"Maaf, saya terlambat!"Hening!Semua orang terkejut bukan main ketika mendengar suara Hanifa. Mereka tentu sangat hapal dengan suara itu."Hanifa? Masa iya ini si gembrot itu?" pekik salah satu wanita paruh baya yang merupakan Tante dari Abimana.Hanifa tersenyum lebar. Dia bahkan masih ingat satu per satu keluarga besar Abimana yang dulu pernah menghina dirinya di acara anniversary pernikahan Om dan Tantenya sang mantan suami. Semua orang yang dulu pernah menghinanya tengah berkumpul di sini dengan wajah syok."Nggak mungkin. Pasti dia operasi plastik, tapi dapat duit darimana? Dulu nggak kayak gini. Dulu kayak sapi perah masuk lumpur!""Dia memang Hanifa, kamu mau apa?" ujar Santi seraya menatap sinis ke arah keponakannya.Para sepupu wanita Abimana sibuk mencaci maki sosok Hanifa yang dulu. Sementara para sepupu lelaki justru menatap kagum ke arah perempuan cantik itu. Abimana dengan bangganya lekas mendekati Hanifa dan merangkul mesra pinggang sang empu. Sayangnya, tangan nakal
Santi terpaksa di larikan di rumah sakit lantaran tak kunjung siuman. Sementara Hanifa dan Respati sudah pergi meninggalkan kediaman mantan mertua dari perempuan itu lantaran sudah tak ada kepentingan Mereka bukannya tak iba, hanya saja tak mau terlalu mengurusi kehidupan orang. Toh juga perihal pingsannya Santi bukan karena mereka. "Kamu yakin tidak mau ke rumah sakit?" tanya Respati setelah keduanya sampai di depan kontrakan yang ditinggali oleh Hanifa. Mereka masih berada di dalam mobil dengan saling memandang satu sama lain. "Nggak usah, Mas. Takutnya nanti Tante Santi justru minta hal yang aneh-aneh. Aku tau banget watak orangnya seperti apa!" balas Hanifa seraya tersenyum.Dia berharapnya jika Santi punya penyakit serius. Bukan karena jahat, hanya saja dia masih terlalu sakit hati dengan perlakuan mantan mertuanya itu di waktu dulu. "Ya sudah, kalau begitu kamu masuk ke dalam. Jangan bergadang, besok harus bangun pagi. Kita harus ke butik dan juga pilih desain undangan!"Ha
"Saya maunya gaun untuk calon saya, depan belakang tertutup. Tidak perlu dikasih belahan di kaki. Kami ini mau menikah, bukan justru mau pamer bentuk tubuh!" oceh Respati pada karyawan sang Tante. Hanifa hanya bisa menghela napas dengan sabar. Terserah Respati saja ingin yang bagaimana. Yang jelas nantinya dia tinggal pakai saja. Sebab, percuma juga jika ikut bersuara, dia akan tetap kalah. Toh juga Respati yang mengeluarkan biaya, Hanifa tinggal leha-leha saja. "Baik, Mas. Untuk warna, mau warna apa? Putih, atau ada yang lainnya?" tanya karyawan butik dengan sopan. Respati pun menoleh ke arah Hanifa yang sejak tadi hanya diam saja. "Mau warna apa?""Nanti diprotes lagi apa tidak?" Bukannya menjawab, tapi Hanifa justru balik bertanya.Respati terkekeh seraya mengacak gemas rambut Hanifa. Kali ini dia akan menurut pada gadis itu. Asal bukan warna pink dan hitam saja."Tidak. Mau pilih warna yang mana? Mas terserah kamu saja! Mas nurut sama calon istrinya Mas yang paling cantik ini!
