Hanifa menatap sendu beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Sudah malam begini, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Abimana. Ini bahkan sudah terhitung tiga hari lamanya Abimana tak pulang ke rumah.
Gadis itu juga enggan untuk menyentuh makanan yang ia masak sore tadi.
"Pokoknya aku mau diet. Aku pengen kurus supaya Mas Abi bisa cinta sama aku!" monolog Hanifa dengan penuh tekad.
Walau sejujurnya, makanan di atas meja sangat menggugah selera. Tapi, Hanifa sedang berusaha keras untuk menahan keinginannya.
Waktu semakin larut, sementara perut Hanifa semakin keroncongan. Namun, dia tetap berusaha untuk menahan diri supaya tak tergoda dengan makanan.
Pada akhirnya, Hanifa memilih untuk masuk ke dalam kamar dengan memegangi perutnya yang terasa perih.
"Mas Abi, aku bakal berusaha untuk cantik. Tapi, aku bingung, dia sudah bilang talak tiga ke aku. Kita ini sekarang apa? Masih suami istri atau sudah bukan?"
Di tengah malam yang sunyi ini, Hanifa kembali menangis, meratapi pernikahannya yang berada di ujung tanduk.
"Setidaknya aku mau kasih kesan buat Mas Abi, supaya kami bisa bersatu lagi. Aku pengen punya keturunan dari Mas Abi," ujar Hanifa sebelum benar-benar memejamkan mata.
Keesokan harinya, Hanifa dikejutkan dengan tendangan kecil di kakinya. Gadis itu lekas terbangun dan mendapati sosok Abimana yang begitu gagah.
Sayangnya, Abimana justru menatap datar pada Hanifa.
"Kita sebaiknya pisah kamar. Jangan lupa bersihkan semua barang-barangmu dan pindah kamar yang dekat dengan dapur."
"Tapi, Mas ...,"
Hanifa menghela napas ketika dia belum selesai bicara, tapi justru ditinggal begitu saja.
"Aku nggak bakal mau pisah kamar sama dia! Enak saja. Aku nggak mau pisah sama Mas Abi!" gerutu Hanifa yang benar-benar keras kepala.
Ya, mau bagaimana lagi, Abimana itu merupakan sosok cinta pertama Hanifa. Dia sudah kehilangan kasih sayang sosok ayah kandungnya lantaran kedua orang tuanya bercerai ketika usia Hanifa yang masih kanak-kanan.
Ayahnya memilih untuk menikah lagi dan tak pernah memberikan dia nafkah. Sementara Ibunya saat itu memilih untuk bekerja ke luar negeri menjadi seorang TKI. Sayangnya, sampai sekarang pun sang Ibu sama sekali tak ada kabar.
Hanifa kecil hanya di asuh oleh Paman dan Bibinya. Sampai dia mulai dewasa dan bertekad untuk pergi merantau ke kota hingga pada akhirnya bertemu dengan sosok almarhum Kakek Abimana semasa Beliau masih hidup.
Dari sanalah ia mengenal dan jatuh cinta dengan Abimana. Mengingatnya saja sudah membuat Hanifa menitikkan air mata.
"Jadi dewasa itu susah, ya. Apalagi kalau punya fisik jelek begini. Nggak pernah dihargai sama orang lain," keluh Hanifa seraya keluar dari kamar.
Samar-samar ia mendengar suara obrolan antara lelaki dan perempuan di ruang tamu. Hanifa pun memutuskan untuk mengintip dan matanya membelalak sempurna ketika mendapati suaminya sedang kedatangan tamu. Seorang wanita cantik yang memiliki body aduhai
"Mas Abi, siapa dia?" tanya Hanifa penasaran. Ia memilih untuk mendekati sang suami.
Suami? Masih pantas, kah, Abimana disebut sebagai suaminya? Entahlah, Hanifa pun bingung dengan status mereka.
"Saya Widya. Semalam Tante Santi nyuruh aku ke sini buat temu kangen sama Mas Abi. Mbaknya ART di sini, ya?" Suara halus dari wanita yang bernama Widya itu terdengar sangat menyebalkan di telinga Hanifa.
