Share

Dia Istriku

Ada senyum tipis di bibir Jhon.

Seharusnya, terlihat indah di wajah maskulinnya yang agung. Akan tetapi, Julia tak bisa menikmati sebab di matanya senyum itu lebih mirip ejekan.

Memutar gelas wine-nya perlahan, Jhon bertanya lagi. "Kenapa tiba-tiba? Bukannya... kau sangat benci padaku?

Memang!

Hampir saja Julia meneriakkan kata ini. Untunglah otaknya lebih cepat bertindak dari pada mulutnya.

"Seperti yang Anda tahu, hati manusia gampang berubah."

"Aku tidak begitu," sambar Jhon

Sebab kau bukan manusia!

Lagi-lagi pikiran Julia mendebat si sombong Westwood.

"Jadi, apa tawaran Anda kemarin masih berlaku?" tanya Julia pasrah. Berdebat dengan Jhon tak akan ada ujungnya, terlebih ketika dia pihak yang kalah.

"Boleh, akan tetapi kontrak yang bisa kutawarkan jauh lebih rendah dari yang seharusnya."

Julia yang sedang memainkan ujung jarinya terkesiap. "Maaf?"

Jhon tak menyahut, melainkan meletakkan sebuah dokumen di depan wanita cantik bergaun biru itu.

Demi memuaskan rasa penasaran, Julia memindai dokumen tersebut. Isinya cukup padat dan jelas, bahwa dia akan mendapat tunjangan sebesar sepuluh ribu dolar perbulan. Jumlah yang jauh lebih besar dibanding gaji pekerja berkerah putih yang menghabiskan hidupnya di depan meja.

Jumlah tersebut diikuti kewajiban : berperan sebagai istri dan ibu yang baik.

Julia bergerak tak nyaman. "Berperan sebagai istri... apakah termasuk ... hal itu?"

"Urusan ranjang maksudmu?" Jhon menatap penuh makna sebelum melanjutkan. "Tentu saja. Pada saat tertentu, aku kekasih yang bergairah."

Pipi Julia memanas, tangannya saling bertaut gugup.

Dan sebelum dia sempat menguasai diri, pria di depannya melanjutkan kalimatnya yang masih menggantung. "Dolar yang tertera di sini hanya lima puluh persen dari jumlah awal. Ini sebagai pelajaran agar kau tak sembarangan menolak tawaranku."

Harga diri Julia terluka, namun tak ada yang bisa dia lakukan. Untuk menyambung sewa gedung serta bertahan hidup di kota sebesar Manhattan, dia butuh uang lebih dari apapun.

"Baiklah. Aku sepakat," lirihnya dengan suara seperti cicit nyamuk.

Jhon menatapnya penuh minat, lalu mengangkat gelas wine-nya. "Untuk awal yang baru."

"Untuk awal yang baru."

Setelah bersulang untuk kesepakatan yang menyesakkan itu, barulah mereka meninggalkan ruangan.

"Kau pulang naik apa?" tanya Jhon ketika mereka sudah di luar.

"Sepertinya naik taksi."

"Kalau begitu tidak perlu. Aku akan mengantarmu."

Setelahnya Jhon bergegas menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya tepat ke depan restoran.

"Masuklah," ujarnya sambil melongokkan kepala dari jendela mobil yang terbuka sedikit.

Julia yang sekejap tadi ragu, akhirnya masuk. Mobil yang ini jauh lebih mewah dari yang menjemputnya tadi. Hanya dalam tempo tiga jam, dirinya sudah menaiki dua mobil mewah yang berbeda, benar-benar seperti bangsawan modern.

"Apa yang bikin kau betah tinggal di tempat kumuh ini?" Jhon tiba-tiba menukas ketika mereka sudah di depan gerai Delicacy Forest.

Pernyataan ini bikin Julia sakit hati bukan main. Tempat yang dengan sembrono disebut kumuh ini dia dapat dengan susah payah, bahkan sampai menghabiskan seluruh sisa warisannya dari hasil penjualan rumah dan peternakan sang ayah.

"Maaf Mr, Westwood. Walau di mata Anda tempat ini kumuh, tapi bagiku ini mirip surga."

Mengabaikan sopan santun, Julia beranjak sambil membanting pintu mobil.

Begitu tiba di kamarnya yang terletak di lantai dua, Julia langsung menghempaskan diri di kasurnya yang kusam dan keras.

"Persetan Jhon. Kau dan uang sialanmu!" Julia berteriak seraya mengacungkan jari tengah ke arah tembok yang dingin.

Saat ini, dia benar-benar merasa hidupnya tragis, padahal waktu tinggal di desanya dulu, keluarga Hernandez termasuk berkecukupan. Kalau bukan karena kejadian buruk itu, dia tak akan melarikan diri ke tempat keras dan dingin macam Manhattan.

Paginya, Julia kembali membuka gerai roti seperti biasa walau perasaannya tak lagi sama ketika memandang wajah si kembar.

"Bagaimana? Aunty menerima lamaran ayahku yang tampan?" Jill menyeringai memamerkan gigi depannya yang ompong.

Jim menatap adiknya sebal. "Tampan apanya? Aku adalah definisi tampan yang sesungguhnya."

Serta-merta Jill menyikut kakaknya sebelum menoleh pada Julia. "Jadi bagaimana, Aunty? Apa Anda akan jadi mama kami? Aku sudah tak sabar mengejek teman sekelasku yang punya mama gembrot seperti babi."

Julia hampir mengelus dada. Entah didikan macam apa yang didapat kedua bocah Westwood. Baik perempuan atau laki-laki, sama-sama lancang.

"Ehem, Jill tak ada manusia seperti babi. Kita dari spesies berbeda. Kuharap tak mendengarkan hal semacam ini lain kali."

Meski air mukanya tak begitu setuju, Jill menyahut juga. "Baiklah. Sekarang Aunty harus menjawab pertanyaanku."

"Sebaiknya tanya saja papa kalian. Aunty tak berani bicara sembarangan."

Kali ini Jim yang menyela ucapannya. "Bagaimana kami mau bertanya? Si bodoh Jhon selalu pulang larut malam."

Julia tak bisa lagi berkata-kata. Sepertinya tugas jadi ibu tiri akan sangat berat di rumah keluarga Westwood. Memijit kepalanya yang mendadak pening, Julia akhirnya menunduk, menatap kedua bocah itu bergantian.

"Aunty bakal senang kalau kalian bicara yang sopan. Menghargai orang lain itu perlu."

Keduanya mengangguk namun tak berkomentar lebih jauh. Dan karena melihat raut muka Julia tidak begitu baik, mereka tak berani lagi bertanya perihal hubungan asmara sang ayah.

Setelah kedua bocah tadi pergi, Julia terduduk lemas di belakang counter. Membayangkan dirinya akan berhadapan dengan dua bocah tersebut sepaket dengan ayah yang sombong, membuat semangatnya yang berapi-api mendadak lenyap.

'Itu lebih baik daripada berurusan dengan Jose.'

Julia membatin berulang-ulang agar dirinya tidak mundur dari kesepakatan.

Pukul lima sore, dia akhirnya menutup gerai lalu berjalan kaki ke toko kelontong langganannya yang cuma berjarak beberapa blok. Setelah membeli semua keperluan dagangannya besok, dia berjalan pulang.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sisinya. Dan dengan gaya dramatis, Jose turun dari sana.

Dan, "Brukkk!"

Sontak belanjaan yang dipegang Julia terlepas hingga isinya berhamburan.

"Ke--kenapa lagi kau kemari?" gumamnya sambil beringsut mundur. Tubuhnya mendadak gemetar oleh rasa takut yang menjalar dari ujung kaki hingga tulang belakangnya.

"Mau apa lagi? Tentu saja menemuimu, Mi Amor. Aku sangat merindukan kehangatan tubuhmu. Bagaimana kalau kita ke tempatku sekarang, hmm?"

"Tidak, aku sudah menikah Jose. Tolong menjauhlah... ."

Jose mendekat dengan agresif, matanya liar seperti predator.

"Jangan membuatku marah, Julia. Menurutlah ketika aku masih bersikap sopan."

Julia menggeleng, air matanya mulai berjatuhan tanpa kendali. Matanya nanar menatap sekeliling, mencari bantuan, tetapi nihil. Semesta seperti berkomplot hingga tak satu pun manusia lewat. Hanya beberapa kendaraan yang melintas dengan kecepatan tinggi.

"Jose, apa yang harus kulakukan agar kau menjauh? Tolonglah, jangan mengganggu hidupku lagi... ."

Julia mengiba, menangkupkan kedua tangan dan bersimpuh di depan mantan kekasihnya. Akan tetapi, pria bengis itu bergeming. Sekuat tenaga dia menjambak rambut Julia sampai terdengar erangan kesakitan.

"Kau pikir aku monster, hah? Dasar pelacur! Beraninya menolakku. Kau mau mati?"

Rasa sakit bercampur takut, membuat tangis Julia makin pecah. Terlebih saat Jose hendak menyeretnya ke mobil.

Tetapi pada saat ini pula seseorang muncul tiba-tiba.

"Lepaskan tanganmu dari istriku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status