Hanifa tersenyum ketika melihat reaksi Santi yang menurutnya sangat berlebihan ketika tadi dia menitip tespack pada Respati. Dia juga sama sekali tak menjawab pertanyaan dari Santi dan justru sibuk membuka box makanan untuk menyuapi wanita paruh baya itu. "Nifa, kamu benar-benar hamil?" desak Santi kepalang penasaran."Tante makan dulu, ya. Jangan banyak pikiran, takutnya nanti malah tidak sembuh-sembuh. Sini, Nifa suapi!"Dengan berat hati, Santi mulai menerima suapan dari mantan menantunya. Sementara Latif yang masih berada di ruangan tersebut mulai mendekati Hanifa. Lelaki itu berdiri tepat di sebelah kursi yang diduduki oleh Hanifa."Kalau dia tidak mau tanggung jawab, saya siap jadi Bapaknya anakmu itu!" celutuk Latif membuat Hanifa mengangkat sebelah alisnya.Dia sama sekali tak tertarik dengan lelaki satu itu. Apalagi wajahnya terlalu mudah diingat jika dulu Latif adalah salah satu sepupu Abimana yang gencar menghina dirinya. "Latif benar, Nifa. Kalau kamu nikah sama ponakan
"Mas. Kamu gadaikan mobil? Yang benar saja, Mas!" pekik Widya yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang rawat Santi. Rupanya, wanita itu telah mendengar semua obrolan di dalam ruangan tersebut. Widya tentu saja terkejut bukan main ketika mengetahui fakta ini. "Aku terpaksa, karena uang tabunganku makin menipis. Ini juga salah kamu, Wid. Coba saja kalau kamu nggak boros, kejadiannya nggak bakal kayak gini!" Abimana langsung menyalahkan Widya.Sang empu tentu saja tak terima. Enak saja dia di salahkan seperti ini. Memang Abimana saja yang terlalu kere. Wanita itu inginnya dimanja dan diberikan banyak kemewahan. Apalagi, bukan hanya satu dua kali saja Widya memberikan pelayanan terbaik di atas ranjang. Baginya, semua itu tentu saja ada timbal baliknya. "Mas. Perempuan itu memang butuh lelaki berduit—""Kamu tau sendiri kalau aku belum berhasil mengambil harta warisanku. Harusnya kamu sadar diri!" sentak Abimana memotong ucapan Widya.Napas Widya sudah tak beraturan. Wanita itu emosi sekali
"Mau aku hamil atau tidak, itu bukan urusan kamu. Mending kamu pergi dari sini!" usir Hanifa seraya menatap judes ke arah Abimana.Sang empu yang tak mau di usir pun gegas memikirkan cara. Sudah terlalu lama dia tak bisa berdekatan dengan Hanifa. Kali ini harus berhasil. "Aku bakal terima anak yang kamu kandung!""Aku nggak hamil. Aku tuh bukan kamu yang sering tidur satu ranjang dengan lawan jenis sebelum janur kuning melengkung. Sudah sana pergi. Pak, tolong usir lelaki ini. Saya mau istirahat!" ujar Hanifa seraya berlalu dari sana."Nifa—"Bruk!"Astaga, Mbak. Masnya pingsan Mbak!" pekik satpam tersebut sampai membuat Hanifa terkejut bukan main.Perempuan itu bahkan sampai menjatuhkan payung yang ia kenakan lantaran terlalu panik dan mendekati mantan suaminya yang sudah berbaring di tanah."Mas Abi. Kamu kenapa, sih, Mas? Kalau sakit jangan di sini!" pekik Hanifa seraya menepuk keras pipi Abimana Sayangnya, masih tak ada respon dari lelaki itu. Wajahnya bahkan semakin pucat lanta
