Hanifa sudah kembali ke kontrakan dengan langkah gontai. Respati pun setelah mengantarnya langsung pergi begitu saja lantaran masih memiliki urusan. Perempuan itu ingin menjernihkan pikiran setelah tadi mengatakan hal yang begitu memalukan di depan Respati. Bisa-bisanya dia tadi menjawab jika seharusnya semua yang ada pada dirinya, Respati yang harus menjadi yang utama memilikinya. "Bodoh! Harusnya tadi jaga omongan. Supaya nggak ngelantur begitu. Ingat, Nifa! Kamu itu seorang janda. Jangan sampai dicap buruk oleh orang lain!" keluh Hanifa merasa menyesal.Walau bagaimana juga, Respati ini seorang lelaki yang bukan mahramnya. Tidak seharusnya dia berkata demikian. Toh juga takdir tak ada yang tau. Takutnya jika mereka sudah terlalu jauh, ujung-ujungnya tidak berjodoh. Malam pun tiba, seperti biasa, Respati sedang bertamu di salah satu rumah kontrakan miliknya. Tentu saja lelaki itu sedang menemui sang pujaan hati. Hanifa keluar dengan membawakan secangkir teh untuk Respati."Dimin
Bruk!"Aduh!" pekik Hanifa ketika tubuhnya terjatuh dari ranjang.Perempuan itu mengerjap beberapa kali. Masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Setelah mengingat, barulah dia gegas melihat ke arah tubuhnya. Ternyata masih berpakaian lengkap. Berarti, yang barusan itu adalah mimpi? Hanifa sangat bersyukur dan gegas mengganti baju tidur yang lebih sopan. Sekalipun dia hanya tinggal sendiri, tapi tetap saja dia harus selalu waspada. Apalagi setelah memiliki mantan sinting seperti Abimana. Tak lupa juga dia mengintip ke arah luar jendela dan ternyata di sana masih ada dua satpam dan dua bodyguard untuk menjaga keamanan kontrakan. Syukurlah, karena semuanya masih aman terkendali.Hanifa melirik ponselnya yang berdering. Entah siapa yang menghubunginya malam-malam begini. Alhasil, ia memutuskan untuk mendekati nakas dan ternyata itu adalah panggilan dari Respati. "Halo, Mas Pati. Kenapa, Mas?" tanya Hanifa penasaran. Gadis itu memilih duduk di tepi ranjang seraya mengusap butiran k
Ternyata, tanpa kehadiran Respati, membuat Hanifa merasa kesepian. Biasanya lelaki itu akan menjemputnya pulang kerja, sekarang tidak. Hanifa merenggangkan ototnya yang lumayan pegal lantaran jadwal klinik hari ini sangat ramai. Jam pulang pun harus diundur. Walau begitu, tadi dia mendapatkan bonus perawatan wajah dari Kusuma. Gadis itu tak jadi mengeluh capek lantaran pulang dari klinik, wajahnya justru semakin cerah dan berseri. "Kamu pulang naik apa, Nifa? Apa mau Mbak antar dulu?" tanya Kusuma seraya menghampiri Hanifa.Suasana klinik masih ramai, tapi sudah ditangani oleh karyawan Kusuma yang lainnya. Perempuan itu hanya ingin menjalankan amanah dari Masnya untuk menjaga Hanifa. Sesayang itu ternyata Respati."Nggak usah, Mbak. Aku sudah pesan ojol. Aku juga mau belanja kebutuhan dapur!" "Kamu nggak papa naik ojek? Mbak takut kamu kenapa-napa, terus Mas Pati nyalahin Mbak lagi?" Kusuma begitu khawatir.Hanifa yang mendengarnya lantas tersenyum simpul. Hatinya semakin berbunga
Widya sejak tadi menangis sesenggukan di dalam kamar. Kondisi keningnya cukup memprihatinkan. Terdapat benjolan besar setelah terkena hantaman galon air yang awalnya dia ingin menimpuk Hanifa, tapi justru karma lebih dulu datang padanya."Mas. Aku maunya kamu labrak Hanifa. Keningku jadi korban keganasannya, Mas!" rengek Widya.Wanita itu memang sudah tinggal serumah terlalu lama dengan Abimana tanpa adanya ikatan. Jika ditanya ke mana kedua orang tuanya, maka jawabannya berada di kota lain untuk mengurusi bisinis keluarga. Alhasil, wanita itu bisa hidup bebas tanpa kekangan orang tua. Apalagi setelah bertemu dengan Santi dan Abimana. Ia justru semakin menjadi. Terlebih, dia sudah dijanjikan pernikahan mewah oleh Abimana walau kenyataannya belum terpenuhi sampai sekarang. Masih menunggu warisan. "Itu salah kamu sendiri. Kenapa mau pukul Hanifa? Untung kamu nggak di laporin ke kantor polisi!" gerutu Abimana. Dia sudah tau cerita yang sebenarnya dari Santi ketika tadi wanita paruh b
"Kayaknya aku harus pindah kontrakan. Aku nggak enak sama mereka yang bayar kontrakan, sementara aku nggak."Ini juga yang menjadi beban Hanifa. Dia memang memiliki tetangga yang ramah. Tapi, di lain kesempatan, sudah pasti para tetangga menyinggung hal ini.Seharusnya ini menjadi sebuah rahasia, tapi tetap saja mereka tau. Mungkin saja ia sempat terpergok oleh salah satu warga kontrakan ketika hendak menyerahkan uang, tapi ditolak dengan tegas oleh Respati. Hal ini sering terjadi."Kenapa harus pindah? Mas tidak setuju kalau kamu pengen pindah!" tegas Respati dari seberang sana. Nadanya juga kentara sekali jika lelaki itu tengah menahan kesal. "Aku nggak enak sama mereka. Pasti mereka iri!" keluh Hanifa. Lebih baik dia mulai hidup mandiri ketimbang terus menerus merepotkan Respati.b"Ya sudah—""Kamu bolehin aku pindah?" potong Hanifa dengan wajah yang berbinar cerah. Respati menggeleng seraya menatap datar ke arah layar ponsel. Enak saja mau pindah. Takutnya nanti pertemuan mere
Di sinilah Hanifa dan Banu berada, di sebuah gazebo samping kediaman pria paruh baya itu. Mereka sedang menikmati beberapa menu lezat buatan dari Santi.Seandainya Banu tadi tak memanggil dirinya, mungkin dia akan langsung pergi. Hanya saja, tak mungkin bagi gadis itu untuk menolak permintaan dari pria paruh baya yang sangat baik padanya selama menikah sengan Abimana dulu."Bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama tidak bertemu. Terakhir, Papa melihat kamu ketika di kantor pengadilan agama!" sapa Banu dengan wajah kalemnya.Hanifa tersenyum. "Baik, Pa. Papa sendiri bagaimana? Sehat, kan?" Banu terkekeh samar. Jika dikatakan sehat, tapi pikirannya terus kacau karena perbuatan anak semata wayangnya. "Badannya sehat, hanya kepalanya saja yang banyak pikiran. Semua ini karena Papa punya anak goblok macam Abimana. Papa kesal sekali sama dia!"Abimana yang sedang berdiri di dekat pintu pun hanya bisa mendengus. Jangan sampai Papanya itu bicara yang tidak-tidak hingga membuat Hanifa ilfeel kepad
Ting!Bunyi notif di ponsel Hanifa sejak tadi membuat sang empu menghela napas. Pasalnya, sekarang ini dia sedang menunggu kabar dari Respati yang katanya akan pulang dalam waktu dua hari.Sayangnya, ini sudah masuk seminggu lebih, tapi tak ada kabar dari lelaki itu. Ditelepon tidak tersambung. Dikirimi pesan, tapi hanya centang satu. "Kamu ke mana, sih, Mas?" keluh gadis itu. Dia seperti tak bersemangat. Apalagi setiap hari selalu saja diganggu oleh Abimana dan Santi. Wanita itu memilih untuk membuka notif di ponselnya. Matanya membulat sempurna ketika mendapati kiriman gambar tak senonoh dari kontak Widya. (Lihat, Mas Abi sangat puas dengan pelayananku. Jadi, jangan coba-coba untuk mau rujuk sama dia!)Begitulah isi pesan dari Widya setelah wanita itu dengan gilanya justru memotret tubuh telanjangnya yang sedang dipeluk mesra oleh Abimana. "Dasar perempuan gatal. Biar apa coba pamer begituan ke orang lain?" gerutu Hanita.Perempuan itu sama sekali tak cemburu lantaran dia sudah
"Uang dua puluh juta kamu hilangkan, Wid? Gila atau gimana kamu, hah?" bentak Abimana kepalang frustasi.Widya masih terus menangis sesenggukan. Wanita itu tadi sangat apes lantaran uang pemberian dari Abimana justru dicopet"Aku nggak hilangkan, Mas. Tapi, aku dicopet orang!"Abimana mengacak rambutnya dengan frustasi. Uang sebanyak itu adalah gajinya selama dua bulan lebih. Sekarang, raib begitu saja hanya karena kecerobohan Widya. Padahal dia baru saja pulang bekerja, tapi sudah dibuat pusing begini. Rasa lelahnya semakin menumpuk dan ingin rasanya dia menendang Widya yang bisanya hanya menghamburkan uang saja."Ya, terus gimana? Kenapa nggak lapor polisi? Dua puluh juta loh itu, Wid. Uangku hilang seratus ribu saja sudah kelimpungan nyari sana sini. Lah, ini? Astaga, Wid!" Widya mencoba untuk mendekati Abimana dan meraih tangan lelaki itu. Sayangnya, langsung ditepis kasar oleh sang empu."Pergi dulu dari sini daripada aku gampar kamu. Aku masih emosi, Wid! Mending kamu menjauh
"Lepas!" datar Hanifa seraya menyentak kasar tangan Respati.Hal ini sukses membuat Anisa terkejut bukan main. Dia menatap intens ke arah pasangan itu. Sepertinya, sedang ada perselisihan di antara mereka. "Dek. Mas minta maaf—""Buat apa minta maaf? Mas nggak salah, kok. Harusnya aku sadar diri nggak usah pergi ke sana. Supaya aku nggak direndahin sama orang dan juga supaya nggak dibentak-bentak sama suami sendiri!" lirih Hanifa memotong ucapan Respati.Sebenarnya, wanita itu sama sekali tidak mau membahas hal ini didepan mertuanya. Salahkan saja Respati yang justru memancing mereka untuk membahas hal iniAnisa pun semakin mengerutkan kening. Apalagi ketika mendengar penuturan dari sang menantu yang terdengar sangat menyayat hati."Kalian kenapa? Pati. Hanifa kamu apakan, hah?" tegas Anisa yang suaranya sangat tidak bersahabat. Hanifa terisak hebat yang seketika membuat Anisa semakin naik pitam. Respati pun bingung hendak berbuat apa. Mau kembali memeluk sang istri, tapi sang empu
"Loh, ngapain kamu ke situ? Itu loh punya calon istrinya Mas Pati. Dengan kata lain, suatu saat nanti itu punya saya, Delina Nugraha!" tegas wanita itu yang ternyata namanya Delina Nugraha. Pergerakan tangan Hanifa yang ingin membuka pintu kontrakan pun sontak saja terhenti. Ia menatap malas ke arah penghuni baru yang sialnya berada tepat di samping rumah kontrakan yang memang dikhususkan untuknya. Hanifa kembali tak menggubris dan hendak membuka pintu lagi. Sayangnya, Delina justru menarik kasar tubuh sang empu yang beruntungnya masih bisa menjaga keseimbangan. "Kamu itu apa-apaan, sih? Sudah dibilang jangan ke situ! Budeg apa gimana? Pergi sana!" usir Delina. Tidak tau saja jika wanita yang sedang di usir ini adalah ibu kontrakan dua puluh pintu yang salah satunya sedang dia tempati. "Mbak yang apa-apaan? Ini tempat saya, jadi saya bebas mau keluar masuk. Toh, saya juga punya kunci!" Hanifa yang kepalang dongkol tentu saja langsung mengangkat kunci kontrakan yang ia punya. Hal
Setelah hampir satu bulan masa pemulihan, Abimana pun sudah kembali berjalan dengan normal. Bahkan, wajahnya yang dulu sempat di perban, sekarang sudah tidak lagi. Perut Widya juga sudah mulai menonjol dan hal itu membuat Abimana semakin muak. Lelaki itu bahkan merencanakan sesuatu supaya bayi yang ada di dalam kandungan Widya bisa luruh begitu saja. "Mas Abi. Aku pengen makan pizza tapi Tante Santi yang buat!" rengek Widya, ketika mereka semua sedang berada di meja makan. Santi langsung menatap bengis ke arah wanita hamil itu. Semakin hari, ada saja permintaan nyeleneh dari Widya. Bahkan, dia seperti tak berpikir jika sekarang ini Abimana sedang menganggur. Pendapatan keluarga kecil itu hanya dari usaha konveksi yang dijalani oleh Banu dan Santi. Sayangnya, beberapa minggu ini penghasilan menurun karena banyak sekali para tetangga yang enggan ke sana. "Makan saja yang ada. Jangan banyak tingkah kamu!" sentak Santi kesal bukan kepalang. Sudah malas dan tidak pernah mau membantu
"Sayang—""Mas, kamu tau sendiri, kan, perempuan hamil itu sensitif sekali. Jangankan perempuan hamil, yang tidak hamil saja sangat sensitif kalau lihat beginian. Kamu habis ngapain, sih?" Nada bicara Hanifa mulai bergetar.Wanita itu sepertinya takut jika masa lalu yang buruk akan terulang lagi di saat dirinya baru saja pulih dan merasa bahagia. Respati lekas mendekat dan mulai mendekap erat tubuh Hanifa. Pecah sudah tangisan sang istri. Tangisan yang sangat menyayat hati. "Kamu tau sendiri kalau aku ini anak broken home. Masih kecil ditinggal pisah sama orang tua. Ayah nikah lagi, sementara Ibu pergi ke luar negeri dan sampai sekarang nggak balik lagi. Bahkan, aku juga pernah gagal berumah tangga. Aku nggak bisa dibeginikan, hiks ...."Hanifa mengeluarkan segala keluh kesalnya. Biarkan saja suaminya mengatai dirinya cengeng atau semacamnya. Yang jelas, wanita itu sedikit terguncang. Jemari Respati terulur untuk mengusap air mata Hanifa. Bahkan, sampai sekarang lelaki itu belum m
Santi menatap sinis ke arah Widya yang sejak pagi tadi sudah leha-leha menonton televisi. Padahal, pekerjaan di dapur masih banyak. Masakan belum rampung semua. Peralatan makan tadi malam pun juga belum di cuci.Seenak jidat wanita hamil itu malas-malasan. Jika dulu Santi selalu membela Widya. Kini, tidak lagi. "Wid. Masak sana, Tante mau bersihin depan rumah!" tegas Santi membuat Widya melotot seraya merengut."Tan, aku tuh lagi hamil. Masa iya Tante suruh masak? Bukannya apa, kalau wanita hamil itu cocoknya di manja!" tegas Widya kesal bukan main. "Masalahnya kamu bukan mantu Tante, ya. Kamu cuma numpang di sini. Sudah tidak kerja di perusahaan. Imbasnya pun juga ke Abi, kemarin dia di pecat sama Renjana, karena menganggap Abi tidak becus jagain kamu yang menjadi wanita gatal begitu," sinis Santi yang ucapannya terlalu pedas. Widya menghela napas. Demi apapun, dia itu jarang bekerja di dapur. Bahkan, untuk bersih-bersih rumah pun dia malas sekali. Maunya leha-leha, tapi uang data
Sejak semalam hingga pagi ini, Respati terus menerus muntah-muntah. Semua anggota keluarganya bahkan sampai panik sendiri. Lelaki itu tak bisa berjauhan dari sang istri. "Kamu kenapa, sih, Mas? Terlalu capek atau gimana? Perasaan kemarin siang masih baik-baik saja dan masih bisa bercanda sama aku." Hanifa tentu saja merasa sangat khawatir dengan keadaan sang suami. "Mau ke rumah sakit saja atau bagaimana?" tawar Anisa yang sama khawatirnya seperti yang di rasakan oleh sang menantu. "Di sini saja sama Nifa. Hirup aromanya Nifa mualnya jadi hilang!" lirih Respati.Jika biasanya lelaki itu sangat berwibawa dan penuh kharisma, berbeda dengan sekarang. Ia tampak terlihat sangat sayu dan pucat. "Lemah sekali, sih, kamu, Pati? Ini tuh namanya morning sickness. Biasanya wanita hamil yang mengalami, tapi ternyata kamu yang gantiin Nifa!" omel sang Nenek yang merasa sebal dengan cucu lelakinya.Respati sama sekali tak membalas ucapan sang Nenek. Lelaki itu sekarang ini sedang sibuk menghiru
Tengah malam, Respati terbangun dan terus menerus menghela napas. Dia tidak bisa tidur tanpa memeluk istrinya. Ini semua gara-gara peraturan nyeleneh dari sang Nenek. Jika bisa, dia ingin memulangkan wanita tua itu ke luar negeri lagi. "Punya istri, tapi kok tidur sendiri? Tidak bisa dibiarkan ini!" Respati akhirnya bangkit dari kamar. Ia lekas berjalan dengan tergesa menuju lantai bawah, lantaran kamar Nenek Laksmi ada di lantai satu. Wanita tua itu tentu saja sudah tak bisa naik turun tangga lantaran tubuhnya sudah ringkih di makan oleh usia. "Pati, mau ke mana?" Respati terkejut bukan main ketika tak sengaja berpapasan dengan sang Mama yang baru keluar dari kamar."Mau nyusulin istri, Ma. Pati tidak bisa tidur kalau tidak peluk Nifa," ujar Respati tanpa ada yang ditutupi.Anisa tertawa geli ketika mendapati anak sulungnya yang sangat bucin seperti ini. "Ya sudah, hati-hati. Kalau perlu, gendong saja Nifa bawa kembali ke kamar kalian. Jangan sampai Nenek kamu bangun, bisa heboh
Widya baru membuka mata setelah beberapa saat pingsan karena kebodohannya sendiri. Wanita itu mendapati keberadaan Abimana yang sebagian wajahnya masih di perban. Bahkan, salah seorang bidan juga ada di sana. "Harusnya Bapak jaga dengan baik kandungan istrinya!" omel bidan tersebut seraya menatap datar ke arah Abimana. Abimana datang, karena tadi sempat ditelepon oleh orang yang menolong Widya ketika pingsan dan pendarahan di taman. Sebenarnya, kontak pertama di ponsel Widya itu Bowo, tapi sialnya lelaki itu sama sekali tak mau mengangkat. Alhasil, mereka memilih kontak Abimana yang berada di daftar favorite kedua di ponsel Widya. "Ibunya juga ada masalah apa? Kalian bertengkar? Mbok ya bisa berpikir dengan baik loh. Sebentar lagi kalian punya anak, tapi kenapa Ibunya justru mengkonsumsi nanas dan obat keras?""Anak saya sudah mati, Bu?" tanya Widya mengabaikan pertanyaan bidan barusan. Bahkan, raut wajah Widya tidak ada sedih-sedihnya dan justru terlihat sangat penasaran. "Syukur
Hanifa mengerjapkan mata setelah beberapa waktu lalu sempat pingsan. Wanita itu menatap sekitar dan mendapati keberadaan suami dan kedua mertuanya. Hanya minus Nenek Laksmi saja dan entah di mana keberadaan orang tua itu. "Sayang. Apa yang sakit? Bilang sama Mas!" Respati gegas mendekat dan langsung mengusap dengan sayang wajah sang istri. Tangan kiri Hanifa yang terbebas dari selang infus pun lekas membimbing tangan suaminya untuk di letakkan di atas dada. "Dadaku yang sakit, Mas. Aku nggak nyangka kamu hamili wanita la—"Cup!Bibir ranum itu dipangut oleh Respati. Persetan jika di dalam ruangan ini masih ada kedua orang tua mereka. Lelaki itu tak peduli.Handoko rasanya ingin sekali memberikan bogeman mentan pada Respati. Dia masih kesal bukan main lantaran tadinya sedang sibuk, tapi dia buru-buru dihubungi oleh istrinya untuk segera datang ke rumah sakit lantaran Hanifa jatuh pingsan. Pria paruh baya itu tentu saja langsung meninggalkan pekerjaan. Baginya, keluarga adalah nomor