"Kapan kamu bisa kasih saya cucu? Sudah satu tahun menikah dengan anak saya, tapi kamu belum bisa kasih keturunan!"
Ini bukan kali pertamanya Hanifa mendengar pertanyaan ketus yang dilontarkan oleh Ibu mertuanya. Wanita, ah tidak! Ia masih seorang gadis yang tak pernah disentuh oleh suaminya selama satu tahun pernikahan.
Alasannya cukup klise, dia sama sekali tidak menarik dan bukan tipe suaminya.
Lantas, jika tidak menarik, kenapa mereka bisa menikah? Jawabannya sederhana, mereka menikah karena permintaan terakhir dari almarhum Kakek Abimana sebelum wafat.
"Kalau ditanya itu tolong dijawab, ya! Bukan justru masih sibuk ngunyah makanan! Pantas saja badan gembrot macam gajah, kerjaan kamu makan terus!" sentak sang mertua dengan kerasnya.
"Aku mau jawab apa? Sedangkan Mas Abi saja—"
"Hanifa. Masuk kamar!" Belum juga Hanifa menyelesaikan ucapannya, tapi suara bariton milik Abimana langsung menggelegar di sepenjuru ruangan.
"Tapi, Mas ...,"
"Kalau saya bilang masuk, ya, masuk. Jangan jadi istri pembangkang kamu!" Abimana menatap tajam ke arah istrinya.
Hanifa menghela napas seraya meletakkan sendok yang sejak tadi dia pegang, ke atas meja. Setelahnya, gadis itu memilih untuk meninggalkan area ruang makan dengan kepala tertunduk dalam.
"Mama kenapa ke sini? Kok, nggak bilang-bilang? Aku, kan, bisa jemput?" Abimana sudah melunak dan kini mulai melonggarkan dasinya yang terasa mencekik di leher.
"Mama itu lagi sakit hati. Mama selalu di ejek oleh teman arisan karena cuma Mama yang belum punya cucu. Kamu kapan kasih Mama cucu, hah?"
Abimana berdecak sebal seraya menggeleng. "Jangankan mau punya anak sama dia. Lihat wajahnya saja eneg bukan main."
"Ya, terus, masa sampai nanti kamu nggak bakal punya anak? Mama nggak mau, ya, kalau keturunan Mama cuma berhenti di kamu!" sengit sang Mama yang masih tak terima dengan hal ini.
Abimana merasa kesal dengan desakan tersebut. Kepalanya akhir-akhir ini terasa berat. Belum lagi pekerjaan kantor yang begitu menguras tenaga. Apalagi dia sebagai seorang bawahan, bukan seorang bos yang bisa seenak jidat berlaku semaunya. Pergerakannya di kantor sangat terbatas.
"Gampang! Tinggal cerai sama dia, lalu cari perempuan body aduhai untuk memperbaiki keturunan!" Abimana menatap datar ke arah Mamanya yang kini sedang menatap kaget dirinya.
"Kamu yakin mau pisah sama dia? Kamu, kan, belum dapat warisan yang dijanjikan sama almarhum kakekmu!"
"Ya, aku sudah muak satu atap sama si gembrot itu. Masalah warisan, sudah pasti akan tetap dapat. Toh juga aku sudah menikahi si gembrot itu. Nanti bilang saja sama pengacaranya kakek, kalau aku sama Hanifa pisah karena si gembrot itu yang ngajak pisah duluan, biar warisan itu segera diberikan padaku." Abimana tersenyum miring.
***
"Mas Abi, sarapannya sudah jadi!"
Abimana menatap malas sang istri yang sekarang ini sedang berdiri di depan meja makan. Penampilannya persis seperti gembel. Daster lusuh dan sendal jepit rumahan. Apalagi, wajahnya sama sekali tidak dipolesi oleh make up dan berjerawat.
"Setiap hari sayuran hijau. Kamu itu mikir tidak, sih, kalau aku ini manusia, bukan kambing?"
Prang!
Masakan yang dibuat dengan penuh cinta, kini sudah berceceran di atas lantai.
"Mas, kalau nggak mau makan, setidaknya jangan dibuang kayak gini. Mubazir!" Napas Hanifa sudah kembang kempis.