Bahkan, tangan Hanifa sudah gatal sekali ingin menggampar mulut sialan itu.
"Kamu siapanya Mas Abi, kok, sampai temu kangen kayak gini?" tanya Hanifa.
"Mas Abi, coba jelaskan sama ART-nya, Mas, dong. Bilang sama dia kalau aku ini calon pacarnya Mas." Widya langsung bergelanyut manja di lengan kekar Abimana.
Hanifa yang sudah tak bisa menahan emosi pun langsung menghempaskan tangan Widya.
"Lancang sekali kamu nyentuh suami aku kayak gini!" Pelakor harus dibasmi, begitulah isi pikiran Hanifa.
"Suami? Mas, yang benar saja kamu nikah sama perempuan gembrot macam dia?" Widya menatap remeh ke arah Hanifa seraya bersedekap dada.
"Hanifa, mending kamu masuk ke dalam kamar saja. Jangan membuat tamuku nggak nyaman!" tegur Abimana yang sebenarnya sangat malu ketika Widya tau jika dia pernah menikahi wanita jelek ini.
"Nggak. Selama ini aku diam saja bukan berarti bisa ditindas terus. Aku nggak mau rumahku dikotori sama pelakor jelek macam dia!" Hanifa gegas maju dan menyeret Widya keluar dari rumah.
Abimana mendorong Hanifa hingga membuat kedua wanita itu terjatuh. Sayangnya, Abimana justru memilih untuk mendekati Widya dan menolongnya
"Mas Abi. Si gembrot itu kayak raksasa. Aku takut. Aku pengen pergi dari sini!" rengek Widya dengan nada manja. "Kakiku juga sakit, Mas. Nggak bisa jalan ini!"
Tanpa ba bi bu lagi, Abimana langsung mengangkat tubuh ramping Widya dan membawanya pergi dari sana.
"Mas Abi. Aku juga sakit, Mas!" jerit Hanifa, tapi hanya di anggap angin lalu oleh Abimana.
Hanifa bangkit dan berjalan terseok. Dia sudah lelah menangis. Gadis itu memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk membereskan pakaiannya. Dia berubah pikiran dan memilih pindah ke kamar dekat dapur sesuai dengan permintaan Abimana tadi.
"Kalau aku tetap tidur di kamar ini, aku nggak bakal fokus buat diet, yang ada malah sakit hati terus!" keluh Hanifa.
Dia belum menyerah. Justru ini adalah awal dari segalanya.
Hanifa menatap sekeliling kamar. Banyak kenangan pahit di kamar ini selama satu tahun menikah dengan Abimana.
Langkahnya membawa tubuh gempal itu menuju cermin full body.
"Aku juga nggak minta ditakdirkan jadi gendut seperti ini. Apalagi, wajahku penuh sekali dengan jerawat!" monolognya seraya memegangi perut bagian bawahnya yang bergelambir.
"Aku yakin kalau aku bisa kurus dan cantik seperti wanita yang sedang bersama Mas Abi." Hanifa tersenyum sendu. Dia akan berusaha keras untuk mewujudkan mimpinya.
Tekadnya sudah kuat. Hanifa pun langsung menyeret koper untuk meninggalkan kamar tersebut.
Hari demi hari dilalui dengan sangat berat. Bahkan, Hanifa sempat beberapa kali pingsan karena menahan lapar dan hanya makan sayuran rebus beserta buah-buahan.
Abimana saja sampai heran lantaran Hanifa sudah tak pernah memasak. Walau begitu, ia sama sekali tak protes, tapi justru bisa bernapas dengan lega lantaran beras tidak gampang habis. Urusan perut, Abimana tidak banyak memikirkan lantaran sering makan menumpang di kediaman orang tuanya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Abimana ketika mendapati Hanifa yang sedang mengenakan baju olahraga.
Hanifa menatap sinis ke arah Abimana yang semakin hari semakin lengket dengan Widya.
"Bukan urusan kamu. Urus itu si pelakor supaya tidak gatal dengan suami orang!"
Brak!
