"Kapan kamu bisa kasih saya cucu? Sudah satu tahun menikah dengan anak saya, tapi kamu belum bisa kasih keturunan!"
Ini bukan kali pertamanya Hanifa mendengar pertanyaan ketus yang dilontarkan oleh Ibu mertuanya. Wanita, ah tidak! Ia masih seorang gadis yang tak pernah disentuh oleh suaminya selama satu tahun pernikahan.
Alasannya cukup klise, dia sama sekali tidak menarik dan bukan tipe suaminya.
Lantas, jika tidak menarik, kenapa mereka bisa menikah? Jawabannya sederhana, mereka menikah karena permintaan terakhir dari almarhum Kakek Abimana sebelum wafat.
"Kalau ditanya itu tolong dijawab, ya! Bukan justru masih sibuk ngunyah makanan! Pantas saja badan gembrot macam gajah, kerjaan kamu makan terus!" sentak sang mertua dengan kerasnya.
"Aku mau jawab apa? Sedangkan Mas Abi saja—"
"Hanifa. Masuk kamar!" Belum juga Hanifa menyelesaikan ucapannya, tapi suara bariton milik Abimana langsung menggelegar di sepenjuru ruangan.
"Tapi, Mas ...,"
"Kalau saya bilang masuk, ya, masuk. Jangan jadi istri pembangkang kamu!" Abimana menatap tajam ke arah istrinya.
Hanifa menghela napas seraya meletakkan sendok yang sejak tadi dia pegang, ke atas meja. Setelahnya, gadis itu memilih untuk meninggalkan area ruang makan dengan kepala tertunduk dalam.
"Mama kenapa ke sini? Kok, nggak bilang-bilang? Aku, kan, bisa jemput?" Abimana sudah melunak dan kini mulai melonggarkan dasinya yang terasa mencekik di leher.
"Mama itu lagi sakit hati. Mama selalu di ejek oleh teman arisan karena cuma Mama yang belum punya cucu. Kamu kapan kasih Mama cucu, hah?"
Abimana berdecak sebal seraya menggeleng. "Jangankan mau punya anak sama dia. Lihat wajahnya saja eneg bukan main."
"Ya, terus, masa sampai nanti kamu nggak bakal punya anak? Mama nggak mau, ya, kalau keturunan Mama cuma berhenti di kamu!" sengit sang Mama yang masih tak terima dengan hal ini.
Abimana merasa kesal dengan desakan tersebut. Kepalanya akhir-akhir ini terasa berat. Belum lagi pekerjaan kantor yang begitu menguras tenaga. Apalagi dia sebagai seorang bawahan, bukan seorang bos yang bisa seenak jidat berlaku semaunya. Pergerakannya di kantor sangat terbatas.
"Gampang! Tinggal cerai sama dia, lalu cari perempuan body aduhai untuk memperbaiki keturunan!" Abimana menatap datar ke arah Mamanya yang kini sedang menatap kaget dirinya.
"Kamu yakin mau pisah sama dia? Kamu, kan, belum dapat warisan yang dijanjikan sama almarhum kakekmu!"
"Ya, aku sudah muak satu atap sama si gembrot itu. Masalah warisan, sudah pasti akan tetap dapat. Toh juga aku sudah menikahi si gembrot itu. Nanti bilang saja sama pengacaranya kakek, kalau aku sama Hanifa pisah karena si gembrot itu yang ngajak pisah duluan, biar warisan itu segera diberikan padaku." Abimana tersenyum miring.
***
"Mas Abi, sarapannya sudah jadi!"
Abimana menatap malas sang istri yang sekarang ini sedang berdiri di depan meja makan. Penampilannya persis seperti gembel. Daster lusuh dan sendal jepit rumahan. Apalagi, wajahnya sama sekali tidak dipolesi oleh make up dan berjerawat.
"Setiap hari sayuran hijau. Kamu itu mikir tidak, sih, kalau aku ini manusia, bukan kambing?"
Prang!
Masakan yang dibuat dengan penuh cinta, kini sudah berceceran di atas lantai.
"Mas, kalau nggak mau makan, setidaknya jangan dibuang kayak gini. Mubazir!" Napas Hanifa sudah kembang kempis.
Selama ini dia hanya diam ketika ditindas oleh suaminya sendiri. Cintanya yang melebihi apapun membuat gadis itu hanya bisa pasrah.
Namun, semakin ke sini, kenapa dadanya terasa sesak?
"Oh, mubazir, ya? Sini kamu! Makan ini supaya tidak mubazir. Ayo!" Abimana menggertak istrinya, tapi Hanifa langsung menggeleng lemah.