Selama ini dia hanya diam ketika ditindas oleh suaminya sendiri. Cintanya yang melebihi apapun membuat gadis itu hanya bisa pasrah.
Namun, semakin ke sini, kenapa dadanya terasa sesak?
"Oh, mubazir, ya? Sini kamu! Makan ini supaya tidak mubazir. Ayo!" Abimana menggertak istrinya, tapi Hanifa langsung menggeleng lemah.
Lelaki itu mendekat dan menatap inci demi inci wajah yang penuh dengan jerawat itu.
"Nyesel saya punya istri nggak guna kayak kamu! Kalau bukan karena almarhum kakek, kamu pasti jadi gelandangan di luar sana!" Abimana mendorong tubuh gempal Hanifa sampai tersungkur. Setelahnya ia pergi begitu saja.
Hanifa menatap sendu kepergian Abimana. Sudah satu tahun lamanya membina bahtera rumah tangga, tapi kenapa Abimana tak pernah mau melirik ke arahnya?
"Aku pengen nyerah, tapi aku nggak punya siapa-siapa di kota ini selain Mas Abi dan keluarganya," keluh Hanifa meratapi nasib.
Di sisi lain, Abimana memilih untuk mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Wajah lelaki itu sejak tadi sudah kusut bak pakaian belum disetrika.
"Loh, kok kamu ada di sini, sih? Nggak masuk kerja? Nanti Om kamu ngomel lagi. Kamu, kan, masih bawahannya dia!" tanya Santi, Mamanya Abimana yang kemarin sempat datang di kediaman Abimana guna mengomeli sang menantu.
"Lagi capek sama kehidupan. Aku udah nggak bisa tinggal satu atap sama si gembrot itu. Lama-lama punya penyakit darah tinggi aku, Ma!" adu Abimana dengan wajah memelas.
"Terus, maunya kamu gimana? Kamu sendiri loh yang setuju nikah sama dia waktu itu. Sekarang kok malah uring-uringan kayak gini, sih? Mau Mama kenalkan sama anak teman arisan Mama?" tawar Santi yang wataknya sama gilanya dengan Abimana.
Abimana menggeleng tegas. Dia memang berniat mencari wanita lain yang lebih dari segalanya. Salah satunya harus cantik dan memiliki body aduhai. Tapi, bukan sekarang waktunya.
"Aku mau pergi ke kantor pengadilan agama. Aku mau urus surat gugatan cerai. Kali ini jangan halangi aku, ya, Ma! Aku mohon sama Mama, tolong dukung aku!" Abimana bahkan sampai menangkup kedua tangannya ke depan.
"Tapi, gimana dengan warisan itu—"
"Nggak usah dipikirin dulu. Cepat atau lambat, semua yang memang ditakdirkan menjadi milikku, bakal jatuh ke tanganku. Mama nggak usah takut hidup kere!" potong Abimana.
Pada akhirnya, Santi hanya bisa mengangguk pasrah. Jika dipikir-pikir, dia juga tak sudi punya menantu gembrot dan berjerawat macam Hanifa. Apalagi sampai punya cucu nanti. Akan seburuk apa wajah cucunya nanti?
Dulu, dia menyetujui pernikahan antara Abimana dan Hanifa lantaran terpaksa dan memang sudah dijanjikan bila anak lelakinya akan diberi warisan lebih banyak dari para saudaranya yang telah menikah lebih dulu, asal mau menikahi Hanifa. Tentu saja masih ada syarat lain untuk mendapatkan warisan tersebut . Sepertinya Abimana dan Santi melupakan point pentingnya.
"Aku numpang makan dulu sebelum ngurus berkas gugatan cerai. Lapar!"
"Memang, si gembrot tidak masak?" tanya Santi yang kini sedang mengekori Abimana menuju dapur.
Abimana tak langsung menjawab. Lelaki itu memilih untuk duduk di depan meja makan.
"Dia masak sayur terus. Giliran aku berangkat, isi kulkas bakalan ludes. Tekor aku, Ma. Tiap minggu belanja banyak. Semuanya masuk di perut si gembrot!" omel Abimana.
