Jose buru-buru melepas rambut Julia lalu mengenakan kacamata hitamnya. Setelah itu dia melenggang, melewati wanita itu dan asistennya, seolah tak terjadi apa-apa.
Wanita yang baru masuk itu mendekat perlahan, dan ketika melihat situasi Julia dia kembali berseru, "Astaga! Ada apa denganmu? Siapa bajingan tadi? Apa perlu kulapor polisi?" "Tidak apa-apa, Ma'am. Aku baik-baik saja. Ada perlu apa Anda kemari?" Julia buru-buru bangkit seraya merapikan baju dan rambutnya yang berantakan. "Hmmm, mau menginformasikan kalau sewa toko akan kunaikkan untuk kontrak berikutnya. Seperti yang kau tahu... harga-harga sedang naik, tentu saja pemeliharaan gedung pun ikut naik." Julia nyaris tak percaya. Mukanya masih berantakan sesudah dihajar Jose, namun pemilik gedung sudah langsung mencecarnya dengan uang sewa. Sepertinya, empati adalah barang langka di zaman modern. "Hello Ms. Julia, still here?" Wanita berambut keperakan itu mulai gerah melihat sikap diam penyewanya. "Ehm, ya maaf sudah bikin Anda menunggu. Masalah kenaikan sewa, apa tidak bisa dirundingkan lagi Ma'am? Seperti yang Anda tahu, bisnis sedang sulit belakangan ini." Pemilik gedung dengan riasan wajah paripurna menatap Julia tak percaya. "Oh ayolah Ms. Julia. Kita hidup di salah satu kota paling makmur di New York. Jangan menipuku dengan omong kosong." Suara sang nyonya yang mulai meninggi, bikin Julia menyerah. Bagaimana pun, wanita paruh baya di depannya adalah pihak yang berkuasa. "Baiklah Ma'am, izinkan saya memikirkan lebih dulu. Saya perlu waktu." "Hmm, jangan kelamaan. Kalau kau tak mau, masih banyak yang mau sewa gedung ini." Setelahnya, perempuan itu pergi begitu saja. Tinggallah Julia, terduduk lemas sendirian, di pojok ruangan. Rasanya begitu sepi juga miris. Tabungan makin tipis, bisnis makin sulit, sedangkan tempat usaha akan dinaikkan sewanya. Diatas segalanya, mantan pacarnya pun datang bagai mimpi buruk yang muncul tiba-tiba dari kegelapan. Setelah berpikir panjang, Julia memutuskan untuk bertaruh sekali lagi dengan kehidupan. Keesokan paginya, ketika si kembar sedang membeli roti dan cupcake, Julia yang putus asa mengutarakan niatnya. "Katakan pada papa bahwa Aunty ingin bicara." Jill menatap heran dengan mata bulatnya yang besar sedangkan Jim yang lebih blak-blakan langsung ke inti pembicaraan. "Aunty mau jadi mama kami?" Julia mengutuki keterus-terangan si sulung Westwood dalam hati. "Ehm, sampaikan saja pesanku. Papa kalian pasti mengerti." Kedua bocah itu saling tatap sebelum tersenyum sangat lebar, nyaris bersamaan. Mungkin karena perasaan mereka sedang bagus, kue yang mereka beli lebih banyak dari biasanya. Kepergian kedua bocah Westwood meninggalkan Julia dalam dilema yang baru. Dia takut jika tindakannya ini akan memicu prasangka negatif dari Jhon Westwood. Ketika sedang mondar-mandir tak karuan, ponselnya mendadak berdering. Julia membiarkan benda mungil tersebut sampai diam sendiri. Dia belum siap menghadapi Jhon sekarang. Akan tetapi, ponselnya kembali berdering, lebih lama dari yang