Setelah melewati prosesi akad nikah dan dilanjutkan dengan resepsi di malam hari tadi, akhirnya kedua pengantin baru bisa merehatkan diri di kamar mereka. Kamar pengantin baru itu sudah dihias dengan sedemikian rupa. Apalagi ranjangnya sudah dipenuhi dengan ribuan kelopak bunga mawar yang disusun berbentuk hati. "Ini dibuang saja, ya?" ujar Respati meminta persetujuan sang istri.Astaga, lelaki itu bahkan masih tak menyangka jika sekarang sudah memiliki istri. Apalagi, istrinya ini sangat cantik jelita. Rugi sekali Abimana melepaskan berlian hanya demi wanita matre seperti Widya. Hanifa yang tadinya tersenyum lebar pun kini langsung merengut sembari menatap wajah suaminya. Bisa-bisanya, kelopak mawar yang begitu indah itu akan dibuang?"Kok malah dibuang, sih, Mas? Kita foto dulu buat kenang-kenangan!" Hanifa sudah menduduki ranjangSementara Respati hanya bisa menghela napas. Walau begitu, dia tetap menuruti permintaan sang istri. Keduanya mulai duduk berdampingan dengan posisi
Sejak tadi Respati hanya bisa menghela napas di dalam ruang rawat Handoko. Istri dan Mamanya sedang memijat lengan sang Papa yang hanya berbaring lemah di atas brankar. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan mereka semua masih terjaga lantaran sang kepala rumah tangga mendadak diare parah setelah acara resepsi. Harusnya malam ini Respati akan melaksanakan malam pertama dengan sang istri. Sayangnya, semuanya gagal total."Wajahmu sejak tadi masam sekali, seperti tidak ikhlas menolong Papa!" singgung Handoko ketika melihat wajah masam sang anak. Sang empu kembali menghela napas. Entahlah, di sisi lain dia kesal luar biasa. Namun, tak mungkin juga dia marah-marah hanya karena malam pertamanya yang gagal."Ini semua salahmu, Pa. Sudah tau anaknya baru saja nikah, kamunya malah sakit begini. Besok-besok, makan sambal satu mangkok, biar makin diare!" Anisa langsung mengomeli sang suami yang menurutnya sangat bebal lantaran sejak dulu musuh suaminya itu adalah makanan pedas, tapi Hando
Hanifa mengerjap pelan ketika cahaya matahari tepat mengenai wajahnya. Perempuan itu merasa pening di kepala. Apalagi ketika mendapati tubuhnya kini terasa remuk redam setelah tadi malam berhasil dicampuri oleh sang suami. Sang pelaku masih tidur dengan nyenyaknya sembari memeluk dirinya dari belakang. Hanifa yang merasakan hal itu bahkan sampai ingin menangis, karena memang sesakit itu rasanya. "Mas. Bangun, Mas! Sudah pagi!" panggil Hanifa, tapi Respati justru semakin mengeratkan dekapannya. "Please, aku pengen mandi. Rasanya tubuhku nggak nyaman," lanjut wanita itu hampir menangis.Hanifa telah resmi menjadi seorang wanita. Sudah bukan gadis kinyis-kinyis seperti sebelumnya."Iya ini Mas bangun. Nggak usah nangis!" Respati langsung membuka mata dan membalikkan tubuh sang istri agar menghadap ke arahnyaHanifa yang diperlakukan sedemikian rupa pun langsung saja menghambur ke dalam pelukan sang suami. Wanita itu bahkan sampai terisak pelan hingga membuat Respati kaget bukan main.
