“Nggak usah banyak tanya. Kamu nggak akan pernah kuat, dengar apa pun itu tentang Tama. Aku tahu itu.” Ucapan ambigu darinya ini, telah berhasil membuat Humaira lemah.
Ia benar-benar menyangka, bahwa kalimat tersebut Fahran katakan, sebagai bentuk pembenaran dari suatu hal yang tadinya telah ia asumsikan, dan juga sempat ia tanyakan padanya.Benar-benar merasa terpukul. Itulah kini yang tengah Humaira rasakan. Lantas sebab hal ini, dengan pasrah Humaira mengikuti ajakan langkahnya Fahran—hendak menuju ke mansion mewahnya, dan menetap di sana.“Hamba-Mu nggak ngerti Ya Allah. Hamba-Mu nggak paham, kenapa ini semua bisa terjadi di dalam kehidupannya hamba? Apa ini adalah sebuah hukuman, dari sebuah dosa yang dulunya pernah hamba-Mu lakukan?” batin Humaira, menanggung sendu.***Tak butuh waktu lama, kini mereka pun telah sampai di depan mansion mewah miliknya Fahran.Dalam senyuman, Fahran menoleh ke arah Humaira, yang kini telah berhasil kembali ia bawa. Meskipun ada kisaran sembilan puluh persen rasa bahagia di dalam hatinya, tapi tampaknya senyuman itu tampak perlahan memudar, tepat setelah dalam tiga puluh detik lamanya, ia menyaksikan raut wajahnya Humaira yang tampak murung.“Aku tahu, kalau kamu nggak bahagia, tapi apa pun caranya, aku akan menghapus nama Tama di hati kamu, dan sebisa mungkin ... aku akan menggantikan posisinya Tama, meskipun nanti ... dengan sangat berat hati ... anaknya Tama akan hadir di tengah-tengah kita,” batin Fahran, masih melihat ke arah Humaira—sebelum ia memilih keluar.Kini, tatapan Fahran terhadapnya telah dengan tak sengaja terbalaskan oleh Humaira. Humaira sama sekali tak tahu, kiranya apa yang tengah Fahran pikirkan. Namun meskipun begitu, ia masih yakin bahwa Allah pasti akan selalu melindunginya.Setelah ia melihat matanya Humaira yang telah dengan tak sengaja itu melihat ke arahnya, lantas pada saat inilah, Fahran pun memutuskan untuk keluar dari mobilnya.Lalu setelahnya, Fahran pun lekas membukakan pintu mobilnya itu untuk Humaira, dan turut mengulurkan tangannya, sebagai bentuk bantuan untuk Humaira yang tengah hamil besar.Humaira melihat uluran tangan itu darinya. Namun yang pasti, ia yang telah semakin membenci Fahran pun, tampak dengan sengaja tak menggubris pergerakan itu darinya. Humaira terhenyak sejenak, menatap tajam ke arahnya, lalu dengan berani menepis tangannya Fahran, tanpa adanya basa-basi.Fahran yang telah menerima hal itu pun memilih mundur, membiarkan Humaira keluar sendiri, tak lagi menawarkan bantuan padanya.Kini, Humaira pun telah melangkah keluar, dan di susul oleh Fahran. Entah apa yang akan Humaira dapatkan nantinya di dalam sana. Namun yang pasti, Fahran tak akan ingin berbuat kasar, selagi Humaira bisa patuh padanya.Tentunya butuh waktu, untuk bisa sampai di depan pintu mansion yang mewah itu—mengingat begitu luasnya halaman indah yang Fahran miliki, di dalam perkarangan mansion mewahnya.Tepat setelah mereka berada di depan pintu mansion mewah tersebut, tampaklah dua penjaga pintu mansion yang telah siap siaga memberi hormat pada keduanya.Mereka memang belum menikah, dan bahkan status Humaira pun masih resmi menjadi istrinya seorang Tama. Namun meskipun begitu, segala skema rencana memang telah disiapkan detail oleh Fahran.Pertama, Fahran akan menahan Humaira di dalam mansionnya, dengan segala kemewahan yang ada.Kedua, dalam waktu dekat, bagaimanapun kondisi terkininya Tama yang sekarang masih belum sadarkan diri, apa pun keadaannya nanti, Fahran akan dengan segera mengurus perceraiannya Humaira dengan Tama, atas persetujan paksa yang pastinya akan ia dapatkan dari Humaira.Ia sangat teramat yakin, jika persetujuan paksa itu pasti akan terlaksana, setelah berbagai layangan ancaman yang akan ia katakan pada Humaira nantinya, berdasarkan banyaknya skema lainnya yang telah ia rangkum mengenai hidup dan matinya seorang Tama Dirgantara.Ketiga, Fahran akan tetap setia menanti hingga Humaira akan melahirkan—menyiapkan segala kebutuhan Humaira dan calon bayinya—seolah-olah ia adalah ayah dari anaknya Humaira. Dalam hal ini, ia bukan ingin mengaku, bahwa ia adalah ayah kandung dari anaknya Humaira, karena yang sebenarnya memang bukan dialah ayahnya. Lalu apa? Apa alasannya?Ini mengenai reputasinya, dan juga