Jangan bilang jika Abimana kapok setelah di hajar habis oleh Hanifa. Lelaki itu masih terus berusaha keras untuk mencari cara supaya bisa mendekati Hanifa. Kepalanya terpaksa diperban dan sejak tadi dia terus menerus di omeli oleh Santi dan juga Widya."Ngapain kamu malam-malam ke sana, hah? Pulangnya malah babak belur kayak gini! Sudah tau lagi kere-kerenya, masih saja nggak kapok jadi orang!" kesal Santi seraya menonyor kepala Abimana.Persetan jika anaknya itu mengaduh kesakitan. Dia sama sekali tak peduli. Wanita paruh baya itu kepalang emosi ketika mereka sudah banyak membuat rencana, tapi Abimana justru nekad begini.Percuma saja ia berusaha keras untuk mendekatkan Hanifa dengan Latif. Memang anaknya ini luar biasa bodohnya. "Mama sudah angkat tangan nggak mau bantu kamu lagi. Terserah mau kamu dapat warisan atau tidak. Yang jelas, mulai besok, Latif bakal pulang ke rumahnya!" tegas Santi.Wajah Abimana sudah tak bisa di kondisikan lagi. Lelaki itu terlihat nelangsa ketika di
Sesuai kesepakatan bersama, Hanifa dan Respati akan menjalani prosesi pingit. Mereka tidak diperbolehkan bertemu sampai hari H. Awalnya, Respati menolak dengan tegas, tapi lelaki itu langsung diberi pengertian oleh kedua orang tuanya. Respati untuk sementara akan tinggal di rumah kontrakan miliknya atas permintaan Handoko. Sementara Hanifa akan tinggal di kediaman Handoko. Undangan juga sudah disebar. Mereka sepakat tidak mengundang Abimana karena tak mau membuat acara geger. Hanya Banu saja yang mendapat undangan dan entah pria paruh baya itu akan datang atau tidak.Seperti sekarang ini, di kediaman Banu tampak geger setelah mendapatkan undangan."Pokoknya Mama mau ikut! Sekalian Mama labrak itu si Respati yang berani-beraninya ambil calon mantunya Mama!" ucap Santi dengan menggebu. "Tapi, di tulisan ini hanya Papa yang di undang, Ma. Ya kali kamu mau ikut! Malu-maluin!" Banu dengan sabar memperlihatkan undangan tersebut supaya sang istri bisa membaca dengan jelas. Abimana dan Wi
Hanifa dengan telaten mengobati memar yang menghiasi wajah sang suami. Sementara Respati sejak tadi hanya bisa menatap lekat ke arah sang istri yang sama sekali tak pernah pamrih. Sialnya, dia bahkan sudah melukai hati wanitanya ini. "Sakit, Mas? Maaf, ya, kalau sakit, Mas tahan dulu!" ujar Hanifa begitu lembut Wanita itu sudah mengesampingkan ego untuk tidak memikirkan lebih dulu segala hal menyakitkan yang Respati berikan tadi. Sebagai seorang istri yang baik, dia harus bisa mengayomi suaminya. "Kamu lebih sakit, tapi masih bisa tanya begitu ke Mas, Dek? Mas menyesal, Dek. Maafkan Mas!" lirih Respati seraya mendesis pelan ketika memarnya terasa sakit.Hanifa melempar senyum. "Nggak papa. Akunya saja yang kasar. Maaf, ya, kalau aku tadi kasar. Aku cuma nggak suka dibilang ini dan itu oleh orang lain yang bahkan belum tau aku ini siapa," balas Hanifa dengan hati legowo.Detik itu juga, Respati langsung memeluk istrinya dengan begitu erat dan sesekali melabuhkan kecupan di kening.
"Lepas!" datar Hanifa seraya menyentak kasar tangan Respati.Hal ini sukses membuat Anisa terkejut bukan main. Dia menatap intens ke arah pasangan itu. Sepertinya, sedang ada perselisihan di antara mereka. "Dek. Mas minta maaf—""Buat apa minta maaf? Mas nggak salah, kok. Harusnya aku sadar diri nggak usah pergi ke sana. Supaya aku nggak direndahin sama orang dan juga supaya nggak dibentak-bentak sama suami sendiri!" lirih Hanifa memotong ucapan Respati.Sebenarnya, wanita itu sama sekali tidak mau membahas hal ini didepan mertuanya. Salahkan saja Respati yang justru memancing mereka untuk membahas hal iniAnisa pun semakin mengerutkan kening. Apalagi ketika mendengar penuturan dari sang menantu yang terdengar sangat menyayat hati."Kalian kenapa? Pati. Hanifa kamu apakan, hah?" tegas Anisa yang suaranya sangat tidak bersahabat. Hanifa terisak hebat yang seketika membuat Anisa semakin naik pitam. Respati pun bingung hendak berbuat apa. Mau kembali memeluk sang istri, tapi sang empu