tadi. Tak punya pilihan, Julia mengangkatnya takut-takut. "Halo, dengan siapa?" Suara maskulin dari seberang sana menyahut tak sabar. "Kudengar, kamu ingin bicara denganku?" "Ehm, anu... itu tak... ." "Kalau begitu persiapkan dirimu. Pukul tujuh malam, sopirku akan menjemput." Klik. Sambungan terputus begitu saja. Julia menatap ponselnya terkesima, seolah pembicaraannya barusan cuma khayalan. Pria dominan itu tak memberi waktu sedikitpun baginya untuk berkilah, mendebat, atau menolak. "Dasar sialan!" Julia mengumpat meski dalam hati sadar bahwa dia tak punya pilihan yang lebih baik. Oleh sebab itu, membuang harga dirinya ke jalanan kota yang keras, dia mentaati perintah Jhon. Memakai gaun paling indah serta koleksi tasnya yang paling mahal, Julia menunggu di ruang tamunya yang sempit dan suram. Tepat pukul tujuh, ponselnya kembali bergetar. [Turun segera. Sopirku sudah dibawah] Setengah berlari, Julia menuruni tangga dari lantai dua hingga tiba di parkiran hanya untuk melihat pria bersetelan rapi sedang berdiri tegak di depan sebuah Cadillac metalik. "Selamat sore, apakah Anda miss Julia?" Pakaian rapi sang sopir ditambah bahasa tubuh yang sopan membuat Julia tiba-tiba saja merasa sangat dihargai, layaknya orang penting. "Ya, dan Anda?" ujarnya berusaha tenang. "Saya George, supir pribadi Mr. Westwood." Usai perkenalan singkat, pria itu langsung membuka pintu mobil, meminta Julia masuk dengan gestur yang amat elegan. Sama-sama orang asing yang baru ketemu, perjalanan mereka lalui dalam keheningan sebab tak ada topik yang bisa dibicarakan. "Mr.George, apakah Anda sudah lama bekerja dengan Mr. Westwood?" Akhirnya Julia membuka percakapan. "Ehm, bisa dibilang begitu. Saya sudah jadi sopir beliau sejak Mr. Westwood masih remaja." "Sepertinya, Mr. Westwood tak banyak bicara... maksudku, beliau pribadi yang tidak mudah didekati, benarkah?" Julia membuat pernyataan yang menyediakan ruang untuk perdebatan. Tujuannya, tentu saja ingin cari tahu seperti apa sikap Jhon sesungguhnya. Sayangnya, umpan ini tak dimakan si sopir. Dengan wajah sekaku kayu, dia menatap Julia dari center mirror. "Maaf Nona, tapi seperti apa sikap Mr. Westwood bukanlah urusan saya." Teguran tersirat ini sudah cukup bikin Julia bungkam hingga mereka sampai di restoran. Tempat ini dikelola salah satu keluarga paling terkemuka di New York selama seratus tahun lebih. Kenyataan bahwa tempat bernama Imperial Corner ini masih berdiri megah setelah sekian lama membuktikan restoran tersebut tidak sekedar menjual makanan. Benar saja. Ketika Julia memasuki private room, suasananya sudah mirip ruang jamuan makan malam di film-film kolosal yang pernah dia tonton, dengan pria dominan bernama Jhon duduk di kepala meja. Sikapnya anggun bak aristokrat dari abad pertengahan. "Sepertinya jalanan sangat macet, ya? Kamu lebih lama dari yang kukira." Julia nyaris mengernyit mendengar sapaan yang tidak lazim ini. Akan tetapi sebagai pihak yang butuh, keinginan untuk kabur ditekannya kuat-kuat. "Maaf, membuat Anda menunggu, Mr. Westwood." Julia menyahut seraya duduk di depan Jhon. Kini mereka berhadapan dengan jarak sekitar satu meter lebih sedikit. Keduanya saling tatap, saling mencoba memahami isi kepala masing-masing. Dari jarak sedekat ini, Julia bisa melihat betapa sempurna wajah Jhon. Aura aristokrat yang dia pancarkan begitu kentara hingga tak banyak wanita yang bisa bersanding. Aktris favoritnya, Vivienne Miller, mungkin adalah satu dari sedikit orang. "Kenapa menatapku?" Jhon memicing sebelum melonggarkan dasi monokromnya. "Jadi, bagaimana kalau kita bersantap dulu." Julia mengedik tak acuh. "Terserahmu saja." Jhon bertepuk dan pria yang berjaga di depan pintu pun masuk menanyakan keinginan pelanggan dengan cara sangat sopan, seperti menghadapi bangsawan. "Baik Tuan, pesanan Anda akan segera tiba," ujarnya sebelum beranjak dari ruangan. Begitu pintu tertutup, barulah Julia membuka mulut. "Well, kukira hal semacam itu tak ada lagi di masa sekarang." "Maksudmu?" "Layanan zaman kuno... maksudku bangsawan dan segala etikanya." "Apa yang kau harapkan? Ini Imperial Corner." Tak lama berselang, hidangan makan malam pun disajikan. Walaupun rasanya lezat dengan tampilan menarik, Julia tak bisa bilang kalau dia menikmati dinner ini. Dihidangkan dalam porsi amat kecil, makanan ini lebih tepat diberikan pada bayi ketimbang orang dewasa. "Bagaimana? Kamu suka makanannya?" tanya Jhon yang sedang menikmati wine sebagai penutup makan malam yang mewah. "Hmm, ya tentu saja. Ini sangat luar biasa." Tatapan Jhon berubah skeptis. "Benarkah? Dari pengamatanku begitu ceritanya." Demi alasan kenyamanan, Julia tidak menyahut perkataan lawan bicaranya. Diam-diam dia menyesap wine mahal itu, menikmati setiap sensasi yang dikirimkan ke lidahnya. Walau tentu saja, dia tak bisa membedakannya dengan wine murahan yang kerap dia minum di bar langganan. "Sekarang, bisa kamu jelaskan ada apa dengan pertemuan mendadak ini?" Tiba-tiba diberondong pertanyaan sulit saat belum siap, Julia nyaris tersedak wine-nya. Agak tersipu, dia pun mengutarakan maksud hati. "Setelah dipikirkan lagi... aku sepertinya tertarik dengan tawaran Anda. Aku... bersedia menjadi ibu bagi kedua anak Anda."Ada senyum tipis di bibir Jhon.Seharusnya, terlihat indah di wajah maskulinnya yang agung. Akan tetapi, Julia tak bisa menikmati sebab di matanya senyum itu lebih mirip ejekan. Memutar gelas wine-nya perlahan, Jhon bertanya lagi. "Kenapa tiba-tiba? Bukannya... kau sangat benci padaku?Memang! Hampir saja Julia meneriakkan kata ini. Untunglah otaknya lebih cepat bertindak dari pada mulutnya. "Seperti yang Anda tahu, hati manusia gampang berubah.""Aku tidak begitu," sambar JhonSebab kau bukan manusia! Lagi-lagi pikiran Julia mendebat si sombong Westwood. "Jadi, apa tawaran Anda kemarin masih berlaku?" tanya Julia pasrah. Berdebat dengan Jhon tak akan ada ujungnya, terlebih ketika dia pihak yang kalah. "Boleh, akan tetapi kontrak yang bisa kutawarkan jauh lebih rendah dari yang seharusnya."Julia yang sedang memainkan ujung jarinya terkesiap. "Maaf?"Jhon tak menyahut, melainkan meletakkan sebuah dokumen di depan wanita cantik bergaun biru itu. Demi memuaskan rasa penasaran, Ju
