"Humaira, Bibi mohon berhenti ... Bibi mengatakan hal itu ... sebenarnya Bibi hanya mau sedikit berdiskusi. Jangan katakan apa pun dulu pada Den Fahran, ini juga demi keselamatannya Non Humaira." Lagi dan lagi dalam perjalannya-mengikuti langkah Humaira, Bi Hanum terus saja memperingatkan Humaira kembali.
Mendengar hal itu, Humaira pun memutuskan untuk kembali berhenti sejenak-lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan juga Bi Rahma yang kini telah berada dekat di belakangnya."Maafkan Humaira, Bi. Bukannya Humaira ingin membantah ucapannya Bibi. Humaira juga tahu, apa yang mungkin saja akan Fahran lakukan nantinya, tapi meskipun gitu, lebih baik Humaira mengatakan hal ini pada Fahran-mengenai tindakan konyolnya, sebelum Fahran akan melakukan hal yang jauh lebih buruk lagi pada dirinya sendiri."Bibi paham 'kan, kalau Humaira nggak akan pernah selalu berada di sini? Meskipun sekuat tenaga dan dengan berbagai alasan, maupun ancaman yang akan Fahran katakan, Humaira nggak akan pernah tega meninggalkan Kak Tama, Bi."Suatu saat nanti, akan ada masanya Humaira harus kembali kabur dari sini-meninggalkan Fahran selama-lamanya, dan Humaira sama sekali nggak mau, kalau ada hal fatal lainnya, yang akan Fahran lakukan dalam melukai dirinya sendiri, Bi. Humaira nggak mau hal semacam ini akan terulang kembali. Jadi untuk itu, biarkan Humaira sendiri yang akan sampaikan hal ini ke Fahran."Humaira janji, Humaira pasti akan kembali ke hadapan Bi Hanum dan Bi Rahma, dalam keadaan yang baik-baik saja, tanpa ada sedikit pun luka. Bi Hanum ... Bi Rahma ... kalian bisa percaya sama Humaira, 'kan?" Daripada yang sebelum-sebelumnya, untuk kali ini, Humaira jauh lebih detail dalam penyampaian alasan-kenapa ia begitu ngotot untuk bisa mengatakan perihal 'Tulisan bercat darah' itu, secara langsung pada Fahran.Mendengar hal ini, Bi Hanum dan Bi Rahma, keduanya seakan tak lagi punya celah untuk bisa menghentikan keinginannya Humaira. Selain itu, sebenarnya ada alasan lainnya kenapa Bi Hanum hanya terdiam menatap fokus ke arah depan, setelah sebelumnya ia sempat melihat ke arah Humaira, bahkan kelihatannya, ia seperti ingin memegang tangannya Humaira-sebagai bentuk persetujuan.Ya, Bi Hanum memang hendak melakukan hal itu, bahkan Humaira pun sempat melihat ke arah tangannya Bi Hanum yang tengah bergerak pada saat itu, hendak menuju ke arah di mana tangan kanannya Humaira tengah berada.Namun meskipun begitu, alih-alih ia dengan sigap memberi persetujuan itu melalui genggaman-layak pada biasanya yang sering ia lakukan pada Humaira, justru kali ini tangannya malah bergetar, dan netranya pun terlihat membulat dan terkesan kaku-masih melihat ke arah yang sama.Mulanya, fokus Humaira hanya tertuju pada tangannya Bi Hanum, tapi lambatt laun, netranya pun dengan spontan bergerak-melihat ke arah orang yang kini masih berada di sampingnya Bi Hanum. Ya, siapa lagi kalau bukan Bi Rahma.Lantas setelahnya, setelah ia melihat ekspresi ketakutan itu dari Bi Rahma, sontak dengan spontan pula, netra Humaira kembali melihat ke arah wajahnya Bi Hanum.Ternyata sama, ekspresi mereka sama. Tak hanya tangannya Bi Hanum yang sempat bergetar, tapi pandangannya pun sontak menunjukkan rasa ketakutan yang terkesan tak ada ubahnya."Ada apa?" Humaira yang masih menghadap ke arah Bi Hanum dan Bi Rahma kala itu. Tentunya ia belum menyaksikan, betapa buruknya pemandangan yang ada di depan sana.Sebab tiadanya satu pun respons jawaban yang sejatinya sangat ingin Humaira dapatkan, sontak pada detik-detik setelahnya, ia pun memutuskan untuk segera berbalik arah.Deg!Terkejut bukan kepalang, sama halnya dengan ekspresinya Bi Hanum dan juga Bi Rahma tadinya, Humaira pun hanya mampu mematung dalam beberapa saat-ia sama sekali merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat."Z-Zayana. Zayana!" Dengan turut meneteskan air mata, Humaira pun lekas bergegas, menghampiri Zayana yang tengah di bawa oleh Fahran.Ini bukan hanya mengenai Zayana-adik iparnya, tapi fokus mereka pada saat itu, yaitu mengenai gelimangan darah yang tengah menghiasi tangan dan juga pada sebagian kakinya Zayana-meskipun telah di tutup dengan kain berwarna putih pada saat itu.Kini Humaira tampak semakin histeris-melihat adik iparnya yang benar-benar telah tidak sadarkan diri."Minggirlah!" Lantas hanya dalam beberapa saat, suara berat itu pun lekas melintas jelas pada pendengarannya Humaira.Tadinya, Humaira memang hanya terfokus pada luka-luka darah yang tengah Zayana dapatkan. Namun tepat setelah suara itu terdengar olehnya, arah netranya pun lekas melihat ke arah di mana suara itu berasal.Menatapnya dengan penuh kemarahan, itulah yang kini tengah Humaira perlihatkan di hadapannya."Apa salahnya??! Apa yang udah kamu lakukan ke Zayana??!" Humaira benar-benar emosi. Tak hanya nada suara yang ia keraskan, tapi pada saat itu juga, Humaira turut mendorong Fahran dengan lemahnya sisa tenaga yang masih Humaira miliki."Cukup, Humaira! Membawanya ke dalam, dan secepatnya bertindak, itu jauh lebih penting! Minggirlah!" Dengan penjelasan seadanya, Fahran berupaya untuk bisa membuat Humaira mengehntikan aksinya itu. Entah apa yang tengah terjadi. Namun sepertinya, Humaira telah menuduhkan banyak hal buruk pada Fahran-mengenai apa yang tengah ia lihat, pada tubuhnya Zayana."Kamu apakan dia??! Apa salah Zayana, Fahran??!" Benar-benar tak terima, Humaira pun masih melakukan hal yang sama-menanti jawaban yang pasti dari Fahran.Fahran tampak berdecak, tak tahu apa yang ingin ia lakukan pada Humaira. Mana mungkin rasanya, ia akan mendorong Humaira. Ia benar-benar merasa frustrasi.Lantas sebab hal ini, dengan suara lantangnya, ia pun lekas memanggil beberapa asisten rumah tangganya yang lain, selain Bi Hanum dan Bi Rahma pastinya, untuk bisa dengan segera membawa Zayana yang tengah berlumuran darah tersebut-memasuki sebuah ruangan medis yang ada di dalam mansion mewahnya miliknya-menanti seorang dokter yang sebentar lagi akan hadir.Setelah suara lantang itu menggema denga jelasnya. Maka kedua asisten rumah tangga Fahran yang lainnya pun lekas memenuhi panggilannya Fahran. Kini mereka telah tepat berada di hadapannya mereka."Bawa perempuan ini ke dalam. Bawa dia seperti aku membawanya sampai ke sini. Aku telah panggilkan seorang dokter spesialis, untuk memeriksa setiap luka yang ia dapatkan." Fahran."Baik Tuan." Keduanya tertunduk memberi hormat-setelah mereka berhasil memposisikan Zayana di tengah-tengah mereka.Sama halnya dengan apa yang tengah Fahran lakukan tadinya dalam membawa Zayana, yakni hanya dengan memapahnya, dan hanya bertumpu kuat memegangi bagian pinggangnya Zayana. Lantas demikian, sesuai dengan instruksinya Fahran, begitu pula-lah, posisi yang sedang Zayana dapatkan, di antara pertengahan dari kedua asisten rumah tangga itu.Harusnya Zayana memang digendong, dan bukannya dipapah, demi mendapatkan nuansa tolerir yang sepatutnya. Namun bagi Fahran, memapah dengan cara demikian, adalah cara yang tepat, untuk membawa seorang gadis yang telah ia anggap begitu menjengkelkan itu tadinya.Sementara di sisi lainnya, Humaira masih saja menetap di sana, masih menangisi apa yang telah sedari tadi ia tangisi, dan hanya pujukan lembut dari Bi Hanum dan Bi Rahma-lah, yang sejatinya masih setia menemaninya-tepat setelah suara lantang Fahran ajukan tadinya, pada kedua asistennya yang lain, yang kini tengah membawa Zayana menuju ruangan medis yang ada di sana.Sama halnya layak yang tadi, Humaira masih saja bersekeras, tak ingin pergi dari sana, sampai suatu saat, suaranya semakin melemah, dan Humaira pun kehilangan kesadarannya-tepat pada sebuah tiang menjulang yang ada di dalam sana, yang telah berhasil membuat Humaira tak sadarkan diri, tanpa harus terluka.Melihat hal itu, Bi Hanum dan Bi Rahma pun dengan sigap hendak membawa Humaira ke kamarnya. Namun pada saat itu juga, Fahran pun lekas mencekal keinginannya mereka. "Cukup. Biar saya saja yang membawa Humaira ke dalam kamarnya."Bi Hanum dan Bi Rahma bisa langsung ke dapur, tolong buatkan minuman herbal apa pun itu untuk bisa membuatnya semakin rileks," -ucapan Fahran terhenti sejenak, sembari memposisikan Humaira dalam gendongannya- "mmm, jangan lupa bawa cemilan sehat lainnya, untuk bisa Humaira cemili nantinya," tambah Fahran, setelah ia berhasil menggendong Humaira dengan sempurna."Baik, Den," balas Bi Hanum dan Bi Rahma.Ingin rasanya mereka bertanya lebih, mengenai apa sebenarnya yang telah terjadi. Namun alih-alih ingin bertanya, melihat situasi yang terkesan kacau saat ini saja-banyaknya ceceran darah yang sempat mereka lihat di sana, hal ini telah cukup membuat mereka semakin merasa takut.Entah apa yang telah Fahran lakukan, bahkan mereka semua sangat sulit menebaknya, sekalipun Bi Hanum dan Bi Rahma, mereka adalah asisten rumah tangga terlama yang ada di sana.Menurut mereka, sewaktu Fahran kecil dulunya, ia merupakan pribadi yang baik hati, ramah dan sangat sopan. Hal itu memang menyisakan jejak, bahkan sekalipun kini ia bukanlah Fahran yang sebaik dulu. Namun meskipun begitu, nyatanya ia masih mampu membedakan, di mana ia harus menenempatkan kata 'Aku' dan kata 'Saya' dalam dialognya, terhadap mereka yang lebih tua.Ya, sepercik kesopanan itu memang masih terbenak di dalam dirinya seorang Fahran. Namun hal ini juga bukan suatu hal yang dapat mendominasi, jika Zayana yang telah terlihat bergelimangan darah itu tadinya, memang bukan karena kesalahannya Fahran-mengingat dulunya ia juga memiliki masa-masa kelam, di mana ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, sang almarhum ayahnya terbunuh secara tragis, dan ini juga mengenai cukup banyaknya buli-an yang ia dapatkan, mengenai karakter ibu kandungnya, yang hingga kini masih saja menjadi objek tanda tanya besar baginya.Ya, karakter yang buruk memang selalu dipautkan dengan kisah kelamnya masa lalu. Namun pengajaran yang baik, tak akan pernah luput dari setiap diri yang paham betul akan makna dari kemanusiaan yang sesungguhnya.Entah setiap luka darah yang Zayana dapatkan memang Fahran-lah pelakunya, atau bahkan bukanlah dirinya. Namun yang pasti, segala trauma yang pernah Fahran alami, ini ada sangkut pautnya dengan gelimangan darah, dan juga mengenai suatu tipu daya."Aku tidak sepenuhnya salah dalam hal ini. Bahkan jika ditelaah dengan benar, bukan akulah yang telah menyebabkan ini semua terjadi. Ya! Ini semua terjadi, bukanlah kesalahanku. Melainkan ini semua murni, karena ulah kekonyolannya, Zayana Dirgantara!" batin Fahran.“Kamu puas Humaira?! Kamu puas melihat suami kamu terbaring lemah seperti ini?” Suara perempuan tua itu terdengar bergetar—menahan pilu—melihat putranya tak sadarkan diri. “Nggak, Bu. Ibu salah besar, mana mungkin ... mana mungkin saya merasa seperti itu ....” Ucapannya terputus—menyesali ketidakharmonisan yang sempat terjadi, sebelum kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi. Plak! Hanya dalam beberapa saat, suara tamparan pun terdengar. “Ini bukan karena kesalahannya Kak Tama, tapi ini murni karena kesalahannya kamu! Kamu itu nggak becus jadi istri! Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Kak Tama!” Selain tamparan, suara makian pun turut terdengar oleh Humaira. Begitu sedih hatinya, ia yang dulunya mendapat banyak perhatian dari sang ibu mertua pun, kini tak lagi mendapatkan hal yang sama. Kini, hanya kebencianlah yang harus ia dapatkan. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Humaira harus mendapatkan perlakuan kasar itu dari mereka, akibat suatu fitnah yang telah berhasil meracuni pikiran
Chapter 2. Merasa Terhina Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya. Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu. Plak! Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran. “Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran. Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah dar
Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira. Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya. Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana. “Pergi ke mana dia?” gumam Fahran. Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam. “Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... a
“Jadi bagaimana? Kamu mau hidup setia bersamaku?” Fahran.Hening sejenak, memikirkan hal yang sama sekali tak masuk akal itu baginya. Humaira benar-benar bingung akan hal ini. Ia tahu, bahwa Fahran tak akan pernah main-main dengan ucapannya. “M-mana mungkin aku bisa lakukan itu.” Suara Humaira masih lirih, ia benar-benar tampak putus asa, sementara tak ada sedikit celah pun yang tersisa untuk ia bisa kabur dari sana. Setelah Fahran mendengar hal itu darinya, sontak lagi dan lagi Fahran pun lekas mencengkram pergelangan tangannya Humaira. “Aggh!”“Apa maksudmu? Apa itu jawaban? Apa itu sebuah jawaban, Humaira?!!” Fahran benar-benar emosi. Ia benar-benar tak tahan dengan nuansa lama dalam menunggu. Sementara Humaira, ia masih saja dilanda kebingungan. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Ooo, jadi begitu. Itu artinya, kamu mau menerima negoisasi dariku, untuk kita bisa saling memadu kasih, bercumbu liar, dan melakukan hal itu di tempat yang minim cahaya ini? Begitukah?” T
“Nggak usah banyak tanya. Kamu nggak akan pernah kuat, dengar apa pun itu tentang Tama. Aku tahu itu.” Ucapan ambigu darinya ini, telah berhasil membuat Humaira lemah. Ia benar-benar menyangka, bahwa kalimat tersebut Fahran katakan, sebagai bentuk pembenaran dari suatu hal yang tadinya telah ia asumsikan, dan juga sempat ia tanyakan padanya. Benar-benar merasa terpukul. Itulah kini yang tengah Humaira rasakan. Lantas sebab hal ini, dengan pasrah Humaira mengikuti ajakan langkahnya Fahran—hendak menuju ke mansion mewahnya, dan menetap di sana. “Hamba-Mu nggak ngerti Ya Allah. Hamba-Mu nggak paham, kenapa ini semua bisa terjadi di dalam kehidupannya hamba? Apa ini adalah sebuah hukuman, dari sebuah dosa yang dulunya pernah hamba-Mu lakukan?” batin Humaira, menanggung sendu.*** Tak butuh waktu lama, kini mereka pun telah sampai di depan mansion mewah miliknya Fahran. Dalam senyuman, Fahran menoleh ke arah Humaira, yang kini telah berhasil kembali ia bawa. Meskipun ada kisaran sembil
Beberapa saat setelahnya, kini mereka bertiga pun telah tepat memasuki sebuah kamar yang memang diperuntukkan khusus untuk Humaira. Masih dalam keadaan yang sama, tentunya Humaira sama sekali tak peduli dengan banyaknya pernak-pernik sambutan, yang telah Fahran pajang dengan indahnya di dalam sana. Pernak-pernik berkesan elegan dan mahal itu bukannya baru di pasang, melainkan benda-benda indah itu telah Fahran pasang dan dekor sendiri lebih dari sebulan yang lalu—tepat di saat ia merindukan akan kehadirannya Humaira kembali. “Bi Hanum tahu, kalau Non Humaira nggak akan peduli dengan pernak-pernik yang udah Den Fahran pajang. Bibi tahu, kalau Non Humaira juga pastinya ... sama sekali nggak terfokus pada indahnya tulisan rangkaian nama yang ada di sana. Bi Hanum tahu, kalau hal ini wajar Den Fahran dapatkan, Den Fahran memang sepantasnya ... mendapatkan penolakan besar-besaran dari Non Humaira. “Bi Hanum nggak bermaksud mau membenarkan apa pun yang udah Den Fahran lakukan ke Non Huma
"Humaira, Bibi mohon berhenti ... Bibi mengatakan hal itu ... sebenarnya Bibi hanya mau sedikit berdiskusi. Jangan katakan apa pun dulu pada Den Fahran, ini juga demi keselamatannya Non Humaira." Lagi dan lagi dalam perjalannya-mengikuti langkah Humaira, Bi Hanum terus saja memperingatkan Humaira kembali. Mendengar hal itu, Humaira pun memutuskan untuk kembali berhenti sejenak-lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan juga Bi Rahma yang kini telah berada dekat di belakangnya. "Maafkan Humaira, Bi. Bukannya Humaira ingin membantah ucapannya Bibi. Humaira juga tahu, apa yang mungkin saja akan Fahran lakukan nantinya, tapi meskipun gitu, lebih baik Humaira mengatakan hal ini pada Fahran-mengenai tindakan konyolnya, sebelum Fahran akan melakukan hal yang jauh lebih buruk lagi pada dirinya sendiri. "Bibi paham 'kan, kalau Humaira nggak akan pernah selalu berada di sini? Meskipun sekuat tenaga dan dengan berbagai alasan, maupun ancaman yang akan Fahran katakan, Humaira nggak akan pernah tega men
Beberapa saat setelahnya, kini mereka bertiga pun telah tepat memasuki sebuah kamar yang memang diperuntukkan khusus untuk Humaira. Masih dalam keadaan yang sama, tentunya Humaira sama sekali tak peduli dengan banyaknya pernak-pernik sambutan, yang telah Fahran pajang dengan indahnya di dalam sana. Pernak-pernik berkesan elegan dan mahal itu bukannya baru di pasang, melainkan benda-benda indah itu telah Fahran pasang dan dekor sendiri lebih dari sebulan yang lalu—tepat di saat ia merindukan akan kehadirannya Humaira kembali. “Bi Hanum tahu, kalau Non Humaira nggak akan peduli dengan pernak-pernik yang udah Den Fahran pajang. Bibi tahu, kalau Non Humaira juga pastinya ... sama sekali nggak terfokus pada indahnya tulisan rangkaian nama yang ada di sana. Bi Hanum tahu, kalau hal ini wajar Den Fahran dapatkan, Den Fahran memang sepantasnya ... mendapatkan penolakan besar-besaran dari Non Humaira. “Bi Hanum nggak bermaksud mau membenarkan apa pun yang udah Den Fahran lakukan ke Non Huma
“Nggak usah banyak tanya. Kamu nggak akan pernah kuat, dengar apa pun itu tentang Tama. Aku tahu itu.” Ucapan ambigu darinya ini, telah berhasil membuat Humaira lemah. Ia benar-benar menyangka, bahwa kalimat tersebut Fahran katakan, sebagai bentuk pembenaran dari suatu hal yang tadinya telah ia asumsikan, dan juga sempat ia tanyakan padanya. Benar-benar merasa terpukul. Itulah kini yang tengah Humaira rasakan. Lantas sebab hal ini, dengan pasrah Humaira mengikuti ajakan langkahnya Fahran—hendak menuju ke mansion mewahnya, dan menetap di sana. “Hamba-Mu nggak ngerti Ya Allah. Hamba-Mu nggak paham, kenapa ini semua bisa terjadi di dalam kehidupannya hamba? Apa ini adalah sebuah hukuman, dari sebuah dosa yang dulunya pernah hamba-Mu lakukan?” batin Humaira, menanggung sendu.*** Tak butuh waktu lama, kini mereka pun telah sampai di depan mansion mewah miliknya Fahran. Dalam senyuman, Fahran menoleh ke arah Humaira, yang kini telah berhasil kembali ia bawa. Meskipun ada kisaran sembil
“Jadi bagaimana? Kamu mau hidup setia bersamaku?” Fahran.Hening sejenak, memikirkan hal yang sama sekali tak masuk akal itu baginya. Humaira benar-benar bingung akan hal ini. Ia tahu, bahwa Fahran tak akan pernah main-main dengan ucapannya. “M-mana mungkin aku bisa lakukan itu.” Suara Humaira masih lirih, ia benar-benar tampak putus asa, sementara tak ada sedikit celah pun yang tersisa untuk ia bisa kabur dari sana. Setelah Fahran mendengar hal itu darinya, sontak lagi dan lagi Fahran pun lekas mencengkram pergelangan tangannya Humaira. “Aggh!”“Apa maksudmu? Apa itu jawaban? Apa itu sebuah jawaban, Humaira?!!” Fahran benar-benar emosi. Ia benar-benar tak tahan dengan nuansa lama dalam menunggu. Sementara Humaira, ia masih saja dilanda kebingungan. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Ooo, jadi begitu. Itu artinya, kamu mau menerima negoisasi dariku, untuk kita bisa saling memadu kasih, bercumbu liar, dan melakukan hal itu di tempat yang minim cahaya ini? Begitukah?” T
Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira. Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya. Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana. “Pergi ke mana dia?” gumam Fahran. Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam. “Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... a
Chapter 2. Merasa Terhina Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya. Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu. Plak! Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran. “Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran. Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah dar
“Kamu puas Humaira?! Kamu puas melihat suami kamu terbaring lemah seperti ini?” Suara perempuan tua itu terdengar bergetar—menahan pilu—melihat putranya tak sadarkan diri. “Nggak, Bu. Ibu salah besar, mana mungkin ... mana mungkin saya merasa seperti itu ....” Ucapannya terputus—menyesali ketidakharmonisan yang sempat terjadi, sebelum kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi. Plak! Hanya dalam beberapa saat, suara tamparan pun terdengar. “Ini bukan karena kesalahannya Kak Tama, tapi ini murni karena kesalahannya kamu! Kamu itu nggak becus jadi istri! Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Kak Tama!” Selain tamparan, suara makian pun turut terdengar oleh Humaira. Begitu sedih hatinya, ia yang dulunya mendapat banyak perhatian dari sang ibu mertua pun, kini tak lagi mendapatkan hal yang sama. Kini, hanya kebencianlah yang harus ia dapatkan. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Humaira harus mendapatkan perlakuan kasar itu dari mereka, akibat suatu fitnah yang telah berhasil meracuni pikiran