mengenai sebuah anggapan yang pastinya akan dipercaya oleh keluarganya Tama.Mungkin, para penggemarnya Fahran tidak akan pernah percaya dengan apa yang telah diyakini oleh keluarganya Tama—mengenai anggapan yang tak benar, tentang siapa ayah kandung dari calon anaknya Humaira, dan juga mengenai isu hubungan perselingkuhan di luar batas itu, sehingga membuat Humaira hamil anaknya Fahran—melainkan mereka percaya, bahwa suami Humaira-lah yang telah dengan sengaja menelantarkan Humaira, dan dengan alasan kemanusiaan, Fahran menerima Humaira yang tengah mengandung anaknya Tama.Ya, dua asumsi inilah yang tengah Fahran rancang sebaik mungkin—menjadikan hal ini layaknya suatu berita skandal, yang masing-masing penikmatnya tak akan pernah tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi, antara ia dan Humaira.Kembali pada Humaira, Fahran dan yang lainnya. Kini, sapaan hormat pun tak hanya dilakukan oleh kedua penjaga pintu dari mansion mewah itu, melainkan turut diikuti dengan jalur panjangnya para pekerja dan juga para asisten rumah tangga yang ada di sana, yang telah dengan sengaja Fahran perintahkan, untuk menyambut kedatangannya Humaira, di saat tadinya mereka masih dalam perjalanan.Mungkin bagi banyak orang, ini adalah suatu penyambutan penghormatan, di mana sebanyak kurang lebih seratus pekerja, beserta asisten rumah tangga yang ada di dalam sana, turut menunduk hormat, menyambutnya dalam senyuman, atas perintah tegas dari seorang Fahran—sang pemilik mansion mewah itu.Jika itu adalah anggapan dari kebannyakan orang, tapi tentunya tidak bagi Humaira—mengingat begitu banyak luka batin yang telah Fahran lakukan terhadapnya—sama sekali tak membiarkan perempuan cantik ini bisa bahagia bersama pilihan hatinya—Tama Dirgantara.Tak hanya luka batin, bahkan dalam beberapa waktu, Fahran pun tak segan-segan brutal melukainya secara fisik.Bagi Humaira, mengenalnya dan pernah menjalin hubungan dengannya, adalah suatu kesalahan yang teramat besar. Hal ini layaknya sebuah bencana, yang telah ia rangkai sendiri. Humaira benar-benar menyesali ini semua.Setelah Humaira melewati sambutan itu dari mereka, betapa perih rasanya, di saat ia kembali mengenang suaminya.“Kak Tama, maafkan aku. Ini sama sekali bukan pilihannya aku. Aku akan tetap mencintai Kak Tama, dan apa pun caranya ... aku akan terus melindungi calon anak kita. Aku sangat berharap ... kita akan kembali bersama,” batin Humaira—tertunduk.Melihat Humaira yang tak lagi melanjutkan langkahnya, Fahran pun lekas mengkode dua asisten rumah tangga, yang biasanya ia perintahkan dalam mengurus Humaira pada sebelumnya, untuk segera membawa Humaira naik ke atas—kembali menempati sebuah kamar serba ada, yang memang telah Fahran khususkan untuk sang tawanan cintanya itu.Setelah menerima kode itu dari sang prince charming—Fahran Mahendra, tentunya dengan sigap, Bi Hanum dan Bi Rahma lekas menghampiri Humaira, dan turut menuntun ibu hamil itu menuju ke atas sana.Humaira kembali melangkah setelahnya. Langkah Humaira benar-benar terlihat lemah, menunjukkan bahwa ini semua hanya sebatas suatu paksaan.Melihat hal itu, Fahran pun tampak kembali goncang. Ia masih bingung, harus dengan cara apa lagi, supaya Humaira bisa betah—menikmati setiap kejutan istimewa yang telah ia persiapkan—layaknya sambutan itu tadinya, yang sejatinya hanya Fahran hadiahkan untuk Humaira seorang.“Tenanglah, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar! Buang dulu pikiran buruk itu, mengenai ketidaknyamanannya Humaira. Yakinlah, suatu saat nanti ... Humaira pasti akan mencintaiku tanpa merasa terpaksa mengenai apa pun, tanpa merasa tertekan akan hal apa pun, termasuk tentang ancaman-ancaman yang sempat aku katakan padanya, mengenai Tama,” batin Fahran, berupaya untuk kembali tetap optimis.Beberapa saat setelahnya, kini mereka bertiga pun telah tepat memasuki sebuah kamar yang memang diperuntukkan khusus untuk Humaira. Masih dalam keadaan yang sama, tentunya Humaira sama sekali tak peduli dengan banyaknya pernak-pernik sambutan, yang telah Fahran pajang dengan indahnya di dalam sana. Pernak-pernik berkesan elegan dan mahal itu bukannya baru di pasang, melainkan benda-benda indah itu telah Fahran pasang dan dekor sendiri lebih dari sebulan yang lalu—tepat di saat ia merindukan akan kehadirannya Humaira kembali. “Bi Hanum tahu, kalau Non Humaira nggak akan peduli dengan pernak-pernik yang udah Den Fahran pajang. Bibi tahu, kalau Non Humaira juga pastinya ... sama sekali nggak terfokus pada indahnya tulisan rangkaian nama yang ada di sana. Bi Hanum tahu, kalau hal ini wajar Den Fahran dapatkan, Den Fahran memang sepantasnya ... mendapatkan penolakan besar-besaran dari Non Humaira. “Bi Hanum nggak bermaksud mau membenarkan apa pun yang udah Den Fahran lakukan ke Non Huma