Santi menghela napas. Wanita itu gegas mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk sang anak.
"Jangan banyak-banyak kalau makan. Nanti jadi gembrot macam Hanifa loh!" ujar Santi berniat bercanda, tapi wajah Abimana semakin masam.
Selesai numpang sarapan, Abimana lekas meninggalkan perumahan orang tuanya. Tekadnya sudah bulat untuk berpisah dengan Hanifa.
Persetan jika nanti Hanifa sakit hati. Salah siapa punya penampilan tidak di rawat. Seandainya dia cantik, sudah pasti Abimana akan klepek-klepek. Sayangnya, kenyataan tak sesuai dengan harapan.
Seharian full Abimana mengurus berkas perceraian dan besok dia harus kembali lagi untuk melengkapi segalanya. Abimana kali ini memutuskan untuk pulang walau rasanya enggan sekali bertemu dengan Hanifa.
"Sudah pulang, Mas?" sapa Hanifa berbasa-basi.
Abimana mendelik horor ketika melihat penampilan Hanifa, dari atas rambut sampai ke bawah kaki.
"Kamu sehat, Nifa? Ngapain pakai baju kurang bahan begitu?" sentak Abimana. Bukannya tergoda, tapi justru dia jijik bukan main ketika melihat lipatan lemak di mana-mana.
"Mama nyuruh aku cepat hamil, jadi aku mau nurutin keinginannya Mama. Apa aku salah?"
"kamu mau menyenangkan saya, Nifa?" Hanifa mengangguk penuh harap ketika mendengar penuturan dari Abimana. Abimana tersenyum miring seraya mengusap dagu. "Kamu tunggu satu minggu lagi. Saya akan berikan kado paling istimewa untuk kamu. Sekarang, ganti baju dulu. Takutnya nanti kamu masuk angin. Kamu boleh sentuh saya sepuasmu seminggu lagi. Mau?" Hanifa kembali mengangguk dengan senyum tertahan. Dia seolah mendapatkan angin segar dan berharap jika ini adalah awal yang baik untuk kehidupan pernikahannya bersama dengan Abimana. Selama seminggu belakangan ini sikap Abimana sangat baik pada Hanifa hingga membuat sang empu terlena. Bahkan, saking bahagianya, Hanifa sampai melingkari tanggal di kalender dan tepat pada hari ini terhitung tujuh hari sudah. Itu artinya, sebentar lagi Abimana akan memberi dirinya kejutan. "Itu seperti suara mobilnya Mas Abi! Ya ampun, aku deg-degan sekali. Untung saja aku sudah mandi dan pakai banyak sabun biar wangi." Hanifa cekikikan dan berjalan dengan
Hanifa menatap sendu beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Sudah malam begini, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Abimana. Ini bahkan sudah terhitung tiga hari lamanya Abimana tak pulang ke rumah. Gadis itu juga enggan untuk menyentuh makanan yang ia masak sore tadi. "Pokoknya aku mau diet. Aku pengen kurus supaya Mas Abi bisa cinta sama aku!" monolog Hanifa dengan penuh tekad. Walau sejujurnya, makanan di atas meja sangat menggugah selera. Tapi, Hanifa sedang berusaha keras untuk menahan keinginannya. Waktu semakin larut, sementara perut Hanifa semakin keroncongan. Namun, dia tetap berusaha untuk menahan diri supaya tak tergoda dengan makanan.Pada akhirnya, Hanifa memilih untuk masuk ke dalam kamar dengan memegangi perutnya yang terasa perih. "Mas Abi, aku bakal berusaha untuk cantik. Tapi, aku bingung, dia sudah bilang talak tiga ke aku. Kita ini sekarang apa? Masih suami istri atau sudah bukan?"Di tengah malam yang sunyi ini, Hanifa kembali menangis, meratapi
