Sesuai kesepakatan bersama, Hanifa dan Respati akan menjalani prosesi pingit. Mereka tidak diperbolehkan bertemu sampai hari H. Awalnya, Respati menolak dengan tegas, tapi lelaki itu langsung diberi pengertian oleh kedua orang tuanya. Respati untuk sementara akan tinggal di rumah kontrakan miliknya atas permintaan Handoko. Sementara Hanifa akan tinggal di kediaman Handoko. Undangan juga sudah disebar. Mereka sepakat tidak mengundang Abimana karena tak mau membuat acara geger. Hanya Banu saja yang mendapat undangan dan entah pria paruh baya itu akan datang atau tidak.Seperti sekarang ini, di kediaman Banu tampak geger setelah mendapatkan undangan."Pokoknya Mama mau ikut! Sekalian Mama labrak itu si Respati yang berani-beraninya ambil calon mantunya Mama!" ucap Santi dengan menggebu. "Tapi, di tulisan ini hanya Papa yang di undang, Ma. Ya kali kamu mau ikut! Malu-maluin!" Banu dengan sabar memperlihatkan undangan tersebut supaya sang istri bisa membaca dengan jelas. Abimana dan Wi
Resepsi pernikahan Respati dan Hanifa sangat ramai. Banyak kolagen bisnis Handoko maupun kenalan Respati yang menghadiri undangan. Begitu juga dengan keluarga Abimana yang turut hadir, padahal yang di undang hanya Banu. "Yakin mau ikut masuk ke dalam sana?" tanya Banu kepada sang istri dan anak. Widya pun turut hadir di sana. "Yakin, dong, Pa. Masa Mama sudah dandan cantik begini, kok, malah nggak yakin? Mama juga sudah sedia beberapa kantong plastik buat simpan makanan!" balas Santi dengan nada sewotnya. Banu menghela napas. Jika boleh jujur, pria paruh baya itu sangat malu. Mau mencegah pun juga tidak bisa. Tiga lawan satu, jelas dia akan kalah telak. "Tidak lupa bawa amplop juga, kan?" tanya Banu lagi untuk memastikan. Jangan sampai keluarganya ikut dengannya, tapi lupa mengisi amplop."Sudah. Tadi Mama isi lima puluh ribu. Nggak usah banyak-banyak. Keluarga mereka keluarga kaya raya. Kamu isi berapa, Pa?" tanya balik Santi."Lima ratus ribu!" "Apa? Lima ratus ribu, Pa? Itu s
Setelah melewati prosesi akad nikah dan dilanjutkan dengan resepsi di malam hari tadi, akhirnya kedua pengantin baru bisa merehatkan diri di kamar mereka. Kamar pengantin baru itu sudah dihias dengan sedemikian rupa. Apalagi ranjangnya sudah dipenuhi dengan ribuan kelopak bunga mawar yang disusun berbentuk hati. "Ini dibuang saja, ya?" ujar Respati meminta persetujuan sang istri.Astaga, lelaki itu bahkan masih tak menyangka jika sekarang sudah memiliki istri. Apalagi, istrinya ini sangat cantik jelita. Rugi sekali Abimana melepaskan berlian hanya demi wanita matre seperti Widya. Hanifa yang tadinya tersenyum lebar pun kini langsung merengut sembari menatap wajah suaminya. Bisa-bisanya, kelopak mawar yang begitu indah itu akan dibuang?"Kok malah dibuang, sih, Mas? Kita foto dulu buat kenang-kenangan!" Hanifa sudah menduduki ranjangSementara Respati hanya bisa menghela napas. Walau begitu, dia tetap menuruti permintaan sang istri. Keduanya mulai duduk berdampingan dengan posisi
Sejak tadi Respati hanya bisa menghela napas di dalam ruang rawat Handoko. Istri dan Mamanya sedang memijat lengan sang Papa yang hanya berbaring lemah di atas brankar. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan mereka semua masih terjaga lantaran sang kepala rumah tangga mendadak diare parah setelah acara resepsi. Harusnya malam ini Respati akan melaksanakan malam pertama dengan sang istri. Sayangnya, semuanya gagal total."Wajahmu sejak tadi masam sekali, seperti tidak ikhlas menolong Papa!" singgung Handoko ketika melihat wajah masam sang anak. Sang empu kembali menghela napas. Entahlah, di sisi lain dia kesal luar biasa. Namun, tak mungkin juga dia marah-marah hanya karena malam pertamanya yang gagal."Ini semua salahmu, Pa. Sudah tau anaknya baru saja nikah, kamunya malah sakit begini. Besok-besok, makan sambal satu mangkok, biar makin diare!" Anisa langsung mengomeli sang suami yang menurutnya sangat bebal lantaran sejak dulu musuh suaminya itu adalah makanan pedas, tapi Hando
Hanifa mengerjap pelan ketika cahaya matahari tepat mengenai wajahnya. Perempuan itu merasa pening di kepala. Apalagi ketika mendapati tubuhnya kini terasa remuk redam setelah tadi malam berhasil dicampuri oleh sang suami. Sang pelaku masih tidur dengan nyenyaknya sembari memeluk dirinya dari belakang. Hanifa yang merasakan hal itu bahkan sampai ingin menangis, karena memang sesakit itu rasanya. "Mas. Bangun, Mas! Sudah pagi!" panggil Hanifa, tapi Respati justru semakin mengeratkan dekapannya. "Please, aku pengen mandi. Rasanya tubuhku nggak nyaman," lanjut wanita itu hampir menangis.Hanifa telah resmi menjadi seorang wanita. Sudah bukan gadis kinyis-kinyis seperti sebelumnya."Iya ini Mas bangun. Nggak usah nangis!" Respati langsung membuka mata dan membalikkan tubuh sang istri agar menghadap ke arahnyaHanifa yang diperlakukan sedemikian rupa pun langsung saja menghambur ke dalam pelukan sang suami. Wanita itu bahkan sampai terisak pelan hingga membuat Respati kaget bukan main.
"Sejak kapan hamil di luar nikah itu bisa buat iri orang lain, Mbak? Yang ada bikin malu dan bukannya itu aib, ya?" kekeh Hanifa dengan tampang mengejek.Jika dulu dia bisa diinjak sedemikian rupa dan hanya bisa menangis, maka berbeda dengan sekarang. Dia akan membalas jauh lebih kejam jika ada yang mengusik dirinya. Contohnya seperti Widya. Hanifa akan memperlakukan orang lain jauh lebih baik jika orang itu bisa baik padanya. Namun, jika ada orang kejam yang suka menginjak-injak harga diri orang lain, maka dia akan menanggapinya dan membalasnya. "Heh sembarangan. Aku sama Mas Abi itu mau nikah, bukannya belum nikah. Kita ini bentar lagi mau ngadain pesta jauh lebih mewah ketimbang pestamu yang kampungan itu!" sinis Widya yang masih tak mau kalah.Abimana bahkan sudah memberi kode pada sang kekasih supaya bisa menjaga perkataannya. Sayangnya, sepertinya wanita itu tak peduli dan terus saja mengoceh tak jelas. "Masih mau nikah, kan, Mbak? Tapi, nyatanya sudah nyicil anak. Ck, Mas Ab
Respati sejak tadi menghela napas ketika melihat wajah kesal dari Anisa. Bukan tanpa sebab wanita paruh baya itu merajuk seperti itu. Hal ini di karenakan menantu kesayangannya belum juga meminum jamu buatannya, tapi sudah muntah-muntah. Dia kira tadi Hanifa positif hamil, tapi ternyata mabok aroma jamu. Kusuma yang melihat bagaimana tersiksanya sang ipar bahkan tadi langsung berpamitan untuk pulang. Tak lupa dia membawa jamu buatan sang Mama supaya wanita paruh baya itu tak sedih. Mungkin nanti di tengah jalan ia akan membuang jamu tersebut. Bukannya durhaka, tapi ini demi keselamatan tubuhnya yang mungkin saja akan mual parah ketimbang Hanifa tadi. Anisa sendiri malah uring-uringan. Hendak memarahi Hanifa, tapi dia tak setega itu dengan menantu kesayangannya. Alhasil, Respati yang harus menanggung semuanya. "Ma. Di buang saja, ya? Rasanya benar-benar tidak enak!" Respati memohon dengan wajah lesunya. Sementara Hanifa hanya menatap miris ke arah sang suami dari kejauhan lantaran d
