Hanifa menatap sendu beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Sudah malam begini, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Abimana. Ini bahkan sudah terhitung tiga hari lamanya Abimana tak pulang ke rumah.
Gadis itu juga enggan untuk menyentuh makanan yang ia masak sore tadi.
"Pokoknya aku mau diet. Aku pengen kurus supaya Mas Abi bisa cinta sama aku!" monolog Hanifa dengan penuh tekad.
Walau sejujurnya, makanan di atas meja sangat menggugah selera. Tapi, Hanifa sedang berusaha keras untuk menahan keinginannya.
Waktu semakin larut, sementara perut Hanifa semakin keroncongan. Namun, dia tetap berusaha untuk menahan diri supaya tak tergoda dengan makanan.
Pada akhirnya, Hanifa memilih untuk masuk ke dalam kamar dengan memegangi perutnya yang terasa perih.
"Mas Abi, aku bakal berusaha untuk cantik. Tapi, aku bingung, dia sudah bilang talak tiga ke aku. Kita ini sekarang apa? Masih suami istri atau sudah bukan?"
Di tengah malam yang sunyi ini, Hanifa kembali menangis, meratapi pernikahannya yang berada di ujung tanduk.
"Setidaknya aku mau kasih kesan buat Mas Abi, supaya kami bisa bersatu lagi. Aku pengen punya keturunan dari Mas Abi," ujar Hanifa sebelum benar-benar memejamkan mata.
Keesokan harinya, Hanifa dikejutkan dengan tendangan kecil di kakinya. Gadis itu lekas terbangun dan mendapati sosok Abimana yang begitu gagah.
Sayangnya, Abimana justru menatap datar pada Hanifa.
"Kita sebaiknya pisah kamar. Jangan lupa bersihkan semua barang-barangmu dan pindah kamar yang dekat dengan dapur."
"Tapi, Mas ...,"
Hanifa menghela napas ketika dia belum selesai bicara, tapi justru ditinggal begitu saja.
"Aku nggak bakal mau pisah kamar sama dia! Enak saja. Aku nggak mau pisah sama Mas Abi!" gerutu Hanifa yang benar-benar keras kepala.
Ya, mau bagaimana lagi, Abimana itu merupakan sosok cinta pertama Hanifa. Dia sudah kehilangan kasih sayang sosok ayah kandungnya lantaran kedua orang tuanya bercerai ketika usia Hanifa yang masih kanak-kanan.
Ayahnya memilih untuk menikah lagi dan tak pernah memberikan dia nafkah. Sementara Ibunya saat itu memilih untuk bekerja ke luar negeri menjadi seorang TKI. Sayangnya, sampai sekarang pun sang Ibu sama sekali tak ada kabar.
Hanifa kecil hanya di asuh oleh Paman dan Bibinya. Sampai dia mulai dewasa dan bertekad untuk pergi merantau ke kota hingga pada akhirnya bertemu dengan sosok almarhum Kakek Abimana semasa Beliau masih hidup.
Dari sanalah ia mengenal dan jatuh cinta dengan Abimana. Mengingatnya saja sudah membuat Hanifa menitikkan air mata.
"Jadi dewasa itu susah, ya. Apalagi kalau punya fisik jelek begini. Nggak pernah dihargai sama orang lain," keluh Hanifa seraya keluar dari kamar.
Samar-samar ia mendengar suara obrolan antara lelaki dan perempuan di ruang tamu. Hanifa pun memutuskan untuk mengintip dan matanya membelalak sempurna ketika mendapati suaminya sedang kedatangan tamu. Seorang wanita cantik yang memiliki body aduhai
"Mas Abi, siapa dia?" tanya Hanifa penasaran. Ia memilih untuk mendekati sang suami.
Suami? Masih pantas, kah, Abimana disebut sebagai suaminya? Entahlah, Hanifa pun bingung dengan status mereka.
"Saya Widya. Semalam Tante Santi nyuruh aku ke sini buat temu kangen sama Mas Abi. Mbaknya ART di sini, ya?" Suara halus dari wanita yang bernama Widya itu terdengar sangat menyebalkan di telinga Hanifa.