"Sejak kapan hamil di luar nikah itu bisa buat iri orang lain, Mbak? Yang ada bikin malu dan bukannya itu aib, ya?" kekeh Hanifa dengan tampang mengejek.Jika dulu dia bisa diinjak sedemikian rupa dan hanya bisa menangis, maka berbeda dengan sekarang. Dia akan membalas jauh lebih kejam jika ada yang mengusik dirinya. Contohnya seperti Widya. Hanifa akan memperlakukan orang lain jauh lebih baik jika orang itu bisa baik padanya. Namun, jika ada orang kejam yang suka menginjak-injak harga diri orang lain, maka dia akan menanggapinya dan membalasnya. "Heh sembarangan. Aku sama Mas Abi itu mau nikah, bukannya belum nikah. Kita ini bentar lagi mau ngadain pesta jauh lebih mewah ketimbang pestamu yang kampungan itu!" sinis Widya yang masih tak mau kalah.Abimana bahkan sudah memberi kode pada sang kekasih supaya bisa menjaga perkataannya. Sayangnya, sepertinya wanita itu tak peduli dan terus saja mengoceh tak jelas. "Masih mau nikah, kan, Mbak? Tapi, nyatanya sudah nyicil anak. Ck, Mas Ab
Respati sejak tadi menghela napas ketika melihat wajah kesal dari Anisa. Bukan tanpa sebab wanita paruh baya itu merajuk seperti itu. Hal ini di karenakan menantu kesayangannya belum juga meminum jamu buatannya, tapi sudah muntah-muntah. Dia kira tadi Hanifa positif hamil, tapi ternyata mabok aroma jamu. Kusuma yang melihat bagaimana tersiksanya sang ipar bahkan tadi langsung berpamitan untuk pulang. Tak lupa dia membawa jamu buatan sang Mama supaya wanita paruh baya itu tak sedih. Mungkin nanti di tengah jalan ia akan membuang jamu tersebut. Bukannya durhaka, tapi ini demi keselamatan tubuhnya yang mungkin saja akan mual parah ketimbang Hanifa tadi. Anisa sendiri malah uring-uringan. Hendak memarahi Hanifa, tapi dia tak setega itu dengan menantu kesayangannya. Alhasil, Respati yang harus menanggung semuanya. "Ma. Di buang saja, ya? Rasanya benar-benar tidak enak!" Respati memohon dengan wajah lesunya. Sementara Hanifa hanya menatap miris ke arah sang suami dari kejauhan lantaran d
"Mama cuma kasihan, dia tadi jatuh di depan pagar rumah. Setelah Mama tanya, eh, katanya karena kelaparan!" balas Anisa sedikit cuek.Respati yang melihat itu tentu saja merasa kesal bukan main. Sementara Hanifa sama sekali tak berminat untuk menatap mantan suaminya yang sekarang ini persis seperti orang yang tak terurus. "Apa salahnya, sih, Nak, kita kudu nampung dia pagi ini. Anggap saja sedekah makanan, biar rezeki kita makin banyak. Siapa tau, dia sedang tidak punya uang untuk beli makan!"Anisa mendekati sang putra yang wajahnya masih masam sejak kedatangan Abimana. Apalagi, ketika melihat lelaki itu yang dengan tidak tau dirinya mulai mengambil tempat duduk di dekat Hanifa yang berseberangan dengan Respati. Harusnya itu tempatnya Anisa, tapi si tamu tidak tau diri ini justru duduk di sana supaya bisa berdekatan dengan Hanifa. "Buat dia jadi cacing kepanasan, Nak. Buat dia cemburu sampai mampus. Ini kesempatan, loh. Masa mau kalah sama duda jelek modelan kayak dia, sih?" bisi
"Halo, maaf saya yang mengangkat, Abimana baru saja keluar. Tasnya ini ketinggalan di rumah saya!" ujar Anisa setelah mengangkat telepon dari Widya. "Share lokasi cepat! Aku mau labrak kamu. Berani-beraninya cewek murahan kayak kamu didatangi Mas Abi. Mas Abi itu kekasihku!" teriak Widya kepalang emosi. Mudah sekali membuat wanita itu marah. Anisa bahkan sampai menahan tawa. Sementara Handoko hanya membiarkan saja tingkah istrinya yang begitu jahil ini.Respati pula langsung pergi ke kamar. Tak lupa lelaki itu membawa makanan lantaran istrinya tadi belum sempat makan, tapi sudah tak selera duluan karena kehadiran Abimana. "Langsung datang ke kantor saja, ya, Mbak. Saya tidak mau berurusan dengan Mbak. Yang saya tau intinya tadi Abimana datang ke sini meminta sarapan. Sebagai perempuan baik, saya beri dia sarapan. Masalah tasnya yang ketinggalan, nanti biar saya suruh orang untuk mengantar di rumahnya, ya!"Tut!Anisa menyeringai pelan. Sudah pasti nanti Widya akan membuat keributa
