“Jadi bagaimana? Kamu mau hidup setia bersamaku?” Fahran.
Hening sejenak, memikirkan hal yang sama sekali tak masuk akal itu baginya. Humaira benar-benar bingung akan hal ini. Ia tahu, bahwa Fahran tak akan pernah main-main dengan ucapannya.“M-mana mungkin aku bisa lakukan itu.” Suara Humaira masih lirih, ia benar-benar tampak putus asa, sementara tak ada sedikit celah pun yang tersisa untuk ia bisa kabur dari sana.Setelah Fahran mendengar hal itu darinya, sontak lagi dan lagi Fahran pun lekas mencengkram pergelangan tangannya Humaira.“Aggh!”“Apa maksudmu? Apa itu jawaban? Apa itu sebuah jawaban, Humaira?!!” Fahran benar-benar emosi. Ia benar-benar tak tahan dengan nuansa lama dalam menunggu.Sementara Humaira, ia masih saja dilanda kebingungan. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini.“Ooo, jadi begitu. Itu artinya, kamu mau menerima negoisasi dariku, untuk kita bisa saling memadu kasih, bercumbu liar, dan melakukan hal itu di tempat yang minim cahaya ini? Begitukah?” Tanpa ragu, Fahran pun mengatakan hal ini padanya.Tak lagi mampu menerima hal ini, sontak Humaira pun dengan spontan menolak rasa takutnya. Ia tampak mendongkak—melihat tajam ke arah Fahran, dan turut berucap, “Tolong mengertilah! Kita bukan lagi anak SMA! Aku udah jadi istrinya Tama, Fahran! Apa kamu nggak bisa berpikir jernih? Di luar sana masih banyak perempuan yang bisa kamu nikahi! Bukan cuma aku! Tolong mengertilah!”Suaranya tak lagi bergetar, Humaira benar-benar tegas kali ini, meskipun cengkraman tangannya Fahran masih melekat erat pada pergelangan tangannya.Tak hanya sebatas membantahnya melalui ucapan, tapi kali ini, Humaira pun turut memberontak—berusaha untuk bisa melepas cengkraman itu darinya.Bugh!Tanpa Fahran duga, ternyata Humaira telah berani menginjak salah satu kakinya dengan sekuat tenaga.“Aghhh!”Benar-benar bertenaga dan terasa begitu sakit, itulah yang tengah Fahran rasakan. Lantas sebab hal ini, mau tak mau cengkraman itu pun terlepas—membuat Humaira berhasil melangkah.“HUMAIRA!”Ini sangat beresiko tentunya, dan Humaira pasti sangat paham akan hal ini. Namun apa yang bisa ia lakukuan, selain nekat demikian?Deg!Hanya dalam beberapa langkah larian berselang, kini tangannya Humaira telah berhasil di raih kembali oleh Fahran.Kali ini, entah apa yang akan Fahran lakukan padanya.Fahran tampak mengepal tangan sebelah kirinya. Kini tampaknya, amarahnya pun seakan telah benar-benar semakin memuncak.Tepat setelah Humaira merasakan kuatnya cengkraman itu kembali, Humaira pun dengan spontan kembali menoleh ke arahnya. Kala itu, tanpa Humaira sengaja, ia berhasil melihat kepalan tangannya Fahran, dan dengan sekejap memejamkan matanya—benar-benar merasa takut.“Kumohon jangan lakukan apa pun ....” Humaira.“Mana mungkin Humaira. Aku nggak akan pernah membiarkan kamu lolos begitu saja! Kalau kamu menolak untuk hidup bersamaku, maka seenggaknya harus ada hal yang aku rusak, supaya hidup kamu nggak akan pernah bahagia bersama Tama!” Fahran.Humaira masih menutup matanya, sembari berdzikir dan turut berdoa di dalam hati—meminta pertolongan kepada-Nya.Tuk ... tuk ... tuk ....Selain suara Fahran, kini suara langkah kaki dari arah luar pun turut terdengar oleh Humaira.Benar faktanya, jika setiap doa dari orang yang terkhianati, pasti akan jauh lebih segera terkabul. Ya, itulah kini yang tengah terjadi.Akibat suara Fahran yang sempat berteriak tadinya, ternyata hal itu telah di dengar jelas oleh seseorang. Membuat seseorang itu tengah jelas melangkah, menuju ke arah sana.Tak hanya Humaira, kini Fahran pun telah jelas mendengar langkah itu. Tak hanya itu, bahkan Fahran pun sempat dengan tak sengaja, melihat pergerakan dari orang tersebut, dari arah luar.Deg!Ia benar-benar merasa tak karuan—takut namanya akan tercemar, sementara masker yang tengah ia kenakan tadinya, telah ia lepaskan, dan entah ke arah mana telah ia buang dengan tidak sengaja tadinya.Lantas sebab hal ini, tanpa mengurangi kiat tujuan utamanya, Fahran pun lekas menarik Humaira, memeluknya dan turut menutup mulutnya dengan kelembutan—berharap tak akan ada yang merasa curiga.Deg!Humaira benar-benar tak mengerti dengan ini semua, pertolongan semacam apa yang malah telah membuat Fahran berhasil memeluknya. Apakah ini memang suatu pertolongan, berdasarkan apa yang sempat ia doakan? Atau ini hanya sebatas gambaran buruk dari suatu perkara, atas kesalahan yang dulunya sempat Humaira lakukan?Entah ia harus mensyukuri hal ini, atau bahkan sebaliknya. Namun yang pasti, kekerasan tak lagi ia rasakan selama beberapa menit—hingga orang yang ada di luar sana pergi, dan tak lagi ingin menelusuri secara pasti dan jelas, di mana asal suara yang sempat ia dengar itu berasal.Lalu kemudian, tepat setelah orang itu benar-benar melangkah pergi, Humaira pun lekas menolak tubuh Fahran, benar-benar merasa kesal.“Cukup! Aku nggak mau, ini semua malah membuat Kak Tama terluka!” Inilah yang lekas Humaira katakan, setelah ia berhasil melepas pautan pelukan itu darinya.Mendengar hal ini, sungguh telah membuat hati seorang Fahran yang bejat, kembali merasa terluka. Jika sebelumnya luka ia balas dengan kekerasan pada Humaira, tampaknya tidak untuk sekarang.“Tama? Jadi itu alasannya, Humaira sama sekali nggak berontak, pas aku peluk? Dia Cuma mau jaga hatinya Tama. Sama sekali nggak mau orang lain mengklaim, kalau aku adalah selingkuhannya sekalipun?!” batin Fahran. Matanya seketika terlihat sendu.Humaira terdiam melihatnya—pemandangan ini sangat jarang ia lihat. Tak biasanya Fahran demikian.Merasa telah bebas, hanya dalam hitungan detik setelahnya, Humaira pun lekas berbalk arah—hendak meninggalkannya.Fahran tetaplah Fahran, meskipun netra dan batinnya sempat merasa sendu, tapi tujuan tetaplah sebagai tujuan, apa pun itu alasannya.“Jangan lemah Fahran! Tujuan, tetaplah tujuan!” Pikir Fahran dalam hitungan detik, setelah ia melihat Humaira yang hampir saja berhasil melangkah menuju pintu keluar.Deg!Sesuai perintah pikirannya, kini Humaira pun kembali berhasil ia cegat—tak lagi ingin kehilangan sang tambatan ulung di hatinya itu.“Ikut denganku, kalau kamu nggak mau lihat Tama terluka!” ucap Fahran—hendak kembali membuat Humaira patuh padanya.Campur aduk perasaan Humaira. Menurut Humaira, tentunya ‘Luka’ yang Fahran maksud, bukanlah ‘Luka’ batin yang sempat ia sematkan sebelumnya, di dalam dialognya yang tadi.Ya, menurutnya, pastinya ini mengenai luka fisik, layaknya apa yang tengah di derita oleh suaminya pada saat ini—terbaring lemah di dalam ruang rawat inap, dan tak lagi mampu melihat senyuman ramah dari suaminya itu.Lantas sebab hal ini, muncullah sebuah pertanyaan di dalam benaknya Humaira. Saat itu juga ia lekas berbalik arah, melihat lekat ke arah Fahran—menunjukkan penampilan matanya yang secara spontan kembali terlihat berkaca.“Apa ini semua ulah kamu? Kamu yang udah buat Kak Tama kecelakaan?” Suaranya benar-benar terdengar pilu.“Nggak usah banyak tanya. Kamu nggak akan pernah kuat, dengar apa pun itu tentang Tama. Aku tahu itu.” Ucapan ambigu darinya ini, telah berhasil membuat Humaira lemah. Ia benar-benar menyangka, bahwa kalimat tersebut Fahran katakan, sebagai bentuk pembenaran dari suatu hal yang tadinya telah ia asumsikan, dan juga sempat ia tanyakan padanya. Benar-benar merasa terpukul. Itulah kini yang tengah Humaira rasakan. Lantas sebab hal ini, dengan pasrah Humaira mengikuti ajakan langkahnya Fahran—hendak menuju ke mansion mewahnya, dan menetap di sana. “Hamba-Mu nggak ngerti Ya Allah. Hamba-Mu nggak paham, kenapa ini semua bisa terjadi di dalam kehidupannya hamba? Apa ini adalah sebuah hukuman, dari sebuah dosa yang dulunya pernah hamba-Mu lakukan?” batin Humaira, menanggung sendu.*** Tak butuh waktu lama, kini mereka pun telah sampai di depan mansion mewah miliknya Fahran. Dalam senyuman, Fahran menoleh ke arah Humaira, yang kini telah berhasil kembali ia bawa. Meskipun ada kisaran sembil
Beberapa saat setelahnya, kini mereka bertiga pun telah tepat memasuki sebuah kamar yang memang diperuntukkan khusus untuk Humaira. Masih dalam keadaan yang sama, tentunya Humaira sama sekali tak peduli dengan banyaknya pernak-pernik sambutan, yang telah Fahran pajang dengan indahnya di dalam sana. Pernak-pernik berkesan elegan dan mahal itu bukannya baru di pasang, melainkan benda-benda indah itu telah Fahran pasang dan dekor sendiri lebih dari sebulan yang lalu—tepat di saat ia merindukan akan kehadirannya Humaira kembali. “Bi Hanum tahu, kalau Non Humaira nggak akan peduli dengan pernak-pernik yang udah Den Fahran pajang. Bibi tahu, kalau Non Humaira juga pastinya ... sama sekali nggak terfokus pada indahnya tulisan rangkaian nama yang ada di sana. Bi Hanum tahu, kalau hal ini wajar Den Fahran dapatkan, Den Fahran memang sepantasnya ... mendapatkan penolakan besar-besaran dari Non Humaira. “Bi Hanum nggak bermaksud mau membenarkan apa pun yang udah Den Fahran lakukan ke Non Huma
"Humaira, Bibi mohon berhenti ... Bibi mengatakan hal itu ... sebenarnya Bibi hanya mau sedikit berdiskusi. Jangan katakan apa pun dulu pada Den Fahran, ini juga demi keselamatannya Non Humaira." Lagi dan lagi dalam perjalannya-mengikuti langkah Humaira, Bi Hanum terus saja memperingatkan Humaira kembali. Mendengar hal itu, Humaira pun memutuskan untuk kembali berhenti sejenak-lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan juga Bi Rahma yang kini telah berada dekat di belakangnya. "Maafkan Humaira, Bi. Bukannya Humaira ingin membantah ucapannya Bibi. Humaira juga tahu, apa yang mungkin saja akan Fahran lakukan nantinya, tapi meskipun gitu, lebih baik Humaira mengatakan hal ini pada Fahran-mengenai tindakan konyolnya, sebelum Fahran akan melakukan hal yang jauh lebih buruk lagi pada dirinya sendiri. "Bibi paham 'kan, kalau Humaira nggak akan pernah selalu berada di sini? Meskipun sekuat tenaga dan dengan berbagai alasan, maupun ancaman yang akan Fahran katakan, Humaira nggak akan pernah tega men
“Kamu puas Humaira?! Kamu puas melihat suami kamu terbaring lemah seperti ini?” Suara perempuan tua itu terdengar bergetar—menahan pilu—melihat putranya tak sadarkan diri. “Nggak, Bu. Ibu salah besar, mana mungkin ... mana mungkin saya merasa seperti itu ....” Ucapannya terputus—menyesali ketidakharmonisan yang sempat terjadi, sebelum kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi. Plak! Hanya dalam beberapa saat, suara tamparan pun terdengar. “Ini bukan karena kesalahannya Kak Tama, tapi ini murni karena kesalahannya kamu! Kamu itu nggak becus jadi istri! Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Kak Tama!” Selain tamparan, suara makian pun turut terdengar oleh Humaira. Begitu sedih hatinya, ia yang dulunya mendapat banyak perhatian dari sang ibu mertua pun, kini tak lagi mendapatkan hal yang sama. Kini, hanya kebencianlah yang harus ia dapatkan. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Humaira harus mendapatkan perlakuan kasar itu dari mereka, akibat suatu fitnah yang telah berhasil meracuni pikiran
Chapter 2. Merasa Terhina Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya. Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu. Plak! Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran. “Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran. Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah dar
Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira. Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya. Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana. “Pergi ke mana dia?” gumam Fahran. Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam. “Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... a