"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa.
"Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—"
"Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati.
Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.
Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti.
"Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"
Plak!
Tangan Hanifa sudah gatal dan langsung menampar pipi Abimana. Bahkan, tamparan itu sama sekali tak terasa karena memang tangan Hanifa sejak tadi sudah gemetar.
"Cukup, Mas! Kamu jahat. Aku bahkan masih terus menjaga kesucianku cuma buat kamu. Tapi, ini balasannya, Mas? Aku benci sama kamu. Kamu mau cerai, kan, sama aku? Oke, pulang dari sini, aku bakal tandatangani surat gugatan cerai dari kamu. Puas kamu, hah?" teriak Hanifa kepalang frustasi.
Gadis itu langsung berlari meninggalkan tempat acara dengan diikuti oleh Respati.
Di sisi lain, Abimana terdiam. Persis seperti orang linglung.
"Bagus. Sebentar lagi sampah itu akan pergi dari kehidupan kita, Abi!" ujar Santi yang sangat puas dengan semua ini.
"Itu artinya, bentar lagi aku bisa nikah sama Mas Abi, dong, Tan?" tanya Widya dengan centilnya.
"Sabar. Ngurus perceraian itu butuh waktu. Setidaknya kurang lebih enam bulan baru benar-benar selesai. Kalau kamu sama Abi memang kebelet, mending nikah siri saja. Kalau Abi sudah mengantongi akta cerai, baru kalian bisa urus pernikahan sah di mata hukum juga," balas Santi yang di balas dengusan oleh Widya.
***
Respati sudah mendengarkan semua cerita Hanifa yang ternyata hidupnya sangat miris. Lelaki itu semakin merasa iba. Namun, tekadnya juga semakin kuat untuk membantu gadis malang ini.
"Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Mas. Sebenarnya aku punya keluarga di kampung, tapi aku nggak mau ngerepotin mereka. Apalagi Paman sama Bibi bukan orang berada. Aku harus bertahan di sini apapun caranya!" Hanifa menunduk.
Gadis itu masih terpuruk. Berpisah dengan Abimana sama sekali tak ada di dalam kamus hidupnya. Hanya saja, jika terus menerus bertahan, dia tak yakin bisa menjaga kewarasan diri. Terlebih lagi, Abimana dengan tega menuduhnya menjual diri. Itu yang tidak bisa Hanifa toleransi.
"Keluar dari rumah itu. Tinggal di rumah kontrak milik saya. Mulai besok, kamu harus latihan dan harus semangat. Buktikan pada dunia kalau kamu bisa merubah hidupmu. Masalah biaya hidup, kamu bisa kerja paruh waktu di tempat adik saya. Kami harus keluar dari zona nyaman!" tegas Respati.
Hanifa mengangguk. Tekadnya sudah bulat. Dia harus merubah nasib supaya tidak ditindas terus menerus oleh orang lain.
Keesokan harinya, Hanifa menatap nanar surat gugatan cerai yang sudah dia tandatangani.
"Mas Abi. Kamu memang cinta pertamaku. Tapi, kamu juga luka terbesar dalam hidupku. Aku harap, kamu dapat balasan setimpal atas rasa sakitku selama ini. Nggak bakal ada perempuan tulus sama kamu kecuali aku!" monolog Hanifa seraya meletakkan surat gugatan cerai tersebut di atas nakas kamarnya.
Setelahnya, Hanifa benar-benar keluar dari rumah yang menyisakan banyak kenangan itu.
Hari demi hari telah berlalu. Tak terasa, bulan pun berganti. Hanifa sudah menjalani serangkaian persidangan walau tidak pernah bertemu dengan Abimana lantaran lelaki itu tak pernah hadir.
Hanifa berusaha untuk tetap tegar. Ia begitu semangat latihan dengan Respati sebagai pelatihnya.
"Mas. Aku nggak sanggup makan beginian. Hoek ...."
Ini bukan kali pertamanya Hanifa muntah lantaran makan rebusan. Biasanya dia lebih suka makanan cepat saji. Namun, sudah tiga bulan ini dia terus diberikan makanan sehat. Entah itu buah, atau sayuran dan umbi-umbian rebus.
"Ayo semangat. Makan rebusan itu sehat. Masa sudah tiga bulan belum juga terbiasa? Kamu pasti bisa. Mau, kan, timbangan turun lagi kayak sebelumnya?" tanya Respati memberikan dorongan pada Hanifa.
Sang empu mengangguk. Dia kembali bersemangat dan mulai menjajali alat olahraga. Hanifa juga rutin melakukan senam zumba. Di pagi hari dia akan lari pagi, setelahnya pergi ke tempat fitness milik Respati dan latihan di sana. Siangnya akan ikut kelas zumba. Sementara jam tiga sore sampai jam sembilan malam, Hanifa akan bekerja sebagai asisten pribadi adik dari Respati yang memiliki sebuah klinik kecantikan.
Kegiatan itu terus menerus Hanifa lakukan. Dia sangat berusaha keras untuk menyambung hidup sekaligus mewujudkan impiannya yaitu memiliki badan ideal.
"Minum dulu. Kalau capek jangan lupa rehat. Tubuh kamu bukan robot. Nanti juga kamu kudu kerja. Jangan lupa nyemil buah!" Respati memang sangat perhatian hingga membuat Hanifa sedikit melupakan rasa galaunya.
"Terima kasih, Mas. Berkat Mas dan keluarga Mas, aku bisa bertahan sejauh ini!"
"Tidak perlu berterima kasih. Anggap saja saya ini perantara supaya kamu bisa menjalani pola hidup sehat. Oh iya, kata adikku, jangan lupa terus rutin pakai skincare. Kulitmu sudah mulai bersih dari jerawat. Jangan lupa kalau gajian, ikut perawatan di klinik itu!"
Hanifa mengangguk bersemangat. Gadis itu kembali latihan sampai jam menunjukkan pukul setengah dua. Barulah dia pergi ke tempatnya bekerja.
Tubuh Hanifa sebenarnya lelah sekali, tapi dia sangat enjoy melakukan semuanya. Apalagi semakin ke sini, dia merasakan perubahan yang sangat pesat di tubuhnya. Lemak mulai hancur lebur dan perut buncitnya mulai menyusut.
"Hanifa, tolong bantu cekkan jadwal saya sampai nanti malam, ya. Setelah itu, bantu saya menangani pasien yang mau perawatan wajah, ya. Sekalian saya training kamu supaya bisa terjun langsung menangani pasien!" ujar wanita cantik bernama Kusuma. Dia adalah adik kandung dari Respati yang berprofesi sebagai dokter kecantikan.
"Apa tidak berlebihan, Mbak? Saya bahkan nggak sekolah tinggi—"
"Kamu itu cekatan orangnya. Punya bakat juga. Akhir bulan nanti saya traktir kamu ke salon, ya. Soalnya mau traktir kamu ke restoran takut Mas Pati marah. Dia, kan, posesif banget pada muridnya kalau sudah urusan makanan!" Kusuma terkekeh sementara Hanifa hanya tersenyum canggung.
Pada akhirnya, keduanya pun mulai mengerjakan bagian masing-masing dengan dibantu oleh beberapa karyawan Kusuma yang lainnya.
Sampai pada akhirnya, Hanifa melihat kedatangan Widya dan Abimana yang sedang mendaftar di tempat resepsionis.
"Saya mau perawatan seluruh tubuh supaya calon suami saya nanti bisa puas!"
"C-calon suami? Bahkan sidang terakhir saja belum dilaksanakan," lirih Hanifa.
Hanifa sengaja mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Abimana dan Widya. Gadis itu sekarang ini sedang membantu Kusuma untuk menangani dua pasiennya. Sebab, bukan hanya Widya yang akan menjalani perawatan, tapi juga Abimana yang dipaksa oleh si calon untuk menjalani perawatan wajah."Mbak, tolong buat wajah saya makin kinclong, ya. Supaya calon istri saya makin kesemsem sama saya!" ujar Abimana yang kini sudah berbaring di tempat ketika Hanifa sedang menutup tirai pembatas antara Abimana dan Widya.Gadis itu sama sekali tak bersuara dan memilih mengangguk saja. Dia tak ingin Abimana mengenali suaranya.Entahlah, kebetulan macam apa ini? Niat hati hanya ingin bekerja dengan tentram, tapi dia harus kembali berhadapan dengan Abimana. Walau begitu, Hanifa berusaha keras untuk tetap profesional. Bagaimana pun juga, dia sedang bekerja dan harus mengesampingkan masalah pribadi. Toh juga antara dirinya dan Abimana sebentar lagi akan benar-benar berakhir."Tangan Mbak lembut, tapi kenap
Abimana membawa Widya pulang ke kediaman orang tuanya. Ini dia lakukan supaya Widya tak banyak menguras uangnya. Bisa tekor dia nanti jika belum menikah saja, Widya sudah banyak maunya. Sudah dikasih perawatan gratis dari ujung rambut hingga kaki, tapi masih saja ingin tas mahal dan barang mewah lainnya. Sayangnya, sepertinya Abimana melupakan sesuatu. Mereka sudah janjian pada seseorang yang akan menghandle segala keperluan pernikahan. Widya dengan seenaknya bahkan memberitahukan orang tersebut supaya segera datang di kediaman calon mertuanya. Alhasil, belum ada setengah jam, rumah Santi sudah kedatangan tamu dan hal tersebut membuat Widya senang bukan kepalang. "Bisa tidak bahasnya nanti saja?" tanya Abimana yang masih belum terima jika uangnya akan kembali melayang."Nanti kapan, sih, Mas? Bentar lagi kita mau nikah loh ini. Tante nggak keberatan, kan?" tanya Widya meminta pendapat kepada Santi.Santi meneguk ludah dengan susah payah. Wanita paruh baya itu melirik ke arah sang
"Memangnya, Mas mau minta apa?" tanya Hanifa terlampau penasaran."Tetap di sisi saya walau tujuan kamu sudah berhasil tercapai. Maksud saya, kamu tetap boleh tinggal di rumah kontrakan dan bekerja di klinik adik saya. Jangan mencari tempat lain, kami sudah nyaman dengan kehadiranmu!"Sebenarnya, bukan ini yang hendak Respati utarakan. Hanya saja, mungkin moment-nya belum tepat. Dia tak mau jika Hanifa mulai menjauh jika sampai tau apa yang sebenarnya Respati rasakan. Dengan kata lain, lelaki itu memiliki perasaan lebih terhadap Hanifa. "Mas. Aku nggak mungkin pergi begitu saja setelah aku sudah bergantung penuh sama Mas. Mungkin nanti kalau semisal Mas Pati sudah berkeluarga, aku bakal pergi. Soalnya nggak enak sama istrinya Mas nanti!""Kenapa harus tidak enak kalau semisal kamu yang menjadi orangnya?" kekeh Respati yang seketika langsung gelagapan sendiri."Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa yang masih belum paham ketika diberi kode oleh lelaki gagah pemilik tempat fitness itu.Respati
"Dengan berat hati saya mengatakan jika warisan ini lima puluh persen akan jatuh di tangan Mbak Nifa. Lima puluh persennya lagi akan disumbangkan di panti asuhan!""Nggak bisa gitu, Pak! Enak saja main disumbangun ke panti. Apalagi mau dikasih ke si gembrot! Enak saja. Hidup cuma sekali, masa iya harta mertua saya jatuh di tangan orang asing? Nggak bisa gitu! Nggak sudi saya!" Santi langsung mengamuk di tempat.Beberapa orang bahkan sampai merekam aksi wanita paruh baya itu. Sedangkan Abimana sudah malu bukan main dengan tingkah sang ibu. Dia juga sebenarnya ingin mengamuk, tapi berusaha ditahan. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Bu Santi. Saya hanya menyampaikan wasiat almarhum!" Bapak pengacara dengan sabar menjelaskan.Hanya saja, Santi yang kepalang murka bahkan langsung menangis sesenggukan di sini. "Saya susah payah ngelahirin cucu untuk mertua. Kenapa justru orang lain yang akan mendapatkan warisan? Kenapa dunia tidak adil?" Abimana sampai menutup wajahnya menggunakan buku m
"Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa dengan jantung yang berdebar hebat.Sebenarnya, gadis itu tau apa yang di maksud oleh Respati. Hanya saja, dia berusaha keras untuk menyangkal, walau sejujurnya dia juga sudah merasa sangat nyaman dengan semua ini.Namun, perlu diingat, Hanifa masih menyimpan nama Abimana di hatinya lantaran lelaki itu adalah cinta pertamanya. Melupakan masa lalu bukanlah hal yang gampang. Terlebih lagi, masa lalu menyakitkan yang pernah dia dapat dari mantan suaminya. Ibarat, cinta itu masih ada, walau hanya tersisa secuil di relung hati. Mungkin seiring berjalannya waktu, cinta itu akan menghilang. "Saya cin—"Ting!Respati memejamkan mata sejenak. Sedetik lagi dia bisa mengungkapkan rasa cintanya pada Hanifa, tapi bunyi notif ponselnya menghentikan semuanya. Ia pun menghela napas dan mulai membuka ponsel."Nifa. Saya harus pulang. Ada sesuatu yang harus saya urus. Saya pamit dulu, ya. Jangan lupa dibuka hadiah dari Ibu saya!" pamit Respati. Lelaki itu bahkan menyem
"Ma. Mama. Aku pusing, Ma. Ini gimana?" teriak Abimana yang kini sudah memasuki pekarangan rumah kedua orang tuanya.Santi yang mendengar teriakan sang anak pun gegas keluar rumah seraya berkacak pinggang. Sebal sekali rasanya ketika terus menerus direcoki oleh Abimana."Kamu kenapa, sih? Jangan bikin malu, ah! Nggak enak didengar tetangga. Kalau ada masalah yang mau dibicarakan, masuk rumah!" hardik Santi seraya menatap tajam ke arah sang anak.Abimana pun langsung masuk ke dalam rumah dengan wajah kusutnya. Entahlah, akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa calon duda itu. Hidupnya seolah tak tenang dan semuanya berantakan.Jika bukan karena harta warisan sialan itu, sudah pasti Abimana tak akan seperti ini."Aku capek, Ma!" keluh Abimana yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. "Kalau capek, ya, istirahat. Widya mana?" tanya Santi celingukan ketika tak melihat keberadaan calon menantu cantiknya. "Widya marah sama aku karena izin rujuk sama Hanifa. Mau di ajak nik
Abimana terpaksa mengeluarkan banyak uang demi membelikan kalung emas seberat 10 gram untuk Widya. Saldo ATM miliknya semakin menipis. Apalagi, bulan ini dia bahkan sudah tak mendapatkan gaji dari kantor lantaran terlalu banyak libur. "Nggak usah cemberut gitu wajahnya. Emas bisa buat investasi, Mas. Kamu baru beli emas 10 gram saja mukanya sudah ngenes. Nanti juga aku bakal minta mahar jauh lebih gede dari ini!" celoteh Widya seraya mengusap lembut kalung yang sudah melingkar di lehernya.Wanita itu bahkan sampai mengikat rambutnya yang semula tergerai. Dia hanya ingin pamer pada Hanifa ketika sudah sampai di kantor pengadilan.Wajah Santi sejak tadi sudah sepet bukan main. Wanita paruh baya itu tentu merasa iri. Dia juga ingin dibelikan kalung oleh anaknya."Abi. Harusnya tadi beli dua. Mama juga mau!" bisik Santi, tapi di abaikan oleh Abimana.Beli satu kalung seberat 10 gram saja sudah membuat kantongnya semakin menipis. Apalagi jika membeli dua? Bisa habis total tabungan Abimana
Tiga kali ketuk palu menandakan berakhirnya pernikahan antara Hanifa dan Abimana. Wajah semua orang yang ada di sana menunjukkan reaksi berbeda. Ada yang senang dengan hasil akhirnya. Ada pula yang merasa panas dan tak terima. Hanifa menitikkan air mata. Bukan air mata kepedihan, melainkan air mata bahagia lantaran dia sudah sampai di titik ini. Sudah sepenuhnya terlepas dari lelaki toxic seperti Abimana. Wanita itu bangkit dan berjalan mendekat ke arah Respati dan Kusuma yang memang sejak awal sudah menemaninya sejauh ini. "Terima kasih, Mas. Karena Mas dan keluarga, aku bisa sekuat ini," bisik Hanifa yang tak sungkan memeluk Respati di ruang persidangan."Foto dulu dong. Tunjukkan pada dunia kalau kamu sekarang ini janda perawan!" ujar Kusuma membuat pelukan antara saudara lelakinya dan Hanifa pun terlepas.Hanifa bahkan sudah mengantongi akta cerai. Dia sengaja menggandeng mesra lengan kekar Respati dan keduanya tersenyum di depan kamera.Lain halnya dengan Hanifa yang berbahagi
"Aduh, menantu Mama kok tambah cantik, sih?" Hanifa dan Respati baru saja pulang langsung di hadang oleh Anisa. Wanita paruh baya itu sangat terkesima dengan penampilan baru sang menantu. Wajahnya semakin cantik dengan warna rambut yang dirubah menjadi sedikit kecoklatan. "Cocok, tidak, Ma?" Bukan Hanifa yang bertanya melainkan Respati. Jika boleh jujur, lelaki itu rasanya semakin tergila-gila dengan kecantikan sang istri yang paripurna. Dia sama sekali tak bisa melirik ke arah wanita lain lantaran istrinya sendiri saja sudah sangat menggoda seperti ini. Berkat bantuan Kusuma, Hanifa benar-benar bisa merawat diri dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya sangat mulus. "Cocok sekali. Pokoknya kalau Nifa mau pergi ke luar, kamu sebagai suami harus ikut. Jangan sampai lelaki di luaran sana kepincut sama kecantikan menantu Mama!"Hanifa tersipu malu. Suami dan mertuanya ini sangat berlebihan dalam memuji dirinya. "Sudah, jangan dipuji lagi, Ma. Nanti aku besar kepala, loh. Ini
Hanifa keluar lebih dulu dan berjalan santai menuju ruang tunggu untuk menunggu kedatangan sang suami yang mungkin sebentar lagi akan sampai. Semerbak aroma harum dari tubuh Hanifa rupanya membuat fokus pria paruh baya yang tak lain adalah Bowo, pun mulai menoleh dan mendapati sosok wanita cantik yang sedang duduk di ujung. Bowo bahkan sampai membasahi bibir bawahnya ketika melihat pemandangan yang begitu sayang untuk di lewatkan. Namun, pria paruh baya itu merasa sangat familiar dengan wajah cantik itu. Seolah tak asing untuk dirinya. "Cantik. Sudah melakukan biaya administrasi?"Hanifa terkejut bukan main dan sontak saja menoleh. Tangannya mengarah pada dirinya sendiri seolah bertanya apakah dia yang sedang di ajak bicara atau bukan?"Iya kamu. Kalau belum, Om bisa bayarkan sekalian Om bayar punya teman Om! Bagaimana?" tawar Bowo dengan tatapan laparnya.Hanifa sampai bergidik ngeri. Dia tak menyangka jika mantan Papa mertuanya punya saudara yang menjijikkan seperti ini. "Om lup
Sesuai janji yang pernah di ucapkan oleh Respati atas usulan Anisa, lelaki itu membawa sang istri ke klinik kecantikan milik Kusuma. Jika dulu Hanifa bekerja di sini, maka sekarang wanita itu akan menikmati segala fasilitas di klinik tanpa menunggu traktiran dari mantan bosnya (Kusuma)"Mau ditunggu atau Mas boleh pergi sebentar?" tanya Respati pada sang istri.Hanifa tersenyum geli. Dia tak akan membiarkan suaminya sibuk menunggu dirinya yang perawatan. Sudah pasti akan memerlukan waktu yang cukup lama. "Kamu pergi saja, Mas, kalau memang ada kerjaan atau urusan apapun. Nanti kalau aku sudah selesai bisa kamu jemput, atau naik taksi juga boleh!" "Jangan naik taksi! Mas akan jemput kamu. Nanti kabari saja, ya, Sayang!" Hanifa mengangguk seraya memejamkan mata ketika Respati memberikan kecupan di kening. Setelahnya, Respati langsung pergi dari klinik tersebut dan membiarkan sang istri melakukan serangkaian perawatan. Hari ini Kusuma tidak datang ke klinik, tapi sudah mengabari pad
Widya dengan terpaksa mengikuti langkah Abimana yang tengah mendekat ke arah penjual es teh di pinggir jalan. Wanita itu menatap jijik dan merasa tak nyaman."Pak. Es tehnya 1, ya!" ujar Abimana yang dibalas senyuman oleh penjual tersebut. Lelaki itu melirik ke arah Widya yang sudah merengut tak suka. Dia cukup paham jika gaya hidup kekasihnya ini sangat hedon. Bukan hanya dalam segi penampilan, tapi juga dengan makanan yang maunya makanan enak dan mahal. "Ini Mas pesanannya. Mbaknya tidak sekalian minum?" tanya penjual tersebut yang seketika membuat Widya mendelik."Maaf, ya, Pak. Saya anti minum minuman di pinggir jalan kayak gini!" balas Widya dengan angkuh.Untung saja si penjual sama sekali tak merasa tersinggung dan hanya menanggapi dengan senyuman teduh. "Harganya berapa, Pak?" tanya Abimana kalem."Lima ribu, Mas!"Abimana pun mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu yang tadi dia minta dari Widya. "Kembaliannya ambil saja, Pak!""Terima kasih, Mas. Semoga rezeki Mas meli
Di tengah kesunyian malam, kedua insan itu masih sibuk dengan kegiatan panasnya. Sang istri hanya bisa mengeluarkan suara merdunya sementara sang suami masih berpacu dan bergerak dengan liar."Mas. Aku capek ...," cicit Hanifa seraya mencengkram kuat bahu sang suami yang masih dengan gagahnya bergerak di atas tubuhnya seolah stamina dari lelaki itu tiada habisnya. "Sebentar, Sayang. Sebentar lagi Mas akan keluar!" bisik sang suami seraya melabuhkan beberapa kecupan hangat di kening dan leher. Hanifa hanya bisa pasrah menuruti segala kemauan sang suami. Wanita itu lelah, bahkan sangat lelah. Ingatkan besok untuk memberikan jeweran panas di telinga sang suami."Mas. Aku mau sampai!" jerit Hanifa yang berakhir terisak hebat. Dia tak kuat menerima serangan demi serangan kenikmatan dari sang suami. "Tahan sebentar. Kita keluar bersama!" tekan Respati membuat Hanifa geleng-geleng kepala.Hanya hitungan detik, mereka kembali mendapatkan pelepasan yang beradu menjadi satu, hingga kegelapan
Di sinilah kedua insan itu berada, di atas kapal layar yang sedang menyusuri sungai Seine. Respati sengaja membawa sang istri ke tempat yang tak kalah romantis ini supaya suasana hati Hanifa kembali membaik setelah tadi mengaku cemburu. Hanifa bahkan sudah melupakan rasa cemburunya tadi dan kini terus tersenyum memandang hamparan sungai tersebut dengan perasaan penuh haru. "Bagaimana perasaannya? Apa masih marah sama Mas?" tanya Respati penasaran dan dibalas gelengan oleh Hanifa. "Aku sayang kamu. Maaf kalau tingkahku tadi sangat kekanakan. Padahal niat kamu baik, Mas!" Hanifa menatap sendu ke arah suaminya yang kini hanya mengenakan kaos hitam saja, lantaran jaket besar lelaki itu sudah menutupi tubuhnya.Respati terkekeh dan tak lupa melabuhkan kecupan manis di pipi sang istri. Setelahnya, mereka duduk dengan posisi sang suami yang sedang mengukung tubuh istrinya dari belakang. "Mas justru suka kalau kamu seperti itu. Itu artinya, kamu cemburu!" bisik lelaki itu yang sejujurnya
Baru saja membuka pintu balkon, keduanya sudah disuguhi dengan pemandangan menara eiffel yang begitu memanjakan mata. Hanifa tersenyum sumringah seraya merentangkan tangan menikmati semilir angin yang berhembus di pagi hari. Respati yang tadinya berada di samping, kini langsung berpindah ke belakang tubuh sang istri. Memeluk wanitanya dengan begitu erat. Sang empu yang mendapat serangan mendadak pun justru memilih untuk menyenderkan tubuhnya di pundak sang suami."Mas. Aku bahagia, terima kasih banyak. Sekalinya ke luar negeri, aku bisa mengunjungi tempat indah seperti ini. Apalagi saat di Maldives lalu. Semuanya sangat indah." Suara Hanifa mendayu membuat Respati tersenyum lebar. "Tidak perlu berterima kasih. Sebisa mungkin Mas akan buat kamu bahagia, Sayang!" bisik lelaki itu seraya memberikan beberapa kecupan di pipi sang istri. Keduanya sama-sama menikmati moment indah lewat balkon hotel yang harga sewanya sangat fantasy. Beberapa saat kemudian, Respati dan Hanifa sudah siap
Hanifa sudah melupakan semua rasa sesak di dada ketika mengingat semua tentang kedua orang tuanya yang dengan tega membiarkan dia sendirian sejak kecil. Bahkan, wajah keduanya saja sudah wanita itu lupakan sejak lama.Sekarang, waktunya bersenang-senang untuk menikmati bulan madu dengan sang suami. Malam ini pun Hanifa berniat untuk menyenangkan sang suami. Wanita itu sudah berada di dalam kamar mandi dengan membawa satu set lingerie pemberian dari Kusuma. Lingerie kali ini ia pilih warna hitam. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang lumayan putih untuk ukuran orang Indonesia yang kebanyakan berkulit kuning langsat. Mungkin juga karena dia selalu rutin perawatan selama proses perceraiannya dulu sampai sekarang ini. "Dek. Masih lama di dalam kamar? Nanti masuk angin, loh!" Suara Respati menggema seraya tangannya sibuk mengetuk pintu kamar mandi.Lihatlah, hal sekecil ini saja Respati sudah bisa membuat Hanifa tersenyum cerah. Lelaki itu selalu bisa membuat jantung istrinya berdeta
Hanifa beberapa kali menghela napas ketika melihat pantulan dirinya di cermin. Sebentar lagi ia dan sang suami akan pergi ke tepi pantai dan outfit yang ia kenakan justru long dress berlengan panjang pilihan Respati. "Kenapa mukanya cemberut begitu, hm? Sudah cantik begini juga!" Respati datang dan langsung merengkuh erat tubuh Hanifa dari belakang. Lelaki itu mengamati penampilan sang istri yang menurutnya sangat cantik. "Masa mau ke pantai pakai kayak gini, Mas? Kayak mau ke kondangan saja pakai long dress!" gerutu Hanifa. Jangan lupakan, bibir wanita itu sudah merengut.Respati menghela napas. Lelaki itu lekas membalikkan tubuh sang istri hingga kini keduanya saling berhadapan. "Lihat Mas!"Hanifa yang merajuk bahkan justru menoleh ke arah samping. Enggan sekali untuk melihat wajah suaminya yang menurutnya sanga menyebalkan. "Sayang, lihat Mas dulu sini!" Respati memegang dagu sang istri hingga wajah cantik itu ia tolehkan dengan amat hati-hati supaya menatap ke arahnya. "Denga