Abimana pulang ke kediaman kedua orang tuanya dengan membawa barang-barang miliknya semasa bekerja di kantor. Lelaki itu benar-benar didepak oleh Om-nya sendiri karena perbuatan Widya yang membuat onar di kantor. "Loh, baru jam segini kok malah keluyuran ke sini, Bi?" heran Banu yang lebih dulu melihat kedatangan sang anak. Abimana belum menjawab dan justru langsung menangis setelah duduk di sofa ruang tamu. Tak lupa lelaki itu meletakkan satu kardus besar barang-barang miliknya. "Kamu itu kenapa? Masa lelaki menangis? Apa tidak malu?" tanya Banu lagi, tapi justru membuat tangisan Abimana semakin kencang. Banu yang merasa ada yang tak beres dari sang anak pun gegas saja pergi dari ruang tamu untuk memanggil sang istri.Beberapa saat kemudian, pria paruh baya itu kembali ke ruang tamu bersama Santi yang seketika syok bukan main. "Kamu kenapa, Bi? Bilang sama Mama! Siapa yang buat anak jantannya Mama nangis kayak gini, hah?" panik Santi.Banu yang melihat tingkah istrinya hanya bi
"Mas. Malam ini aku boleh keluar sebentar?" tanya Hanifa setelah keluar dari kamar mandi. Wanita itu baru saja selesai mandi dan masih mengenakan jubah mandi. Respati yang tadinya sibuk memantau perkembangan pembangunan rumah yang tadi sempat di kirim oleh kepala proyek lewat video pun seketika mendongak."Mau ke mana? Mas bakal temani!" ujar Respati setelah meletakkan kembali gawai yang sejak tadi dia pegang. Hanifa terlihat sedikit gugup. Wanita itu ingat betul jika pesan yang tadi dia dapat, mengharuskan dirinya untuk keluar sendiri menemui si pengirim. Lantaran sang istri tak langsung menjawab, lelaki itu bahkan sampai memicingkan mata. Ia gegas mendekati Hanifa dan memojokkan sang istri di dinding dekat pintu kamar mandi. "Mas tanya, loh, Dek. Kenapa tidak dijawab?" heran Respati seraya menatap lekat wajah Hanifa yang kentara sekali sedang gugup."M-mau pergi sama teman—""Teman yang mana, Sayang? Coba kalau bicara itu tatap mata Mas. Mas pengen lihat!"Mau tak mau, Hanifa me
"Aduh, menantu Mama kok tambah cantik, sih?" Hanifa dan Respati baru saja pulang langsung di hadang oleh Anisa. Wanita paruh baya itu sangat terkesima dengan penampilan baru sang menantu. Wajahnya semakin cantik dengan warna rambut yang dirubah menjadi sedikit kecoklatan. "Cocok, tidak, Ma?" Bukan Hanifa yang bertanya melainkan Respati. Jika boleh jujur, lelaki itu rasanya semakin tergila-gila dengan kecantikan sang istri yang paripurna. Dia sama sekali tak bisa melirik ke arah wanita lain lantaran istrinya sendiri saja sudah sangat menggoda seperti ini. Berkat bantuan Kusuma, Hanifa benar-benar bisa merawat diri dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya sangat mulus. "Cocok sekali. Pokoknya kalau Nifa mau pergi ke luar, kamu sebagai suami harus ikut. Jangan sampai lelaki di luaran sana kepincut sama kecantikan menantu Mama!"Hanifa tersipu malu. Suami dan mertuanya ini sangat berlebihan dalam memuji dirinya. "Sudah, jangan dipuji lagi, Ma. Nanti aku besar kepala, loh. Ini
