Respati sudah menunggu Hanifa sejak tadi. Lelaki itu sepertinya tak sabar untuk melakukan kencan pertama dengan sang pujaan hati. Bahkan, dia hanya ke tempat fitness dari jam delapan pagi sampai jam sepuluh. Selebihnya, Respati gunakan untuk bersiap-siap seperti bercukur dan lain sebagainya. Kusuma yang sejak tadi melihat tingkah sang Kakak pun hanya menghela napas. Respati seperti remaja yang sedang masuk fase puber. Padahal lelaki itu usianya sudah memasuki kepala tiga. Astaga, ternyata efek jomblo selama itu membuat lelaki gagah macam Respati bisa segila ini. "Mas. Dari tadi aku lihatin kamu terus natap cermin, loh. Padahal sudah ganteng begitu!" tegur Kusuma seraya mendekati sang Kakak yang sedang duduk di ruang tunggu. Kebetulan, di depan sana ada cermin full body yang menempel di dinding hingga membuat Respati terus menerus bercermin."Mas kurang apa, Dek? Hari ini rencana mau ajak Nifa kencan." Respati meminta pendapat sang Adik yang hanya bisa menghela napas dengan sabar."
Bruk!"Siapa kamu, hah? Kenapa lancang sekali?" jerit Hanifa setelah berhasil mendorong kencang tubuh lelaki yang dengan teganya melakukan hal tercela padanya.Lelaki tersebut sengaja mengenakan topi dan kacamata hitam. Setelah semuanya dibuka, betapa kagetnya Hanifa ketika mengetahui siapa yang sudah melecehkannya. Dia adalah Abimana, mantan suaminya. Mengetahui hal tersebut tentu saja membuat Hanifa murka bukan main."Kenapa kamu lakuin semua itu ke aku, Mas? Bukannya kamu jijik sama aku, hah?" Jerit Hanifa merasa tak terima.Dulu dia memang mendambakan dicintai sepenuhnya oleh Abimana. Disentuh sesuka hati Abimana. Sayangnya, itu dulu. Sekarang sudah berbeda. Cinta untuk Abimana sudah menghilang. Jika tersisa, mungkin hanya sedikit sekali. Selebihnya, hanya ada rasa sakit."Aku nggak jijik sama kamu. Aku tarik kata-kataku dulu. Maaf, baru telat menyadari perasaanku!" Abimana menampilkan wajah sendu.Sayangnya, semua itu tak mampu membuat Hanifa melunak. Ia justru semakin kencang
Hanifa sudah kembali ke kontrakan dengan langkah gontai. Respati pun setelah mengantarnya langsung pergi begitu saja lantaran masih memiliki urusan. Perempuan itu ingin menjernihkan pikiran setelah tadi mengatakan hal yang begitu memalukan di depan Respati. Bisa-bisanya dia tadi menjawab jika seharusnya semua yang ada pada dirinya, Respati yang harus menjadi yang utama memilikinya. "Bodoh! Harusnya tadi jaga omongan. Supaya nggak ngelantur begitu. Ingat, Nifa! Kamu itu seorang janda. Jangan sampai dicap buruk oleh orang lain!" keluh Hanifa merasa menyesal.Walau bagaimana juga, Respati ini seorang lelaki yang bukan mahramnya. Tidak seharusnya dia berkata demikian. Toh juga takdir tak ada yang tau. Takutnya jika mereka sudah terlalu jauh, ujung-ujungnya tidak berjodoh. Malam pun tiba, seperti biasa, Respati sedang bertamu di salah satu rumah kontrakan miliknya. Tentu saja lelaki itu sedang menemui sang pujaan hati. Hanifa keluar dengan membawakan secangkir teh untuk Respati."Dimin
Bruk!"Aduh!" pekik Hanifa ketika tubuhnya terjatuh dari ranjang.Perempuan itu mengerjap beberapa kali. Masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Setelah mengingat, barulah dia gegas melihat ke arah tubuhnya. Ternyata masih berpakaian lengkap. Berarti, yang barusan itu adalah mimpi? Hanifa sangat bersyukur dan gegas mengganti baju tidur yang lebih sopan. Sekalipun dia hanya tinggal sendiri, tapi tetap saja dia harus selalu waspada. Apalagi setelah memiliki mantan sinting seperti Abimana. Tak lupa juga dia mengintip ke arah luar jendela dan ternyata di sana masih ada dua satpam dan dua bodyguard untuk menjaga keamanan kontrakan. Syukurlah, karena semuanya masih aman terkendali.Hanifa melirik ponselnya yang berdering. Entah siapa yang menghubunginya malam-malam begini. Alhasil, ia memutuskan untuk mendekati nakas dan ternyata itu adalah panggilan dari Respati. "Halo, Mas Pati. Kenapa, Mas?" tanya Hanifa penasaran. Gadis itu memilih duduk di tepi ranjang seraya mengusap butiran k