Hanifa baru saja keluar dari kantor penggadaian dengan membawa segepok uang dari hasil menggadaikan kalung emas yang beratnya puluhan gram. Kalung yang pernah diberikan oleh almarhum Kakek Abimana terpaksa dia gadaikan demi bisa berlangganan di tempat fitness. Dia juga ingin perawatan wajah dan seluruh permukaan kulit tubuhnya supaya bisa cantik."Kek, maafin Nifa, ya. Suatu saat nanti Nifa bakal tebus kembali kalung itu." Hanifa lekas menyimpan uang tersebut ke dalam tas. Setelahnya, ia gegas pergi ke tempat fitness baru itu. Untung saja pelayanan di sana sangat ramah dan justru begitu bersemangat untuk membantu Hanifa menurunkan berat badan, setelah mendengar keluh kesal gadis itu. Terlebih lagi, Hanifa akan dilatih secara langsung oleh si pemilik tempat tersebut yang tampangnya sangat rupawan."Mbak Hanifa mulai besok bisa datang ke sini. Saya akan bimbing Mbak sampai punya berat badan ideal. Itu janji saya!" Lelaki tampan yang bernama Respati itu sama sekali tidak ilfeel ketika
"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa. "Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—""Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati. Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti. "Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"P
Hanifa sengaja mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Abimana dan Widya. Gadis itu sekarang ini sedang membantu Kusuma untuk menangani dua pasiennya. Sebab, bukan hanya Widya yang akan menjalani perawatan, tapi juga Abimana yang dipaksa oleh si calon untuk menjalani perawatan wajah."Mbak, tolong buat wajah saya makin kinclong, ya. Supaya calon istri saya makin kesemsem sama saya!" ujar Abimana yang kini sudah berbaring di tempat ketika Hanifa sedang menutup tirai pembatas antara Abimana dan Widya.Gadis itu sama sekali tak bersuara dan memilih mengangguk saja. Dia tak ingin Abimana mengenali suaranya.Entahlah, kebetulan macam apa ini? Niat hati hanya ingin bekerja dengan tentram, tapi dia harus kembali berhadapan dengan Abimana. Walau begitu, Hanifa berusaha keras untuk tetap profesional. Bagaimana pun juga, dia sedang bekerja dan harus mengesampingkan masalah pribadi. Toh juga antara dirinya dan Abimana sebentar lagi akan benar-benar berakhir."Tangan Mbak lembut, tapi kenap
Abimana membawa Widya pulang ke kediaman orang tuanya. Ini dia lakukan supaya Widya tak banyak menguras uangnya. Bisa tekor dia nanti jika belum menikah saja, Widya sudah banyak maunya. Sudah dikasih perawatan gratis dari ujung rambut hingga kaki, tapi masih saja ingin tas mahal dan barang mewah lainnya. Sayangnya, sepertinya Abimana melupakan sesuatu. Mereka sudah janjian pada seseorang yang akan menghandle segala keperluan pernikahan. Widya dengan seenaknya bahkan memberitahukan orang tersebut supaya segera datang di kediaman calon mertuanya. Alhasil, belum ada setengah jam, rumah Santi sudah kedatangan tamu dan hal tersebut membuat Widya senang bukan kepalang. "Bisa tidak bahasnya nanti saja?" tanya Abimana yang masih belum terima jika uangnya akan kembali melayang."Nanti kapan, sih, Mas? Bentar lagi kita mau nikah loh ini. Tante nggak keberatan, kan?" tanya Widya meminta pendapat kepada Santi.Santi meneguk ludah dengan susah payah. Wanita paruh baya itu melirik ke arah sang
"Memangnya, Mas mau minta apa?" tanya Hanifa terlampau penasaran."Tetap di sisi saya walau tujuan kamu sudah berhasil tercapai. Maksud saya, kamu tetap boleh tinggal di rumah kontrakan dan bekerja di klinik adik saya. Jangan mencari tempat lain, kami sudah nyaman dengan kehadiranmu!"Sebenarnya, bukan ini yang hendak Respati utarakan. Hanya saja, mungkin moment-nya belum tepat. Dia tak mau jika Hanifa mulai menjauh jika sampai tau apa yang sebenarnya Respati rasakan. Dengan kata lain, lelaki itu memiliki perasaan lebih terhadap Hanifa. "Mas. Aku nggak mungkin pergi begitu saja setelah aku sudah bergantung penuh sama Mas. Mungkin nanti kalau semisal Mas Pati sudah berkeluarga, aku bakal pergi. Soalnya nggak enak sama istrinya Mas nanti!""Kenapa harus tidak enak kalau semisal kamu yang menjadi orangnya?" kekeh Respati yang seketika langsung gelagapan sendiri."Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa yang masih belum paham ketika diberi kode oleh lelaki gagah pemilik tempat fitness itu.Respati
