Bruk!"Aduh!" pekik Hanifa ketika tubuhnya terjatuh dari ranjang.Perempuan itu mengerjap beberapa kali. Masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Setelah mengingat, barulah dia gegas melihat ke arah tubuhnya. Ternyata masih berpakaian lengkap. Berarti, yang barusan itu adalah mimpi? Hanifa sangat bersyukur dan gegas mengganti baju tidur yang lebih sopan. Sekalipun dia hanya tinggal sendiri, tapi tetap saja dia harus selalu waspada. Apalagi setelah memiliki mantan sinting seperti Abimana. Tak lupa juga dia mengintip ke arah luar jendela dan ternyata di sana masih ada dua satpam dan dua bodyguard untuk menjaga keamanan kontrakan. Syukurlah, karena semuanya masih aman terkendali.Hanifa melirik ponselnya yang berdering. Entah siapa yang menghubunginya malam-malam begini. Alhasil, ia memutuskan untuk mendekati nakas dan ternyata itu adalah panggilan dari Respati. "Halo, Mas Pati. Kenapa, Mas?" tanya Hanifa penasaran. Gadis itu memilih duduk di tepi ranjang seraya mengusap butiran k
Ternyata, tanpa kehadiran Respati, membuat Hanifa merasa kesepian. Biasanya lelaki itu akan menjemputnya pulang kerja, sekarang tidak. Hanifa merenggangkan ototnya yang lumayan pegal lantaran jadwal klinik hari ini sangat ramai. Jam pulang pun harus diundur. Walau begitu, tadi dia mendapatkan bonus perawatan wajah dari Kusuma. Gadis itu tak jadi mengeluh capek lantaran pulang dari klinik, wajahnya justru semakin cerah dan berseri. "Kamu pulang naik apa, Nifa? Apa mau Mbak antar dulu?" tanya Kusuma seraya menghampiri Hanifa.Suasana klinik masih ramai, tapi sudah ditangani oleh karyawan Kusuma yang lainnya. Perempuan itu hanya ingin menjalankan amanah dari Masnya untuk menjaga Hanifa. Sesayang itu ternyata Respati."Nggak usah, Mbak. Aku sudah pesan ojol. Aku juga mau belanja kebutuhan dapur!" "Kamu nggak papa naik ojek? Mbak takut kamu kenapa-napa, terus Mas Pati nyalahin Mbak lagi?" Kusuma begitu khawatir.Hanifa yang mendengarnya lantas tersenyum simpul. Hatinya semakin berbunga
Widya sejak tadi menangis sesenggukan di dalam kamar. Kondisi keningnya cukup memprihatinkan. Terdapat benjolan besar setelah terkena hantaman galon air yang awalnya dia ingin menimpuk Hanifa, tapi justru karma lebih dulu datang padanya."Mas. Aku maunya kamu labrak Hanifa. Keningku jadi korban keganasannya, Mas!" rengek Widya.Wanita itu memang sudah tinggal serumah terlalu lama dengan Abimana tanpa adanya ikatan. Jika ditanya ke mana kedua orang tuanya, maka jawabannya berada di kota lain untuk mengurusi bisinis keluarga. Alhasil, wanita itu bisa hidup bebas tanpa kekangan orang tua. Apalagi setelah bertemu dengan Santi dan Abimana. Ia justru semakin menjadi. Terlebih, dia sudah dijanjikan pernikahan mewah oleh Abimana walau kenyataannya belum terpenuhi sampai sekarang. Masih menunggu warisan. "Itu salah kamu sendiri. Kenapa mau pukul Hanifa? Untung kamu nggak di laporin ke kantor polisi!" gerutu Abimana. Dia sudah tau cerita yang sebenarnya dari Santi ketika tadi wanita paruh b