"Mama cuma kasihan, dia tadi jatuh di depan pagar rumah. Setelah Mama tanya, eh, katanya karena kelaparan!" balas Anisa sedikit cuek.Respati yang melihat itu tentu saja merasa kesal bukan main. Sementara Hanifa sama sekali tak berminat untuk menatap mantan suaminya yang sekarang ini persis seperti orang yang tak terurus. "Apa salahnya, sih, Nak, kita kudu nampung dia pagi ini. Anggap saja sedekah makanan, biar rezeki kita makin banyak. Siapa tau, dia sedang tidak punya uang untuk beli makan!"Anisa mendekati sang putra yang wajahnya masih masam sejak kedatangan Abimana. Apalagi, ketika melihat lelaki itu yang dengan tidak tau dirinya mulai mengambil tempat duduk di dekat Hanifa yang berseberangan dengan Respati. Harusnya itu tempatnya Anisa, tapi si tamu tidak tau diri ini justru duduk di sana supaya bisa berdekatan dengan Hanifa. "Buat dia jadi cacing kepanasan, Nak. Buat dia cemburu sampai mampus. Ini kesempatan, loh. Masa mau kalah sama duda jelek modelan kayak dia, sih?" bisi
Hanifa dengan telaten mengobati memar yang menghiasi wajah sang suami. Sementara Respati sejak tadi hanya bisa menatap lekat ke arah sang istri yang sama sekali tak pernah pamrih. Sialnya, dia bahkan sudah melukai hati wanitanya ini. "Sakit, Mas? Maaf, ya, kalau sakit, Mas tahan dulu!" ujar Hanifa begitu lembut Wanita itu sudah mengesampingkan ego untuk tidak memikirkan lebih dulu segala hal menyakitkan yang Respati berikan tadi. Sebagai seorang istri yang baik, dia harus bisa mengayomi suaminya. "Kamu lebih sakit, tapi masih bisa tanya begitu ke Mas, Dek? Mas menyesal, Dek. Maafkan Mas!" lirih Respati seraya mendesis pelan ketika memarnya terasa sakit.Hanifa melempar senyum. "Nggak papa. Akunya saja yang kasar. Maaf, ya, kalau aku tadi kasar. Aku cuma nggak suka dibilang ini dan itu oleh orang lain yang bahkan belum tau aku ini siapa," balas Hanifa dengan hati legowo.Detik itu juga, Respati langsung memeluk istrinya dengan begitu erat dan sesekali melabuhkan kecupan di kening.
"Lepas!" datar Hanifa seraya menyentak kasar tangan Respati.Hal ini sukses membuat Anisa terkejut bukan main. Dia menatap intens ke arah pasangan itu. Sepertinya, sedang ada perselisihan di antara mereka. "Dek. Mas minta maaf—""Buat apa minta maaf? Mas nggak salah, kok. Harusnya aku sadar diri nggak usah pergi ke sana. Supaya aku nggak direndahin sama orang dan juga supaya nggak dibentak-bentak sama suami sendiri!" lirih Hanifa memotong ucapan Respati.Sebenarnya, wanita itu sama sekali tidak mau membahas hal ini didepan mertuanya. Salahkan saja Respati yang justru memancing mereka untuk membahas hal iniAnisa pun semakin mengerutkan kening. Apalagi ketika mendengar penuturan dari sang menantu yang terdengar sangat menyayat hati."Kalian kenapa? Pati. Hanifa kamu apakan, hah?" tegas Anisa yang suaranya sangat tidak bersahabat. Hanifa terisak hebat yang seketika membuat Anisa semakin naik pitam. Respati pun bingung hendak berbuat apa. Mau kembali memeluk sang istri, tapi sang empu