"Dengan berat hati saya mengatakan jika warisan ini lima puluh persen akan jatuh di tangan Mbak Nifa. Lima puluh persennya lagi akan disumbangkan di panti asuhan!""Nggak bisa gitu, Pak! Enak saja main disumbangun ke panti. Apalagi mau dikasih ke si gembrot! Enak saja. Hidup cuma sekali, masa iya harta mertua saya jatuh di tangan orang asing? Nggak bisa gitu! Nggak sudi saya!" Santi langsung mengamuk di tempat.Beberapa orang bahkan sampai merekam aksi wanita paruh baya itu. Sedangkan Abimana sudah malu bukan main dengan tingkah sang ibu. Dia juga sebenarnya ingin mengamuk, tapi berusaha ditahan. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Bu Santi. Saya hanya menyampaikan wasiat almarhum!" Bapak pengacara dengan sabar menjelaskan.Hanya saja, Santi yang kepalang murka bahkan langsung menangis sesenggukan di sini. "Saya susah payah ngelahirin cucu untuk mertua. Kenapa justru orang lain yang akan mendapatkan warisan? Kenapa dunia tidak adil?" Abimana sampai menutup wajahnya menggunakan buku m
"Aduh, menantu Mama kok tambah cantik, sih?" Hanifa dan Respati baru saja pulang langsung di hadang oleh Anisa. Wanita paruh baya itu sangat terkesima dengan penampilan baru sang menantu. Wajahnya semakin cantik dengan warna rambut yang dirubah menjadi sedikit kecoklatan. "Cocok, tidak, Ma?" Bukan Hanifa yang bertanya melainkan Respati. Jika boleh jujur, lelaki itu rasanya semakin tergila-gila dengan kecantikan sang istri yang paripurna. Dia sama sekali tak bisa melirik ke arah wanita lain lantaran istrinya sendiri saja sudah sangat menggoda seperti ini. Berkat bantuan Kusuma, Hanifa benar-benar bisa merawat diri dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya sangat mulus. "Cocok sekali. Pokoknya kalau Nifa mau pergi ke luar, kamu sebagai suami harus ikut. Jangan sampai lelaki di luaran sana kepincut sama kecantikan menantu Mama!"Hanifa tersipu malu. Suami dan mertuanya ini sangat berlebihan dalam memuji dirinya. "Sudah, jangan dipuji lagi, Ma. Nanti aku besar kepala, loh. Ini
Hanifa keluar lebih dulu dan berjalan santai menuju ruang tunggu untuk menunggu kedatangan sang suami yang mungkin sebentar lagi akan sampai. Semerbak aroma harum dari tubuh Hanifa rupanya membuat fokus pria paruh baya yang tak lain adalah Bowo, pun mulai menoleh dan mendapati sosok wanita cantik yang sedang duduk di ujung. Bowo bahkan sampai membasahi bibir bawahnya ketika melihat pemandangan yang begitu sayang untuk di lewatkan. Namun, pria paruh baya itu merasa sangat familiar dengan wajah cantik itu. Seolah tak asing untuk dirinya. "Cantik. Sudah melakukan biaya administrasi?"Hanifa terkejut bukan main dan sontak saja menoleh. Tangannya mengarah pada dirinya sendiri seolah bertanya apakah dia yang sedang di ajak bicara atau bukan?"Iya kamu. Kalau belum, Om bisa bayarkan sekalian Om bayar punya teman Om! Bagaimana?" tawar Bowo dengan tatapan laparnya.Hanifa sampai bergidik ngeri. Dia tak menyangka jika mantan Papa mertuanya punya saudara yang menjijikkan seperti ini. "Om lup