"Kayaknya aku harus pindah kontrakan. Aku nggak enak sama mereka yang bayar kontrakan, sementara aku nggak."Ini juga yang menjadi beban Hanifa. Dia memang memiliki tetangga yang ramah. Tapi, di lain kesempatan, sudah pasti para tetangga menyinggung hal ini.Seharusnya ini menjadi sebuah rahasia, tapi tetap saja mereka tau. Mungkin saja ia sempat terpergok oleh salah satu warga kontrakan ketika hendak menyerahkan uang, tapi ditolak dengan tegas oleh Respati. Hal ini sering terjadi."Kenapa harus pindah? Mas tidak setuju kalau kamu pengen pindah!" tegas Respati dari seberang sana. Nadanya juga kentara sekali jika lelaki itu tengah menahan kesal. "Aku nggak enak sama mereka. Pasti mereka iri!" keluh Hanifa. Lebih baik dia mulai hidup mandiri ketimbang terus menerus merepotkan Respati.b"Ya sudah—""Kamu bolehin aku pindah?" potong Hanifa dengan wajah yang berbinar cerah. Respati menggeleng seraya menatap datar ke arah layar ponsel. Enak saja mau pindah. Takutnya nanti pertemuan mere
Di sinilah Hanifa dan Banu berada, di sebuah gazebo samping kediaman pria paruh baya itu. Mereka sedang menikmati beberapa menu lezat buatan dari Santi.Seandainya Banu tadi tak memanggil dirinya, mungkin dia akan langsung pergi. Hanya saja, tak mungkin bagi gadis itu untuk menolak permintaan dari pria paruh baya yang sangat baik padanya selama menikah sengan Abimana dulu."Bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama tidak bertemu. Terakhir, Papa melihat kamu ketika di kantor pengadilan agama!" sapa Banu dengan wajah kalemnya.Hanifa tersenyum. "Baik, Pa. Papa sendiri bagaimana? Sehat, kan?" Banu terkekeh samar. Jika dikatakan sehat, tapi pikirannya terus kacau karena perbuatan anak semata wayangnya. "Badannya sehat, hanya kepalanya saja yang banyak pikiran. Semua ini karena Papa punya anak goblok macam Abimana. Papa kesal sekali sama dia!"Abimana yang sedang berdiri di dekat pintu pun hanya bisa mendengus. Jangan sampai Papanya itu bicara yang tidak-tidak hingga membuat Hanifa ilfeel kepad
Ting!Bunyi notif di ponsel Hanifa sejak tadi membuat sang empu menghela napas. Pasalnya, sekarang ini dia sedang menunggu kabar dari Respati yang katanya akan pulang dalam waktu dua hari.Sayangnya, ini sudah masuk seminggu lebih, tapi tak ada kabar dari lelaki itu. Ditelepon tidak tersambung. Dikirimi pesan, tapi hanya centang satu. "Kamu ke mana, sih, Mas?" keluh gadis itu. Dia seperti tak bersemangat. Apalagi setiap hari selalu saja diganggu oleh Abimana dan Santi. Wanita itu memilih untuk membuka notif di ponselnya. Matanya membulat sempurna ketika mendapati kiriman gambar tak senonoh dari kontak Widya. (Lihat, Mas Abi sangat puas dengan pelayananku. Jadi, jangan coba-coba untuk mau rujuk sama dia!)Begitulah isi pesan dari Widya setelah wanita itu dengan gilanya justru memotret tubuh telanjangnya yang sedang dipeluk mesra oleh Abimana. "Dasar perempuan gatal. Biar apa coba pamer begituan ke orang lain?" gerutu Hanita.Perempuan itu sama sekali tak cemburu lantaran dia sudah
"Uang dua puluh juta kamu hilangkan, Wid? Gila atau gimana kamu, hah?" bentak Abimana kepalang frustasi.Widya masih terus menangis sesenggukan. Wanita itu tadi sangat apes lantaran uang pemberian dari Abimana justru dicopet"Aku nggak hilangkan, Mas. Tapi, aku dicopet orang!"Abimana mengacak rambutnya dengan frustasi. Uang sebanyak itu adalah gajinya selama dua bulan lebih. Sekarang, raib begitu saja hanya karena kecerobohan Widya. Padahal dia baru saja pulang bekerja, tapi sudah dibuat pusing begini. Rasa lelahnya semakin menumpuk dan ingin rasanya dia menendang Widya yang bisanya hanya menghamburkan uang saja."Ya, terus gimana? Kenapa nggak lapor polisi? Dua puluh juta loh itu, Wid. Uangku hilang seratus ribu saja sudah kelimpungan nyari sana sini. Lah, ini? Astaga, Wid!" Widya mencoba untuk mendekati Abimana dan meraih tangan lelaki itu. Sayangnya, langsung ditepis kasar oleh sang empu."Pergi dulu dari sini daripada aku gampar kamu. Aku masih emosi, Wid! Mending kamu menjauh
