"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa.
"Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—"
"Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati.
Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.
Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti.
"Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"
Plak!
Tangan Hanifa sudah gatal dan langsung menampar pipi Abimana. Bahkan, tamparan itu sama sekali tak terasa karena memang tangan Hanifa sejak tadi sudah gemetar.
"Cukup, Mas! Kamu jahat. Aku bahkan masih terus menjaga kesucianku cuma buat kamu. Tapi, ini balasannya, Mas? Aku benci sama kamu. Kamu mau cerai, kan, sama aku? Oke, pulang dari sini, aku bakal tandatangani surat gugatan cerai dari kamu. Puas kamu, hah?" teriak Hanifa kepalang frustasi.
Gadis itu langsung berlari meninggalkan tempat acara dengan diikuti oleh Respati.
Di sisi lain, Abimana terdiam. Persis seperti orang linglung.
"Bagus. Sebentar lagi sampah itu akan pergi dari kehidupan kita, Abi!" ujar Santi yang sangat puas dengan semua ini.
"Itu artinya, bentar lagi aku bisa nikah sama Mas Abi, dong, Tan?" tanya Widya dengan centilnya.
"Sabar. Ngurus perceraian itu butuh waktu. Setidaknya kurang lebih enam bulan baru benar-benar selesai. Kalau kamu sama Abi memang kebelet, mending nikah siri saja. Kalau Abi sudah mengantongi akta cerai, baru kalian bisa urus pernikahan sah di mata hukum juga," balas Santi yang di balas dengusan oleh Widya.
***
Respati sudah mendengarkan semua cerita Hanifa yang ternyata hidupnya sangat miris. Lelaki itu semakin merasa iba. Namun, tekadnya juga semakin kuat untuk membantu gadis malang ini.
"Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Mas. Sebenarnya aku punya keluarga di kampung, tapi aku nggak mau ngerepotin mereka. Apalagi Paman sama Bibi bukan orang berada. Aku harus bertahan di sini apapun caranya!" Hanifa menunduk.
Gadis itu masih terpuruk. Berpisah dengan Abimana sama sekali tak ada di dalam kamus hidupnya. Hanya saja, jika terus menerus bertahan, dia tak yakin bisa menjaga kewarasan diri. Terlebih lagi, Abimana dengan tega menuduhnya menjual diri. Itu yang tidak bisa Hanifa toleransi.
"Keluar dari rumah itu. Tinggal di rumah kontrak milik saya. Mulai besok, kamu harus latihan dan harus semangat. Buktikan pada dunia kalau kamu bisa merubah hidupmu. Masalah biaya hidup, kamu bisa kerja paruh waktu di tempat adik saya. Kami harus keluar dari zona nyaman!" tegas Respati.
Hanifa mengangguk. Tekadnya sudah bulat. Dia harus merubah nasib supaya tidak ditindas terus menerus oleh orang lain.
Keesokan harinya, Hanifa menatap nanar surat gugatan cerai yang sudah dia tandatangani.
"Mas Abi. Kamu memang cinta pertamaku. Tapi, kamu juga luka terbesar dalam hidupku. Aku harap, kamu dapat balasan setimpal atas rasa sakitku selama ini. Nggak bakal ada perempuan tulus sama kamu kecuali aku!" monolog Hanifa seraya meletakkan surat gugatan cerai tersebut di atas nakas kamarnya.
Setelahnya, Hanifa benar-benar keluar dari rumah yang menyisakan banyak kenangan itu.
Hari demi hari telah berlalu. Tak terasa, bulan pun berganti. Hanifa sudah menjalani serangkaian persidangan walau tidak pernah bertemu dengan Abimana lantaran lelaki itu tak pernah hadir.
Hanifa berusaha untuk tetap tegar. Ia begitu semangat latihan dengan Respati sebagai pelatihnya.
"Mas. Aku nggak sanggup makan beginian. Hoek ...."
Ini bukan kali pertamanya Hanifa muntah lantaran makan rebusan. Biasanya dia lebih suka makanan cepat saji. Namun, sudah tiga bulan ini dia terus diberikan makanan sehat. Entah itu buah, atau sayuran dan umbi-umbian rebus.
"Ayo semangat. Makan rebusan itu sehat. Masa sudah tiga bulan belum juga terbiasa? Kamu pasti bisa. Mau, kan, timbangan turun lagi kayak sebelumnya?" tanya Respati memberikan dorongan pada Hanifa.
Sang empu mengangguk. Dia kembali bersemangat dan mulai menjajali alat olahraga. Hanifa juga rutin melakukan senam zumba. Di pagi hari dia akan lari pagi, setelahnya pergi ke tempat fitness milik Respati dan latihan di sana. Siangnya akan ikut kelas zumba. Sementara jam tiga sore sampai jam sembilan malam, Hanifa akan bekerja sebagai asisten pribadi adik dari Respati yang memiliki sebuah klinik kecantikan.
Kegiatan itu terus menerus Hanifa lakukan. Dia sangat berusaha keras untuk menyambung hidup sekaligus mewujudkan impiannya yaitu memiliki badan ideal.
"Minum dulu. Kalau capek jangan lupa rehat. Tubuh kamu bukan robot. Nanti juga kamu kudu kerja. Jangan lupa nyemil buah!" Respati memang sangat perhatian hingga membuat Hanifa sedikit melupakan rasa galaunya.
"Terima kasih, Mas. Berkat Mas dan keluarga Mas, aku bisa bertahan sejauh ini!"
"Tidak perlu berterima kasih. Anggap saja saya ini perantara supaya kamu bisa menjalani pola hidup sehat. Oh iya, kata adikku, jangan lupa terus rutin pakai skincare. Kulitmu sudah mulai bersih dari jerawat. Jangan lupa kalau gajian, ikut perawatan di klinik itu!"
Hanifa mengangguk bersemangat. Gadis itu kembali latihan sampai jam menunjukkan pukul setengah dua. Barulah dia pergi ke tempatnya bekerja.
Tubuh Hanifa sebenarnya lelah sekali, tapi dia sangat enjoy melakukan semuanya. Apalagi semakin ke sini, dia merasakan perubahan yang sangat pesat di tubuhnya. Lemak mulai hancur lebur dan perut buncitnya mulai menyusut.
"Hanifa, tolong bantu cekkan jadwal saya sampai nanti malam, ya. Setelah itu, bantu saya menangani pasien yang mau perawatan wajah, ya. Sekalian saya training kamu supaya bisa terjun langsung menangani pasien!" ujar wanita cantik bernama Kusuma. Dia adalah adik kandung dari Respati yang berprofesi sebagai dokter kecantikan.
"Apa tidak berlebihan, Mbak? Saya bahkan nggak sekolah tinggi—"
"Kamu itu cekatan orangnya. Punya bakat juga. Akhir bulan nanti saya traktir kamu ke salon, ya. Soalnya mau traktir kamu ke restoran takut Mas Pati marah. Dia, kan, posesif banget pada muridnya kalau sudah urusan makanan!" Kusuma terkekeh sementara Hanifa hanya tersenyum canggung.
Pada akhirnya, keduanya pun mulai mengerjakan bagian masing-masing dengan dibantu oleh beberapa karyawan Kusuma yang lainnya.
Sampai pada akhirnya, Hanifa melihat kedatangan Widya dan Abimana yang sedang mendaftar di tempat resepsionis.
"Saya mau perawatan seluruh tubuh supaya calon suami saya nanti bisa puas!"
"C-calon suami? Bahkan sidang terakhir saja belum dilaksanakan," lirih Hanifa.
Hanifa sengaja mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Abimana dan Widya. Gadis itu sekarang ini sedang membantu Kusuma untuk menangani dua pasiennya. Sebab, bukan hanya Widya yang akan menjalani perawatan, tapi juga Abimana yang dipaksa oleh si calon untuk menjalani perawatan wajah."Mbak, tolong buat wajah saya makin kinclong, ya. Supaya calon istri saya makin kesemsem sama saya!" ujar Abimana yang kini sudah berbaring di tempat ketika Hanifa sedang menutup tirai pembatas antara Abimana dan Widya.Gadis itu sama sekali tak bersuara dan memilih mengangguk saja. Dia tak ingin Abimana mengenali suaranya.Entahlah, kebetulan macam apa ini? Niat hati hanya ingin bekerja dengan tentram, tapi dia harus kembali berhadapan dengan Abimana. Walau begitu, Hanifa berusaha keras untuk tetap profesional. Bagaimana pun juga, dia sedang bekerja dan harus mengesampingkan masalah pribadi. Toh juga antara dirinya dan Abimana sebentar lagi akan benar-benar berakhir."Tangan Mbak lembut, tapi kenap
Abimana membawa Widya pulang ke kediaman orang tuanya. Ini dia lakukan supaya Widya tak banyak menguras uangnya. Bisa tekor dia nanti jika belum menikah saja, Widya sudah banyak maunya. Sudah dikasih perawatan gratis dari ujung rambut hingga kaki, tapi masih saja ingin tas mahal dan barang mewah lainnya. Sayangnya, sepertinya Abimana melupakan sesuatu. Mereka sudah janjian pada seseorang yang akan menghandle segala keperluan pernikahan. Widya dengan seenaknya bahkan memberitahukan orang tersebut supaya segera datang di kediaman calon mertuanya. Alhasil, belum ada setengah jam, rumah Santi sudah kedatangan tamu dan hal tersebut membuat Widya senang bukan kepalang. "Bisa tidak bahasnya nanti saja?" tanya Abimana yang masih belum terima jika uangnya akan kembali melayang."Nanti kapan, sih, Mas? Bentar lagi kita mau nikah loh ini. Tante nggak keberatan, kan?" tanya Widya meminta pendapat kepada Santi.Santi meneguk ludah dengan susah payah. Wanita paruh baya itu melirik ke arah sang
"Memangnya, Mas mau minta apa?" tanya Hanifa terlampau penasaran."Tetap di sisi saya walau tujuan kamu sudah berhasil tercapai. Maksud saya, kamu tetap boleh tinggal di rumah kontrakan dan bekerja di klinik adik saya. Jangan mencari tempat lain, kami sudah nyaman dengan kehadiranmu!"Sebenarnya, bukan ini yang hendak Respati utarakan. Hanya saja, mungkin moment-nya belum tepat. Dia tak mau jika Hanifa mulai menjauh jika sampai tau apa yang sebenarnya Respati rasakan. Dengan kata lain, lelaki itu memiliki perasaan lebih terhadap Hanifa. "Mas. Aku nggak mungkin pergi begitu saja setelah aku sudah bergantung penuh sama Mas. Mungkin nanti kalau semisal Mas Pati sudah berkeluarga, aku bakal pergi. Soalnya nggak enak sama istrinya Mas nanti!""Kenapa harus tidak enak kalau semisal kamu yang menjadi orangnya?" kekeh Respati yang seketika langsung gelagapan sendiri."Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa yang masih belum paham ketika diberi kode oleh lelaki gagah pemilik tempat fitness itu.Respati
"Dengan berat hati saya mengatakan jika warisan ini lima puluh persen akan jatuh di tangan Mbak Nifa. Lima puluh persennya lagi akan disumbangkan di panti asuhan!""Nggak bisa gitu, Pak! Enak saja main disumbangun ke panti. Apalagi mau dikasih ke si gembrot! Enak saja. Hidup cuma sekali, masa iya harta mertua saya jatuh di tangan orang asing? Nggak bisa gitu! Nggak sudi saya!" Santi langsung mengamuk di tempat.Beberapa orang bahkan sampai merekam aksi wanita paruh baya itu. Sedangkan Abimana sudah malu bukan main dengan tingkah sang ibu. Dia juga sebenarnya ingin mengamuk, tapi berusaha ditahan. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Bu Santi. Saya hanya menyampaikan wasiat almarhum!" Bapak pengacara dengan sabar menjelaskan.Hanya saja, Santi yang kepalang murka bahkan langsung menangis sesenggukan di sini. "Saya susah payah ngelahirin cucu untuk mertua. Kenapa justru orang lain yang akan mendapatkan warisan? Kenapa dunia tidak adil?" Abimana sampai menutup wajahnya menggunakan buku m
"Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa dengan jantung yang berdebar hebat.Sebenarnya, gadis itu tau apa yang di maksud oleh Respati. Hanya saja, dia berusaha keras untuk menyangkal, walau sejujurnya dia juga sudah merasa sangat nyaman dengan semua ini.Namun, perlu diingat, Hanifa masih menyimpan nama Abimana di hatinya lantaran lelaki itu adalah cinta pertamanya. Melupakan masa lalu bukanlah hal yang gampang. Terlebih lagi, masa lalu menyakitkan yang pernah dia dapat dari mantan suaminya. Ibarat, cinta itu masih ada, walau hanya tersisa secuil di relung hati. Mungkin seiring berjalannya waktu, cinta itu akan menghilang. "Saya cin—"Ting!Respati memejamkan mata sejenak. Sedetik lagi dia bisa mengungkapkan rasa cintanya pada Hanifa, tapi bunyi notif ponselnya menghentikan semuanya. Ia pun menghela napas dan mulai membuka ponsel."Nifa. Saya harus pulang. Ada sesuatu yang harus saya urus. Saya pamit dulu, ya. Jangan lupa dibuka hadiah dari Ibu saya!" pamit Respati. Lelaki itu bahkan menyem
"Ma. Mama. Aku pusing, Ma. Ini gimana?" teriak Abimana yang kini sudah memasuki pekarangan rumah kedua orang tuanya.Santi yang mendengar teriakan sang anak pun gegas keluar rumah seraya berkacak pinggang. Sebal sekali rasanya ketika terus menerus direcoki oleh Abimana."Kamu kenapa, sih? Jangan bikin malu, ah! Nggak enak didengar tetangga. Kalau ada masalah yang mau dibicarakan, masuk rumah!" hardik Santi seraya menatap tajam ke arah sang anak.Abimana pun langsung masuk ke dalam rumah dengan wajah kusutnya. Entahlah, akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa calon duda itu. Hidupnya seolah tak tenang dan semuanya berantakan.Jika bukan karena harta warisan sialan itu, sudah pasti Abimana tak akan seperti ini."Aku capek, Ma!" keluh Abimana yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. "Kalau capek, ya, istirahat. Widya mana?" tanya Santi celingukan ketika tak melihat keberadaan calon menantu cantiknya. "Widya marah sama aku karena izin rujuk sama Hanifa. Mau di ajak nik
Abimana terpaksa mengeluarkan banyak uang demi membelikan kalung emas seberat 10 gram untuk Widya. Saldo ATM miliknya semakin menipis. Apalagi, bulan ini dia bahkan sudah tak mendapatkan gaji dari kantor lantaran terlalu banyak libur. "Nggak usah cemberut gitu wajahnya. Emas bisa buat investasi, Mas. Kamu baru beli emas 10 gram saja mukanya sudah ngenes. Nanti juga aku bakal minta mahar jauh lebih gede dari ini!" celoteh Widya seraya mengusap lembut kalung yang sudah melingkar di lehernya.Wanita itu bahkan sampai mengikat rambutnya yang semula tergerai. Dia hanya ingin pamer pada Hanifa ketika sudah sampai di kantor pengadilan.Wajah Santi sejak tadi sudah sepet bukan main. Wanita paruh baya itu tentu merasa iri. Dia juga ingin dibelikan kalung oleh anaknya."Abi. Harusnya tadi beli dua. Mama juga mau!" bisik Santi, tapi di abaikan oleh Abimana.Beli satu kalung seberat 10 gram saja sudah membuat kantongnya semakin menipis. Apalagi jika membeli dua? Bisa habis total tabungan Abimana
Tiga kali ketuk palu menandakan berakhirnya pernikahan antara Hanifa dan Abimana. Wajah semua orang yang ada di sana menunjukkan reaksi berbeda. Ada yang senang dengan hasil akhirnya. Ada pula yang merasa panas dan tak terima. Hanifa menitikkan air mata. Bukan air mata kepedihan, melainkan air mata bahagia lantaran dia sudah sampai di titik ini. Sudah sepenuhnya terlepas dari lelaki toxic seperti Abimana. Wanita itu bangkit dan berjalan mendekat ke arah Respati dan Kusuma yang memang sejak awal sudah menemaninya sejauh ini. "Terima kasih, Mas. Karena Mas dan keluarga, aku bisa sekuat ini," bisik Hanifa yang tak sungkan memeluk Respati di ruang persidangan."Foto dulu dong. Tunjukkan pada dunia kalau kamu sekarang ini janda perawan!" ujar Kusuma membuat pelukan antara saudara lelakinya dan Hanifa pun terlepas.Hanifa bahkan sudah mengantongi akta cerai. Dia sengaja menggandeng mesra lengan kekar Respati dan keduanya tersenyum di depan kamera.Lain halnya dengan Hanifa yang berbahagi
"Loh, ngapain kamu ke situ? Itu loh punya calon istrinya Mas Pati. Dengan kata lain, suatu saat nanti itu punya saya, Delina Nugraha!" tegas wanita itu yang ternyata namanya Delina Nugraha. Pergerakan tangan Hanifa yang ingin membuka pintu kontrakan pun sontak saja terhenti. Ia menatap malas ke arah penghuni baru yang sialnya berada tepat di samping rumah kontrakan yang memang dikhususkan untuknya. Hanifa kembali tak menggubris dan hendak membuka pintu lagi. Sayangnya, Delina justru menarik kasar tubuh sang empu yang beruntungnya masih bisa menjaga keseimbangan. "Kamu itu apa-apaan, sih? Sudah dibilang jangan ke situ! Budeg apa gimana? Pergi sana!" usir Delina. Tidak tau saja jika wanita yang sedang di usir ini adalah ibu kontrakan dua puluh pintu yang salah satunya sedang dia tempati. "Mbak yang apa-apaan? Ini tempat saya, jadi saya bebas mau keluar masuk. Toh, saya juga punya kunci!" Hanifa yang kepalang dongkol tentu saja langsung mengangkat kunci kontrakan yang ia punya. Hal
Setelah hampir satu bulan masa pemulihan, Abimana pun sudah kembali berjalan dengan normal. Bahkan, wajahnya yang dulu sempat di perban, sekarang sudah tidak lagi. Perut Widya juga sudah mulai menonjol dan hal itu membuat Abimana semakin muak. Lelaki itu bahkan merencanakan sesuatu supaya bayi yang ada di dalam kandungan Widya bisa luruh begitu saja. "Mas Abi. Aku pengen makan pizza tapi Tante Santi yang buat!" rengek Widya, ketika mereka semua sedang berada di meja makan. Santi langsung menatap bengis ke arah wanita hamil itu. Semakin hari, ada saja permintaan nyeleneh dari Widya. Bahkan, dia seperti tak berpikir jika sekarang ini Abimana sedang menganggur. Pendapatan keluarga kecil itu hanya dari usaha konveksi yang dijalani oleh Banu dan Santi. Sayangnya, beberapa minggu ini penghasilan menurun karena banyak sekali para tetangga yang enggan ke sana. "Makan saja yang ada. Jangan banyak tingkah kamu!" sentak Santi kesal bukan kepalang. Sudah malas dan tidak pernah mau membantu
"Sayang—""Mas, kamu tau sendiri, kan, perempuan hamil itu sensitif sekali. Jangankan perempuan hamil, yang tidak hamil saja sangat sensitif kalau lihat beginian. Kamu habis ngapain, sih?" Nada bicara Hanifa mulai bergetar.Wanita itu sepertinya takut jika masa lalu yang buruk akan terulang lagi di saat dirinya baru saja pulih dan merasa bahagia. Respati lekas mendekat dan mulai mendekap erat tubuh Hanifa. Pecah sudah tangisan sang istri. Tangisan yang sangat menyayat hati. "Kamu tau sendiri kalau aku ini anak broken home. Masih kecil ditinggal pisah sama orang tua. Ayah nikah lagi, sementara Ibu pergi ke luar negeri dan sampai sekarang nggak balik lagi. Bahkan, aku juga pernah gagal berumah tangga. Aku nggak bisa dibeginikan, hiks ...."Hanifa mengeluarkan segala keluh kesalnya. Biarkan saja suaminya mengatai dirinya cengeng atau semacamnya. Yang jelas, wanita itu sedikit terguncang. Jemari Respati terulur untuk mengusap air mata Hanifa. Bahkan, sampai sekarang lelaki itu belum m
Santi menatap sinis ke arah Widya yang sejak pagi tadi sudah leha-leha menonton televisi. Padahal, pekerjaan di dapur masih banyak. Masakan belum rampung semua. Peralatan makan tadi malam pun juga belum di cuci.Seenak jidat wanita hamil itu malas-malasan. Jika dulu Santi selalu membela Widya. Kini, tidak lagi. "Wid. Masak sana, Tante mau bersihin depan rumah!" tegas Santi membuat Widya melotot seraya merengut."Tan, aku tuh lagi hamil. Masa iya Tante suruh masak? Bukannya apa, kalau wanita hamil itu cocoknya di manja!" tegas Widya kesal bukan main. "Masalahnya kamu bukan mantu Tante, ya. Kamu cuma numpang di sini. Sudah tidak kerja di perusahaan. Imbasnya pun juga ke Abi, kemarin dia di pecat sama Renjana, karena menganggap Abi tidak becus jagain kamu yang menjadi wanita gatal begitu," sinis Santi yang ucapannya terlalu pedas. Widya menghela napas. Demi apapun, dia itu jarang bekerja di dapur. Bahkan, untuk bersih-bersih rumah pun dia malas sekali. Maunya leha-leha, tapi uang data
Sejak semalam hingga pagi ini, Respati terus menerus muntah-muntah. Semua anggota keluarganya bahkan sampai panik sendiri. Lelaki itu tak bisa berjauhan dari sang istri. "Kamu kenapa, sih, Mas? Terlalu capek atau gimana? Perasaan kemarin siang masih baik-baik saja dan masih bisa bercanda sama aku." Hanifa tentu saja merasa sangat khawatir dengan keadaan sang suami. "Mau ke rumah sakit saja atau bagaimana?" tawar Anisa yang sama khawatirnya seperti yang di rasakan oleh sang menantu. "Di sini saja sama Nifa. Hirup aromanya Nifa mualnya jadi hilang!" lirih Respati.Jika biasanya lelaki itu sangat berwibawa dan penuh kharisma, berbeda dengan sekarang. Ia tampak terlihat sangat sayu dan pucat. "Lemah sekali, sih, kamu, Pati? Ini tuh namanya morning sickness. Biasanya wanita hamil yang mengalami, tapi ternyata kamu yang gantiin Nifa!" omel sang Nenek yang merasa sebal dengan cucu lelakinya.Respati sama sekali tak membalas ucapan sang Nenek. Lelaki itu sekarang ini sedang sibuk menghiru
Tengah malam, Respati terbangun dan terus menerus menghela napas. Dia tidak bisa tidur tanpa memeluk istrinya. Ini semua gara-gara peraturan nyeleneh dari sang Nenek. Jika bisa, dia ingin memulangkan wanita tua itu ke luar negeri lagi. "Punya istri, tapi kok tidur sendiri? Tidak bisa dibiarkan ini!" Respati akhirnya bangkit dari kamar. Ia lekas berjalan dengan tergesa menuju lantai bawah, lantaran kamar Nenek Laksmi ada di lantai satu. Wanita tua itu tentu saja sudah tak bisa naik turun tangga lantaran tubuhnya sudah ringkih di makan oleh usia. "Pati, mau ke mana?" Respati terkejut bukan main ketika tak sengaja berpapasan dengan sang Mama yang baru keluar dari kamar."Mau nyusulin istri, Ma. Pati tidak bisa tidur kalau tidak peluk Nifa," ujar Respati tanpa ada yang ditutupi.Anisa tertawa geli ketika mendapati anak sulungnya yang sangat bucin seperti ini. "Ya sudah, hati-hati. Kalau perlu, gendong saja Nifa bawa kembali ke kamar kalian. Jangan sampai Nenek kamu bangun, bisa heboh
Widya baru membuka mata setelah beberapa saat pingsan karena kebodohannya sendiri. Wanita itu mendapati keberadaan Abimana yang sebagian wajahnya masih di perban. Bahkan, salah seorang bidan juga ada di sana. "Harusnya Bapak jaga dengan baik kandungan istrinya!" omel bidan tersebut seraya menatap datar ke arah Abimana. Abimana datang, karena tadi sempat ditelepon oleh orang yang menolong Widya ketika pingsan dan pendarahan di taman. Sebenarnya, kontak pertama di ponsel Widya itu Bowo, tapi sialnya lelaki itu sama sekali tak mau mengangkat. Alhasil, mereka memilih kontak Abimana yang berada di daftar favorite kedua di ponsel Widya. "Ibunya juga ada masalah apa? Kalian bertengkar? Mbok ya bisa berpikir dengan baik loh. Sebentar lagi kalian punya anak, tapi kenapa Ibunya justru mengkonsumsi nanas dan obat keras?""Anak saya sudah mati, Bu?" tanya Widya mengabaikan pertanyaan bidan barusan. Bahkan, raut wajah Widya tidak ada sedih-sedihnya dan justru terlihat sangat penasaran. "Syukur
Hanifa mengerjapkan mata setelah beberapa waktu lalu sempat pingsan. Wanita itu menatap sekitar dan mendapati keberadaan suami dan kedua mertuanya. Hanya minus Nenek Laksmi saja dan entah di mana keberadaan orang tua itu. "Sayang. Apa yang sakit? Bilang sama Mas!" Respati gegas mendekat dan langsung mengusap dengan sayang wajah sang istri. Tangan kiri Hanifa yang terbebas dari selang infus pun lekas membimbing tangan suaminya untuk di letakkan di atas dada. "Dadaku yang sakit, Mas. Aku nggak nyangka kamu hamili wanita la—"Cup!Bibir ranum itu dipangut oleh Respati. Persetan jika di dalam ruangan ini masih ada kedua orang tua mereka. Lelaki itu tak peduli.Handoko rasanya ingin sekali memberikan bogeman mentan pada Respati. Dia masih kesal bukan main lantaran tadinya sedang sibuk, tapi dia buru-buru dihubungi oleh istrinya untuk segera datang ke rumah sakit lantaran Hanifa jatuh pingsan. Pria paruh baya itu tentu saja langsung meninggalkan pekerjaan. Baginya, keluarga adalah nomor
Napas Hanifa memburu dengan begitu hebatnya ketika ditelepon oleh sopir keluarga yang tadi mengantar Respati pergi. Seketika, matanya berembun dan napasnya memburu dengan sangat hebat. Hanifa ingin menangis, tapi dia bingung harus bagaimana. Pada akhirnya, wanita itu memilih bercerita pada Nenek Laksmi dan juga mertuanya. "Aku nggak nyangka Mas Pati bakal kayak gitu, Ma!" lirih Hanifa. Dunianya seolah runtuh begitu saja setelah menceritakan segalanya pada dua wanita dewasa itu."Astaga, apa yang sudah Pati lakukan? Membuat malu saja!" keluh Anisa yang langsung menitikkan air mata.Berbeda dengan Nenek Laksmi yang begitu geram. Matanya menyiratkan kilauan amarah yang begitu besar. Dadanya naik turun dan kepalanya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. "Sudah tau rumah sakitnya di mana?" tanya Nenek Laksmi yang langsung di angguki oleh Hanifa. "Kita semua pergi ke sana sekarang. Masalah begini harus segera dibasmi. Kamu kuat apa tidak ikut ke rumah sakit?" tanya Nenek Laksmi pada cucu