"Ma. Mama. Aku pusing, Ma. Ini gimana?" teriak Abimana yang kini sudah memasuki pekarangan rumah kedua orang tuanya.Santi yang mendengar teriakan sang anak pun gegas keluar rumah seraya berkacak pinggang. Sebal sekali rasanya ketika terus menerus direcoki oleh Abimana."Kamu kenapa, sih? Jangan bikin malu, ah! Nggak enak didengar tetangga. Kalau ada masalah yang mau dibicarakan, masuk rumah!" hardik Santi seraya menatap tajam ke arah sang anak.Abimana pun langsung masuk ke dalam rumah dengan wajah kusutnya. Entahlah, akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa calon duda itu. Hidupnya seolah tak tenang dan semuanya berantakan.Jika bukan karena harta warisan sialan itu, sudah pasti Abimana tak akan seperti ini."Aku capek, Ma!" keluh Abimana yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. "Kalau capek, ya, istirahat. Widya mana?" tanya Santi celingukan ketika tak melihat keberadaan calon menantu cantiknya. "Widya marah sama aku karena izin rujuk sama Hanifa. Mau di ajak nik
Abimana terpaksa mengeluarkan banyak uang demi membelikan kalung emas seberat 10 gram untuk Widya. Saldo ATM miliknya semakin menipis. Apalagi, bulan ini dia bahkan sudah tak mendapatkan gaji dari kantor lantaran terlalu banyak libur. "Nggak usah cemberut gitu wajahnya. Emas bisa buat investasi, Mas. Kamu baru beli emas 10 gram saja mukanya sudah ngenes. Nanti juga aku bakal minta mahar jauh lebih gede dari ini!" celoteh Widya seraya mengusap lembut kalung yang sudah melingkar di lehernya.Wanita itu bahkan sampai mengikat rambutnya yang semula tergerai. Dia hanya ingin pamer pada Hanifa ketika sudah sampai di kantor pengadilan.Wajah Santi sejak tadi sudah sepet bukan main. Wanita paruh baya itu tentu merasa iri. Dia juga ingin dibelikan kalung oleh anaknya."Abi. Harusnya tadi beli dua. Mama juga mau!" bisik Santi, tapi di abaikan oleh Abimana.Beli satu kalung seberat 10 gram saja sudah membuat kantongnya semakin menipis. Apalagi jika membeli dua? Bisa habis total tabungan Abimana
Tiga kali ketuk palu menandakan berakhirnya pernikahan antara Hanifa dan Abimana. Wajah semua orang yang ada di sana menunjukkan reaksi berbeda. Ada yang senang dengan hasil akhirnya. Ada pula yang merasa panas dan tak terima. Hanifa menitikkan air mata. Bukan air mata kepedihan, melainkan air mata bahagia lantaran dia sudah sampai di titik ini. Sudah sepenuhnya terlepas dari lelaki toxic seperti Abimana. Wanita itu bangkit dan berjalan mendekat ke arah Respati dan Kusuma yang memang sejak awal sudah menemaninya sejauh ini. "Terima kasih, Mas. Karena Mas dan keluarga, aku bisa sekuat ini," bisik Hanifa yang tak sungkan memeluk Respati di ruang persidangan."Foto dulu dong. Tunjukkan pada dunia kalau kamu sekarang ini janda perawan!" ujar Kusuma membuat pelukan antara saudara lelakinya dan Hanifa pun terlepas.Hanifa bahkan sudah mengantongi akta cerai. Dia sengaja menggandeng mesra lengan kekar Respati dan keduanya tersenyum di depan kamera.Lain halnya dengan Hanifa yang berbahagi
Menyanggupi tantangan dari Santi adalah suatu kebodohan dan hanya buang-buang waktu saja. Maka dari itu, Hanifa tentu saja menolak keras. Percuma juga membuktikan semuanya pada Santi yang bahkan tak memiliki kepentingan dengannya. "Maaf, waktu saya terlalu berharga untuk meladeni orang seperti Anda!" Sarkas Hanifa seraya menatap datar ke arah mantan mertuanya.Santi yang kepalang emosi pun langsung mendorong kasar tubuh Hanifa. Untungnya, Respati dengan sigap menahan tubuh tersebut hingga jatuh ke dalam dekapannya.Jantung mereka berdua berdetak tak karuan. Apalagi ketika posisi mereka yang sangat intim seperti ini. Bahkan, Hanifa mampu merasakan hembusan napas Respati. "Kamu nggak papa?" tanya Respati dengan nada khawatir."Nggak papa, Mas. Aku pengen pulang. Aku muak di sini!" balas Hanifa membuat Respati mengangguk. Keduanya pun mulai melepaskan diri masing-masing. Respati menarik tangan Hanifa supaya mendekat pada Kusuma."Dek, bawa Hanifa ke mobil. Kalian tunggu di sana."Kus
"Dek. Berikan Mas satu kesempatan lagi! Mas ingin memperbaiki semuanya. Kita bikin keluarga cemara, ya!" pinta Abimana memelas tanpa takut digampar oleh Hanifa.Sang empu yang sudah muak dengan tingkah laku Abimana pun langsung melempar keras kursi plasti itu sampai mengenai tubuh Abimana. "Aduh, Dek. Sakit! Kok beneran digampar, sih?" Hanifa memutar bola mata dengan malas. Giliran dia sudah berubah cantik saja mulut Abimana juga berumah manis. Sayangnya, gadis itu sama sekali tak tertarik untuk balikan lantaran dia tau betul jika Abimana melihat perempuan hanya dari fisiknya saja.Memangnya dikira perempuan jelek itu tidak butuh dihargai? Toh juga tidak semua perempuan ketika lahir langsung punya wajah cantik. Ada juga yang harus ekstra merawat diri dengan beberapa produk kecantikan. "Mau pulang atau aku teriak? Biar kamu digrebek sama warga kontrakan!" ancam Hanifa lagi, tapi Abimana tetap bebal pada pendiriannya. "Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu nggak pergi, aku bakal teria
Sehari saja Widya tak menguras uang Abimana, sepertinya tidak bisa. Lengah sedikit, Abimana sudah keluar uang 5 juta hanya karena Widya berebut dress di mall dengan seorang wanita. Dress tersebut robek, karena ditarik oleh Widya. Alhasil, wanita itu harus mengganti rugi dan ujung-ujungnya, Abimana yang keluar uang. "Buat apa rebutan baju seperti itu, sih, Wid? Baju kamu di rumahku masih banyak!" hardik Abimana kepalang emosi.Setiap hari dia harus keluar uang demi menuruti gaya hidup sang kekasih yang sangat hedon. Sepertinya, besok dia harus kembali bekerja. Jika tidak, sudah pasti ujung-ujungnya harus menjual salah satu barang elektronik yang ada di rumahnya. "Itu dress inceranku, Mas. Lalu kamu nggak beliin aku heels yang aku mau, malah keduluan sama Hanifa." Widya mengecutkan bibir. Merasa tak terima dengan semua itu. Apalagi, semakin ke sini Hanifa sepertinya lebih unggul dari dirinya. Punya pawang super tajir melintir. Berbeda dengan Abimana yant kini super perhitungan dan s
Respati sudah menunggu Hanifa sejak tadi. Lelaki itu sepertinya tak sabar untuk melakukan kencan pertama dengan sang pujaan hati. Bahkan, dia hanya ke tempat fitness dari jam delapan pagi sampai jam sepuluh. Selebihnya, Respati gunakan untuk bersiap-siap seperti bercukur dan lain sebagainya. Kusuma yang sejak tadi melihat tingkah sang Kakak pun hanya menghela napas. Respati seperti remaja yang sedang masuk fase puber. Padahal lelaki itu usianya sudah memasuki kepala tiga. Astaga, ternyata efek jomblo selama itu membuat lelaki gagah macam Respati bisa segila ini. "Mas. Dari tadi aku lihatin kamu terus natap cermin, loh. Padahal sudah ganteng begitu!" tegur Kusuma seraya mendekati sang Kakak yang sedang duduk di ruang tunggu. Kebetulan, di depan sana ada cermin full body yang menempel di dinding hingga membuat Respati terus menerus bercermin."Mas kurang apa, Dek? Hari ini rencana mau ajak Nifa kencan." Respati meminta pendapat sang Adik yang hanya bisa menghela napas dengan sabar."
Bruk!"Siapa kamu, hah? Kenapa lancang sekali?" jerit Hanifa setelah berhasil mendorong kencang tubuh lelaki yang dengan teganya melakukan hal tercela padanya.Lelaki tersebut sengaja mengenakan topi dan kacamata hitam. Setelah semuanya dibuka, betapa kagetnya Hanifa ketika mengetahui siapa yang sudah melecehkannya. Dia adalah Abimana, mantan suaminya. Mengetahui hal tersebut tentu saja membuat Hanifa murka bukan main."Kenapa kamu lakuin semua itu ke aku, Mas? Bukannya kamu jijik sama aku, hah?" Jerit Hanifa merasa tak terima.Dulu dia memang mendambakan dicintai sepenuhnya oleh Abimana. Disentuh sesuka hati Abimana. Sayangnya, itu dulu. Sekarang sudah berbeda. Cinta untuk Abimana sudah menghilang. Jika tersisa, mungkin hanya sedikit sekali. Selebihnya, hanya ada rasa sakit."Aku nggak jijik sama kamu. Aku tarik kata-kataku dulu. Maaf, baru telat menyadari perasaanku!" Abimana menampilkan wajah sendu.Sayangnya, semua itu tak mampu membuat Hanifa melunak. Ia justru semakin kencang
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa
Rupanya, marahnya Hanifa bertahan sampai sore hari. Dia mencueki suaminya yang terus menerus berusaha untuk selalu meminta maaf.Seperti sekarang ini, dia sama sekali tidak memasak. Bahkan, seharian ini hanya sekedar makan buah dan roti selai saja. "Dek. Mas sudah masak buat kita berdua. Makan dulu, ya!" Pinta Respati dengan nada memelas. Hanifa menatap sinis ke arah suaminya. Ia kesal bukan main dan masih sangat kecewa dengan semuanya. "Kamu masak kayak gitu cuma mau niat nyogok aku, Mas? Yang benar saja. Aku loh kecewa berat sama kamu. Nggak mau lihat kamu dulu!"Wanita itu bangkit dan berniat untuk pergi. Sialnya, Respati justru menahan dengan menggunakan tangan kiri. Sementara tangan kanan langsung meletakkan sepiring makanan tadi di atas bufet. Grep!Hanifa memekik tertahan ketika sekarang ini tubuhnya justru di angkat oleh sang suami. Bahkan, cara menggendongnya saja seperti orang yang sedang mengangkat karung beras. "Mas. Kamu apa-apaan, sih? Turunin aku—"Plak!"Akh ...,"
Hanifa menghela napas beberapa kali ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi suaminya belum juga pulang. Padahal tadi pamitnya hanya pergi ke tempat fitness, tapi sampai sekarang justru belum pulang. Wanita itu beberapa kali menelepon sang suami, tapi hasilnya nihil. Sama sekali tidak ada respon dan hanya ada suara operator. "Kamu di mana sih, Mas? Kenapa lupa pulang? Ini sudah malam, loh!" gerutu Hanifa kesal bukan main.Tau begini, hari ini dia tidak mau di ajak pulang ke rumah lantaran rumah sebesar ini justru hanya diisi oleh dirinya saja. Jika memang Respati berniat untuk pulang larut, lebih baik Hanifa menginap saja di kontrakan. "Awas saja kalau nanti pulang. Bakal aku omelin—"Tok ... Tok ... Tok ...Hanifa menghela napas. Sudah pasti itu bukan suaminya dan dia sudah menebak jika itu adalah satpam yang bertugas menjaga keamanan rumah mewah ini. Wanita itu gegas mendekat ke arah pintu dan membukanya. Benar saja, di sana sudah ada salah satu satpam yang menat
Hanifa dan Respati semalam memang menginap di kontrakan. Pagi ini, Respati masih terlelap, apalagi semalam lelaki itu mengajak istrinya bergadang. Ia memang sangat bersemangat untuk terus mengajak istrinya lembur supaya segera mencapai garis dua.Hanifa sendiri sudah wangi dan sekarang ini baru keluar dari kamar kontrakan. Wanita itu menatap sekeliling dan pandangannya tak sengaja bertabrakan dengan duda yang tinggal di salah satu unit kontrakannya. Entahlah, siapa nama lelaki itu. Hanifa juga tak mau mencari tahu. Takut jika suaminya nanti merajuk dan salah paham. Wanita itu tersenyum simpul sebelum memutuskan pandangan keduanya. Ia memilih untuk berjalan keluar pagar dan tak lupa menyapa dua satpam yang memang selalu berada di sana, walau tidak sampai dua puluh empat jam. Sebab, dua satpam itu juga punya keluarga. "Duh, Mbak Nifa masih pagi sudah segar begini wajahnya. Makin cantik loh Mbak!" sapa salah satu tetangga kontrakan yang seketika membuat Hanifa terkekeh."Ibu bisa saj
"Sayang. Kamu kenapa? Sini, bicara dulu sama Mas!"Istirahat Hanifa terusik ketika mendengar penuturan dari Respati. Wanita itu menoleh dan mendapati keberadaan sang suami yang sudah menatap khawatir ke arah dirinya."Mas?" kaget Hanifa. Matanya masih bengkak dan dia belum terlihat baik-baik saja di depan Respati. Astaga, sudah pasti setelah ini dia akan disidang habis-habisan oleh sang suami."Ini kenapa matanya bengkak? Astaga, Sayang. Pipi kamu juga bengkak loh ini!" Respati tentu saja kaget bukan main.Pasalnya, pagi tadi sang istri masih baik-baik saja, lantas kenapa sekarang justru babak belur seperti ini? Sudah pasti ini ada yang tidak beres. Lelaki itu harus tau betul apa yang sebenarnya terjadi dengan si cantik ini. "Sini, cerita sama Mas. Siapa yang buat kamu kayak gini, Sayang!" desak Respati yang tak suka ketika melihat kebungkaman Hanifa. Sang empu menghela napas. Dia masih berusaha untuk menyembunyikan hal ini dari suaminya. Bukannya tak ingin selalu terbuka. Hanya sa
Ada kesalahpahaman antara Hanifa dan Santi. Santi terus menerus menuduh mantan menantunya itu menerima harta warisan milik almarhum Abimana. Sayangnya, mereka belum bertemu dan pihak pengacara almarhum Kakek sebentar lagi akan menyelesaikan tugasnya. Hanifa memang tidak akan pernah mau menerima harta warisan itu walau sepeserpun. Pada akhirnya, pengacara tersebut akan membicarakan harta warisan itu pada Santi dan Banu. Sayangnya, lelaki itu dengan sejuta kesibukannya justru kini sedang berada di luar kota karena pekerjaan yang mendadak. Hal ini tentu saja membuat Santi hanya bisa menduga ini dan itu. Imbasnya, wanita paruh baya itu sekarang ini semakin membenci Hanifa. "Mama mau ke mana?" tanya Banu penasaran ketika melihat Santi yang sudah rapi dengan pakaiannya. "Mama mau keluar sebentar mencari udara segar. Papa mau ikut?" tawar Santi dengan kalemnya. Banu bahkan sampai menyerngit keheranan. Benar, kah, ini istrinya? Kenapa berubah menjadi kalem seperti ini? Apa sudah tobat at
Santi menangis dalam diam di kamarnya seorang diri. Wanita paruh baya itu menatap lekat bingkai foto Abimana. Pikirannya telah berkelana. Sampai sekarang pun dia masih belum ikhlas atas kepergian anaknya itu. Bahkan, kebenciannya semakin mendalam terhadap Hanifa setelah keputusan pengacara almarhum mertuanya. Enak sekali Hanifa menerima harta secara cuma-cuma. Sementara Abimana sampai meregang nyawa belum pernah menikmati warisan itu sepeser pun. Wanita paruh baya itu juga kesal terhadap suaminya yang justru membela Hanifa. Harusnya jangan seperti ini, tapi sudahlah. "Abi. Mama rindu sama kamu. Mama seperti malas hidup lagi, Bi. Papamu terlalu gila. Mama kesal, Mama tidak suka," keluh Santi seolah mengadu pada bingkai foto tersebut. "Mama nggak rela kamu pergi duluan seperti ini. Ini semua gara-gara Hanifa yang terlalu belagu. Mentang-mentang sudah cantik langsung seperti itu. Mama tidak rela pokoknya. Perempuan itu harus mati juga. Mama tidak mau hanya kamu yang tersakiti di sin