"Loh, ngapain kamu ke situ? Itu loh punya calon istrinya Mas Pati. Dengan kata lain, suatu saat nanti itu punya saya, Delina Nugraha!" tegas wanita itu yang ternyata namanya Delina Nugraha. Pergerakan tangan Hanifa yang ingin membuka pintu kontrakan pun sontak saja terhenti. Ia menatap malas ke arah penghuni baru yang sialnya berada tepat di samping rumah kontrakan yang memang dikhususkan untuknya. Hanifa kembali tak menggubris dan hendak membuka pintu lagi. Sayangnya, Delina justru menarik kasar tubuh sang empu yang beruntungnya masih bisa menjaga keseimbangan. "Kamu itu apa-apaan, sih? Sudah dibilang jangan ke situ! Budeg apa gimana? Pergi sana!" usir Delina. Tidak tau saja jika wanita yang sedang di usir ini adalah ibu kontrakan dua puluh pintu yang salah satunya sedang dia tempati. "Mbak yang apa-apaan? Ini tempat saya, jadi saya bebas mau keluar masuk. Toh, saya juga punya kunci!" Hanifa yang kepalang dongkol tentu saja langsung mengangkat kunci kontrakan yang ia punya. Hal
Setelah hampir satu bulan masa pemulihan, Abimana pun sudah kembali berjalan dengan normal. Bahkan, wajahnya yang dulu sempat di perban, sekarang sudah tidak lagi. Perut Widya juga sudah mulai menonjol dan hal itu membuat Abimana semakin muak. Lelaki itu bahkan merencanakan sesuatu supaya bayi yang ada di dalam kandungan Widya bisa luruh begitu saja. "Mas Abi. Aku pengen makan pizza tapi Tante Santi yang buat!" rengek Widya, ketika mereka semua sedang berada di meja makan. Santi langsung menatap bengis ke arah wanita hamil itu. Semakin hari, ada saja permintaan nyeleneh dari Widya. Bahkan, dia seperti tak berpikir jika sekarang ini Abimana sedang menganggur. Pendapatan keluarga kecil itu hanya dari usaha konveksi yang dijalani oleh Banu dan Santi. Sayangnya, beberapa minggu ini penghasilan menurun karena banyak sekali para tetangga yang enggan ke sana. "Makan saja yang ada. Jangan banyak tingkah kamu!" sentak Santi kesal bukan kepalang. Sudah malas dan tidak pernah mau membantu
"Sayang—""Mas, kamu tau sendiri, kan, perempuan hamil itu sensitif sekali. Jangankan perempuan hamil, yang tidak hamil saja sangat sensitif kalau lihat beginian. Kamu habis ngapain, sih?" Nada bicara Hanifa mulai bergetar.Wanita itu sepertinya takut jika masa lalu yang buruk akan terulang lagi di saat dirinya baru saja pulih dan merasa bahagia. Respati lekas mendekat dan mulai mendekap erat tubuh Hanifa. Pecah sudah tangisan sang istri. Tangisan yang sangat menyayat hati. "Kamu tau sendiri kalau aku ini anak broken home. Masih kecil ditinggal pisah sama orang tua. Ayah nikah lagi, sementara Ibu pergi ke luar negeri dan sampai sekarang nggak balik lagi. Bahkan, aku juga pernah gagal berumah tangga. Aku nggak bisa dibeginikan, hiks ...."Hanifa mengeluarkan segala keluh kesalnya. Biarkan saja suaminya mengatai dirinya cengeng atau semacamnya. Yang jelas, wanita itu sedikit terguncang. Jemari Respati terulur untuk mengusap air mata Hanifa. Bahkan, sampai sekarang lelaki itu belum m
Santi menatap sinis ke arah Widya yang sejak pagi tadi sudah leha-leha menonton televisi. Padahal, pekerjaan di dapur masih banyak. Masakan belum rampung semua. Peralatan makan tadi malam pun juga belum di cuci.Seenak jidat wanita hamil itu malas-malasan. Jika dulu Santi selalu membela Widya. Kini, tidak lagi. "Wid. Masak sana, Tante mau bersihin depan rumah!" tegas Santi membuat Widya melotot seraya merengut."Tan, aku tuh lagi hamil. Masa iya Tante suruh masak? Bukannya apa, kalau wanita hamil itu cocoknya di manja!" tegas Widya kesal bukan main. "Masalahnya kamu bukan mantu Tante, ya. Kamu cuma numpang di sini. Sudah tidak kerja di perusahaan. Imbasnya pun juga ke Abi, kemarin dia di pecat sama Renjana, karena menganggap Abi tidak becus jagain kamu yang menjadi wanita gatal begitu," sinis Santi yang ucapannya terlalu pedas. Widya menghela napas. Demi apapun, dia itu jarang bekerja di dapur. Bahkan, untuk bersih-bersih rumah pun dia malas sekali. Maunya leha-leha, tapi uang data
