Ting!Bunyi notif di ponsel Hanifa sejak tadi membuat sang empu menghela napas. Pasalnya, sekarang ini dia sedang menunggu kabar dari Respati yang katanya akan pulang dalam waktu dua hari.Sayangnya, ini sudah masuk seminggu lebih, tapi tak ada kabar dari lelaki itu. Ditelepon tidak tersambung. Dikirimi pesan, tapi hanya centang satu. "Kamu ke mana, sih, Mas?" keluh gadis itu. Dia seperti tak bersemangat. Apalagi setiap hari selalu saja diganggu oleh Abimana dan Santi. Wanita itu memilih untuk membuka notif di ponselnya. Matanya membulat sempurna ketika mendapati kiriman gambar tak senonoh dari kontak Widya. (Lihat, Mas Abi sangat puas dengan pelayananku. Jadi, jangan coba-coba untuk mau rujuk sama dia!)Begitulah isi pesan dari Widya setelah wanita itu dengan gilanya justru memotret tubuh telanjangnya yang sedang dipeluk mesra oleh Abimana. "Dasar perempuan gatal. Biar apa coba pamer begituan ke orang lain?" gerutu Hanita.Perempuan itu sama sekali tak cemburu lantaran dia sudah
"Uang dua puluh juta kamu hilangkan, Wid? Gila atau gimana kamu, hah?" bentak Abimana kepalang frustasi.Widya masih terus menangis sesenggukan. Wanita itu tadi sangat apes lantaran uang pemberian dari Abimana justru dicopet"Aku nggak hilangkan, Mas. Tapi, aku dicopet orang!"Abimana mengacak rambutnya dengan frustasi. Uang sebanyak itu adalah gajinya selama dua bulan lebih. Sekarang, raib begitu saja hanya karena kecerobohan Widya. Padahal dia baru saja pulang bekerja, tapi sudah dibuat pusing begini. Rasa lelahnya semakin menumpuk dan ingin rasanya dia menendang Widya yang bisanya hanya menghamburkan uang saja."Ya, terus gimana? Kenapa nggak lapor polisi? Dua puluh juta loh itu, Wid. Uangku hilang seratus ribu saja sudah kelimpungan nyari sana sini. Lah, ini? Astaga, Wid!" Widya mencoba untuk mendekati Abimana dan meraih tangan lelaki itu. Sayangnya, langsung ditepis kasar oleh sang empu."Pergi dulu dari sini daripada aku gampar kamu. Aku masih emosi, Wid! Mending kamu menjauh
Seminggu kemudian, kesehatan Hanifa sudah kembali membaik seperti sedia kala. Hari ini pun rencananya dia akan berkunjung ke kediaman orang tua Respati. Sejak tadi perempuan itu sibuk memilih pakaian yang menurutnya tidak ada yang cocok. Dia ingin tampil cantik dan memukau, tapi sayangnya semua baju yang ia miliki terkesan biasa saja. "Ck, aku bakal kelihatan buluk kalau pakai ini!" keluh Hanifa.Ia pun gegas meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi Respati. Dering pertama, tidak di angkat. Dering kedua, masih tetap sama. Dering ketiga dan seterusnya justru operator yang berbicara.Hanifa langsung melempar asal ponselnya karena kesal sekali. "Kalau Ibunya Mas Pati nggak suka sama aku gimana? Masa iya harus bertemu dengan orang yang persis seperti Tante Santi lagi?" keluhnya.Dia galau sekali. Persis seperti seorang perempuan yang hendak bertemu dengan calon mertua. Beberapa saat kemudian, Hanifa mendengar suara ketukan pintu kontrakannya. Tak butuh waktu lama, perempuan itu la
Hanifa pada akhirnya menyerah juga. Dia menerima lamaran dari Respati yang sebenarnya lebih ke pemaksaan. Sebab, di antara dua pilihan yang di ajukan oleh Respati, semuanya menguntungkan lelaki itu.Toh juga perasaannya tak bisa dibohongi. Dia kembali merasakan jatuh cinta untuk kedua kalinya pada lelaki berbeda. Cinta pertamanya memang milik Abimana. Tapi sekarang cinta itu sudah hak paten milik Respati."Jadi, kapan Mama sama Papa bisa menemui walimu, Nak?" tanya Anisa yang sekarang ini sedang mode serius.Kedua orang tua Respati sudah mengetahui keadaan keluarga Hanifa. Mereka bahkan berjanji jika suatu saat nanti akan bisa menggantikan sosok kedua orang tua Hanifa yang entah di mana keberadaannya."Satu minggu lagi kalau memang Mama sama Papa tidak sibuk." Hanifa mengatakan itu dengan menahan tangis. Entah bagaimana caranya untuk menjelaskan semua ini pada Paman dan Bibinya yang berada di kampung. Hanifa akui jika dia sangat bodoh lantaran tak mengabari jika dia sudah berpisah de