Hanifa keluar lebih dulu dan berjalan santai menuju ruang tunggu untuk menunggu kedatangan sang suami yang mungkin sebentar lagi akan sampai. Semerbak aroma harum dari tubuh Hanifa rupanya membuat fokus pria paruh baya yang tak lain adalah Bowo, pun mulai menoleh dan mendapati sosok wanita cantik yang sedang duduk di ujung. Bowo bahkan sampai membasahi bibir bawahnya ketika melihat pemandangan yang begitu sayang untuk di lewatkan. Namun, pria paruh baya itu merasa sangat familiar dengan wajah cantik itu. Seolah tak asing untuk dirinya. "Cantik. Sudah melakukan biaya administrasi?"Hanifa terkejut bukan main dan sontak saja menoleh. Tangannya mengarah pada dirinya sendiri seolah bertanya apakah dia yang sedang di ajak bicara atau bukan?"Iya kamu. Kalau belum, Om bisa bayarkan sekalian Om bayar punya teman Om! Bagaimana?" tawar Bowo dengan tatapan laparnya.Hanifa sampai bergidik ngeri. Dia tak menyangka jika mantan Papa mertuanya punya saudara yang menjijikkan seperti ini. "Om lup
Sesuai janji yang pernah di ucapkan oleh Respati atas usulan Anisa, lelaki itu membawa sang istri ke klinik kecantikan milik Kusuma. Jika dulu Hanifa bekerja di sini, maka sekarang wanita itu akan menikmati segala fasilitas di klinik tanpa menunggu traktiran dari mantan bosnya (Kusuma)"Mau ditunggu atau Mas boleh pergi sebentar?" tanya Respati pada sang istri.Hanifa tersenyum geli. Dia tak akan membiarkan suaminya sibuk menunggu dirinya yang perawatan. Sudah pasti akan memerlukan waktu yang cukup lama. "Kamu pergi saja, Mas, kalau memang ada kerjaan atau urusan apapun. Nanti kalau aku sudah selesai bisa kamu jemput, atau naik taksi juga boleh!" "Jangan naik taksi! Mas akan jemput kamu. Nanti kabari saja, ya, Sayang!" Hanifa mengangguk seraya memejamkan mata ketika Respati memberikan kecupan di kening. Setelahnya, Respati langsung pergi dari klinik tersebut dan membiarkan sang istri melakukan serangkaian perawatan. Hari ini Kusuma tidak datang ke klinik, tapi sudah mengabari pad
Widya dengan terpaksa mengikuti langkah Abimana yang tengah mendekat ke arah penjual es teh di pinggir jalan. Wanita itu menatap jijik dan merasa tak nyaman."Pak. Es tehnya 1, ya!" ujar Abimana yang dibalas senyuman oleh penjual tersebut. Lelaki itu melirik ke arah Widya yang sudah merengut tak suka. Dia cukup paham jika gaya hidup kekasihnya ini sangat hedon. Bukan hanya dalam segi penampilan, tapi juga dengan makanan yang maunya makanan enak dan mahal. "Ini Mas pesanannya. Mbaknya tidak sekalian minum?" tanya penjual tersebut yang seketika membuat Widya mendelik."Maaf, ya, Pak. Saya anti minum minuman di pinggir jalan kayak gini!" balas Widya dengan angkuh.Untung saja si penjual sama sekali tak merasa tersinggung dan hanya menanggapi dengan senyuman teduh. "Harganya berapa, Pak?" tanya Abimana kalem."Lima ribu, Mas!"Abimana pun mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu yang tadi dia minta dari Widya. "Kembaliannya ambil saja, Pak!""Terima kasih, Mas. Semoga rezeki Mas meli
Di tengah kesunyian malam, kedua insan itu masih sibuk dengan kegiatan panasnya. Sang istri hanya bisa mengeluarkan suara merdunya sementara sang suami masih berpacu dan bergerak dengan liar."Mas. Aku capek ...," cicit Hanifa seraya mencengkram kuat bahu sang suami yang masih dengan gagahnya bergerak di atas tubuhnya seolah stamina dari lelaki itu tiada habisnya. "Sebentar, Sayang. Sebentar lagi Mas akan keluar!" bisik sang suami seraya melabuhkan beberapa kecupan hangat di kening dan leher. Hanifa hanya bisa pasrah menuruti segala kemauan sang suami. Wanita itu lelah, bahkan sangat lelah. Ingatkan besok untuk memberikan jeweran panas di telinga sang suami."Mas. Aku mau sampai!" jerit Hanifa yang berakhir terisak hebat. Dia tak kuat menerima serangan demi serangan kenikmatan dari sang suami. "Tahan sebentar. Kita keluar bersama!" tekan Respati membuat Hanifa geleng-geleng kepala.Hanya hitungan detik, mereka kembali mendapatkan pelepasan yang beradu menjadi satu, hingga kegelapan