Seminggu kemudian, kesehatan Hanifa sudah kembali membaik seperti sedia kala. Hari ini pun rencananya dia akan berkunjung ke kediaman orang tua Respati. Sejak tadi perempuan itu sibuk memilih pakaian yang menurutnya tidak ada yang cocok. Dia ingin tampil cantik dan memukau, tapi sayangnya semua baju yang ia miliki terkesan biasa saja. "Ck, aku bakal kelihatan buluk kalau pakai ini!" keluh Hanifa.Ia pun gegas meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi Respati. Dering pertama, tidak di angkat. Dering kedua, masih tetap sama. Dering ketiga dan seterusnya justru operator yang berbicara.Hanifa langsung melempar asal ponselnya karena kesal sekali. "Kalau Ibunya Mas Pati nggak suka sama aku gimana? Masa iya harus bertemu dengan orang yang persis seperti Tante Santi lagi?" keluhnya.Dia galau sekali. Persis seperti seorang perempuan yang hendak bertemu dengan calon mertua. Beberapa saat kemudian, Hanifa mendengar suara ketukan pintu kontrakannya. Tak butuh waktu lama, perempuan itu la
"Mas. Malam ini aku boleh keluar sebentar?" tanya Hanifa setelah keluar dari kamar mandi. Wanita itu baru saja selesai mandi dan masih mengenakan jubah mandi. Respati yang tadinya sibuk memantau perkembangan pembangunan rumah yang tadi sempat di kirim oleh kepala proyek lewat video pun seketika mendongak."Mau ke mana? Mas bakal temani!" ujar Respati setelah meletakkan kembali gawai yang sejak tadi dia pegang. Hanifa terlihat sedikit gugup. Wanita itu ingat betul jika pesan yang tadi dia dapat, mengharuskan dirinya untuk keluar sendiri menemui si pengirim. Lantaran sang istri tak langsung menjawab, lelaki itu bahkan sampai memicingkan mata. Ia gegas mendekati Hanifa dan memojokkan sang istri di dinding dekat pintu kamar mandi. "Mas tanya, loh, Dek. Kenapa tidak dijawab?" heran Respati seraya menatap lekat wajah Hanifa yang kentara sekali sedang gugup."M-mau pergi sama teman—""Teman yang mana, Sayang? Coba kalau bicara itu tatap mata Mas. Mas pengen lihat!"Mau tak mau, Hanifa me
"Aduh, menantu Mama kok tambah cantik, sih?" Hanifa dan Respati baru saja pulang langsung di hadang oleh Anisa. Wanita paruh baya itu sangat terkesima dengan penampilan baru sang menantu. Wajahnya semakin cantik dengan warna rambut yang dirubah menjadi sedikit kecoklatan. "Cocok, tidak, Ma?" Bukan Hanifa yang bertanya melainkan Respati. Jika boleh jujur, lelaki itu rasanya semakin tergila-gila dengan kecantikan sang istri yang paripurna. Dia sama sekali tak bisa melirik ke arah wanita lain lantaran istrinya sendiri saja sudah sangat menggoda seperti ini. Berkat bantuan Kusuma, Hanifa benar-benar bisa merawat diri dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya sangat mulus. "Cocok sekali. Pokoknya kalau Nifa mau pergi ke luar, kamu sebagai suami harus ikut. Jangan sampai lelaki di luaran sana kepincut sama kecantikan menantu Mama!"Hanifa tersipu malu. Suami dan mertuanya ini sangat berlebihan dalam memuji dirinya. "Sudah, jangan dipuji lagi, Ma. Nanti aku besar kepala, loh. Ini