"Loh, ngapain kamu ke situ? Itu loh punya calon istrinya Mas Pati. Dengan kata lain, suatu saat nanti itu punya saya, Delina Nugraha!" tegas wanita itu yang ternyata namanya Delina Nugraha. Pergerakan tangan Hanifa yang ingin membuka pintu kontrakan pun sontak saja terhenti. Ia menatap malas ke arah penghuni baru yang sialnya berada tepat di samping rumah kontrakan yang memang dikhususkan untuknya. Hanifa kembali tak menggubris dan hendak membuka pintu lagi. Sayangnya, Delina justru menarik kasar tubuh sang empu yang beruntungnya masih bisa menjaga keseimbangan. "Kamu itu apa-apaan, sih? Sudah dibilang jangan ke situ! Budeg apa gimana? Pergi sana!" usir Delina. Tidak tau saja jika wanita yang sedang di usir ini adalah ibu kontrakan dua puluh pintu yang salah satunya sedang dia tempati. "Mbak yang apa-apaan? Ini tempat saya, jadi saya bebas mau keluar masuk. Toh, saya juga punya kunci!" Hanifa yang kepalang dongkol tentu saja langsung mengangkat kunci kontrakan yang ia punya. Hal
Setelah hampir satu bulan masa pemulihan, Abimana pun sudah kembali berjalan dengan normal. Bahkan, wajahnya yang dulu sempat di perban, sekarang sudah tidak lagi. Perut Widya juga sudah mulai menonjol dan hal itu membuat Abimana semakin muak. Lelaki itu bahkan merencanakan sesuatu supaya bayi yang ada di dalam kandungan Widya bisa luruh begitu saja. "Mas Abi. Aku pengen makan pizza tapi Tante Santi yang buat!" rengek Widya, ketika mereka semua sedang berada di meja makan. Santi langsung menatap bengis ke arah wanita hamil itu. Semakin hari, ada saja permintaan nyeleneh dari Widya. Bahkan, dia seperti tak berpikir jika sekarang ini Abimana sedang menganggur. Pendapatan keluarga kecil itu hanya dari usaha konveksi yang dijalani oleh Banu dan Santi. Sayangnya, beberapa minggu ini penghasilan menurun karena banyak sekali para tetangga yang enggan ke sana. "Makan saja yang ada. Jangan banyak tingkah kamu!" sentak Santi kesal bukan kepalang. Sudah malas dan tidak pernah mau membantu
"Sayang—""Mas, kamu tau sendiri, kan, perempuan hamil itu sensitif sekali. Jangankan perempuan hamil, yang tidak hamil saja sangat sensitif kalau lihat beginian. Kamu habis ngapain, sih?" Nada bicara Hanifa mulai bergetar.Wanita itu sepertinya takut jika masa lalu yang buruk akan terulang lagi di saat dirinya baru saja pulih dan merasa bahagia. Respati lekas mendekat dan mulai mendekap erat tubuh Hanifa. Pecah sudah tangisan sang istri. Tangisan yang sangat menyayat hati. "Kamu tau sendiri kalau aku ini anak broken home. Masih kecil ditinggal pisah sama orang tua. Ayah nikah lagi, sementara Ibu pergi ke luar negeri dan sampai sekarang nggak balik lagi. Bahkan, aku juga pernah gagal berumah tangga. Aku nggak bisa dibeginikan, hiks ...."Hanifa mengeluarkan segala keluh kesalnya. Biarkan saja suaminya mengatai dirinya cengeng atau semacamnya. Yang jelas, wanita itu sedikit terguncang. Jemari Respati terulur untuk mengusap air mata Hanifa. Bahkan, sampai sekarang lelaki itu belum m