Bahkan, tangan Hanifa sudah gatal sekali ingin menggampar mulut sialan itu.
"Kamu siapanya Mas Abi, kok, sampai temu kangen kayak gini?" tanya Hanifa.
"Mas Abi, coba jelaskan sama ART-nya, Mas, dong. Bilang sama dia kalau aku ini calon pacarnya Mas." Widya langsung bergelanyut manja di lengan kekar Abimana.
Hanifa yang sudah tak bisa menahan emosi pun langsung menghempaskan tangan Widya.
"Lancang sekali kamu nyentuh suami aku kayak gini!" Pelakor harus dibasmi, begitulah isi pikiran Hanifa.
"Suami? Mas, yang benar saja kamu nikah sama perempuan gembrot macam dia?" Widya menatap remeh ke arah Hanifa seraya bersedekap dada.
"Hanifa, mending kamu masuk ke dalam kamar saja. Jangan membuat tamuku nggak nyaman!" tegur Abimana yang sebenarnya sangat malu ketika Widya tau jika dia pernah menikahi wanita jelek ini.
"Nggak. Selama ini aku diam saja bukan berarti bisa ditindas terus. Aku nggak mau rumahku dikotori sama pelakor jelek macam dia!" Hanifa gegas maju dan menyeret Widya keluar dari rumah.
Abimana mendorong Hanifa hingga membuat kedua wanita itu terjatuh. Sayangnya, Abimana justru memilih untuk mendekati Widya dan menolongnya
"Mas Abi. Si gembrot itu kayak raksasa. Aku takut. Aku pengen pergi dari sini!" rengek Widya dengan nada manja. "Kakiku juga sakit, Mas. Nggak bisa jalan ini!"
Tanpa ba bi bu lagi, Abimana langsung mengangkat tubuh ramping Widya dan membawanya pergi dari sana.
"Mas Abi. Aku juga sakit, Mas!" jerit Hanifa, tapi hanya di anggap angin lalu oleh Abimana.
Hanifa bangkit dan berjalan terseok. Dia sudah lelah menangis. Gadis itu memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk membereskan pakaiannya. Dia berubah pikiran dan memilih pindah ke kamar dekat dapur sesuai dengan permintaan Abimana tadi.
"Kalau aku tetap tidur di kamar ini, aku nggak bakal fokus buat diet, yang ada malah sakit hati terus!" keluh Hanifa.
Dia belum menyerah. Justru ini adalah awal dari segalanya.
Hanifa menatap sekeliling kamar. Banyak kenangan pahit di kamar ini selama satu tahun menikah dengan Abimana.
Langkahnya membawa tubuh gempal itu menuju cermin full body.
"Aku juga nggak minta ditakdirkan jadi gendut seperti ini. Apalagi, wajahku penuh sekali dengan jerawat!" monolognya seraya memegangi perut bagian bawahnya yang bergelambir.
"Aku yakin kalau aku bisa kurus dan cantik seperti wanita yang sedang bersama Mas Abi." Hanifa tersenyum sendu. Dia akan berusaha keras untuk mewujudkan mimpinya.
Tekadnya sudah kuat. Hanifa pun langsung menyeret koper untuk meninggalkan kamar tersebut.
Hari demi hari dilalui dengan sangat berat. Bahkan, Hanifa sempat beberapa kali pingsan karena menahan lapar dan hanya makan sayuran rebus beserta buah-buahan.
Abimana saja sampai heran lantaran Hanifa sudah tak pernah memasak. Walau begitu, ia sama sekali tak protes, tapi justru bisa bernapas dengan lega lantaran beras tidak gampang habis. Urusan perut, Abimana tidak banyak memikirkan lantaran sering makan menumpang di kediaman orang tuanya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Abimana ketika mendapati Hanifa yang sedang mengenakan baju olahraga.
Hanifa menatap sinis ke arah Abimana yang semakin hari semakin lengket dengan Widya.
"Bukan urusan kamu. Urus itu si pelakor supaya tidak gatal dengan suami orang!"
Brak!
Belum sempat Abimana dan Widya menyela, tapi pintu ruang tamu sudah dibanting kencang oleh Hanifa.
Napas Hanifa kembang kempis. Ia memilih untuk berlari dengan napas tersengal. Baru beberapa meter saja rasanya luar biasa lelahnya. Alhasil, Hanifa memilih untuk istirahat sejenak demi mengurangi rasa lelah.
Sayup-sayup gadis itu mendengar obrolan beberapa wanita yang sedang membeli sayur di pedagang keliling.
"Gimana, sih, caranya supaya badan bagus kayak Mbak ini?"
"Gampang. Rutin olahraga di tempat fitness yang baru buka di depan kompleks sana itu, loh. Pelatihnya ganteng lagi. Masuk sana nggak perlu keluar duit banyak, asal konsisten mau kurus, pasti dibantu!"
Obrolan itu terus mengalir. Sementara Hanifa begitu bersemangat untuk menyimak. Apa dia coba saja, ya, pergi ke tempat itu supaya bisa menguruskan badan?
Hanifa baru saja keluar dari kantor penggadaian dengan membawa segepok uang dari hasil menggadaikan kalung emas yang beratnya puluhan gram. Kalung yang pernah diberikan oleh almarhum Kakek Abimana terpaksa dia gadaikan demi bisa berlangganan di tempat fitness. Dia juga ingin perawatan wajah dan seluruh permukaan kulit tubuhnya supaya bisa cantik."Kek, maafin Nifa, ya. Suatu saat nanti Nifa bakal tebus kembali kalung itu." Hanifa lekas menyimpan uang tersebut ke dalam tas. Setelahnya, ia gegas pergi ke tempat fitness baru itu. Untung saja pelayanan di sana sangat ramah dan justru begitu bersemangat untuk membantu Hanifa menurunkan berat badan, setelah mendengar keluh kesal gadis itu. Terlebih lagi, Hanifa akan dilatih secara langsung oleh si pemilik tempat tersebut yang tampangnya sangat rupawan."Mbak Hanifa mulai besok bisa datang ke sini. Saya akan bimbing Mbak sampai punya berat badan ideal. Itu janji saya!" Lelaki tampan yang bernama Respati itu sama sekali tidak ilfeel ketika
"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa. "Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—""Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati. Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti. "Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"P
Hanifa sengaja mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Abimana dan Widya. Gadis itu sekarang ini sedang membantu Kusuma untuk menangani dua pasiennya. Sebab, bukan hanya Widya yang akan menjalani perawatan, tapi juga Abimana yang dipaksa oleh si calon untuk menjalani perawatan wajah."Mbak, tolong buat wajah saya makin kinclong, ya. Supaya calon istri saya makin kesemsem sama saya!" ujar Abimana yang kini sudah berbaring di tempat ketika Hanifa sedang menutup tirai pembatas antara Abimana dan Widya.Gadis itu sama sekali tak bersuara dan memilih mengangguk saja. Dia tak ingin Abimana mengenali suaranya.Entahlah, kebetulan macam apa ini? Niat hati hanya ingin bekerja dengan tentram, tapi dia harus kembali berhadapan dengan Abimana. Walau begitu, Hanifa berusaha keras untuk tetap profesional. Bagaimana pun juga, dia sedang bekerja dan harus mengesampingkan masalah pribadi. Toh juga antara dirinya dan Abimana sebentar lagi akan benar-benar berakhir."Tangan Mbak lembut, tapi kenap
Abimana membawa Widya pulang ke kediaman orang tuanya. Ini dia lakukan supaya Widya tak banyak menguras uangnya. Bisa tekor dia nanti jika belum menikah saja, Widya sudah banyak maunya. Sudah dikasih perawatan gratis dari ujung rambut hingga kaki, tapi masih saja ingin tas mahal dan barang mewah lainnya. Sayangnya, sepertinya Abimana melupakan sesuatu. Mereka sudah janjian pada seseorang yang akan menghandle segala keperluan pernikahan. Widya dengan seenaknya bahkan memberitahukan orang tersebut supaya segera datang di kediaman calon mertuanya. Alhasil, belum ada setengah jam, rumah Santi sudah kedatangan tamu dan hal tersebut membuat Widya senang bukan kepalang. "Bisa tidak bahasnya nanti saja?" tanya Abimana yang masih belum terima jika uangnya akan kembali melayang."Nanti kapan, sih, Mas? Bentar lagi kita mau nikah loh ini. Tante nggak keberatan, kan?" tanya Widya meminta pendapat kepada Santi.Santi meneguk ludah dengan susah payah. Wanita paruh baya itu melirik ke arah sang
"Memangnya, Mas mau minta apa?" tanya Hanifa terlampau penasaran."Tetap di sisi saya walau tujuan kamu sudah berhasil tercapai. Maksud saya, kamu tetap boleh tinggal di rumah kontrakan dan bekerja di klinik adik saya. Jangan mencari tempat lain, kami sudah nyaman dengan kehadiranmu!"Sebenarnya, bukan ini yang hendak Respati utarakan. Hanya saja, mungkin moment-nya belum tepat. Dia tak mau jika Hanifa mulai menjauh jika sampai tau apa yang sebenarnya Respati rasakan. Dengan kata lain, lelaki itu memiliki perasaan lebih terhadap Hanifa. "Mas. Aku nggak mungkin pergi begitu saja setelah aku sudah bergantung penuh sama Mas. Mungkin nanti kalau semisal Mas Pati sudah berkeluarga, aku bakal pergi. Soalnya nggak enak sama istrinya Mas nanti!""Kenapa harus tidak enak kalau semisal kamu yang menjadi orangnya?" kekeh Respati yang seketika langsung gelagapan sendiri."Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa yang masih belum paham ketika diberi kode oleh lelaki gagah pemilik tempat fitness itu.Respati
"Dengan berat hati saya mengatakan jika warisan ini lima puluh persen akan jatuh di tangan Mbak Nifa. Lima puluh persennya lagi akan disumbangkan di panti asuhan!""Nggak bisa gitu, Pak! Enak saja main disumbangun ke panti. Apalagi mau dikasih ke si gembrot! Enak saja. Hidup cuma sekali, masa iya harta mertua saya jatuh di tangan orang asing? Nggak bisa gitu! Nggak sudi saya!" Santi langsung mengamuk di tempat.Beberapa orang bahkan sampai merekam aksi wanita paruh baya itu. Sedangkan Abimana sudah malu bukan main dengan tingkah sang ibu. Dia juga sebenarnya ingin mengamuk, tapi berusaha ditahan. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Bu Santi. Saya hanya menyampaikan wasiat almarhum!" Bapak pengacara dengan sabar menjelaskan.Hanya saja, Santi yang kepalang murka bahkan langsung menangis sesenggukan di sini. "Saya susah payah ngelahirin cucu untuk mertua. Kenapa justru orang lain yang akan mendapatkan warisan? Kenapa dunia tidak adil?" Abimana sampai menutup wajahnya menggunakan buku m
"Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa dengan jantung yang berdebar hebat.Sebenarnya, gadis itu tau apa yang di maksud oleh Respati. Hanya saja, dia berusaha keras untuk menyangkal, walau sejujurnya dia juga sudah merasa sangat nyaman dengan semua ini.Namun, perlu diingat, Hanifa masih menyimpan nama Abimana di hatinya lantaran lelaki itu adalah cinta pertamanya. Melupakan masa lalu bukanlah hal yang gampang. Terlebih lagi, masa lalu menyakitkan yang pernah dia dapat dari mantan suaminya. Ibarat, cinta itu masih ada, walau hanya tersisa secuil di relung hati. Mungkin seiring berjalannya waktu, cinta itu akan menghilang. "Saya cin—"Ting!Respati memejamkan mata sejenak. Sedetik lagi dia bisa mengungkapkan rasa cintanya pada Hanifa, tapi bunyi notif ponselnya menghentikan semuanya. Ia pun menghela napas dan mulai membuka ponsel."Nifa. Saya harus pulang. Ada sesuatu yang harus saya urus. Saya pamit dulu, ya. Jangan lupa dibuka hadiah dari Ibu saya!" pamit Respati. Lelaki itu bahkan menyem
"Ma. Mama. Aku pusing, Ma. Ini gimana?" teriak Abimana yang kini sudah memasuki pekarangan rumah kedua orang tuanya.Santi yang mendengar teriakan sang anak pun gegas keluar rumah seraya berkacak pinggang. Sebal sekali rasanya ketika terus menerus direcoki oleh Abimana."Kamu kenapa, sih? Jangan bikin malu, ah! Nggak enak didengar tetangga. Kalau ada masalah yang mau dibicarakan, masuk rumah!" hardik Santi seraya menatap tajam ke arah sang anak.Abimana pun langsung masuk ke dalam rumah dengan wajah kusutnya. Entahlah, akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa calon duda itu. Hidupnya seolah tak tenang dan semuanya berantakan.Jika bukan karena harta warisan sialan itu, sudah pasti Abimana tak akan seperti ini."Aku capek, Ma!" keluh Abimana yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. "Kalau capek, ya, istirahat. Widya mana?" tanya Santi celingukan ketika tak melihat keberadaan calon menantu cantiknya. "Widya marah sama aku karena izin rujuk sama Hanifa. Mau di ajak nik
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa
Rupanya, marahnya Hanifa bertahan sampai sore hari. Dia mencueki suaminya yang terus menerus berusaha untuk selalu meminta maaf.Seperti sekarang ini, dia sama sekali tidak memasak. Bahkan, seharian ini hanya sekedar makan buah dan roti selai saja. "Dek. Mas sudah masak buat kita berdua. Makan dulu, ya!" Pinta Respati dengan nada memelas. Hanifa menatap sinis ke arah suaminya. Ia kesal bukan main dan masih sangat kecewa dengan semuanya. "Kamu masak kayak gitu cuma mau niat nyogok aku, Mas? Yang benar saja. Aku loh kecewa berat sama kamu. Nggak mau lihat kamu dulu!"Wanita itu bangkit dan berniat untuk pergi. Sialnya, Respati justru menahan dengan menggunakan tangan kiri. Sementara tangan kanan langsung meletakkan sepiring makanan tadi di atas bufet. Grep!Hanifa memekik tertahan ketika sekarang ini tubuhnya justru di angkat oleh sang suami. Bahkan, cara menggendongnya saja seperti orang yang sedang mengangkat karung beras. "Mas. Kamu apa-apaan, sih? Turunin aku—"Plak!"Akh ...,"
Hanifa menghela napas beberapa kali ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi suaminya belum juga pulang. Padahal tadi pamitnya hanya pergi ke tempat fitness, tapi sampai sekarang justru belum pulang. Wanita itu beberapa kali menelepon sang suami, tapi hasilnya nihil. Sama sekali tidak ada respon dan hanya ada suara operator. "Kamu di mana sih, Mas? Kenapa lupa pulang? Ini sudah malam, loh!" gerutu Hanifa kesal bukan main.Tau begini, hari ini dia tidak mau di ajak pulang ke rumah lantaran rumah sebesar ini justru hanya diisi oleh dirinya saja. Jika memang Respati berniat untuk pulang larut, lebih baik Hanifa menginap saja di kontrakan. "Awas saja kalau nanti pulang. Bakal aku omelin—"Tok ... Tok ... Tok ...Hanifa menghela napas. Sudah pasti itu bukan suaminya dan dia sudah menebak jika itu adalah satpam yang bertugas menjaga keamanan rumah mewah ini. Wanita itu gegas mendekat ke arah pintu dan membukanya. Benar saja, di sana sudah ada salah satu satpam yang menat
