"kamu mau menyenangkan saya, Nifa?" Hanifa mengangguk penuh harap ketika mendengar penuturan dari Abimana.
Abimana tersenyum miring seraya mengusap dagu. "Kamu tunggu satu minggu lagi. Saya akan berikan kado paling istimewa untuk kamu. Sekarang, ganti baju dulu. Takutnya nanti kamu masuk angin. Kamu boleh sentuh saya sepuasmu seminggu lagi. Mau?"
Hanifa kembali mengangguk dengan senyum tertahan. Dia seolah mendapatkan angin segar dan berharap jika ini adalah awal yang baik untuk kehidupan pernikahannya bersama dengan Abimana.
Selama seminggu belakangan ini sikap Abimana sangat baik pada Hanifa hingga membuat sang empu terlena. Bahkan, saking bahagianya, Hanifa sampai melingkari tanggal di kalender dan tepat pada hari ini terhitung tujuh hari sudah. Itu artinya, sebentar lagi Abimana akan memberi dirinya kejutan.
"Itu seperti suara mobilnya Mas Abi! Ya ampun, aku deg-degan sekali. Untung saja aku sudah mandi dan pakai banyak sabun biar wangi." Hanifa cekikikan dan berjalan dengan gaya centilnya sampai membuat tubuh gempalnya bergoyang-goyang.
Ceklek!
Baru saja membuka pintu, tapi wajahnya langsung dilempari dengan satu buah map yang kini sudah terjatuh di atas lantai.
"Mas?"
"Kamu tanda tangani surat gugatan perceraian ini. Detik ini juga, saya talak tiga kamu!"
Deg!
Jantung Hanifa berdetak tak beraturan. Napasnya sudah kembang kempis dan air matanya mulai meluber keluar.
"K-katanya kamu mau kasih aku hadiah, Mas—"
"Goblok, ini yang saya sebut hadiah. Bagaimana? Hadiahnya bagus, kan? Sekarang tanda tangani surat ini!" tekan Abimana tanpa perasaan
"Mas. Aku nggak mau cerai sama kamu. Aku mohon!" Hanifa bahkan sampai bersujud di kaki Abimana.
Sayangnya, sang empu sama sekali tak punya belas kasihan. Abimana justru menghempaskan tubuh Hanifa. Ia bahkan sampai mencengkram rahang gadis itu dengan tak bermoral.
"Kamu harus bahagia dan saya juga harus bahagia. Sayangnya, kebahagiaan saya bukan sama kamu. Saya bakal bahagia kalau punya istri yang sangat cantik dan badannya bagus." Abimana menatap remeh ke arah Hanifa yang sudah banyak mengeluarkan air mata.
"Aku bakal diet—"
"Halah. Omonganmu itu nggak bisa dipercaya. Dari pertama nikah bilangnya mau diet tapi kerjaan makan mulu." Abimana menyela ucapan Hanifa.
"Pokoknya aku nggak mau cerai dari kamu!" Hanifa memilih berlari masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam
Gadis itu meraung pilu. Dadanya terasa sesak ketika mengingat perlakuan manis dari Abimana seminggu belakangan ini.
Apapun yang terjadi, dia tak akan mau menandatangani surat tersebut. Sekalipun dia sudah dijatuhi talak dan mereka sudah resmi bukan suami istri lagi dari segi agama.
Di sisi lain, Abimana sudah emosi bukan main. Lelaki itu beberapa kali mengusap wajahnya dengan frustasi.
"Nifa, buka pintunya! Jangan mempersulit keadaan!"
"Jangan paksa aku, Mas Abi. Aku nggak mau pisah dari kamu!" jerit Hanifa dari dalam.
"Sialan!"
Dugh!
Saking kesalnya, Abimana langsung menendang pintu kamar. Hal ini justru semakin membuat tangisan Hanifa menjadi.
Abimana yang terlanjur muak pun lekas pergi menuju kediaman orang tuanya. Dia akan curhat pada Santi. Siapa tau Mamanya itu punya solusi supaya Hanifa mau menandatangani surat cerai itu.
