Beberapa saat setelahnya, kini mereka bertiga pun telah tepat memasuki sebuah kamar yang memang diperuntukkan khusus untuk Humaira.
Masih dalam keadaan yang sama, tentunya Humaira sama sekali tak peduli dengan banyaknya pernak-pernik sambutan, yang telah Fahran pajang dengan indahnya di dalam sana.Pernak-pernik berkesan elegan dan mahal itu bukannya baru di pasang, melainkan benda-benda indah itu telah Fahran pasang dan dekor sendiri lebih dari sebulan yang lalu—tepat di saat ia merindukan akan kehadirannya Humaira kembali.“Bi Hanum tahu, kalau Non Humaira nggak akan peduli dengan pernak-pernik yang udah Den Fahran pajang. Bibi tahu, kalau Non Humaira juga pastinya ... sama sekali nggak terfokus pada indahnya tulisan rangkaian nama yang ada di sana. Bi Hanum tahu, kalau hal ini wajar Den Fahran dapatkan, Den Fahran memang sepantasnya ... mendapatkan penolakan besar-besaran dari Non Humaira.“Bi Hanum nggak bermaksud mau membenarkan apa pun yang udah Den Fahran lakukan ke Non Humaira. Jelas itu semua salah, tapi kalau boleh Bibi cerita, sebenarnya tinta merah yang bertuliskan nama Non Humaira yang ada di sana, itu bukanlah tinta Non ....” Ucapannya Bi Hanum terhenti sejenak, setelah ia melihat secara spontan, Humaira yang tadinya hanya tampak menatap kosong ke arah depan, kini malah dengan sigap menoleh ke arahnya.“M-maksud Bibi?” Humaira tampak panik kala itu. Ia paham betul, bagaimana Fahran tak sungkan mencelakai dirinya sendiri, hanya untuk perkara obsesinya belaka, terhadap suatu hal yang sangat terkesan konyol menurut Humaira.Bi Hanum tampak tertunduk setelahnya. Ia paham, bahwa ini pasti akan menjadi sebuah tragedi dilema yang luar biasa di dalam benaknya seorang Humaira—mengingat Humaira adalah tipikal seorang perempuan berhati lembut, dan tak ingin siapa pun terluka hanya karena menjadikannya sebagai suatu tujuan.Namun di sisi lainnya, Fahran merupakan anak dari majikannya yang dulu, yakni almarhum Pak Mahendra. Pak Mahendra yang terkenal dengan kedermawanannya, menolong tanpa pamrih, dan ia pun layaknya seorang malaikat bagi Bi Hanum, yang telah habis-habisan membantu perekonomiannya bersama sang adik sepupunya, yakni Bi Rahma—seseorang yang kini tengah berdiri tepat di sampingnya.Bila bercerita mengenai keluarga Mahendra, begitu banyak kepiluan yang telah membenak. Hal inilah yang telah berhasil membuat Fahran tumbuh menjadi anak yang mandiri, tapi sangat begitu mengangung-agungkan apa yang ingin ia raih—terkesan begitu egois, dan turut menganggap bahwa apa pun bisa menjadi halal, asalkan hal tersebut adalah tujuan utamanya.Pada dasarnya, kedua hal inilah yang telah berhasil membuat Bi Hanum tertunduk demikian—merasa bimbang.Balik lagi pada obrolan mereka, melihat Bi Hanum yang tampak tertunduk demikian, tentunya hal ini telah membuat Humaira membenarkan asumsinya sendiri, bahwa memang ada yang tak benar dengan kelakuannya Fahran—tepat setelah ia memutuskan untuk pergi tanpa pamit, pada waktu-waktu yang telah berlalu itu.Lantas sebab hal ini, guna mampu membenarkan secara pasti akan asumsinya yang tadi, Humaira pun memutuskan untuk berjalan ke depan—hendak menyaksikan secara dekat, bahan berwarma merah apakah itu yang telah menghiasi salah satu bagian dinding—dalam ukuran kanvas yang cukup besar, dan tampak indah membentuk rangkaian namanya tersebut di atasnya.Humaira mendekat dan terus mendekat, hingga kini, jarak antara ia dan lukisan tulisan bertuliskan besar namanya itu, benar-benar telah dekat. Setelah memperhatikan dalam beberapa saat, Humaira pun berjalan pasti, menuju sebuah hiasan bunga mawar, yang di dalam vas-nya telah diisi air, sebagai salah satu pernak-pernik hiasan estetika, yang telah Fahran susun juga dengan indahnya di dalam sana.Humaira mengambil replika bunga mawar itu dari vas-nya, lalu mencelupkan jari telunjuknya ke dalam sana. Kini, jari telunjuknya pun telah basah.Lantas setelahnya, Humaira pun kembali meletakkan kumpulan replika bunga mawar yang telah diikat dan di susun dengan indah tadinya itu pada tempatnya kembali, lalu lekas beralih haluan, menuju di mana lukisan tulisan itu berada.Sesuai dengan niatnya, yakni ingin membuktikan, Humaira pun meletakkan jari telunjuknya yang telah basah itu di atas sana. Ia tampak menjamah satu huruf pertama dari namanya itu, dan turut sedikit menekannya.Humaira terdiam sejenak, melihat tangannya yang telah ikut terkontaminasi dengan jenis cairan merah sebagai bahan dasar dari lukisan tulisan indah itu.Deg!Ada kesan bau amis, dan pada saat itulah asumsinya benar terbukti, bahwa Fahran telah benar menggunakan tetes demi tetes darah yang mungkin itu berasal dari tubuhnya sendiri.“Huhft, mau sampai kapan aku terus saja membuat banyak orang menderita? Ibu mertuaku, Zayana dan yang paling pasti Kak Tama. Terus sekarang siapa lagi? Fahran? Apa aku patut untuk mengasihaninya?” batin Humaira benar-benar berkecamuk, setelah ia berhasil menelaah, bahwa bahan dasar dari pembuatan lukisan tulisan itu, memang benar terbuat dari darah.Ia memang belum tahu pasti, darah siapa yang telah Fahran gunakan pada kanvas dan juga pada pola huruf-huruf berukuran besar itu, yang telah membentuk tulisan namanya.Apa darah sebanyak itu, adalah hasil pemikiran tragisnya seorang Fahran, sebagai bentuk percobaan bunuh diri?Tentunya Humaira semakin panik, hatinya benar-benar tak tenang, bila saja hal itu memanglah benar.Lantas sebab hal ini, Humaira pun lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan Bi Rahma, secara bergantian. Raut wajah mereka tampak sama paniknya. Karena hal ini pula, untuk bisa menjelaskan banyak hal pada Humaira, rasanya Bi Hanum tak lagi mampu berkata apa pun—tak sepatah kata pun lagi terdengar oleh Humaira—mengenai hal ini darinya.Humaira paham, apa yang kiranya tengah Bi Hanum dan Bi Rahma rasakan. Seperti biasanya, untuk bisa menjelaskan banyak hal mengenai tindakan tragisnya seorang Fahran terhadap dirinya sendiri, mereka memang membutuhkan banyak waktu.Humaira bertindak seakan sangat paham akan hal ini. Ingin rasanya ia bertanya tanpa mendesak, atau bahkan menunggu keduanya siap total untuk bercerita lebih padanya. Namun bagi Humaira, hal semacam ini bukanlah suatu perkara yang harus ditunggu, untuk bisa segera mendapatkan penjelasan.Lantas sebab hal ini, Humaira pun memutuskan untuk melangkah keluar—hendak menemui Fahran.Namun pada saat itu pula, Bi Hanum pun lekas memanggilnya. “H-Humaira!” Ia tampak cemas, seolah hal ini pasti akan sangat beresiko.“Humaira ... kamu mau ke mana?” tambah Bi Rahma tak buang paniknyaMereka sama-sama tampak cemas dan panik. Sementara Humaira, ia sama sekali tak menyahuti ucapannya mereka. Dengan berani, Humaira tetap memutuskan melangkah—hendak menghadapi Fahran.Melihat keberanian itu, Bi Hanum dan Bi Rahma pun memutuskan untuk mengikuti langkahnya Humaira. Mereka takut, bila Fahran malah akan meng-agenda-kan rencana lainnya—tepat setelah Humaira mempertanyakan hal ini padanya.Pada mulanya, sebelum ia menyampaikan clue itu pada Humaira, tentunya Bi Hanum tak punya niat apa pun dan sampai kapan pun, Bi Hanum tak akan pernah ingin merugikan siapa pun itu, baik itu bagi Humaira maupun Fahran.Tentu saja demikian, karena niat Bi Hanum dari awal, memang hanya ingin mengimbangi keduanya.Namun meskipun begitu, di balik keinginannya untuk bisa menciptakan situasi yang sehat antara Humaira dan Fahran, nyatanya Bi Hanum memang bukanlah tipikal perencana yang hebat, melainkan ia hanyalah seorang perempuan yang tak ingin menyaksikan apa pun itu mengenai kekerasan, terlagi itu mengenai bunuh diri, maupun mengenai kekerasan terhadap seorang perempuan.Fahran yang akan menyakiti dirinya sendiri, tanpa menetapnya kehadiran Humaira di dalam kehidupannya yang sempat suram, dan di sisi lainnya, ini juga mengenai banyaknya paksaan, maupun kekerasan yang harus Humaira dapatkan, bila saja Humaira akan terus bersamanya—jika tanpa adanya balasan rasa tulus dihatinya, untuk seorang Fahran Mahendra. Tentunya kedua hal ini membuat Bi Hanum merasa tak imbang—tak tahu bagaimana caranya, agar semua konflik kekerasan dan pemaksaan ini akan lekas terusaikan.Kini keadaannya, setelah beberapa menit berlalu—sebelum mereka berhasil menemukan di mana keberadaannya Fahran, Bi Hanum dan Bi Rahma pun masih saja mengikuti langkahnya Humaira.Meskipun telah beberapa kali diingatkan—selama mereka masih sama-sama melangkah, tapi untuk kali ini, Humaira terus saja mencekal ucapannya mereka dengan sopan—mengatakan bahwa apa yang telah Fahran lakukan pada dirinya sendiri, hanya karena alasan telah teramat mencintai dirinya, hal itu bukanlah suatu hal yang dapat dibiarkan. Humaira merasa harus menindaklajuti perkara ini, sebelum kedepannya malah akan lebih jauh berakhir tragis.Humaira memang membenci Fahran atas sikapnya, tapi di sisi lainnya, ia sama sekali tak ingin melihat Fahran kembali melukai dirinya sendiri, hanya karena begitu terobsesi terhadapnya.“Apa pun yang akan terjadi nantinya, aku nggak akan biarkan ada hal buruk yang akan terjadi. Ibu, Kak Tama, Zayana, maupun Fahran, mereka semua nggak boleh terluka hanya karena aku. Aku harus bisa menyelesaikan ini semua!” batin Humaira."Humaira, Bibi mohon berhenti ... Bibi mengatakan hal itu ... sebenarnya Bibi hanya mau sedikit berdiskusi. Jangan katakan apa pun dulu pada Den Fahran, ini juga demi keselamatannya Non Humaira." Lagi dan lagi dalam perjalannya-mengikuti langkah Humaira, Bi Hanum terus saja memperingatkan Humaira kembali. Mendengar hal itu, Humaira pun memutuskan untuk kembali berhenti sejenak-lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan juga Bi Rahma yang kini telah berada dekat di belakangnya. "Maafkan Humaira, Bi. Bukannya Humaira ingin membantah ucapannya Bibi. Humaira juga tahu, apa yang mungkin saja akan Fahran lakukan nantinya, tapi meskipun gitu, lebih baik Humaira mengatakan hal ini pada Fahran-mengenai tindakan konyolnya, sebelum Fahran akan melakukan hal yang jauh lebih buruk lagi pada dirinya sendiri. "Bibi paham 'kan, kalau Humaira nggak akan pernah selalu berada di sini? Meskipun sekuat tenaga dan dengan berbagai alasan, maupun ancaman yang akan Fahran katakan, Humaira nggak akan pernah tega men