"Maaf, saya terlambat!"Hening!Semua orang terkejut bukan main ketika mendengar suara Hanifa. Mereka tentu sangat hapal dengan suara itu."Hanifa? Masa iya ini si gembrot itu?" pekik salah satu wanita paruh baya yang merupakan Tante dari Abimana.Hanifa tersenyum lebar. Dia bahkan masih ingat satu per satu keluarga besar Abimana yang dulu pernah menghina dirinya di acara anniversary pernikahan Om dan Tantenya sang mantan suami. Semua orang yang dulu pernah menghinanya tengah berkumpul di sini dengan wajah syok."Nggak mungkin. Pasti dia operasi plastik, tapi dapat duit darimana? Dulu nggak kayak gini. Dulu kayak sapi perah masuk lumpur!""Dia memang Hanifa, kamu mau apa?" ujar Santi seraya menatap sinis ke arah keponakannya.Para sepupu wanita Abimana sibuk mencaci maki sosok Hanifa yang dulu. Sementara para sepupu lelaki justru menatap kagum ke arah perempuan cantik itu. Abimana dengan bangganya lekas mendekati Hanifa dan merangkul mesra pinggang sang empu. Sayangnya, tangan nakal
Santi terpaksa di larikan di rumah sakit lantaran tak kunjung siuman. Sementara Hanifa dan Respati sudah pergi meninggalkan kediaman mantan mertua dari perempuan itu lantaran sudah tak ada kepentingan Mereka bukannya tak iba, hanya saja tak mau terlalu mengurusi kehidupan orang. Toh juga perihal pingsannya Santi bukan karena mereka. "Kamu yakin tidak mau ke rumah sakit?" tanya Respati setelah keduanya sampai di depan kontrakan yang ditinggali oleh Hanifa. Mereka masih berada di dalam mobil dengan saling memandang satu sama lain. "Nggak usah, Mas. Takutnya nanti Tante Santi justru minta hal yang aneh-aneh. Aku tau banget watak orangnya seperti apa!" balas Hanifa seraya tersenyum.Dia berharapnya jika Santi punya penyakit serius. Bukan karena jahat, hanya saja dia masih terlalu sakit hati dengan perlakuan mantan mertuanya itu di waktu dulu. "Ya sudah, kalau begitu kamu masuk ke dalam. Jangan bergadang, besok harus bangun pagi. Kita harus ke butik dan juga pilih desain undangan!"Ha
"Saya maunya gaun untuk calon saya, depan belakang tertutup. Tidak perlu dikasih belahan di kaki. Kami ini mau menikah, bukan justru mau pamer bentuk tubuh!" oceh Respati pada karyawan sang Tante. Hanifa hanya bisa menghela napas dengan sabar. Terserah Respati saja ingin yang bagaimana. Yang jelas nantinya dia tinggal pakai saja. Sebab, percuma juga jika ikut bersuara, dia akan tetap kalah. Toh juga Respati yang mengeluarkan biaya, Hanifa tinggal leha-leha saja. "Baik, Mas. Untuk warna, mau warna apa? Putih, atau ada yang lainnya?" tanya karyawan butik dengan sopan. Respati pun menoleh ke arah Hanifa yang sejak tadi hanya diam saja. "Mau warna apa?""Nanti diprotes lagi apa tidak?" Bukannya menjawab, tapi Hanifa justru balik bertanya.Respati terkekeh seraya mengacak gemas rambut Hanifa. Kali ini dia akan menurut pada gadis itu. Asal bukan warna pink dan hitam saja."Tidak. Mau pilih warna yang mana? Mas terserah kamu saja! Mas nurut sama calon istrinya Mas yang paling cantik ini!
Hanifa tersenyum ketika melihat reaksi Santi yang menurutnya sangat berlebihan ketika tadi dia menitip tespack pada Respati. Dia juga sama sekali tak menjawab pertanyaan dari Santi dan justru sibuk membuka box makanan untuk menyuapi wanita paruh baya itu. "Nifa, kamu benar-benar hamil?" desak Santi kepalang penasaran."Tante makan dulu, ya. Jangan banyak pikiran, takutnya nanti malah tidak sembuh-sembuh. Sini, Nifa suapi!"Dengan berat hati, Santi mulai menerima suapan dari mantan menantunya. Sementara Latif yang masih berada di ruangan tersebut mulai mendekati Hanifa. Lelaki itu berdiri tepat di sebelah kursi yang diduduki oleh Hanifa."Kalau dia tidak mau tanggung jawab, saya siap jadi Bapaknya anakmu itu!" celutuk Latif membuat Hanifa mengangkat sebelah alisnya.Dia sama sekali tak tertarik dengan lelaki satu itu. Apalagi wajahnya terlalu mudah diingat jika dulu Latif adalah salah satu sepupu Abimana yang gencar menghina dirinya. "Latif benar, Nifa. Kalau kamu nikah sama ponakan
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d