Baik Julia maupun sang mantan sama-sama terkesiap, bahkan pegangan Jose pada rambutnya sampai terlepas. "Bedebah sialan! Kau siapa, hah? Berani mengatur-atur hidupku?" Sorot mata Jhon dingin, penuh ancaman. "Kau tuli? Sudah kubilang dia istriku." Ternyata, bahasa tubuh Jhon tak membuat bocah Ramirez ciut. Dengan berani dia mendatangi pria yang berdiri tegak beberapa meter dari tempatnya. "Istrimu? Kalau kau tak bisa menunjukkan sertifikat perkawinan, jangan membual. Lagipula, apa peduliku kalau dia istrimu?" Mata Jhon menyipit, memindai muka Ramirez dengan seksama. Tato kecil di bagian kiri leher menunjukkan bahwa ini anggota geng mafia kecil di wilayah pantai timur. Penuh penekanan, Jhon bertanya sekali lagi. "Apa kau yakin ingin cari masalah denganku?" Bukannya bersurut langkah, Jose malah makin menjadi. Tangannya yang kekar menyentuh pipi Jhon, menepuk-nepuknya seperti memperlakukan seorang bocah. "Tentu saja. Bocah manja yang takut sinar matahari sepertimu tida
Julia terperangah, sebab dia sama sekali tak punya bayangan akan identitas wanita cantik bertubuh indah, yang berdiri angkuh di depannya. "Maaf, apakah saya mengenal Anda?" Wanita menakjubkan itu menyeringai aneh. Dengan anggun dia melepas kacamata yang bertengger manis di wajahnya, dan seketika Julia nyaris terpekik. Ternyata dia bintang film terkenal di Amerika, dan juga aktris idolanya sejak belia. "Anda.... Vivienne Miller?" Mata Julia mengerjap. Respon spontannya mengundang seringai sinis dari sang aktris. "Jadi, apakah kau sekarang sudah mengenalku?" Julia memperbaiki sikap tubuh dan nada bicaranya. Seulas senyum lebar terpatri di wajahnya. "Ma--maf, tidak langsung mengenali Anda. Apakah Anda bersedia mengambil foto dengan saya? Ini sungguh luar biasa!" "Bakery Lady, menurutmu aku datang kemari mau berfoto?" Suara Vivienne begitu ketus hingga dalam seketika Julia sadar bila sang aktris tengah menatap jijik. Menyadari tindakan noraknya membuat dia makin dipanda
Seperti biasa, tuan Jhon yang terhormat tak mau dipersalahkan. Oleh sebab itu, Julia pun tak melanjutkan bantahannya. Dengan tatapan penuh intimidasi, dia hanya menunjukkan gestur tubuh yang isyaratnya jelas. Meminta pria di depannya segera membuka baju. Tanpa banyak bicara, Jhon membuka kancing kemejanya dan menunjukkan bagian bahu yang lebam gara-gara hantaman bola bisbol. "Tahanlah, ini akan sedikit sakit." Julia berkata sambil menempelkan balok es ke bagian tersebut. Gara-gara rasa bersalah, dia bergerak sepelan mungkin sambil mengamati wajah Jhon yang berkerut menahan rasa sakit. "Kenapa kau harus berjaga dibalik pintu dengan tongkat bisbol? Seolah kita hidup di negara berkonflik saja," protesnya. "Kau mungkin tidak, tapi aku punya.""Maksudmu dengan bocah Ramirez? Tenang saja, dia masih terkapar di rumah sakit."Julia menekan bahu Jhon sedikit lebih keras hingga pria itu mengaduh. "Bagaimana kau tahu?"