Di sinilah kedua insan itu berada, di atas kapal layar yang sedang menyusuri sungai Seine. Respati sengaja membawa sang istri ke tempat yang tak kalah romantis ini supaya suasana hati Hanifa kembali membaik setelah tadi mengaku cemburu. Hanifa bahkan sudah melupakan rasa cemburunya tadi dan kini terus tersenyum memandang hamparan sungai tersebut dengan perasaan penuh haru. "Bagaimana perasaannya? Apa masih marah sama Mas?" tanya Respati penasaran dan dibalas gelengan oleh Hanifa. "Aku sayang kamu. Maaf kalau tingkahku tadi sangat kekanakan. Padahal niat kamu baik, Mas!" Hanifa menatap sendu ke arah suaminya yang kini hanya mengenakan kaos hitam saja, lantaran jaket besar lelaki itu sudah menutupi tubuhnya.Respati terkekeh dan tak lupa melabuhkan kecupan manis di pipi sang istri. Setelahnya, mereka duduk dengan posisi sang suami yang sedang mengukung tubuh istrinya dari belakang. "Mas justru suka kalau kamu seperti itu. Itu artinya, kamu cemburu!" bisik lelaki itu yang sejujurnya
Baru saja membuka pintu balkon, keduanya sudah disuguhi dengan pemandangan menara eiffel yang begitu memanjakan mata. Hanifa tersenyum sumringah seraya merentangkan tangan menikmati semilir angin yang berhembus di pagi hari. Respati yang tadinya berada di samping, kini langsung berpindah ke belakang tubuh sang istri. Memeluk wanitanya dengan begitu erat. Sang empu yang mendapat serangan mendadak pun justru memilih untuk menyenderkan tubuhnya di pundak sang suami."Mas. Aku bahagia, terima kasih banyak. Sekalinya ke luar negeri, aku bisa mengunjungi tempat indah seperti ini. Apalagi saat di Maldives lalu. Semuanya sangat indah." Suara Hanifa mendayu membuat Respati tersenyum lebar. "Tidak perlu berterima kasih. Sebisa mungkin Mas akan buat kamu bahagia, Sayang!" bisik lelaki itu seraya memberikan beberapa kecupan di pipi sang istri. Keduanya sama-sama menikmati moment indah lewat balkon hotel yang harga sewanya sangat fantasy. Beberapa saat kemudian, Respati dan Hanifa sudah siap
Hanifa sudah melupakan semua rasa sesak di dada ketika mengingat semua tentang kedua orang tuanya yang dengan tega membiarkan dia sendirian sejak kecil. Bahkan, wajah keduanya saja sudah wanita itu lupakan sejak lama.Sekarang, waktunya bersenang-senang untuk menikmati bulan madu dengan sang suami. Malam ini pun Hanifa berniat untuk menyenangkan sang suami. Wanita itu sudah berada di dalam kamar mandi dengan membawa satu set lingerie pemberian dari Kusuma. Lingerie kali ini ia pilih warna hitam. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang lumayan putih untuk ukuran orang Indonesia yang kebanyakan berkulit kuning langsat. Mungkin juga karena dia selalu rutin perawatan selama proses perceraiannya dulu sampai sekarang ini. "Dek. Masih lama di dalam kamar? Nanti masuk angin, loh!" Suara Respati menggema seraya tangannya sibuk mengetuk pintu kamar mandi.Lihatlah, hal sekecil ini saja Respati sudah bisa membuat Hanifa tersenyum cerah. Lelaki itu selalu bisa membuat jantung istrinya berdeta