Lelaki itu mendekat dan menatap inci demi inci wajah yang penuh dengan jerawat itu.
"Nyesel saya punya istri nggak guna kayak kamu! Kalau bukan karena almarhum kakek, kamu pasti jadi gelandangan di luar sana!" Abimana mendorong tubuh gempal Hanifa sampai tersungkur. Setelahnya ia pergi begitu saja.
Hanifa menatap sendu kepergian Abimana. Sudah satu tahun lamanya membina bahtera rumah tangga, tapi kenapa Abimana tak pernah mau melirik ke arahnya?
"Aku pengen nyerah, tapi aku nggak punya siapa-siapa di kota ini selain Mas Abi dan keluarganya," keluh Hanifa meratapi nasib.
Di sisi lain, Abimana memilih untuk mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Wajah lelaki itu sejak tadi sudah kusut bak pakaian belum disetrika.
"Loh, kok kamu ada di sini, sih? Nggak masuk kerja? Nanti Om kamu ngomel lagi. Kamu, kan, masih bawahannya dia!" tanya Santi, Mamanya Abimana yang kemarin sempat datang di kediaman Abimana guna mengomeli sang menantu.
"Lagi capek sama kehidupan. Aku udah nggak bisa tinggal satu atap sama si gembrot itu. Lama-lama punya penyakit darah tinggi aku, Ma!" adu Abimana dengan wajah memelas.
"Terus, maunya kamu gimana? Kamu sendiri loh yang setuju nikah sama dia waktu itu. Sekarang kok malah uring-uringan kayak gini, sih? Mau Mama kenalkan sama anak teman arisan Mama?" tawar Santi yang wataknya sama gilanya dengan Abimana.
Abimana menggeleng tegas. Dia memang berniat mencari wanita lain yang lebih dari segalanya. Salah satunya harus cantik dan memiliki body aduhai. Tapi, bukan sekarang waktunya.
"Aku mau pergi ke kantor pengadilan agama. Aku mau urus surat gugatan cerai. Kali ini jangan halangi aku, ya, Ma! Aku mohon sama Mama, tolong dukung aku!" Abimana bahkan sampai menangkup kedua tangannya ke depan.
"Tapi, gimana dengan warisan itu—"
"Nggak usah dipikirin dulu. Cepat atau lambat, semua yang memang ditakdirkan menjadi milikku, bakal jatuh ke tanganku. Mama nggak usah takut hidup kere!" potong Abimana.
Pada akhirnya, Santi hanya bisa mengangguk pasrah. Jika dipikir-pikir, dia juga tak sudi punya menantu gembrot dan berjerawat macam Hanifa. Apalagi sampai punya cucu nanti. Akan seburuk apa wajah cucunya nanti?
Dulu, dia menyetujui pernikahan antara Abimana dan Hanifa lantaran terpaksa dan memang sudah dijanjikan bila anak lelakinya akan diberi warisan lebih banyak dari para saudaranya yang telah menikah lebih dulu, asal mau menikahi Hanifa. Tentu saja masih ada syarat lain untuk mendapatkan warisan tersebut . Sepertinya Abimana dan Santi melupakan point pentingnya.
"Aku numpang makan dulu sebelum ngurus berkas gugatan cerai. Lapar!"
"Memang, si gembrot tidak masak?" tanya Santi yang kini sedang mengekori Abimana menuju dapur.
Abimana tak langsung menjawab. Lelaki itu memilih untuk duduk di depan meja makan.
"Dia masak sayur terus. Giliran aku berangkat, isi kulkas bakalan ludes. Tekor aku, Ma. Tiap minggu belanja banyak. Semuanya masuk di perut si gembrot!" omel Abimana.
Santi menghela napas. Wanita itu gegas mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk sang anak.
"Jangan banyak-banyak kalau makan. Nanti jadi gembrot macam Hanifa loh!" ujar Santi berniat bercanda, tapi wajah Abimana semakin masam.
Selesai numpang sarapan, Abimana lekas meninggalkan perumahan orang tuanya. Tekadnya sudah bulat untuk berpisah dengan Hanifa.
Persetan jika nanti Hanifa sakit hati. Salah siapa punya penampilan tidak di rawat. Seandainya dia cantik, sudah pasti Abimana akan klepek-klepek. Sayangnya, kenyataan tak sesuai dengan harapan.
Seharian full Abimana mengurus berkas perceraian dan besok dia harus kembali lagi untuk melengkapi segalanya. Abimana kali ini memutuskan untuk pulang walau rasanya enggan sekali bertemu dengan Hanifa.
"Sudah pulang, Mas?" sapa Hanifa berbasa-basi.
Abimana mendelik horor ketika melihat penampilan Hanifa, dari atas rambut sampai ke bawah kaki.
"Kamu sehat, Nifa? Ngapain pakai baju kurang bahan begitu?" sentak Abimana. Bukannya tergoda, tapi justru dia jijik bukan main ketika melihat lipatan lemak di mana-mana.
"Mama nyuruh aku cepat hamil, jadi aku mau nurutin keinginannya Mama. Apa aku salah?"
"kamu mau menyenangkan saya, Nifa?" Hanifa mengangguk penuh harap ketika mendengar penuturan dari Abimana. Abimana tersenyum miring seraya mengusap dagu. "Kamu tunggu satu minggu lagi. Saya akan berikan kado paling istimewa untuk kamu. Sekarang, ganti baju dulu. Takutnya nanti kamu masuk angin. Kamu boleh sentuh saya sepuasmu seminggu lagi. Mau?" Hanifa kembali mengangguk dengan senyum tertahan. Dia seolah mendapatkan angin segar dan berharap jika ini adalah awal yang baik untuk kehidupan pernikahannya bersama dengan Abimana. Selama seminggu belakangan ini sikap Abimana sangat baik pada Hanifa hingga membuat sang empu terlena. Bahkan, saking bahagianya, Hanifa sampai melingkari tanggal di kalender dan tepat pada hari ini terhitung tujuh hari sudah. Itu artinya, sebentar lagi Abimana akan memberi dirinya kejutan. "Itu seperti suara mobilnya Mas Abi! Ya ampun, aku deg-degan sekali. Untung saja aku sudah mandi dan pakai banyak sabun biar wangi." Hanifa cekikikan dan berjalan dengan
Hanifa menatap sendu beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Sudah malam begini, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Abimana. Ini bahkan sudah terhitung tiga hari lamanya Abimana tak pulang ke rumah. Gadis itu juga enggan untuk menyentuh makanan yang ia masak sore tadi. "Pokoknya aku mau diet. Aku pengen kurus supaya Mas Abi bisa cinta sama aku!" monolog Hanifa dengan penuh tekad. Walau sejujurnya, makanan di atas meja sangat menggugah selera. Tapi, Hanifa sedang berusaha keras untuk menahan keinginannya. Waktu semakin larut, sementara perut Hanifa semakin keroncongan. Namun, dia tetap berusaha untuk menahan diri supaya tak tergoda dengan makanan.Pada akhirnya, Hanifa memilih untuk masuk ke dalam kamar dengan memegangi perutnya yang terasa perih. "Mas Abi, aku bakal berusaha untuk cantik. Tapi, aku bingung, dia sudah bilang talak tiga ke aku. Kita ini sekarang apa? Masih suami istri atau sudah bukan?"Di tengah malam yang sunyi ini, Hanifa kembali menangis, meratapi
Hanifa baru saja keluar dari kantor penggadaian dengan membawa segepok uang dari hasil menggadaikan kalung emas yang beratnya puluhan gram. Kalung yang pernah diberikan oleh almarhum Kakek Abimana terpaksa dia gadaikan demi bisa berlangganan di tempat fitness. Dia juga ingin perawatan wajah dan seluruh permukaan kulit tubuhnya supaya bisa cantik."Kek, maafin Nifa, ya. Suatu saat nanti Nifa bakal tebus kembali kalung itu." Hanifa lekas menyimpan uang tersebut ke dalam tas. Setelahnya, ia gegas pergi ke tempat fitness baru itu. Untung saja pelayanan di sana sangat ramah dan justru begitu bersemangat untuk membantu Hanifa menurunkan berat badan, setelah mendengar keluh kesal gadis itu. Terlebih lagi, Hanifa akan dilatih secara langsung oleh si pemilik tempat tersebut yang tampangnya sangat rupawan."Mbak Hanifa mulai besok bisa datang ke sini. Saya akan bimbing Mbak sampai punya berat badan ideal. Itu janji saya!" Lelaki tampan yang bernama Respati itu sama sekali tidak ilfeel ketika
"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa. "Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—""Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati. Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti. "Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"P