Sesampainya di tempat tujuan, Abimana gegas turun dari mobil dan langsung membuka pintu kediaman kedua orang tuanya.
"Ma. Mama!" teriaknya yang mulai memasuki ruang tamu.
"Apa toh kamu ini, Bi? Teriak-teriak kayak di hutan saja. Mama sedang ada tamu loh ini!" tegur Santi seraya melotot tajam ke arah sang putra.
Abimana terlihat salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Di ruang tamu sana sedang ada sosok wanita cantik yang sedang bersama dengan Santi.
"Ini Mas Abi, ya, Tan? Astaga, nggak nyangka bisa ketemu lagi sama kamu, Mas!" Si wanita itu gegas mendekati Abimana dan bahkan langsung memeluk tubuh kekarnya.
Sang empu hanya bisa menegang hebat. Matanya sudah jelalatan lantaran wanita yang sedang memeluknya ini pakaiannya sangat minim. Punya body yang ramping, tapi menonjol sana sini.
"Aku kangen banget sama kamu, Mas. Kamu juga kangen, kan, sama aku?"
"Maaf, saya tidak kenal sama kamu." Abimana langsung menyingkirkan tangan si wanita. "Ma. Kalau tamu Mama sudah pulang, langsung ke ruang tengah, Abi tunggu di sana!" lanjut Abimana yang lekas pergi meninggalkan area ruang tamu.
Sekitar setengah jam berlalu, barulah Santi menemui Abimana di ruang tengah. Wajah wanita paruh baya itu sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Dia teramat jengkel pada anak semata wayangnya.
Abimana gegas bangkit dari duduknya. Ia menarik lembut tangan sang Mama untuk mendekat ke arahnya.
"Tadi itu siapa, Ma?"
"Kenapa? Naksir kamu sama dia? Tadi saja sok jual mahal!" sinis Santi tak suka ketika mengingat perlakuan Abimana tadi.
Sang empu yang ditanya begitu langsung salah tingkah. Ia seolah melupakan tujuan awal datang kemari lantaran terlalu memikirkan sosok wanita cantik tadi.
"Kalau boleh jujur, dia itu tipe kebanyakan para lelaki, Ma. Aku pun juga mau kalau sama dia." Abimana mesem-mesem sendiri.
Sayangnya, ketika mengingat sosok Hanifa, binaran di mata Abimana langsung meredup. Hidupnya masih dalam bayang-bayang si gembrot yang susah sekali di atur.
Sudah dijatuhi talak, tapi tetap saja ngeyel tidak mau diceraikan.
"Ya sudah, sama dia saja toh. Bentar lagi juga kamu resmi cerai dari si gembrot. Mama setuju kalau sama yang ini."
"Nggak segampang itu, Ma. Dia saja nggak mau diceraikan. Tadi saja ngamuk di dalam kamar. Kayaknya bakal susah. Dia keras kepala, sudah diceraikan tapi nggak tau diri dan masih berharap sama aku!" Pada akhirnya, Abimana memulai sesi curhatnya.
Santi memandang miris ke arah anak semata wayangnya. Kasihan sekali, karena memperjuangkan warisan, Abimana harus menikahi si gembrot. Parahnya lagi, sebentar lagi dia harus menyandang status duda.
"Aku capek banget sama dia, Ma. Bakal susah pergi dari rumah kalau belum tanda tangan surat perceraian. Gimana mau sidang nantinya?" Kepala Abimana sangat pening lantaran terlalu banyak pikiran.
"Kalau begitu, biarkan saja dia bertingkah sesukanya. Tinggal kamunya saja yang pintar-pintar cari cara supaya si gembrot itu nggak betah lagi sama kamu. Buat dia menyerah dengan sendirinya!" Santi langsung tersenyum licik. Di kepalanya sudah tersusun banyak cara untuk menyingkirkan Hanifa. Si menantu yang tak pernah dia anggap.
"Caranya?" tanya Abimana penasaran.
Sebelum mengatakan hal penting ini, Santi celingukan lebih dulu untuk memastikan keadaan. Jangan sampai suaminya mendengar dan berakhir ribut. Sebab, suaminya itu ada di kubu Hanifa.
"Kamu harus dekati Widya. Buat si gembrot itu terbakar api cemburu sampai dia lelah sendiri mencintaimu. Nah, dengan begitu, kamu bisa bebas dari belenggu si gembrot. Bagaimana?" ujar Santi meminta pendapat.
"Widya?"
"Itu, loh, perempuan cantik tadi. Dia itu Widya, teman semasa kecil kamu yang harus pindah ke luar kota karena pekerjaan Bapaknya yang dipindahkan. Masa kamu lupa sama dia, sih?"
Hanifa menatap sendu beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Sudah malam begini, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Abimana. Ini bahkan sudah terhitung tiga hari lamanya Abimana tak pulang ke rumah. Gadis itu juga enggan untuk menyentuh makanan yang ia masak sore tadi. "Pokoknya aku mau diet. Aku pengen kurus supaya Mas Abi bisa cinta sama aku!" monolog Hanifa dengan penuh tekad. Walau sejujurnya, makanan di atas meja sangat menggugah selera. Tapi, Hanifa sedang berusaha keras untuk menahan keinginannya. Waktu semakin larut, sementara perut Hanifa semakin keroncongan. Namun, dia tetap berusaha untuk menahan diri supaya tak tergoda dengan makanan.Pada akhirnya, Hanifa memilih untuk masuk ke dalam kamar dengan memegangi perutnya yang terasa perih. "Mas Abi, aku bakal berusaha untuk cantik. Tapi, aku bingung, dia sudah bilang talak tiga ke aku. Kita ini sekarang apa? Masih suami istri atau sudah bukan?"Di tengah malam yang sunyi ini, Hanifa kembali menangis, meratapi
Hanifa baru saja keluar dari kantor penggadaian dengan membawa segepok uang dari hasil menggadaikan kalung emas yang beratnya puluhan gram. Kalung yang pernah diberikan oleh almarhum Kakek Abimana terpaksa dia gadaikan demi bisa berlangganan di tempat fitness. Dia juga ingin perawatan wajah dan seluruh permukaan kulit tubuhnya supaya bisa cantik."Kek, maafin Nifa, ya. Suatu saat nanti Nifa bakal tebus kembali kalung itu." Hanifa lekas menyimpan uang tersebut ke dalam tas. Setelahnya, ia gegas pergi ke tempat fitness baru itu. Untung saja pelayanan di sana sangat ramah dan justru begitu bersemangat untuk membantu Hanifa menurunkan berat badan, setelah mendengar keluh kesal gadis itu. Terlebih lagi, Hanifa akan dilatih secara langsung oleh si pemilik tempat tersebut yang tampangnya sangat rupawan."Mbak Hanifa mulai besok bisa datang ke sini. Saya akan bimbing Mbak sampai punya berat badan ideal. Itu janji saya!" Lelaki tampan yang bernama Respati itu sama sekali tidak ilfeel ketika
"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa. "Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—""Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati. Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti. "Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"P
Hanifa sengaja mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Abimana dan Widya. Gadis itu sekarang ini sedang membantu Kusuma untuk menangani dua pasiennya. Sebab, bukan hanya Widya yang akan menjalani perawatan, tapi juga Abimana yang dipaksa oleh si calon untuk menjalani perawatan wajah."Mbak, tolong buat wajah saya makin kinclong, ya. Supaya calon istri saya makin kesemsem sama saya!" ujar Abimana yang kini sudah berbaring di tempat ketika Hanifa sedang menutup tirai pembatas antara Abimana dan Widya.Gadis itu sama sekali tak bersuara dan memilih mengangguk saja. Dia tak ingin Abimana mengenali suaranya.Entahlah, kebetulan macam apa ini? Niat hati hanya ingin bekerja dengan tentram, tapi dia harus kembali berhadapan dengan Abimana. Walau begitu, Hanifa berusaha keras untuk tetap profesional. Bagaimana pun juga, dia sedang bekerja dan harus mengesampingkan masalah pribadi. Toh juga antara dirinya dan Abimana sebentar lagi akan benar-benar berakhir."Tangan Mbak lembut, tapi kenap
Abimana membawa Widya pulang ke kediaman orang tuanya. Ini dia lakukan supaya Widya tak banyak menguras uangnya. Bisa tekor dia nanti jika belum menikah saja, Widya sudah banyak maunya. Sudah dikasih perawatan gratis dari ujung rambut hingga kaki, tapi masih saja ingin tas mahal dan barang mewah lainnya. Sayangnya, sepertinya Abimana melupakan sesuatu. Mereka sudah janjian pada seseorang yang akan menghandle segala keperluan pernikahan. Widya dengan seenaknya bahkan memberitahukan orang tersebut supaya segera datang di kediaman calon mertuanya. Alhasil, belum ada setengah jam, rumah Santi sudah kedatangan tamu dan hal tersebut membuat Widya senang bukan kepalang. "Bisa tidak bahasnya nanti saja?" tanya Abimana yang masih belum terima jika uangnya akan kembali melayang."Nanti kapan, sih, Mas? Bentar lagi kita mau nikah loh ini. Tante nggak keberatan, kan?" tanya Widya meminta pendapat kepada Santi.Santi meneguk ludah dengan susah payah. Wanita paruh baya itu melirik ke arah sang
"Memangnya, Mas mau minta apa?" tanya Hanifa terlampau penasaran."Tetap di sisi saya walau tujuan kamu sudah berhasil tercapai. Maksud saya, kamu tetap boleh tinggal di rumah kontrakan dan bekerja di klinik adik saya. Jangan mencari tempat lain, kami sudah nyaman dengan kehadiranmu!"Sebenarnya, bukan ini yang hendak Respati utarakan. Hanya saja, mungkin moment-nya belum tepat. Dia tak mau jika Hanifa mulai menjauh jika sampai tau apa yang sebenarnya Respati rasakan. Dengan kata lain, lelaki itu memiliki perasaan lebih terhadap Hanifa. "Mas. Aku nggak mungkin pergi begitu saja setelah aku sudah bergantung penuh sama Mas. Mungkin nanti kalau semisal Mas Pati sudah berkeluarga, aku bakal pergi. Soalnya nggak enak sama istrinya Mas nanti!""Kenapa harus tidak enak kalau semisal kamu yang menjadi orangnya?" kekeh Respati yang seketika langsung gelagapan sendiri."Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa yang masih belum paham ketika diberi kode oleh lelaki gagah pemilik tempat fitness itu.Respati
"Dengan berat hati saya mengatakan jika warisan ini lima puluh persen akan jatuh di tangan Mbak Nifa. Lima puluh persennya lagi akan disumbangkan di panti asuhan!""Nggak bisa gitu, Pak! Enak saja main disumbangun ke panti. Apalagi mau dikasih ke si gembrot! Enak saja. Hidup cuma sekali, masa iya harta mertua saya jatuh di tangan orang asing? Nggak bisa gitu! Nggak sudi saya!" Santi langsung mengamuk di tempat.Beberapa orang bahkan sampai merekam aksi wanita paruh baya itu. Sedangkan Abimana sudah malu bukan main dengan tingkah sang ibu. Dia juga sebenarnya ingin mengamuk, tapi berusaha ditahan. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Bu Santi. Saya hanya menyampaikan wasiat almarhum!" Bapak pengacara dengan sabar menjelaskan.Hanya saja, Santi yang kepalang murka bahkan langsung menangis sesenggukan di sini. "Saya susah payah ngelahirin cucu untuk mertua. Kenapa justru orang lain yang akan mendapatkan warisan? Kenapa dunia tidak adil?" Abimana sampai menutup wajahnya menggunakan buku m
"Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa dengan jantung yang berdebar hebat.Sebenarnya, gadis itu tau apa yang di maksud oleh Respati. Hanya saja, dia berusaha keras untuk menyangkal, walau sejujurnya dia juga sudah merasa sangat nyaman dengan semua ini.Namun, perlu diingat, Hanifa masih menyimpan nama Abimana di hatinya lantaran lelaki itu adalah cinta pertamanya. Melupakan masa lalu bukanlah hal yang gampang. Terlebih lagi, masa lalu menyakitkan yang pernah dia dapat dari mantan suaminya. Ibarat, cinta itu masih ada, walau hanya tersisa secuil di relung hati. Mungkin seiring berjalannya waktu, cinta itu akan menghilang. "Saya cin—"Ting!Respati memejamkan mata sejenak. Sedetik lagi dia bisa mengungkapkan rasa cintanya pada Hanifa, tapi bunyi notif ponselnya menghentikan semuanya. Ia pun menghela napas dan mulai membuka ponsel."Nifa. Saya harus pulang. Ada sesuatu yang harus saya urus. Saya pamit dulu, ya. Jangan lupa dibuka hadiah dari Ibu saya!" pamit Respati. Lelaki itu bahkan menyem
"Loh, ngapain kamu ke situ? Itu loh punya calon istrinya Mas Pati. Dengan kata lain, suatu saat nanti itu punya saya, Delina Nugraha!" tegas wanita itu yang ternyata namanya Delina Nugraha. Pergerakan tangan Hanifa yang ingin membuka pintu kontrakan pun sontak saja terhenti. Ia menatap malas ke arah penghuni baru yang sialnya berada tepat di samping rumah kontrakan yang memang dikhususkan untuknya. Hanifa kembali tak menggubris dan hendak membuka pintu lagi. Sayangnya, Delina justru menarik kasar tubuh sang empu yang beruntungnya masih bisa menjaga keseimbangan. "Kamu itu apa-apaan, sih? Sudah dibilang jangan ke situ! Budeg apa gimana? Pergi sana!" usir Delina. Tidak tau saja jika wanita yang sedang di usir ini adalah ibu kontrakan dua puluh pintu yang salah satunya sedang dia tempati. "Mbak yang apa-apaan? Ini tempat saya, jadi saya bebas mau keluar masuk. Toh, saya juga punya kunci!" Hanifa yang kepalang dongkol tentu saja langsung mengangkat kunci kontrakan yang ia punya. Hal
Setelah hampir satu bulan masa pemulihan, Abimana pun sudah kembali berjalan dengan normal. Bahkan, wajahnya yang dulu sempat di perban, sekarang sudah tidak lagi. Perut Widya juga sudah mulai menonjol dan hal itu membuat Abimana semakin muak. Lelaki itu bahkan merencanakan sesuatu supaya bayi yang ada di dalam kandungan Widya bisa luruh begitu saja. "Mas Abi. Aku pengen makan pizza tapi Tante Santi yang buat!" rengek Widya, ketika mereka semua sedang berada di meja makan. Santi langsung menatap bengis ke arah wanita hamil itu. Semakin hari, ada saja permintaan nyeleneh dari Widya. Bahkan, dia seperti tak berpikir jika sekarang ini Abimana sedang menganggur. Pendapatan keluarga kecil itu hanya dari usaha konveksi yang dijalani oleh Banu dan Santi. Sayangnya, beberapa minggu ini penghasilan menurun karena banyak sekali para tetangga yang enggan ke sana. "Makan saja yang ada. Jangan banyak tingkah kamu!" sentak Santi kesal bukan kepalang. Sudah malas dan tidak pernah mau membantu