Santi menatap sinis ke arah Widya yang sejak pagi tadi sudah leha-leha menonton televisi. Padahal, pekerjaan di dapur masih banyak. Masakan belum rampung semua. Peralatan makan tadi malam pun juga belum di cuci.Seenak jidat wanita hamil itu malas-malasan. Jika dulu Santi selalu membela Widya. Kini, tidak lagi. "Wid. Masak sana, Tante mau bersihin depan rumah!" tegas Santi membuat Widya melotot seraya merengut."Tan, aku tuh lagi hamil. Masa iya Tante suruh masak? Bukannya apa, kalau wanita hamil itu cocoknya di manja!" tegas Widya kesal bukan main. "Masalahnya kamu bukan mantu Tante, ya. Kamu cuma numpang di sini. Sudah tidak kerja di perusahaan. Imbasnya pun juga ke Abi, kemarin dia di pecat sama Renjana, karena menganggap Abi tidak becus jagain kamu yang menjadi wanita gatal begitu," sinis Santi yang ucapannya terlalu pedas. Widya menghela napas. Demi apapun, dia itu jarang bekerja di dapur. Bahkan, untuk bersih-bersih rumah pun dia malas sekali. Maunya leha-leha, tapi uang data
Sejak semalam hingga pagi ini, Respati terus menerus muntah-muntah. Semua anggota keluarganya bahkan sampai panik sendiri. Lelaki itu tak bisa berjauhan dari sang istri. "Kamu kenapa, sih, Mas? Terlalu capek atau gimana? Perasaan kemarin siang masih baik-baik saja dan masih bisa bercanda sama aku." Hanifa tentu saja merasa sangat khawatir dengan keadaan sang suami. "Mau ke rumah sakit saja atau bagaimana?" tawar Anisa yang sama khawatirnya seperti yang di rasakan oleh sang menantu. "Di sini saja sama Nifa. Hirup aromanya Nifa mualnya jadi hilang!" lirih Respati.Jika biasanya lelaki itu sangat berwibawa dan penuh kharisma, berbeda dengan sekarang. Ia tampak terlihat sangat sayu dan pucat. "Lemah sekali, sih, kamu, Pati? Ini tuh namanya morning sickness. Biasanya wanita hamil yang mengalami, tapi ternyata kamu yang gantiin Nifa!" omel sang Nenek yang merasa sebal dengan cucu lelakinya.Respati sama sekali tak membalas ucapan sang Nenek. Lelaki itu sekarang ini sedang sibuk menghiru
Tengah malam, Respati terbangun dan terus menerus menghela napas. Dia tidak bisa tidur tanpa memeluk istrinya. Ini semua gara-gara peraturan nyeleneh dari sang Nenek. Jika bisa, dia ingin memulangkan wanita tua itu ke luar negeri lagi. "Punya istri, tapi kok tidur sendiri? Tidak bisa dibiarkan ini!" Respati akhirnya bangkit dari kamar. Ia lekas berjalan dengan tergesa menuju lantai bawah, lantaran kamar Nenek Laksmi ada di lantai satu. Wanita tua itu tentu saja sudah tak bisa naik turun tangga lantaran tubuhnya sudah ringkih di makan oleh usia. "Pati, mau ke mana?" Respati terkejut bukan main ketika tak sengaja berpapasan dengan sang Mama yang baru keluar dari kamar."Mau nyusulin istri, Ma. Pati tidak bisa tidur kalau tidak peluk Nifa," ujar Respati tanpa ada yang ditutupi.Anisa tertawa geli ketika mendapati anak sulungnya yang sangat bucin seperti ini. "Ya sudah, hati-hati. Kalau perlu, gendong saja Nifa bawa kembali ke kamar kalian. Jangan sampai Nenek kamu bangun, bisa heboh
Widya baru membuka mata setelah beberapa saat pingsan karena kebodohannya sendiri. Wanita itu mendapati keberadaan Abimana yang sebagian wajahnya masih di perban. Bahkan, salah seorang bidan juga ada di sana. "Harusnya Bapak jaga dengan baik kandungan istrinya!" omel bidan tersebut seraya menatap datar ke arah Abimana. Abimana datang, karena tadi sempat ditelepon oleh orang yang menolong Widya ketika pingsan dan pendarahan di taman. Sebenarnya, kontak pertama di ponsel Widya itu Bowo, tapi sialnya lelaki itu sama sekali tak mau mengangkat. Alhasil, mereka memilih kontak Abimana yang berada di daftar favorite kedua di ponsel Widya. "Ibunya juga ada masalah apa? Kalian bertengkar? Mbok ya bisa berpikir dengan baik loh. Sebentar lagi kalian punya anak, tapi kenapa Ibunya justru mengkonsumsi nanas dan obat keras?""Anak saya sudah mati, Bu?" tanya Widya mengabaikan pertanyaan bidan barusan. Bahkan, raut wajah Widya tidak ada sedih-sedihnya dan justru terlihat sangat penasaran. "Syukur