Hanifa dan Respati semalam memang menginap di kontrakan. Pagi ini, Respati masih terlelap, apalagi semalam lelaki itu mengajak istrinya bergadang. Ia memang sangat bersemangat untuk terus mengajak istrinya lembur supaya segera mencapai garis dua.Hanifa sendiri sudah wangi dan sekarang ini baru keluar dari kamar kontrakan. Wanita itu menatap sekeliling dan pandangannya tak sengaja bertabrakan dengan duda yang tinggal di salah satu unit kontrakannya. Entahlah, siapa nama lelaki itu. Hanifa juga tak mau mencari tahu. Takut jika suaminya nanti merajuk dan salah paham. Wanita itu tersenyum simpul sebelum memutuskan pandangan keduanya. Ia memilih untuk berjalan keluar pagar dan tak lupa menyapa dua satpam yang memang selalu berada di sana, walau tidak sampai dua puluh empat jam. Sebab, dua satpam itu juga punya keluarga. "Duh, Mbak Nifa masih pagi sudah segar begini wajahnya. Makin cantik loh Mbak!" sapa salah satu tetangga kontrakan yang seketika membuat Hanifa terkekeh."Ibu bisa saj
"Sayang. Kamu kenapa? Sini, bicara dulu sama Mas!"Istirahat Hanifa terusik ketika mendengar penuturan dari Respati. Wanita itu menoleh dan mendapati keberadaan sang suami yang sudah menatap khawatir ke arah dirinya."Mas?" kaget Hanifa. Matanya masih bengkak dan dia belum terlihat baik-baik saja di depan Respati. Astaga, sudah pasti setelah ini dia akan disidang habis-habisan oleh sang suami."Ini kenapa matanya bengkak? Astaga, Sayang. Pipi kamu juga bengkak loh ini!" Respati tentu saja kaget bukan main.Pasalnya, pagi tadi sang istri masih baik-baik saja, lantas kenapa sekarang justru babak belur seperti ini? Sudah pasti ini ada yang tidak beres. Lelaki itu harus tau betul apa yang sebenarnya terjadi dengan si cantik ini. "Sini, cerita sama Mas. Siapa yang buat kamu kayak gini, Sayang!" desak Respati yang tak suka ketika melihat kebungkaman Hanifa. Sang empu menghela napas. Dia masih berusaha untuk menyembunyikan hal ini dari suaminya. Bukannya tak ingin selalu terbuka. Hanya sa
Ada kesalahpahaman antara Hanifa dan Santi. Santi terus menerus menuduh mantan menantunya itu menerima harta warisan milik almarhum Abimana. Sayangnya, mereka belum bertemu dan pihak pengacara almarhum Kakek sebentar lagi akan menyelesaikan tugasnya. Hanifa memang tidak akan pernah mau menerima harta warisan itu walau sepeserpun. Pada akhirnya, pengacara tersebut akan membicarakan harta warisan itu pada Santi dan Banu. Sayangnya, lelaki itu dengan sejuta kesibukannya justru kini sedang berada di luar kota karena pekerjaan yang mendadak. Hal ini tentu saja membuat Santi hanya bisa menduga ini dan itu. Imbasnya, wanita paruh baya itu sekarang ini semakin membenci Hanifa. "Mama mau ke mana?" tanya Banu penasaran ketika melihat Santi yang sudah rapi dengan pakaiannya. "Mama mau keluar sebentar mencari udara segar. Papa mau ikut?" tawar Santi dengan kalemnya. Banu bahkan sampai menyerngit keheranan. Benar, kah, ini istrinya? Kenapa berubah menjadi kalem seperti ini? Apa sudah tobat at
Santi menangis dalam diam di kamarnya seorang diri. Wanita paruh baya itu menatap lekat bingkai foto Abimana. Pikirannya telah berkelana. Sampai sekarang pun dia masih belum ikhlas atas kepergian anaknya itu. Bahkan, kebenciannya semakin mendalam terhadap Hanifa setelah keputusan pengacara almarhum mertuanya. Enak sekali Hanifa menerima harta secara cuma-cuma. Sementara Abimana sampai meregang nyawa belum pernah menikmati warisan itu sepeser pun. Wanita paruh baya itu juga kesal terhadap suaminya yang justru membela Hanifa. Harusnya jangan seperti ini, tapi sudahlah. "Abi. Mama rindu sama kamu. Mama seperti malas hidup lagi, Bi. Papamu terlalu gila. Mama kesal, Mama tidak suka," keluh Santi seolah mengadu pada bingkai foto tersebut. "Mama nggak rela kamu pergi duluan seperti ini. Ini semua gara-gara Hanifa yang terlalu belagu. Mentang-mentang sudah cantik langsung seperti itu. Mama tidak rela pokoknya. Perempuan itu harus mati juga. Mama tidak mau hanya kamu yang tersakiti di sin