“Kamu puas Humaira?! Kamu puas melihat suami kamu terbaring lemah seperti ini?” Suara perempuan tua itu terdengar bergetar—menahan pilu—melihat putranya tak sadarkan diri. “Nggak, Bu. Ibu salah besar, mana mungkin ... mana mungkin saya merasa seperti itu ....” Ucapannya terputus—menyesali ketidakharmonisan yang sempat terjadi, sebelum kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi. Plak! Hanya dalam beberapa saat, suara tamparan pun terdengar. “Ini bukan karena kesalahannya Kak Tama, tapi ini murni karena kesalahannya kamu! Kamu itu nggak becus jadi istri! Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Kak Tama!” Selain tamparan, suara makian pun turut terdengar oleh Humaira. Begitu sedih hatinya, ia yang dulunya mendapat banyak perhatian dari sang ibu mertua pun, kini tak lagi mendapatkan hal yang sama. Kini, hanya kebencianlah yang harus ia dapatkan. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Humaira harus mendapatkan perlakuan kasar itu dari mereka, akibat suatu fitnah yang telah berhasil meracuni pikiran
Chapter 2. Merasa Terhina Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya. Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu. Plak! Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran. “Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran. Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah dar
Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira. Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya. Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana. “Pergi ke mana dia?” gumam Fahran. Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam. “Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... a
“Jadi bagaimana? Kamu mau hidup setia bersamaku?” Fahran.Hening sejenak, memikirkan hal yang sama sekali tak masuk akal itu baginya. Humaira benar-benar bingung akan hal ini. Ia tahu, bahwa Fahran tak akan pernah main-main dengan ucapannya. “M-mana mungkin aku bisa lakukan itu.” Suara Humaira masih lirih, ia benar-benar tampak putus asa, sementara tak ada sedikit celah pun yang tersisa untuk ia bisa kabur dari sana. Setelah Fahran mendengar hal itu darinya, sontak lagi dan lagi Fahran pun lekas mencengkram pergelangan tangannya Humaira. “Aggh!”“Apa maksudmu? Apa itu jawaban? Apa itu sebuah jawaban, Humaira?!!” Fahran benar-benar emosi. Ia benar-benar tak tahan dengan nuansa lama dalam menunggu. Sementara Humaira, ia masih saja dilanda kebingungan. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Ooo, jadi begitu. Itu artinya, kamu mau menerima negoisasi dariku, untuk kita bisa saling memadu kasih, bercumbu liar, dan melakukan hal itu di tempat yang minim cahaya ini? Begitukah?” T
“Nggak usah banyak tanya. Kamu nggak akan pernah kuat, dengar apa pun itu tentang Tama. Aku tahu itu.” Ucapan ambigu darinya ini, telah berhasil membuat Humaira lemah. Ia benar-benar menyangka, bahwa kalimat tersebut Fahran katakan, sebagai bentuk pembenaran dari suatu hal yang tadinya telah ia asumsikan, dan juga sempat ia tanyakan padanya. Benar-benar merasa terpukul. Itulah kini yang tengah Humaira rasakan. Lantas sebab hal ini, dengan pasrah Humaira mengikuti ajakan langkahnya Fahran—hendak menuju ke mansion mewahnya, dan menetap di sana. “Hamba-Mu nggak ngerti Ya Allah. Hamba-Mu nggak paham, kenapa ini semua bisa terjadi di dalam kehidupannya hamba? Apa ini adalah sebuah hukuman, dari sebuah dosa yang dulunya pernah hamba-Mu lakukan?” batin Humaira, menanggung sendu.*** Tak butuh waktu lama, kini mereka pun telah sampai di depan mansion mewah miliknya Fahran. Dalam senyuman, Fahran menoleh ke arah Humaira, yang kini telah berhasil kembali ia bawa. Meskipun ada kisaran sembil