Hanifa keluar lebih dulu dan berjalan santai menuju ruang tunggu untuk menunggu kedatangan sang suami yang mungkin sebentar lagi akan sampai. Semerbak aroma harum dari tubuh Hanifa rupanya membuat fokus pria paruh baya yang tak lain adalah Bowo, pun mulai menoleh dan mendapati sosok wanita cantik yang sedang duduk di ujung. Bowo bahkan sampai membasahi bibir bawahnya ketika melihat pemandangan yang begitu sayang untuk di lewatkan. Namun, pria paruh baya itu merasa sangat familiar dengan wajah cantik itu. Seolah tak asing untuk dirinya. "Cantik. Sudah melakukan biaya administrasi?"Hanifa terkejut bukan main dan sontak saja menoleh. Tangannya mengarah pada dirinya sendiri seolah bertanya apakah dia yang sedang di ajak bicara atau bukan?"Iya kamu. Kalau belum, Om bisa bayarkan sekalian Om bayar punya teman Om! Bagaimana?" tawar Bowo dengan tatapan laparnya.Hanifa sampai bergidik ngeri. Dia tak menyangka jika mantan Papa mertuanya punya saudara yang menjijikkan seperti ini. "Om lup
Sesuai janji yang pernah di ucapkan oleh Respati atas usulan Anisa, lelaki itu membawa sang istri ke klinik kecantikan milik Kusuma. Jika dulu Hanifa bekerja di sini, maka sekarang wanita itu akan menikmati segala fasilitas di klinik tanpa menunggu traktiran dari mantan bosnya (Kusuma)"Mau ditunggu atau Mas boleh pergi sebentar?" tanya Respati pada sang istri.Hanifa tersenyum geli. Dia tak akan membiarkan suaminya sibuk menunggu dirinya yang perawatan. Sudah pasti akan memerlukan waktu yang cukup lama. "Kamu pergi saja, Mas, kalau memang ada kerjaan atau urusan apapun. Nanti kalau aku sudah selesai bisa kamu jemput, atau naik taksi juga boleh!" "Jangan naik taksi! Mas akan jemput kamu. Nanti kabari saja, ya, Sayang!" Hanifa mengangguk seraya memejamkan mata ketika Respati memberikan kecupan di kening. Setelahnya, Respati langsung pergi dari klinik tersebut dan membiarkan sang istri melakukan serangkaian perawatan. Hari ini Kusuma tidak datang ke klinik, tapi sudah mengabari pad
Widya dengan terpaksa mengikuti langkah Abimana yang tengah mendekat ke arah penjual es teh di pinggir jalan. Wanita itu menatap jijik dan merasa tak nyaman."Pak. Es tehnya 1, ya!" ujar Abimana yang dibalas senyuman oleh penjual tersebut. Lelaki itu melirik ke arah Widya yang sudah merengut tak suka. Dia cukup paham jika gaya hidup kekasihnya ini sangat hedon. Bukan hanya dalam segi penampilan, tapi juga dengan makanan yang maunya makanan enak dan mahal. "Ini Mas pesanannya. Mbaknya tidak sekalian minum?" tanya penjual tersebut yang seketika membuat Widya mendelik."Maaf, ya, Pak. Saya anti minum minuman di pinggir jalan kayak gini!" balas Widya dengan angkuh.Untung saja si penjual sama sekali tak merasa tersinggung dan hanya menanggapi dengan senyuman teduh. "Harganya berapa, Pak?" tanya Abimana kalem."Lima ribu, Mas!"Abimana pun mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu yang tadi dia minta dari Widya. "Kembaliannya ambil saja, Pak!""Terima kasih, Mas. Semoga rezeki Mas meli
Di tengah kesunyian malam, kedua insan itu masih sibuk dengan kegiatan panasnya. Sang istri hanya bisa mengeluarkan suara merdunya sementara sang suami masih berpacu dan bergerak dengan liar."Mas. Aku capek ...," cicit Hanifa seraya mencengkram kuat bahu sang suami yang masih dengan gagahnya bergerak di atas tubuhnya seolah stamina dari lelaki itu tiada habisnya. "Sebentar, Sayang. Sebentar lagi Mas akan keluar!" bisik sang suami seraya melabuhkan beberapa kecupan hangat di kening dan leher. Hanifa hanya bisa pasrah menuruti segala kemauan sang suami. Wanita itu lelah, bahkan sangat lelah. Ingatkan besok untuk memberikan jeweran panas di telinga sang suami."Mas. Aku mau sampai!" jerit Hanifa yang berakhir terisak hebat. Dia tak kuat menerima serangan demi serangan kenikmatan dari sang suami. "Tahan sebentar. Kita keluar bersama!" tekan Respati membuat Hanifa geleng-geleng kepala.Hanya hitungan detik, mereka kembali mendapatkan pelepasan yang beradu menjadi satu, hingga kegelapan
Di sinilah kedua insan itu berada, di atas kapal layar yang sedang menyusuri sungai Seine. Respati sengaja membawa sang istri ke tempat yang tak kalah romantis ini supaya suasana hati Hanifa kembali membaik setelah tadi mengaku cemburu. Hanifa bahkan sudah melupakan rasa cemburunya tadi dan kini terus tersenyum memandang hamparan sungai tersebut dengan perasaan penuh haru. "Bagaimana perasaannya? Apa masih marah sama Mas?" tanya Respati penasaran dan dibalas gelengan oleh Hanifa. "Aku sayang kamu. Maaf kalau tingkahku tadi sangat kekanakan. Padahal niat kamu baik, Mas!" Hanifa menatap sendu ke arah suaminya yang kini hanya mengenakan kaos hitam saja, lantaran jaket besar lelaki itu sudah menutupi tubuhnya.Respati terkekeh dan tak lupa melabuhkan kecupan manis di pipi sang istri. Setelahnya, mereka duduk dengan posisi sang suami yang sedang mengukung tubuh istrinya dari belakang. "Mas justru suka kalau kamu seperti itu. Itu artinya, kamu cemburu!" bisik lelaki itu yang sejujurnya
Baru saja membuka pintu balkon, keduanya sudah disuguhi dengan pemandangan menara eiffel yang begitu memanjakan mata. Hanifa tersenyum sumringah seraya merentangkan tangan menikmati semilir angin yang berhembus di pagi hari. Respati yang tadinya berada di samping, kini langsung berpindah ke belakang tubuh sang istri. Memeluk wanitanya dengan begitu erat. Sang empu yang mendapat serangan mendadak pun justru memilih untuk menyenderkan tubuhnya di pundak sang suami."Mas. Aku bahagia, terima kasih banyak. Sekalinya ke luar negeri, aku bisa mengunjungi tempat indah seperti ini. Apalagi saat di Maldives lalu. Semuanya sangat indah." Suara Hanifa mendayu membuat Respati tersenyum lebar. "Tidak perlu berterima kasih. Sebisa mungkin Mas akan buat kamu bahagia, Sayang!" bisik lelaki itu seraya memberikan beberapa kecupan di pipi sang istri. Keduanya sama-sama menikmati moment indah lewat balkon hotel yang harga sewanya sangat fantasy. Beberapa saat kemudian, Respati dan Hanifa sudah siap
Hanifa sudah melupakan semua rasa sesak di dada ketika mengingat semua tentang kedua orang tuanya yang dengan tega membiarkan dia sendirian sejak kecil. Bahkan, wajah keduanya saja sudah wanita itu lupakan sejak lama.Sekarang, waktunya bersenang-senang untuk menikmati bulan madu dengan sang suami. Malam ini pun Hanifa berniat untuk menyenangkan sang suami. Wanita itu sudah berada di dalam kamar mandi dengan membawa satu set lingerie pemberian dari Kusuma. Lingerie kali ini ia pilih warna hitam. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang lumayan putih untuk ukuran orang Indonesia yang kebanyakan berkulit kuning langsat. Mungkin juga karena dia selalu rutin perawatan selama proses perceraiannya dulu sampai sekarang ini. "Dek. Masih lama di dalam kamar? Nanti masuk angin, loh!" Suara Respati menggema seraya tangannya sibuk mengetuk pintu kamar mandi.Lihatlah, hal sekecil ini saja Respati sudah bisa membuat Hanifa tersenyum cerah. Lelaki itu selalu bisa membuat jantung istrinya berdeta