Sesuai janji yang pernah di ucapkan oleh Respati atas usulan Anisa, lelaki itu membawa sang istri ke klinik kecantikan milik Kusuma. Jika dulu Hanifa bekerja di sini, maka sekarang wanita itu akan menikmati segala fasilitas di klinik tanpa menunggu traktiran dari mantan bosnya (Kusuma)"Mau ditunggu atau Mas boleh pergi sebentar?" tanya Respati pada sang istri.Hanifa tersenyum geli. Dia tak akan membiarkan suaminya sibuk menunggu dirinya yang perawatan. Sudah pasti akan memerlukan waktu yang cukup lama. "Kamu pergi saja, Mas, kalau memang ada kerjaan atau urusan apapun. Nanti kalau aku sudah selesai bisa kamu jemput, atau naik taksi juga boleh!" "Jangan naik taksi! Mas akan jemput kamu. Nanti kabari saja, ya, Sayang!" Hanifa mengangguk seraya memejamkan mata ketika Respati memberikan kecupan di kening. Setelahnya, Respati langsung pergi dari klinik tersebut dan membiarkan sang istri melakukan serangkaian perawatan. Hari ini Kusuma tidak datang ke klinik, tapi sudah mengabari pad
Widya dengan terpaksa mengikuti langkah Abimana yang tengah mendekat ke arah penjual es teh di pinggir jalan. Wanita itu menatap jijik dan merasa tak nyaman."Pak. Es tehnya 1, ya!" ujar Abimana yang dibalas senyuman oleh penjual tersebut. Lelaki itu melirik ke arah Widya yang sudah merengut tak suka. Dia cukup paham jika gaya hidup kekasihnya ini sangat hedon. Bukan hanya dalam segi penampilan, tapi juga dengan makanan yang maunya makanan enak dan mahal. "Ini Mas pesanannya. Mbaknya tidak sekalian minum?" tanya penjual tersebut yang seketika membuat Widya mendelik."Maaf, ya, Pak. Saya anti minum minuman di pinggir jalan kayak gini!" balas Widya dengan angkuh.Untung saja si penjual sama sekali tak merasa tersinggung dan hanya menanggapi dengan senyuman teduh. "Harganya berapa, Pak?" tanya Abimana kalem."Lima ribu, Mas!"Abimana pun mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu yang tadi dia minta dari Widya. "Kembaliannya ambil saja, Pak!""Terima kasih, Mas. Semoga rezeki Mas meli
Di tengah kesunyian malam, kedua insan itu masih sibuk dengan kegiatan panasnya. Sang istri hanya bisa mengeluarkan suara merdunya sementara sang suami masih berpacu dan bergerak dengan liar."Mas. Aku capek ...," cicit Hanifa seraya mencengkram kuat bahu sang suami yang masih dengan gagahnya bergerak di atas tubuhnya seolah stamina dari lelaki itu tiada habisnya. "Sebentar, Sayang. Sebentar lagi Mas akan keluar!" bisik sang suami seraya melabuhkan beberapa kecupan hangat di kening dan leher. Hanifa hanya bisa pasrah menuruti segala kemauan sang suami. Wanita itu lelah, bahkan sangat lelah. Ingatkan besok untuk memberikan jeweran panas di telinga sang suami."Mas. Aku mau sampai!" jerit Hanifa yang berakhir terisak hebat. Dia tak kuat menerima serangan demi serangan kenikmatan dari sang suami. "Tahan sebentar. Kita keluar bersama!" tekan Respati membuat Hanifa geleng-geleng kepala.Hanya hitungan detik, mereka kembali mendapatkan pelepasan yang beradu menjadi satu, hingga kegelapan
Di sinilah kedua insan itu berada, di atas kapal layar yang sedang menyusuri sungai Seine. Respati sengaja membawa sang istri ke tempat yang tak kalah romantis ini supaya suasana hati Hanifa kembali membaik setelah tadi mengaku cemburu. Hanifa bahkan sudah melupakan rasa cemburunya tadi dan kini terus tersenyum memandang hamparan sungai tersebut dengan perasaan penuh haru. "Bagaimana perasaannya? Apa masih marah sama Mas?" tanya Respati penasaran dan dibalas gelengan oleh Hanifa. "Aku sayang kamu. Maaf kalau tingkahku tadi sangat kekanakan. Padahal niat kamu baik, Mas!" Hanifa menatap sendu ke arah suaminya yang kini hanya mengenakan kaos hitam saja, lantaran jaket besar lelaki itu sudah menutupi tubuhnya.Respati terkekeh dan tak lupa melabuhkan kecupan manis di pipi sang istri. Setelahnya, mereka duduk dengan posisi sang suami yang sedang mengukung tubuh istrinya dari belakang. "Mas justru suka kalau kamu seperti itu. Itu artinya, kamu cemburu!" bisik lelaki itu yang sejujurnya