Seminggu berselang, baik Julia dan Jhon sudah di kantor pencacatan sipil untuk mendaftarkan perkawinan mereka. Dalam waktu singkat, keduanya sudah sah sebagai pasangan suami-istri di mata hukum, meski tentu saja tak ada pesta yang diangankan Julia waktu masa mudanya dulu. Matanya yang indah mengerjap cepat, menatap jari manisnya yang tampak kosong. Jangankan pesta, bahkan untuk sekedar membeli cincin perkawinan pun, Jhon tak sudi. 'Setidaknya, dia membeimu ratusan ribu dolar setahun.' Hati kecil Julia berbisik dalam upaya putus asa untuk menenangkan hati yang mendadak mendung. Tiba-tiba, "apa yang kau pikirkan?" tanya Jhon yang sejak tadi duduk diam di sisinya. "Tak ada. Cuma agak kaget karena tiba-tiba saja aku sudah jadi istri seseorang."Jhon menyeringai tipis seraya menenggak sampanye. "Maka biasakan dirimu. Sebab menjadi istriku butuh tanggung jawab yang besar.""Aku tahu."Keduanya kembali terdiam dal
Meski kesal setengah mati, Julia bersiap-siap juga di kamarnya setelah kepergian Jhon. Dia memilih salah satu evening gown dari kopernya, yang ternyata sudah diantar, ketika dia tidur tadi. Setelah mematut diri dengan cepat, dia pun turun ke lantai satu. Hanya selang beberapa menit sampai di bawah, pelayan melaporkan bila tamu mereka sudah datang. Jhon menarik tangannya, dan mereka berjalan beriringan, menuju pintu utama. Tampak mesra, layaknya pengantin baru. "Wah, kau hebat, Dude. Nasibmu memang bagus dengan para gadis." Salah satu tamu yang sepertinya rekan Jhon sesama pengacara, langsung menepuk lengannya dengan akrab sembari melempar senyum ramah pada Julia. "Sabarlah dengan temanku, mukanya memang selalu kaku mirip kayu kering," bisiknya lagi sambil merangkul Julia. Mendapat respon hangat, rasa panik yang melanda Julia mendadak hilang. Sayangnya, hal serupa tak berlaku ketika pasanga
Julia mulai waspada. Tak ada yang tahu apa motif Miranda sesungguhnya, sebab di dunia ini, nyaris tak ada hal yang gratis. Apalagi, mereka baru saja saling kenal. "Maksud Anda, Ma'am?" tanyanya"Mengapa kau jadi waspada?" Dengan muka tetap datar, Miranda duduk pada salah satu kursi taman. "Sejujurnya, aku hanya muak dengan kelakuan mereka. Bertingkah seperti orang terhormat, padahal tak lebih baik dari kaum barbar."Meski skeptis, Julia memilih duduk di hadapan Miranda, menunggu wanita yang mungkin sebaya dengan ibunya itu melanjutkan cerita. Tak menunggu lama, Miranda pun langsung ke inti pembicaraan. "Sebaiknya berhati-hati dengan Vivienne. Ayahnya cukup berkuasa, jangan sampai firma hukum suamimu jadi terpengaruh.""Ya, aku tahu." Julia menyahut tenang seraya menatap kejauhan. "Selain itu, kau juga harus waspada. Jhon dan Vivienne adalah teman masa kecil... maksudku, mereka berdua sudah kenal sejak lama dan bisa d
Julia buru-buru menarik selimut lalu menutup seluruh tubuhnya. Dengan suara bergetar, menahan amarah, dia melempar sumpah serapah. "Brengsek kau, Jhon. Semoga kau membusuk di neraka." Sebagai pria menyebalkan, Jhon hanya membalas dengan tatapan mencibir. "Sayang sekali, justru aku yang menciptakan neraka bagi hidup orang lain. Ckckckck.. Kau tak kenal suamimu sama sekali." Usai berkata demikian, dia segera beranjak. Ketika pintu kamarnya sudah tertutup, barulah Julia meratapi diri. Berjalan tertatih, dia masuk ke kamar mandi lalu merendam dirinya dalam bath up berisi air hangat. Sekujur tubuhnya yang kena sentuhan John, dia gosok sekeras mungkin. Lantaran rasa lelah yang menggerogoti pikirannya, Julia jadi tertidur dalam bath up. Ketika tubuhnya mulai tak nyaman akibat rasa dingin, barulah dia terjaga dan langsung keluar dari sana. "Bbbbrrrr..." Mengkertakkan g