Hanifa sengaja mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Abimana dan Widya. Gadis itu sekarang ini sedang membantu Kusuma untuk menangani dua pasiennya. Sebab, bukan hanya Widya yang akan menjalani perawatan, tapi juga Abimana yang dipaksa oleh si calon untuk menjalani perawatan wajah."Mbak, tolong buat wajah saya makin kinclong, ya. Supaya calon istri saya makin kesemsem sama saya!" ujar Abimana yang kini sudah berbaring di tempat ketika Hanifa sedang menutup tirai pembatas antara Abimana dan Widya.Gadis itu sama sekali tak bersuara dan memilih mengangguk saja. Dia tak ingin Abimana mengenali suaranya.Entahlah, kebetulan macam apa ini? Niat hati hanya ingin bekerja dengan tentram, tapi dia harus kembali berhadapan dengan Abimana. Walau begitu, Hanifa berusaha keras untuk tetap profesional. Bagaimana pun juga, dia sedang bekerja dan harus mengesampingkan masalah pribadi. Toh juga antara dirinya dan Abimana sebentar lagi akan benar-benar berakhir."Tangan Mbak lembut, tapi kenap
Abimana membawa Widya pulang ke kediaman orang tuanya. Ini dia lakukan supaya Widya tak banyak menguras uangnya. Bisa tekor dia nanti jika belum menikah saja, Widya sudah banyak maunya. Sudah dikasih perawatan gratis dari ujung rambut hingga kaki, tapi masih saja ingin tas mahal dan barang mewah lainnya. Sayangnya, sepertinya Abimana melupakan sesuatu. Mereka sudah janjian pada seseorang yang akan menghandle segala keperluan pernikahan. Widya dengan seenaknya bahkan memberitahukan orang tersebut supaya segera datang di kediaman calon mertuanya. Alhasil, belum ada setengah jam, rumah Santi sudah kedatangan tamu dan hal tersebut membuat Widya senang bukan kepalang. "Bisa tidak bahasnya nanti saja?" tanya Abimana yang masih belum terima jika uangnya akan kembali melayang."Nanti kapan, sih, Mas? Bentar lagi kita mau nikah loh ini. Tante nggak keberatan, kan?" tanya Widya meminta pendapat kepada Santi.Santi meneguk ludah dengan susah payah. Wanita paruh baya itu melirik ke arah sang
"Memangnya, Mas mau minta apa?" tanya Hanifa terlampau penasaran."Tetap di sisi saya walau tujuan kamu sudah berhasil tercapai. Maksud saya, kamu tetap boleh tinggal di rumah kontrakan dan bekerja di klinik adik saya. Jangan mencari tempat lain, kami sudah nyaman dengan kehadiranmu!"Sebenarnya, bukan ini yang hendak Respati utarakan. Hanya saja, mungkin moment-nya belum tepat. Dia tak mau jika Hanifa mulai menjauh jika sampai tau apa yang sebenarnya Respati rasakan. Dengan kata lain, lelaki itu memiliki perasaan lebih terhadap Hanifa. "Mas. Aku nggak mungkin pergi begitu saja setelah aku sudah bergantung penuh sama Mas. Mungkin nanti kalau semisal Mas Pati sudah berkeluarga, aku bakal pergi. Soalnya nggak enak sama istrinya Mas nanti!""Kenapa harus tidak enak kalau semisal kamu yang menjadi orangnya?" kekeh Respati yang seketika langsung gelagapan sendiri."Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa yang masih belum paham ketika diberi kode oleh lelaki gagah pemilik tempat fitness itu.Respati
"Dengan berat hati saya mengatakan jika warisan ini lima puluh persen akan jatuh di tangan Mbak Nifa. Lima puluh persennya lagi akan disumbangkan di panti asuhan!""Nggak bisa gitu, Pak! Enak saja main disumbangun ke panti. Apalagi mau dikasih ke si gembrot! Enak saja. Hidup cuma sekali, masa iya harta mertua saya jatuh di tangan orang asing? Nggak bisa gitu! Nggak sudi saya!" Santi langsung mengamuk di tempat.Beberapa orang bahkan sampai merekam aksi wanita paruh baya itu. Sedangkan Abimana sudah malu bukan main dengan tingkah sang ibu. Dia juga sebenarnya ingin mengamuk, tapi berusaha ditahan. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Bu Santi. Saya hanya menyampaikan wasiat almarhum!" Bapak pengacara dengan sabar menjelaskan.Hanya saja, Santi yang kepalang murka bahkan langsung menangis sesenggukan di sini. "Saya susah payah ngelahirin cucu untuk mertua. Kenapa justru orang lain yang akan mendapatkan warisan? Kenapa dunia tidak adil?" Abimana sampai menutup wajahnya menggunakan buku m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa