Aku kembali mengklik untuk menjeda video yang baru kulihat beberapa detik, kemudian bangkit untuk mengambil headset yang kusimpan dalam lemari, agar suara yang keluar dari ponselku tak terdengar keluar. Aku menikmati tontonanku kali ini dengan debar hati tak beraturan, dan degub jantung yang berkejaran. Aku menikmati setiap adegan, tanpa ingin tahu siapa yang jadi pemeran utama. Dengan penuh amarah Nanda—anak bungsu Tante Nadia tengah asik menjambak rambut sebahu milik Rania. Wajah gadis cantik yang kutahu tengah meneruskan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Nageri Paman Sam itu terlihat merah padam. Dengan membabi buta, Nanda mendorong tubuh Rania hingga terjerembab ke lantai. Tak sampai di situ, Nada terlihat berulang kali menampar wajah Rania dengan keras, hingga wajah perempuan itu terlihat tak beraturan. Berkali-kali Rania berusaha melakukan hal yang sama pada Nanda. Namun dengan tinggi badan yang tak berimbang, membuat Rania terlihat kepayahan untuk mewujudkan niatny
Pagi ini aku tengah sibuk menyiapkan keperluan untuk memandikan Harry, mulai dari menyiapkan pakaian ganti, hingga air panas untuk campuran air dinginnya nanti. Kuputuskan akan mengurus anak malang itu hingga sisa waktuku di tempat ini. Kusebut Harry anak malang, karena terlahir dari manusia tak punya hati seperti Rania. Wajar saja jika Rania dengan teganya menghancurkan mahligai pernikahan yang telah kubangun bersama Bang Haikal, karena dengan darah dagingnya sendiri saja, seakan ia tak memiliki perasaan layaknya seorang ibu pada umumnya. "Na, Abang malam ini kayaknya gak pulang!" ucap Bang Haikal sambil melangkah terburu-buru. Harry terlihat mengekor di belakangnya. Aku menoleh ke asal suara, menatap sekilas pada laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu penghubung antara dapur dan ruang keluarga itu. "Abang mau kemana?" tanyaku basa-basi. "Abang ada kerjaan, Na. Mungkin besok baru akan pulang," jawab Bang Haikal dengan wajah gusar. "Iya, Bang, gak apa-apa," jawabku. "Semaki
Haikal bangkit dari atas kasur, perlahan menuruni ranjang dengan mata menatap lekat pada sesuatu yang tergantung di belakang pintu kamar Rania. Tangannya meraih benda tersebut. Sebuah jas warna hitam dan kemeja putih. Lelaki itu berbalik menghadap Rania dengan tatapan menguliti wanita di hadapannya. Wajah perempuan itu memucat. Ia merutuki kebodohannya dalam hati. Kenapa meletakkan benda itu di belakang pintu. "Milik siapa?" tanya Haikal. Mata lelaki itu menatap tajam ke arah Rania. Perempuan itu bangkit pada posisi duduk. "Itu—itu punya temen kantor," jawab Rania tergagap. "Temen kantor yang mana?" Haikal merasa tak puas dengan jawaban Rania. Rania memutar otak mencari alasan agar semuanya tak terbongkar secepat ini. Seketika wajah gugupnya berubah menjadi sinis. "Abang tak mempercayai Rania?" tanya perempuan itu dengan tatapan marah, seolah merasa tertuduh. "Itu milik Rifal, suami Tiara. Dua hari yang lalu mereka mampir ke sini saat pulang kantor." Rania berusaha meyakinkan k
Waktu masih menunjukkan jam sembilan pagi, saat aku sibuk menyuapi sarapan ke mulut Harry. Bocah laki-laki itu asik menonton beberapa anak laki-laki dan perempuan berusia SD yang tengah bermain kelereng di depan rumah, sambil mengunyah nasi goreng di mulutnya. Harry terlihat kegirangan saat Lila dan Rani anak tetangga yang berumur sekitar delapan tahun menggodanya. Harry memang mudah akrab dengan siapa saja yang menampakkan wajah bersahabat padanya. Dering ponsel tanda panggilan masuk terdengar dari arah kamar, di mana ponselku berada. Aku beranjak masuk setelah menitipkan Harry pada Lila dan Rani. "Assalamu'alaikum," sapaku pada si penelpon setelah panggilan tersambung. "Wa'alaikumsalaam, Na," "Ada apa, Fa?""Kamu bilang semalem Haikal di rumah, kok aku malah liat Haikal di sini!" "Iya, Fa, semalem Bang Haikal memang pulang, terus pagi tadi buru-buru pergi lagi. Emang ketemu Bang Haikal di mana?""Di apotik, sebelah masjid waktu kita berhenti sholat tempo hari. Apa mungkin Haik
Matahari sudah mulai tergelincir ke ufuk barat. Aku baru saja usai melaksanakan shalat dzuhur di mushola rumah sakit. Kak Naima setengah jam yang lalu menyusulku ke rumah sakit, bersama putri bungsunya—Rara, gadis kecil yang masih berumur empat tahun. Sedangkan Kak Farida katanya akan datang setelah shalat dzuhur. Selain Ibu, Kak Farida dan Kak Naima juga sangat baik padaku. Selama ini mereka berdua tak pernah memperlakukanku tak baik, apalagi kami memang tak terlalu sering bertemu. Aku cukup dekat dengan Kak Naima, karena memang perempuan berusia lima tahun lebih tua dariku itu sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Berbanding terbalik dengan Kak Farida. Anak tertua Ibu itu sangat menurun pada karakter sang Ayah. Terkesan pendiam cenderung tomboy. Itu kuketahui dari cerita Ibu saat beliau masih sehat, karena ayah mertuaku meninggal, jauh sebelum aku menikah dengan Bang Haikal. Ah, tiba-tiba aku begitu rindu masa-masa itu, masa-masa dimana aku dan Ibu sering menghabiskan waktu untuk
Kak Farida mengusap lembut kepala gadis kecil itu dengan tangan kirinya, sedangkan telunjuk tangan kanannya diletakkannya di bibir mungil milik Rara, sebagai isyarat untuk diam.Kak Naima merenggangkan pelukannya, menatapku dalam dengan raut wajah penuh tanya. "Ceritakan, Na! Jangan memendamnya sendiri!"Aku berjalan melewati Kak Naima, mendudukkan tubuhku pada kursi di samping Rara. Isak yang masih tersisa membuatku sulit untuk berbicara. Kuraih ponsel di dalam tas yang sejak tadi selalu kujinjing. Naik turun kuscroll layar ponsel dengan air mata yang sulit untuk berhenti keluar, mencari beberapa bukti yang beberapa waktu lalu sempat kukirim dari ponsel Bang Haikal. Ini bukan waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya pada mereka, tapi sikap Bang Haikal yang menurutku sudah melewati batas, membuat sisa sabar di hatiku terkikis habis. Kusodorkan ponselku pada Kak Naima yang kini ikut duduk di sampingku. Wajah perempuan itu berubah memerah, dengan geraham mengeras, membuat Kak Fa
Tatapan mata dari perempuan di hadapannya seakan menghujam jantung, menciptakan sesak di dada Haikal. Lelaki itu beringsut mundur. "Kak Farida!" ucap Haikal dengan bibir bergetar. Sang kakak tak menjawab sama sekali. Perempuan itu masuk tanpa mempedulikan Haikal yang menatapnya dengan nyali menciut. Lelaki itu cukup paham bagaimana karakter sang kakak ketika sedang marah. Masih jelas diingatannya bagaimana kakak tertuanya itu menghantamkan tinju pada wajahnya, saat dirinya ketahuan bolos waktu SMA dulu. "Siapa yang datang, Bang?" tanya Rania dengan setengah berteriak dari arah dapur, membuat wajah Haikal semakin memucat. Farida tersenyum sinis. Haikal mengekor langkah Farida yang berjalan menuju dapur, dengan tubuh gemetar."Sejak kapan kalian bersama?" tanya Farida dengan tatapan lurus tanpa ekspresi. Rania yang tengah duduk di kursi makan, tengah membuka bungkusan makanan di atas meja seketika mendongak, wajahnya seketika memucat. Tak heran jika nyali perempuan itu menciut, kar
"Tiga tahun kau menghianati Zana, istri yang selalu tulus mencintaimu, merawat Ibu yang sudah bertahun-tahun stroke, hingga bayi hasil perbuatan bejat kalian." Farida berkata dengan emosi yang meluap, "Apa kau masih punya ot@k, Haikal?!" Kali ini teriakanlah yang keluar. "Kami sudah menikah, Kak!" jawab Haikal. "Menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri sah? Itu yang kau sebut menikah?! Pengecut!" ucap Farida dengan telunjuk menjejal kening Haikal. "Kenapa kalian tak ada yang mengerti, Kak? Aku hanya ingin memiliki keturunan!" Haikal berkata dengan wajah sendu, berharap emosi Farida menurun. Bukk! Tinju yang sedari tadi mengepal kuat, kini melayang tepat mengenai pipi kiri Haikal. Lelaki itu sempoyongan, setelah menerima pukulan dari sang kakak yang tak disangka-sangka. Rania semakin mengkerut, tak ingin wajah cantiknya lebih hancur lagi, membuatnya lebih memilih diam. "Coba kau pikir bagaimana kau akan mengambil sikap, jika kau pada posisi Zana sekarang?" tanya Farida. Matany