Sejak semalam hingga pagi ini, Respati terus menerus muntah-muntah. Semua anggota keluarganya bahkan sampai panik sendiri. Lelaki itu tak bisa berjauhan dari sang istri. "Kamu kenapa, sih, Mas? Terlalu capek atau gimana? Perasaan kemarin siang masih baik-baik saja dan masih bisa bercanda sama aku." Hanifa tentu saja merasa sangat khawatir dengan keadaan sang suami. "Mau ke rumah sakit saja atau bagaimana?" tawar Anisa yang sama khawatirnya seperti yang di rasakan oleh sang menantu. "Di sini saja sama Nifa. Hirup aromanya Nifa mualnya jadi hilang!" lirih Respati.Jika biasanya lelaki itu sangat berwibawa dan penuh kharisma, berbeda dengan sekarang. Ia tampak terlihat sangat sayu dan pucat. "Lemah sekali, sih, kamu, Pati? Ini tuh namanya morning sickness. Biasanya wanita hamil yang mengalami, tapi ternyata kamu yang gantiin Nifa!" omel sang Nenek yang merasa sebal dengan cucu lelakinya.Respati sama sekali tak membalas ucapan sang Nenek. Lelaki itu sekarang ini sedang sibuk menghiru
Tengah malam, Respati terbangun dan terus menerus menghela napas. Dia tidak bisa tidur tanpa memeluk istrinya. Ini semua gara-gara peraturan nyeleneh dari sang Nenek. Jika bisa, dia ingin memulangkan wanita tua itu ke luar negeri lagi. "Punya istri, tapi kok tidur sendiri? Tidak bisa dibiarkan ini!" Respati akhirnya bangkit dari kamar. Ia lekas berjalan dengan tergesa menuju lantai bawah, lantaran kamar Nenek Laksmi ada di lantai satu. Wanita tua itu tentu saja sudah tak bisa naik turun tangga lantaran tubuhnya sudah ringkih di makan oleh usia. "Pati, mau ke mana?" Respati terkejut bukan main ketika tak sengaja berpapasan dengan sang Mama yang baru keluar dari kamar."Mau nyusulin istri, Ma. Pati tidak bisa tidur kalau tidak peluk Nifa," ujar Respati tanpa ada yang ditutupi.Anisa tertawa geli ketika mendapati anak sulungnya yang sangat bucin seperti ini. "Ya sudah, hati-hati. Kalau perlu, gendong saja Nifa bawa kembali ke kamar kalian. Jangan sampai Nenek kamu bangun, bisa heboh
Widya baru membuka mata setelah beberapa saat pingsan karena kebodohannya sendiri. Wanita itu mendapati keberadaan Abimana yang sebagian wajahnya masih di perban. Bahkan, salah seorang bidan juga ada di sana. "Harusnya Bapak jaga dengan baik kandungan istrinya!" omel bidan tersebut seraya menatap datar ke arah Abimana. Abimana datang, karena tadi sempat ditelepon oleh orang yang menolong Widya ketika pingsan dan pendarahan di taman. Sebenarnya, kontak pertama di ponsel Widya itu Bowo, tapi sialnya lelaki itu sama sekali tak mau mengangkat. Alhasil, mereka memilih kontak Abimana yang berada di daftar favorite kedua di ponsel Widya. "Ibunya juga ada masalah apa? Kalian bertengkar? Mbok ya bisa berpikir dengan baik loh. Sebentar lagi kalian punya anak, tapi kenapa Ibunya justru mengkonsumsi nanas dan obat keras?""Anak saya sudah mati, Bu?" tanya Widya mengabaikan pertanyaan bidan barusan. Bahkan, raut wajah Widya tidak ada sedih-sedihnya dan justru terlihat sangat penasaran. "Syukur