"Humaira, Bibi mohon berhenti ... Bibi mengatakan hal itu ... sebenarnya Bibi hanya mau sedikit berdiskusi. Jangan katakan apa pun dulu pada Den Fahran, ini juga demi keselamatannya Non Humaira." Lagi dan lagi dalam perjalannya-mengikuti langkah Humaira, Bi Hanum terus saja memperingatkan Humaira kembali. Mendengar hal itu, Humaira pun memutuskan untuk kembali berhenti sejenak-lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan juga Bi Rahma yang kini telah berada dekat di belakangnya. "Maafkan Humaira, Bi. Bukannya Humaira ingin membantah ucapannya Bibi. Humaira juga tahu, apa yang mungkin saja akan Fahran lakukan nantinya, tapi meskipun gitu, lebih baik Humaira mengatakan hal ini pada Fahran-mengenai tindakan konyolnya, sebelum Fahran akan melakukan hal yang jauh lebih buruk lagi pada dirinya sendiri. "Bibi paham 'kan, kalau Humaira nggak akan pernah selalu berada di sini? Meskipun sekuat tenaga dan dengan berbagai alasan, maupun ancaman yang akan Fahran katakan, Humaira nggak akan pernah tega men
“Kamu puas Humaira?! Kamu puas melihat suami kamu terbaring lemah seperti ini?” Suara perempuan tua itu terdengar bergetar—menahan pilu—melihat putranya tak sadarkan diri. “Nggak, Bu. Ibu salah besar, mana mungkin ... mana mungkin saya merasa seperti itu ....” Ucapannya terputus—menyesali ketidakharmonisan yang sempat terjadi, sebelum kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi. Plak! Hanya dalam beberapa saat, suara tamparan pun terdengar. “Ini bukan karena kesalahannya Kak Tama, tapi ini murni karena kesalahannya kamu! Kamu itu nggak becus jadi istri! Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Kak Tama!” Selain tamparan, suara makian pun turut terdengar oleh Humaira. Begitu sedih hatinya, ia yang dulunya mendapat banyak perhatian dari sang ibu mertua pun, kini tak lagi mendapatkan hal yang sama. Kini, hanya kebencianlah yang harus ia dapatkan. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Humaira harus mendapatkan perlakuan kasar itu dari mereka, akibat suatu fitnah yang telah berhasil meracuni pikiran
Chapter 2. Merasa Terhina Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya. Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu. Plak! Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran. “Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran. Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah dar
Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira. Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya. Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana. “Pergi ke mana dia?” gumam Fahran. Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam. “Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... a
“Jadi bagaimana? Kamu mau hidup setia bersamaku?” Fahran.Hening sejenak, memikirkan hal yang sama sekali tak masuk akal itu baginya. Humaira benar-benar bingung akan hal ini. Ia tahu, bahwa Fahran tak akan pernah main-main dengan ucapannya. “M-mana mungkin aku bisa lakukan itu.” Suara Humaira masih lirih, ia benar-benar tampak putus asa, sementara tak ada sedikit celah pun yang tersisa untuk ia bisa kabur dari sana. Setelah Fahran mendengar hal itu darinya, sontak lagi dan lagi Fahran pun lekas mencengkram pergelangan tangannya Humaira. “Aggh!”“Apa maksudmu? Apa itu jawaban? Apa itu sebuah jawaban, Humaira?!!” Fahran benar-benar emosi. Ia benar-benar tak tahan dengan nuansa lama dalam menunggu. Sementara Humaira, ia masih saja dilanda kebingungan. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Ooo, jadi begitu. Itu artinya, kamu mau menerima negoisasi dariku, untuk kita bisa saling memadu kasih, bercumbu liar, dan melakukan hal itu di tempat yang minim cahaya ini? Begitukah?” T