"Sayang—""Mas, kamu tau sendiri, kan, perempuan hamil itu sensitif sekali. Jangankan perempuan hamil, yang tidak hamil saja sangat sensitif kalau lihat beginian. Kamu habis ngapain, sih?" Nada bicara Hanifa mulai bergetar.Wanita itu sepertinya takut jika masa lalu yang buruk akan terulang lagi di saat dirinya baru saja pulih dan merasa bahagia. Respati lekas mendekat dan mulai mendekap erat tubuh Hanifa. Pecah sudah tangisan sang istri. Tangisan yang sangat menyayat hati. "Kamu tau sendiri kalau aku ini anak broken home. Masih kecil ditinggal pisah sama orang tua. Ayah nikah lagi, sementara Ibu pergi ke luar negeri dan sampai sekarang nggak balik lagi. Bahkan, aku juga pernah gagal berumah tangga. Aku nggak bisa dibeginikan, hiks ...."Hanifa mengeluarkan segala keluh kesalnya. Biarkan saja suaminya mengatai dirinya cengeng atau semacamnya. Yang jelas, wanita itu sedikit terguncang. Jemari Respati terulur untuk mengusap air mata Hanifa. Bahkan, sampai sekarang lelaki itu belum m
Santi menatap sinis ke arah Widya yang sejak pagi tadi sudah leha-leha menonton televisi. Padahal, pekerjaan di dapur masih banyak. Masakan belum rampung semua. Peralatan makan tadi malam pun juga belum di cuci.Seenak jidat wanita hamil itu malas-malasan. Jika dulu Santi selalu membela Widya. Kini, tidak lagi. "Wid. Masak sana, Tante mau bersihin depan rumah!" tegas Santi membuat Widya melotot seraya merengut."Tan, aku tuh lagi hamil. Masa iya Tante suruh masak? Bukannya apa, kalau wanita hamil itu cocoknya di manja!" tegas Widya kesal bukan main. "Masalahnya kamu bukan mantu Tante, ya. Kamu cuma numpang di sini. Sudah tidak kerja di perusahaan. Imbasnya pun juga ke Abi, kemarin dia di pecat sama Renjana, karena menganggap Abi tidak becus jagain kamu yang menjadi wanita gatal begitu," sinis Santi yang ucapannya terlalu pedas. Widya menghela napas. Demi apapun, dia itu jarang bekerja di dapur. Bahkan, untuk bersih-bersih rumah pun dia malas sekali. Maunya leha-leha, tapi uang data
Sejak semalam hingga pagi ini, Respati terus menerus muntah-muntah. Semua anggota keluarganya bahkan sampai panik sendiri. Lelaki itu tak bisa berjauhan dari sang istri. "Kamu kenapa, sih, Mas? Terlalu capek atau gimana? Perasaan kemarin siang masih baik-baik saja dan masih bisa bercanda sama aku." Hanifa tentu saja merasa sangat khawatir dengan keadaan sang suami. "Mau ke rumah sakit saja atau bagaimana?" tawar Anisa yang sama khawatirnya seperti yang di rasakan oleh sang menantu. "Di sini saja sama Nifa. Hirup aromanya Nifa mualnya jadi hilang!" lirih Respati.Jika biasanya lelaki itu sangat berwibawa dan penuh kharisma, berbeda dengan sekarang. Ia tampak terlihat sangat sayu dan pucat. "Lemah sekali, sih, kamu, Pati? Ini tuh namanya morning sickness. Biasanya wanita hamil yang mengalami, tapi ternyata kamu yang gantiin Nifa!" omel sang Nenek yang merasa sebal dengan cucu lelakinya.Respati sama sekali tak membalas ucapan sang Nenek. Lelaki itu sekarang ini sedang sibuk menghiru
Tengah malam, Respati terbangun dan terus menerus menghela napas. Dia tidak bisa tidur tanpa memeluk istrinya. Ini semua gara-gara peraturan nyeleneh dari sang Nenek. Jika bisa, dia ingin memulangkan wanita tua itu ke luar negeri lagi. "Punya istri, tapi kok tidur sendiri? Tidak bisa dibiarkan ini!" Respati akhirnya bangkit dari kamar. Ia lekas berjalan dengan tergesa menuju lantai bawah, lantaran kamar Nenek Laksmi ada di lantai satu. Wanita tua itu tentu saja sudah tak bisa naik turun tangga lantaran tubuhnya sudah ringkih di makan oleh usia. "Pati, mau ke mana?" Respati terkejut bukan main ketika tak sengaja berpapasan dengan sang Mama yang baru keluar dari kamar."Mau nyusulin istri, Ma. Pati tidak bisa tidur kalau tidak peluk Nifa," ujar Respati tanpa ada yang ditutupi.Anisa tertawa geli ketika mendapati anak sulungnya yang sangat bucin seperti ini. "Ya sudah, hati-hati. Kalau perlu, gendong saja Nifa bawa kembali ke kamar kalian. Jangan sampai Nenek kamu bangun, bisa heboh