Baru saja membuka pintu balkon, keduanya sudah disuguhi dengan pemandangan menara eiffel yang begitu memanjakan mata. Hanifa tersenyum sumringah seraya merentangkan tangan menikmati semilir angin yang berhembus di pagi hari. Respati yang tadinya berada di samping, kini langsung berpindah ke belakang tubuh sang istri. Memeluk wanitanya dengan begitu erat. Sang empu yang mendapat serangan mendadak pun justru memilih untuk menyenderkan tubuhnya di pundak sang suami."Mas. Aku bahagia, terima kasih banyak. Sekalinya ke luar negeri, aku bisa mengunjungi tempat indah seperti ini. Apalagi saat di Maldives lalu. Semuanya sangat indah." Suara Hanifa mendayu membuat Respati tersenyum lebar. "Tidak perlu berterima kasih. Sebisa mungkin Mas akan buat kamu bahagia, Sayang!" bisik lelaki itu seraya memberikan beberapa kecupan di pipi sang istri. Keduanya sama-sama menikmati moment indah lewat balkon hotel yang harga sewanya sangat fantasy. Beberapa saat kemudian, Respati dan Hanifa sudah siap
Hanifa sudah melupakan semua rasa sesak di dada ketika mengingat semua tentang kedua orang tuanya yang dengan tega membiarkan dia sendirian sejak kecil. Bahkan, wajah keduanya saja sudah wanita itu lupakan sejak lama.Sekarang, waktunya bersenang-senang untuk menikmati bulan madu dengan sang suami. Malam ini pun Hanifa berniat untuk menyenangkan sang suami. Wanita itu sudah berada di dalam kamar mandi dengan membawa satu set lingerie pemberian dari Kusuma. Lingerie kali ini ia pilih warna hitam. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang lumayan putih untuk ukuran orang Indonesia yang kebanyakan berkulit kuning langsat. Mungkin juga karena dia selalu rutin perawatan selama proses perceraiannya dulu sampai sekarang ini. "Dek. Masih lama di dalam kamar? Nanti masuk angin, loh!" Suara Respati menggema seraya tangannya sibuk mengetuk pintu kamar mandi.Lihatlah, hal sekecil ini saja Respati sudah bisa membuat Hanifa tersenyum cerah. Lelaki itu selalu bisa membuat jantung istrinya berdeta
Hanifa beberapa kali menghela napas ketika melihat pantulan dirinya di cermin. Sebentar lagi ia dan sang suami akan pergi ke tepi pantai dan outfit yang ia kenakan justru long dress berlengan panjang pilihan Respati. "Kenapa mukanya cemberut begitu, hm? Sudah cantik begini juga!" Respati datang dan langsung merengkuh erat tubuh Hanifa dari belakang. Lelaki itu mengamati penampilan sang istri yang menurutnya sangat cantik. "Masa mau ke pantai pakai kayak gini, Mas? Kayak mau ke kondangan saja pakai long dress!" gerutu Hanifa. Jangan lupakan, bibir wanita itu sudah merengut.Respati menghela napas. Lelaki itu lekas membalikkan tubuh sang istri hingga kini keduanya saling berhadapan. "Lihat Mas!"Hanifa yang merajuk bahkan justru menoleh ke arah samping. Enggan sekali untuk melihat wajah suaminya yang menurutnya sanga menyebalkan. "Sayang, lihat Mas dulu sini!" Respati memegang dagu sang istri hingga wajah cantik itu ia tolehkan dengan amat hati-hati supaya menatap ke arahnya. "Denga