Kamu bisa menenangkan bocah."

Kalimat ini diikuti oleh seruan Jim . "Aunty, ini papa kami."

Julia mendongak dan dalam sekejap dia nyaris berteriak.

"Kau!"

"Kau!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status