Widya baru membuka mata setelah beberapa saat pingsan karena kebodohannya sendiri. Wanita itu mendapati keberadaan Abimana yang sebagian wajahnya masih di perban. Bahkan, salah seorang bidan juga ada di sana. "Harusnya Bapak jaga dengan baik kandungan istrinya!" omel bidan tersebut seraya menatap datar ke arah Abimana. Abimana datang, karena tadi sempat ditelepon oleh orang yang menolong Widya ketika pingsan dan pendarahan di taman. Sebenarnya, kontak pertama di ponsel Widya itu Bowo, tapi sialnya lelaki itu sama sekali tak mau mengangkat. Alhasil, mereka memilih kontak Abimana yang berada di daftar favorite kedua di ponsel Widya. "Ibunya juga ada masalah apa? Kalian bertengkar? Mbok ya bisa berpikir dengan baik loh. Sebentar lagi kalian punya anak, tapi kenapa Ibunya justru mengkonsumsi nanas dan obat keras?""Anak saya sudah mati, Bu?" tanya Widya mengabaikan pertanyaan bidan barusan. Bahkan, raut wajah Widya tidak ada sedih-sedihnya dan justru terlihat sangat penasaran. "Syukur
Hanifa mengerjapkan mata setelah beberapa waktu lalu sempat pingsan. Wanita itu menatap sekitar dan mendapati keberadaan suami dan kedua mertuanya. Hanya minus Nenek Laksmi saja dan entah di mana keberadaan orang tua itu. "Sayang. Apa yang sakit? Bilang sama Mas!" Respati gegas mendekat dan langsung mengusap dengan sayang wajah sang istri. Tangan kiri Hanifa yang terbebas dari selang infus pun lekas membimbing tangan suaminya untuk di letakkan di atas dada. "Dadaku yang sakit, Mas. Aku nggak nyangka kamu hamili wanita la—"Cup!Bibir ranum itu dipangut oleh Respati. Persetan jika di dalam ruangan ini masih ada kedua orang tua mereka. Lelaki itu tak peduli.Handoko rasanya ingin sekali memberikan bogeman mentan pada Respati. Dia masih kesal bukan main lantaran tadinya sedang sibuk, tapi dia buru-buru dihubungi oleh istrinya untuk segera datang ke rumah sakit lantaran Hanifa jatuh pingsan. Pria paruh baya itu tentu saja langsung meninggalkan pekerjaan. Baginya, keluarga adalah nomor
Napas Hanifa memburu dengan begitu hebatnya ketika ditelepon oleh sopir keluarga yang tadi mengantar Respati pergi. Seketika, matanya berembun dan napasnya memburu dengan sangat hebat. Hanifa ingin menangis, tapi dia bingung harus bagaimana. Pada akhirnya, wanita itu memilih bercerita pada Nenek Laksmi dan juga mertuanya. "Aku nggak nyangka Mas Pati bakal kayak gitu, Ma!" lirih Hanifa. Dunianya seolah runtuh begitu saja setelah menceritakan segalanya pada dua wanita dewasa itu."Astaga, apa yang sudah Pati lakukan? Membuat malu saja!" keluh Anisa yang langsung menitikkan air mata.Berbeda dengan Nenek Laksmi yang begitu geram. Matanya menyiratkan kilauan amarah yang begitu besar. Dadanya naik turun dan kepalanya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. "Sudah tau rumah sakitnya di mana?" tanya Nenek Laksmi yang langsung di angguki oleh Hanifa. "Kita semua pergi ke sana sekarang. Masalah begini harus segera dibasmi. Kamu kuat apa tidak ikut ke rumah sakit?" tanya Nenek Laksmi pada cucu