Belum sempat Abimana dan Widya menyela, tapi pintu ruang tamu sudah dibanting kencang oleh Hanifa.
Napas Hanifa kembang kempis. Ia memilih untuk berlari dengan napas tersengal. Baru beberapa meter saja rasanya luar biasa lelahnya. Alhasil, Hanifa memilih untuk istirahat sejenak demi mengurangi rasa lelah.
Sayup-sayup gadis itu mendengar obrolan beberapa wanita yang sedang membeli sayur di pedagang keliling.
"Gimana, sih, caranya supaya badan bagus kayak Mbak ini?"
"Gampang. Rutin olahraga di tempat fitness yang baru buka di depan kompleks sana itu, loh. Pelatihnya ganteng lagi. Masuk sana nggak perlu keluar duit banyak, asal konsisten mau kurus, pasti dibantu!"
Obrolan itu terus mengalir. Sementara Hanifa begitu bersemangat untuk menyimak. Apa dia coba saja, ya, pergi ke tempat itu supaya bisa menguruskan badan?
Hanifa baru saja keluar dari kantor penggadaian dengan membawa segepok uang dari hasil menggadaikan kalung emas yang beratnya puluhan gram. Kalung yang pernah diberikan oleh almarhum Kakek Abimana terpaksa dia gadaikan demi bisa berlangganan di tempat fitness. Dia juga ingin perawatan wajah dan seluruh permukaan kulit tubuhnya supaya bisa cantik."Kek, maafin Nifa, ya. Suatu saat nanti Nifa bakal tebus kembali kalung itu." Hanifa lekas menyimpan uang tersebut ke dalam tas. Setelahnya, ia gegas pergi ke tempat fitness baru itu. Untung saja pelayanan di sana sangat ramah dan justru begitu bersemangat untuk membantu Hanifa menurunkan berat badan, setelah mendengar keluh kesal gadis itu. Terlebih lagi, Hanifa akan dilatih secara langsung oleh si pemilik tempat tersebut yang tampangnya sangat rupawan."Mbak Hanifa mulai besok bisa datang ke sini. Saya akan bimbing Mbak sampai punya berat badan ideal. Itu janji saya!" Lelaki tampan yang bernama Respati itu sama sekali tidak ilfeel ketika
"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa. "Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—""Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati. Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti. "Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"P
Hanifa sengaja mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Abimana dan Widya. Gadis itu sekarang ini sedang membantu Kusuma untuk menangani dua pasiennya. Sebab, bukan hanya Widya yang akan menjalani perawatan, tapi juga Abimana yang dipaksa oleh si calon untuk menjalani perawatan wajah."Mbak, tolong buat wajah saya makin kinclong, ya. Supaya calon istri saya makin kesemsem sama saya!" ujar Abimana yang kini sudah berbaring di tempat ketika Hanifa sedang menutup tirai pembatas antara Abimana dan Widya.Gadis itu sama sekali tak bersuara dan memilih mengangguk saja. Dia tak ingin Abimana mengenali suaranya.Entahlah, kebetulan macam apa ini? Niat hati hanya ingin bekerja dengan tentram, tapi dia harus kembali berhadapan dengan Abimana. Walau begitu, Hanifa berusaha keras untuk tetap profesional. Bagaimana pun juga, dia sedang bekerja dan harus mengesampingkan masalah pribadi. Toh juga antara dirinya dan Abimana sebentar lagi akan benar-benar berakhir."Tangan Mbak lembut, tapi kenap
Abimana membawa Widya pulang ke kediaman orang tuanya. Ini dia lakukan supaya Widya tak banyak menguras uangnya. Bisa tekor dia nanti jika belum menikah saja, Widya sudah banyak maunya. Sudah dikasih perawatan gratis dari ujung rambut hingga kaki, tapi masih saja ingin tas mahal dan barang mewah lainnya. Sayangnya, sepertinya Abimana melupakan sesuatu. Mereka sudah janjian pada seseorang yang akan menghandle segala keperluan pernikahan. Widya dengan seenaknya bahkan memberitahukan orang tersebut supaya segera datang di kediaman calon mertuanya. Alhasil, belum ada setengah jam, rumah Santi sudah kedatangan tamu dan hal tersebut membuat Widya senang bukan kepalang. "Bisa tidak bahasnya nanti saja?" tanya Abimana yang masih belum terima jika uangnya akan kembali melayang."Nanti kapan, sih, Mas? Bentar lagi kita mau nikah loh ini. Tante nggak keberatan, kan?" tanya Widya meminta pendapat kepada Santi.Santi meneguk ludah dengan susah payah. Wanita paruh baya itu melirik ke arah sang
"Memangnya, Mas mau minta apa?" tanya Hanifa terlampau penasaran."Tetap di sisi saya walau tujuan kamu sudah berhasil tercapai. Maksud saya, kamu tetap boleh tinggal di rumah kontrakan dan bekerja di klinik adik saya. Jangan mencari tempat lain, kami sudah nyaman dengan kehadiranmu!"Sebenarnya, bukan ini yang hendak Respati utarakan. Hanya saja, mungkin moment-nya belum tepat. Dia tak mau jika Hanifa mulai menjauh jika sampai tau apa yang sebenarnya Respati rasakan. Dengan kata lain, lelaki itu memiliki perasaan lebih terhadap Hanifa. "Mas. Aku nggak mungkin pergi begitu saja setelah aku sudah bergantung penuh sama Mas. Mungkin nanti kalau semisal Mas Pati sudah berkeluarga, aku bakal pergi. Soalnya nggak enak sama istrinya Mas nanti!""Kenapa harus tidak enak kalau semisal kamu yang menjadi orangnya?" kekeh Respati yang seketika langsung gelagapan sendiri."Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa yang masih belum paham ketika diberi kode oleh lelaki gagah pemilik tempat fitness itu.Respati
"Dengan berat hati saya mengatakan jika warisan ini lima puluh persen akan jatuh di tangan Mbak Nifa. Lima puluh persennya lagi akan disumbangkan di panti asuhan!""Nggak bisa gitu, Pak! Enak saja main disumbangun ke panti. Apalagi mau dikasih ke si gembrot! Enak saja. Hidup cuma sekali, masa iya harta mertua saya jatuh di tangan orang asing? Nggak bisa gitu! Nggak sudi saya!" Santi langsung mengamuk di tempat.Beberapa orang bahkan sampai merekam aksi wanita paruh baya itu. Sedangkan Abimana sudah malu bukan main dengan tingkah sang ibu. Dia juga sebenarnya ingin mengamuk, tapi berusaha ditahan. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Bu Santi. Saya hanya menyampaikan wasiat almarhum!" Bapak pengacara dengan sabar menjelaskan.Hanya saja, Santi yang kepalang murka bahkan langsung menangis sesenggukan di sini. "Saya susah payah ngelahirin cucu untuk mertua. Kenapa justru orang lain yang akan mendapatkan warisan? Kenapa dunia tidak adil?" Abimana sampai menutup wajahnya menggunakan buku m
"Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa dengan jantung yang berdebar hebat.Sebenarnya, gadis itu tau apa yang di maksud oleh Respati. Hanya saja, dia berusaha keras untuk menyangkal, walau sejujurnya dia juga sudah merasa sangat nyaman dengan semua ini.Namun, perlu diingat, Hanifa masih menyimpan nama Abimana di hatinya lantaran lelaki itu adalah cinta pertamanya. Melupakan masa lalu bukanlah hal yang gampang. Terlebih lagi, masa lalu menyakitkan yang pernah dia dapat dari mantan suaminya. Ibarat, cinta itu masih ada, walau hanya tersisa secuil di relung hati. Mungkin seiring berjalannya waktu, cinta itu akan menghilang. "Saya cin—"Ting!Respati memejamkan mata sejenak. Sedetik lagi dia bisa mengungkapkan rasa cintanya pada Hanifa, tapi bunyi notif ponselnya menghentikan semuanya. Ia pun menghela napas dan mulai membuka ponsel."Nifa. Saya harus pulang. Ada sesuatu yang harus saya urus. Saya pamit dulu, ya. Jangan lupa dibuka hadiah dari Ibu saya!" pamit Respati. Lelaki itu bahkan menyem
"Ma. Mama. Aku pusing, Ma. Ini gimana?" teriak Abimana yang kini sudah memasuki pekarangan rumah kedua orang tuanya.Santi yang mendengar teriakan sang anak pun gegas keluar rumah seraya berkacak pinggang. Sebal sekali rasanya ketika terus menerus direcoki oleh Abimana."Kamu kenapa, sih? Jangan bikin malu, ah! Nggak enak didengar tetangga. Kalau ada masalah yang mau dibicarakan, masuk rumah!" hardik Santi seraya menatap tajam ke arah sang anak.Abimana pun langsung masuk ke dalam rumah dengan wajah kusutnya. Entahlah, akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa calon duda itu. Hidupnya seolah tak tenang dan semuanya berantakan.Jika bukan karena harta warisan sialan itu, sudah pasti Abimana tak akan seperti ini."Aku capek, Ma!" keluh Abimana yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. "Kalau capek, ya, istirahat. Widya mana?" tanya Santi celingukan ketika tak melihat keberadaan calon menantu cantiknya. "Widya marah sama aku karena izin rujuk sama Hanifa. Mau di ajak nik
"Loh, ngapain kamu ke situ? Itu loh punya calon istrinya Mas Pati. Dengan kata lain, suatu saat nanti itu punya saya, Delina Nugraha!" tegas wanita itu yang ternyata namanya Delina Nugraha. Pergerakan tangan Hanifa yang ingin membuka pintu kontrakan pun sontak saja terhenti. Ia menatap malas ke arah penghuni baru yang sialnya berada tepat di samping rumah kontrakan yang memang dikhususkan untuknya. Hanifa kembali tak menggubris dan hendak membuka pintu lagi. Sayangnya, Delina justru menarik kasar tubuh sang empu yang beruntungnya masih bisa menjaga keseimbangan. "Kamu itu apa-apaan, sih? Sudah dibilang jangan ke situ! Budeg apa gimana? Pergi sana!" usir Delina. Tidak tau saja jika wanita yang sedang di usir ini adalah ibu kontrakan dua puluh pintu yang salah satunya sedang dia tempati. "Mbak yang apa-apaan? Ini tempat saya, jadi saya bebas mau keluar masuk. Toh, saya juga punya kunci!" Hanifa yang kepalang dongkol tentu saja langsung mengangkat kunci kontrakan yang ia punya. Hal
Setelah hampir satu bulan masa pemulihan, Abimana pun sudah kembali berjalan dengan normal. Bahkan, wajahnya yang dulu sempat di perban, sekarang sudah tidak lagi. Perut Widya juga sudah mulai menonjol dan hal itu membuat Abimana semakin muak. Lelaki itu bahkan merencanakan sesuatu supaya bayi yang ada di dalam kandungan Widya bisa luruh begitu saja. "Mas Abi. Aku pengen makan pizza tapi Tante Santi yang buat!" rengek Widya, ketika mereka semua sedang berada di meja makan. Santi langsung menatap bengis ke arah wanita hamil itu. Semakin hari, ada saja permintaan nyeleneh dari Widya. Bahkan, dia seperti tak berpikir jika sekarang ini Abimana sedang menganggur. Pendapatan keluarga kecil itu hanya dari usaha konveksi yang dijalani oleh Banu dan Santi. Sayangnya, beberapa minggu ini penghasilan menurun karena banyak sekali para tetangga yang enggan ke sana. "Makan saja yang ada. Jangan banyak tingkah kamu!" sentak Santi kesal bukan kepalang. Sudah malas dan tidak pernah mau membantu
"Sayang—""Mas, kamu tau sendiri, kan, perempuan hamil itu sensitif sekali. Jangankan perempuan hamil, yang tidak hamil saja sangat sensitif kalau lihat beginian. Kamu habis ngapain, sih?" Nada bicara Hanifa mulai bergetar.Wanita itu sepertinya takut jika masa lalu yang buruk akan terulang lagi di saat dirinya baru saja pulih dan merasa bahagia. Respati lekas mendekat dan mulai mendekap erat tubuh Hanifa. Pecah sudah tangisan sang istri. Tangisan yang sangat menyayat hati. "Kamu tau sendiri kalau aku ini anak broken home. Masih kecil ditinggal pisah sama orang tua. Ayah nikah lagi, sementara Ibu pergi ke luar negeri dan sampai sekarang nggak balik lagi. Bahkan, aku juga pernah gagal berumah tangga. Aku nggak bisa dibeginikan, hiks ...."Hanifa mengeluarkan segala keluh kesalnya. Biarkan saja suaminya mengatai dirinya cengeng atau semacamnya. Yang jelas, wanita itu sedikit terguncang. Jemari Respati terulur untuk mengusap air mata Hanifa. Bahkan, sampai sekarang lelaki itu belum m
Santi menatap sinis ke arah Widya yang sejak pagi tadi sudah leha-leha menonton televisi. Padahal, pekerjaan di dapur masih banyak. Masakan belum rampung semua. Peralatan makan tadi malam pun juga belum di cuci.Seenak jidat wanita hamil itu malas-malasan. Jika dulu Santi selalu membela Widya. Kini, tidak lagi. "Wid. Masak sana, Tante mau bersihin depan rumah!" tegas Santi membuat Widya melotot seraya merengut."Tan, aku tuh lagi hamil. Masa iya Tante suruh masak? Bukannya apa, kalau wanita hamil itu cocoknya di manja!" tegas Widya kesal bukan main. "Masalahnya kamu bukan mantu Tante, ya. Kamu cuma numpang di sini. Sudah tidak kerja di perusahaan. Imbasnya pun juga ke Abi, kemarin dia di pecat sama Renjana, karena menganggap Abi tidak becus jagain kamu yang menjadi wanita gatal begitu," sinis Santi yang ucapannya terlalu pedas. Widya menghela napas. Demi apapun, dia itu jarang bekerja di dapur. Bahkan, untuk bersih-bersih rumah pun dia malas sekali. Maunya leha-leha, tapi uang data
Sejak semalam hingga pagi ini, Respati terus menerus muntah-muntah. Semua anggota keluarganya bahkan sampai panik sendiri. Lelaki itu tak bisa berjauhan dari sang istri. "Kamu kenapa, sih, Mas? Terlalu capek atau gimana? Perasaan kemarin siang masih baik-baik saja dan masih bisa bercanda sama aku." Hanifa tentu saja merasa sangat khawatir dengan keadaan sang suami. "Mau ke rumah sakit saja atau bagaimana?" tawar Anisa yang sama khawatirnya seperti yang di rasakan oleh sang menantu. "Di sini saja sama Nifa. Hirup aromanya Nifa mualnya jadi hilang!" lirih Respati.Jika biasanya lelaki itu sangat berwibawa dan penuh kharisma, berbeda dengan sekarang. Ia tampak terlihat sangat sayu dan pucat. "Lemah sekali, sih, kamu, Pati? Ini tuh namanya morning sickness. Biasanya wanita hamil yang mengalami, tapi ternyata kamu yang gantiin Nifa!" omel sang Nenek yang merasa sebal dengan cucu lelakinya.Respati sama sekali tak membalas ucapan sang Nenek. Lelaki itu sekarang ini sedang sibuk menghiru
Tengah malam, Respati terbangun dan terus menerus menghela napas. Dia tidak bisa tidur tanpa memeluk istrinya. Ini semua gara-gara peraturan nyeleneh dari sang Nenek. Jika bisa, dia ingin memulangkan wanita tua itu ke luar negeri lagi. "Punya istri, tapi kok tidur sendiri? Tidak bisa dibiarkan ini!" Respati akhirnya bangkit dari kamar. Ia lekas berjalan dengan tergesa menuju lantai bawah, lantaran kamar Nenek Laksmi ada di lantai satu. Wanita tua itu tentu saja sudah tak bisa naik turun tangga lantaran tubuhnya sudah ringkih di makan oleh usia. "Pati, mau ke mana?" Respati terkejut bukan main ketika tak sengaja berpapasan dengan sang Mama yang baru keluar dari kamar."Mau nyusulin istri, Ma. Pati tidak bisa tidur kalau tidak peluk Nifa," ujar Respati tanpa ada yang ditutupi.Anisa tertawa geli ketika mendapati anak sulungnya yang sangat bucin seperti ini. "Ya sudah, hati-hati. Kalau perlu, gendong saja Nifa bawa kembali ke kamar kalian. Jangan sampai Nenek kamu bangun, bisa heboh
Widya baru membuka mata setelah beberapa saat pingsan karena kebodohannya sendiri. Wanita itu mendapati keberadaan Abimana yang sebagian wajahnya masih di perban. Bahkan, salah seorang bidan juga ada di sana. "Harusnya Bapak jaga dengan baik kandungan istrinya!" omel bidan tersebut seraya menatap datar ke arah Abimana. Abimana datang, karena tadi sempat ditelepon oleh orang yang menolong Widya ketika pingsan dan pendarahan di taman. Sebenarnya, kontak pertama di ponsel Widya itu Bowo, tapi sialnya lelaki itu sama sekali tak mau mengangkat. Alhasil, mereka memilih kontak Abimana yang berada di daftar favorite kedua di ponsel Widya. "Ibunya juga ada masalah apa? Kalian bertengkar? Mbok ya bisa berpikir dengan baik loh. Sebentar lagi kalian punya anak, tapi kenapa Ibunya justru mengkonsumsi nanas dan obat keras?""Anak saya sudah mati, Bu?" tanya Widya mengabaikan pertanyaan bidan barusan. Bahkan, raut wajah Widya tidak ada sedih-sedihnya dan justru terlihat sangat penasaran. "Syukur
Hanifa mengerjapkan mata setelah beberapa waktu lalu sempat pingsan. Wanita itu menatap sekitar dan mendapati keberadaan suami dan kedua mertuanya. Hanya minus Nenek Laksmi saja dan entah di mana keberadaan orang tua itu. "Sayang. Apa yang sakit? Bilang sama Mas!" Respati gegas mendekat dan langsung mengusap dengan sayang wajah sang istri. Tangan kiri Hanifa yang terbebas dari selang infus pun lekas membimbing tangan suaminya untuk di letakkan di atas dada. "Dadaku yang sakit, Mas. Aku nggak nyangka kamu hamili wanita la—"Cup!Bibir ranum itu dipangut oleh Respati. Persetan jika di dalam ruangan ini masih ada kedua orang tua mereka. Lelaki itu tak peduli.Handoko rasanya ingin sekali memberikan bogeman mentan pada Respati. Dia masih kesal bukan main lantaran tadinya sedang sibuk, tapi dia buru-buru dihubungi oleh istrinya untuk segera datang ke rumah sakit lantaran Hanifa jatuh pingsan. Pria paruh baya itu tentu saja langsung meninggalkan pekerjaan. Baginya, keluarga adalah nomor
Napas Hanifa memburu dengan begitu hebatnya ketika ditelepon oleh sopir keluarga yang tadi mengantar Respati pergi. Seketika, matanya berembun dan napasnya memburu dengan sangat hebat. Hanifa ingin menangis, tapi dia bingung harus bagaimana. Pada akhirnya, wanita itu memilih bercerita pada Nenek Laksmi dan juga mertuanya. "Aku nggak nyangka Mas Pati bakal kayak gitu, Ma!" lirih Hanifa. Dunianya seolah runtuh begitu saja setelah menceritakan segalanya pada dua wanita dewasa itu."Astaga, apa yang sudah Pati lakukan? Membuat malu saja!" keluh Anisa yang langsung menitikkan air mata.Berbeda dengan Nenek Laksmi yang begitu geram. Matanya menyiratkan kilauan amarah yang begitu besar. Dadanya naik turun dan kepalanya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. "Sudah tau rumah sakitnya di mana?" tanya Nenek Laksmi yang langsung di angguki oleh Hanifa. "Kita semua pergi ke sana sekarang. Masalah begini harus segera dibasmi. Kamu kuat apa tidak ikut ke rumah sakit?" tanya Nenek Laksmi pada cucu