“Kamu puas Humaira?! Kamu puas melihat suami kamu terbaring lemah seperti ini?” Suara perempuan tua itu terdengar bergetar—menahan pilu—melihat putranya tak sadarkan diri.
“Nggak, Bu. Ibu salah besar, mana mungkin ... mana mungkin saya merasa seperti itu ....” Ucapannya terputus—menyesali ketidakharmonisan yang sempat terjadi, sebelum kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi.Plak!Hanya dalam beberapa saat, suara tamparan pun terdengar.“Ini bukan karena kesalahannya Kak Tama, tapi ini murni karena kesalahannya kamu! Kamu itu nggak becus jadi istri! Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Kak Tama!” Selain tamparan, suara makian pun turut terdengar oleh Humaira.Begitu sedih hatinya, ia yang dulunya mendapat banyak perhatian dari sang ibu mertua pun, kini tak lagi mendapatkan hal yang sama. Kini, hanya kebencianlah yang harus ia dapatkan.Kejadian ini bukan tanpa sebab. Humaira harus mendapatkan perlakuan kasar itu dari mereka, akibat suatu fitnah yang telah berhasil meracuni pikiran ibu mertuanya dan juga sang adik iparnya.Tama adalah satu-satunya saudara yang Zayana punya. Lantas sebab hal ini, tentunya Zayana teramat menyayangi sang Kakak laki-lakinya itu.Dulunya, hubungan Humaira dan Zayana benar-benar begitu akrab. Bahkan Zayana tak sekalipun mampu memakinya seperti tadi.Lantas setelah ia kembali mendengar kalimat makian itu dari sang adik iparnya, untuk yang ketiga kalinya—setelah pikirannya Zayana ikut terkompori, maka hanya tambahan derai air matalah yang mampu mendatangi raut wajah cantiknya seorang Humaira.“Maafkan Ibu, Nak. Entah apa yang akan terjadi, setelah kamu lahir nantinya. M-maafkan Ibu ...," batin Humaira, sembari memegangi perutnya—merasa akan ada banyak rintangan lainnya, yang nantinya mungkin saja akan terjadi.Saat itu, sesekali mereka melihat ke arah Humaira dengan tatapan yang benar-benar sinis. Suasana di dalam ruang rawat inap itu memang terkesan sendu, tapi tak menutup kemungkinan, bahwa rasa benci yang telah Buk Sahra dan Zayana miliki, malah semakin memuncak pada Humaira.Ya, itu benar. Selain mereka melihat sinis ke arah Humaira yang tengah menangisi keadaan, Zayana pun turut menyuruh ibunya, untuk lekas mengusir Humaira dari sana.Zayana tampak mengelap air matanya—menahan sendu, setelah ia dengan sekejap kembali melihat ke arah Tama. “Mi, suruh aja si Humaira itu pergi dari sini! Zayana benar-benar benci sama dia! Gara-gara dia, Zayana harus lihat Kak Tama dalam keadaan yang kayak gini. Zayana nggak terima, Mi!”“Sabar Zayana, Umi juga merasakan hal yang sama, tapi bukan sekarang waktunya. Kita nggak punya waktu untuk urus perempuan licik kayak dia ....”“Tapi, Mi ....”“Zayana! Dengarkan kata-kata Umi! Percuma, meskipun kita seret dia untuk keluar dari sini, pastinya dia nggak akan pernah mau. Dia masih mau berusaha untuk mengembalikan nama baiknya ... setelah dia berhasil selingkuh dengan Fahran—merayu kita untuk bisa percaya lagi sama dia. Jadi Umi mohon jangan buat keributan, itu sama sekali nggak membantu Kakak kamu!” Buk Sahra lebih sedikit mengeraskan suaranya—berharap Humaira bisa mendengar itu semua.Humaira yang tadinya tertunduk pun lekas melihat ke arah ibu mertuanya. Kata-kata itu benar-benar telah mengiris hatinya—begitu pilu.***Beberapa waktu telah berlalu, kini Humaira pun memilih untuk melangkahkan kakinya, menuju masjid terdekat yang ada di area lingkup rumah sakit.Al-Malik namanya, sebuah masjid yang telah dibangun oleh sang pemilik rumah sakit swasta tersebut.Di dalam sana, ia tampak menadahkan kedua tangannya—mengharapkan banyak pertolongan dari Sang Maha Raja—Allah subhanahu wa ta’ala.Beberapa waktu ia lalui di sana, hingga azan zuhur pun terdengar begitu indah berkumandang. Humaira bangkit dari duduknya, hendak kembali mengambil air wudu. Meskipun wudunya belum batal, tapi Humaira memutuskan untuk kembali mengulangnya.Dengan derai air mata yang masih tersisa, Humaira lekas keluar dan tak sengaja melihat suatu hal yang cukup ia takuti. Sekarang, overthinking-nya mengenai kehadiran Fahran pun benar-benar telah terjadi.Deg!Betapa terkejutnya Humaira, setelah netranya telah berhasil menangkap rupa menawan dari seorang Fahran.“Astagfirullah. Aku harus melakukan apa? Kenapa Fahran sama sekali nggak bisa tolerir, soal hubungan rumah tangga aku yang udah benar-benar diambang keretakan?” batin Humaira—turut memegangi perutnya—setelah ia berhasil dengan sigap berlari kecil, menuju ke bagian belakang dari pintu masjid.Entah Fahran melihatnya atau tidak, tapi yang pasti, Fahran akan kembali berulah. Fitnah ini benar-benar kejam, teruntuk seorang Humaira yang tengah mengandung tujuh bulan.Fahran ialah mantan kekasihnya Humaira semasa ia SMA dulunya. Dari dulu hingga kini, ia benar-benar telah menunjukkan, betapa terobsesinya ia terhadap seorang Humaira.Seperti pada umumnya, keobsesian pasti akan menghancurkan banyak hal, termasuk mengenai kepercayaan. Ya, inilah yang tengah Humaira alami, ia harus kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang sempat menyayanginya, akibat keobsesian dari pria menawan kaya raya, layaknya seorang Fahran yang katanya teramat mencintainya.***Di sisi lainnya, setelah ia melewati masjid itu, Fahran pun tak segan-segan melangkah arogan—hendak menuju tempat rawat inapnya Tama—suami sahnya Humaira.Beberapa saat setelahnya.“Apa pun caranya, aku nggak pernah biarin kamu bahagia dengan Tama!” gumam Fahran beberapa saat setelahnya, di saat ia telah berada tepat di depan pintu sebuah ruangan rawat inap, di mana di dalamnya ada Tama yang tengah terbaring lemah.Saat itu, pintu tersebut tertutup, sehingga Fahran harus mengetuknya.Tok ... tok ... tok.“Assalamualaikum,” sapa Fahran dalam persembunyian niat liciknya.Hanya dalam beberapa saat, Zayana pun lekas melangkah, hendak membukakan pintu itu—tak tahu siapa yang tadinya telah mengetuk dan menyapa.“Waalaikumussalam,” sahut Zayana.Deg!Betapa terkejutnya Zayana, setelah pintu itu telah ia buka—melihat seorang pria charming yang kini tengah berada di hadapannya.Bukan merasa kagum, melainkan merasa benci. Ya, Zayana tahu siapa dia.“Ada apa?! Apa kamu belum puas, menyakiti hati Kakak saya? Kamu itu selingkuhannya Humaira, ‘kan? Ck! Fahran Mahendra, seorang pebisnis kaya raya ... yang nyatanya nggak sehebat nama belakangnya! Dasar PEBINOR!” Maki Zayana di hadapannya, sembari tak sungkan mengacungkan jari telunjuknya beberapa kali, di hadapannya.Mendengar dan turut melekatkan arah pandangnya ke arah Zayana, Fahran hanya tampak tersenyum remeh—menganggap Zayana hanya sebatas anak kemarin sore, yang bahkan belum tentu paham apa yang namanya rasa cinta.Itu menurutnya, tapi kenyataannya ‘Rasa cinta’ yang ia pahami, bukanlah mengenai rasa cinta yang sesungguhnya, melainkan hanya sebatas keobsesian yang secara transparan ia sebut-sebut sebagai rasa cinta.“Kamu Zayana? Adiknya Tama?” Berkuping tebal, hanya kalimat tanya terkesan ramah yang malah ia ajukan padanya.Tak mumpan, Zayana telah terlanjur benci padanya. Pertanyaan-pertanyaan itu tak ia gubris dengan hal-hal yang positif. Kini, tangan kanannya tampak mendarat pada pertengahan lengannnya Fahran, dan turut mencengkramnya dengan sekuat tenaga yang gadis berusia delapan belas tahun itu miliki. “PERGI!”Suara Zayana memekik ria—membuat sang ibunya tersadar—setelah begitu panjangnya untaian doa yang tengah ia ucapkan pada-Nya, selepas ia melaksanakan salat fardu zuhur-nya.“Ada apa ribut-ribut?” -gumam Buk Sahra, masih mengenakan mukena-nya- “Zayana ... ada apalagi, Nak?” tanya Buk Sahra, sebelum ia sampai ke depan sana—di mana putrinya tengah berada.Di sisi lainnya, pergerakan Zayana pun terhenti, cengkraman yang tengah ia lakukan terhadap sang PEBINOR yang ia maksudkan tadinya pun telah kian merenggang.Lalu, dalam beberapa detik setelah ia mendengar jelas suara ibunya, Zayana pun turut dengan kasar melepas cengkramannya itu terhadap lengannya Fahran.“Aghhh.”Chapter 2. Merasa Terhina Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya. Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu. Plak! Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran. “Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran. Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah dar
Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira. Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya. Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana. “Pergi ke mana dia?” gumam Fahran. Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam. “Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... a
“Jadi bagaimana? Kamu mau hidup setia bersamaku?” Fahran.Hening sejenak, memikirkan hal yang sama sekali tak masuk akal itu baginya. Humaira benar-benar bingung akan hal ini. Ia tahu, bahwa Fahran tak akan pernah main-main dengan ucapannya. “M-mana mungkin aku bisa lakukan itu.” Suara Humaira masih lirih, ia benar-benar tampak putus asa, sementara tak ada sedikit celah pun yang tersisa untuk ia bisa kabur dari sana. Setelah Fahran mendengar hal itu darinya, sontak lagi dan lagi Fahran pun lekas mencengkram pergelangan tangannya Humaira. “Aggh!”“Apa maksudmu? Apa itu jawaban? Apa itu sebuah jawaban, Humaira?!!” Fahran benar-benar emosi. Ia benar-benar tak tahan dengan nuansa lama dalam menunggu. Sementara Humaira, ia masih saja dilanda kebingungan. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Ooo, jadi begitu. Itu artinya, kamu mau menerima negoisasi dariku, untuk kita bisa saling memadu kasih, bercumbu liar, dan melakukan hal itu di tempat yang minim cahaya ini? Begitukah?” T
“Nggak usah banyak tanya. Kamu nggak akan pernah kuat, dengar apa pun itu tentang Tama. Aku tahu itu.” Ucapan ambigu darinya ini, telah berhasil membuat Humaira lemah. Ia benar-benar menyangka, bahwa kalimat tersebut Fahran katakan, sebagai bentuk pembenaran dari suatu hal yang tadinya telah ia asumsikan, dan juga sempat ia tanyakan padanya. Benar-benar merasa terpukul. Itulah kini yang tengah Humaira rasakan. Lantas sebab hal ini, dengan pasrah Humaira mengikuti ajakan langkahnya Fahran—hendak menuju ke mansion mewahnya, dan menetap di sana. “Hamba-Mu nggak ngerti Ya Allah. Hamba-Mu nggak paham, kenapa ini semua bisa terjadi di dalam kehidupannya hamba? Apa ini adalah sebuah hukuman, dari sebuah dosa yang dulunya pernah hamba-Mu lakukan?” batin Humaira, menanggung sendu.*** Tak butuh waktu lama, kini mereka pun telah sampai di depan mansion mewah miliknya Fahran. Dalam senyuman, Fahran menoleh ke arah Humaira, yang kini telah berhasil kembali ia bawa. Meskipun ada kisaran sembil
Beberapa saat setelahnya, kini mereka bertiga pun telah tepat memasuki sebuah kamar yang memang diperuntukkan khusus untuk Humaira. Masih dalam keadaan yang sama, tentunya Humaira sama sekali tak peduli dengan banyaknya pernak-pernik sambutan, yang telah Fahran pajang dengan indahnya di dalam sana. Pernak-pernik berkesan elegan dan mahal itu bukannya baru di pasang, melainkan benda-benda indah itu telah Fahran pasang dan dekor sendiri lebih dari sebulan yang lalu—tepat di saat ia merindukan akan kehadirannya Humaira kembali. “Bi Hanum tahu, kalau Non Humaira nggak akan peduli dengan pernak-pernik yang udah Den Fahran pajang. Bibi tahu, kalau Non Humaira juga pastinya ... sama sekali nggak terfokus pada indahnya tulisan rangkaian nama yang ada di sana. Bi Hanum tahu, kalau hal ini wajar Den Fahran dapatkan, Den Fahran memang sepantasnya ... mendapatkan penolakan besar-besaran dari Non Humaira. “Bi Hanum nggak bermaksud mau membenarkan apa pun yang udah Den Fahran lakukan ke Non Huma
"Humaira, Bibi mohon berhenti ... Bibi mengatakan hal itu ... sebenarnya Bibi hanya mau sedikit berdiskusi. Jangan katakan apa pun dulu pada Den Fahran, ini juga demi keselamatannya Non Humaira." Lagi dan lagi dalam perjalannya-mengikuti langkah Humaira, Bi Hanum terus saja memperingatkan Humaira kembali. Mendengar hal itu, Humaira pun memutuskan untuk kembali berhenti sejenak-lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan juga Bi Rahma yang kini telah berada dekat di belakangnya. "Maafkan Humaira, Bi. Bukannya Humaira ingin membantah ucapannya Bibi. Humaira juga tahu, apa yang mungkin saja akan Fahran lakukan nantinya, tapi meskipun gitu, lebih baik Humaira mengatakan hal ini pada Fahran-mengenai tindakan konyolnya, sebelum Fahran akan melakukan hal yang jauh lebih buruk lagi pada dirinya sendiri. "Bibi paham 'kan, kalau Humaira nggak akan pernah selalu berada di sini? Meskipun sekuat tenaga dan dengan berbagai alasan, maupun ancaman yang akan Fahran katakan, Humaira nggak akan pernah tega men