Ternyata, tanpa kehadiran Respati, membuat Hanifa merasa kesepian. Biasanya lelaki itu akan menjemputnya pulang kerja, sekarang tidak. Hanifa merenggangkan ototnya yang lumayan pegal lantaran jadwal klinik hari ini sangat ramai. Jam pulang pun harus diundur. Walau begitu, tadi dia mendapatkan bonus perawatan wajah dari Kusuma. Gadis itu tak jadi mengeluh capek lantaran pulang dari klinik, wajahnya justru semakin cerah dan berseri. "Kamu pulang naik apa, Nifa? Apa mau Mbak antar dulu?" tanya Kusuma seraya menghampiri Hanifa.Suasana klinik masih ramai, tapi sudah ditangani oleh karyawan Kusuma yang lainnya. Perempuan itu hanya ingin menjalankan amanah dari Masnya untuk menjaga Hanifa. Sesayang itu ternyata Respati."Nggak usah, Mbak. Aku sudah pesan ojol. Aku juga mau belanja kebutuhan dapur!" "Kamu nggak papa naik ojek? Mbak takut kamu kenapa-napa, terus Mas Pati nyalahin Mbak lagi?" Kusuma begitu khawatir.Hanifa yang mendengarnya lantas tersenyum simpul. Hatinya semakin berbunga
Widya sejak tadi menangis sesenggukan di dalam kamar. Kondisi keningnya cukup memprihatinkan. Terdapat benjolan besar setelah terkena hantaman galon air yang awalnya dia ingin menimpuk Hanifa, tapi justru karma lebih dulu datang padanya."Mas. Aku maunya kamu labrak Hanifa. Keningku jadi korban keganasannya, Mas!" rengek Widya.Wanita itu memang sudah tinggal serumah terlalu lama dengan Abimana tanpa adanya ikatan. Jika ditanya ke mana kedua orang tuanya, maka jawabannya berada di kota lain untuk mengurusi bisinis keluarga. Alhasil, wanita itu bisa hidup bebas tanpa kekangan orang tua. Apalagi setelah bertemu dengan Santi dan Abimana. Ia justru semakin menjadi. Terlebih, dia sudah dijanjikan pernikahan mewah oleh Abimana walau kenyataannya belum terpenuhi sampai sekarang. Masih menunggu warisan. "Itu salah kamu sendiri. Kenapa mau pukul Hanifa? Untung kamu nggak di laporin ke kantor polisi!" gerutu Abimana. Dia sudah tau cerita yang sebenarnya dari Santi ketika tadi wanita paruh b
"Kayaknya aku harus pindah kontrakan. Aku nggak enak sama mereka yang bayar kontrakan, sementara aku nggak."Ini juga yang menjadi beban Hanifa. Dia memang memiliki tetangga yang ramah. Tapi, di lain kesempatan, sudah pasti para tetangga menyinggung hal ini.Seharusnya ini menjadi sebuah rahasia, tapi tetap saja mereka tau. Mungkin saja ia sempat terpergok oleh salah satu warga kontrakan ketika hendak menyerahkan uang, tapi ditolak dengan tegas oleh Respati. Hal ini sering terjadi."Kenapa harus pindah? Mas tidak setuju kalau kamu pengen pindah!" tegas Respati dari seberang sana. Nadanya juga kentara sekali jika lelaki itu tengah menahan kesal. "Aku nggak enak sama mereka. Pasti mereka iri!" keluh Hanifa. Lebih baik dia mulai hidup mandiri ketimbang terus menerus merepotkan Respati.b"Ya sudah—""Kamu bolehin aku pindah?" potong Hanifa dengan wajah yang berbinar cerah. Respati menggeleng seraya menatap datar ke arah layar ponsel. Enak saja mau pindah. Takutnya nanti pertemuan mere
Di sinilah Hanifa dan Banu berada, di sebuah gazebo samping kediaman pria paruh baya itu. Mereka sedang menikmati beberapa menu lezat buatan dari Santi.Seandainya Banu tadi tak memanggil dirinya, mungkin dia akan langsung pergi. Hanya saja, tak mungkin bagi gadis itu untuk menolak permintaan dari pria paruh baya yang sangat baik padanya selama menikah sengan Abimana dulu."Bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama tidak bertemu. Terakhir, Papa melihat kamu ketika di kantor pengadilan agama!" sapa Banu dengan wajah kalemnya.Hanifa tersenyum. "Baik, Pa. Papa sendiri bagaimana? Sehat, kan?" Banu terkekeh samar. Jika dikatakan sehat, tapi pikirannya terus kacau karena perbuatan anak semata wayangnya. "Badannya sehat, hanya kepalanya saja yang banyak pikiran. Semua ini karena Papa punya anak goblok macam Abimana. Papa kesal sekali sama dia!"Abimana yang sedang berdiri di dekat pintu pun hanya bisa mendengus. Jangan sampai Papanya itu bicara yang tidak-tidak hingga membuat Hanifa ilfeel kepad
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa