Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira.
Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya.Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana.“Pergi ke mana dia?” gumam Fahran.Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam.“Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... aku pasti bisa membawamu pergi, setelah mengenakan pakaian yang sama sekali belum pernah kamu lihat ini, kaos berwarna putih,” gumam Fahran kembali, sembari tampak tersenyum smirk.Kaos berwarna putih adalah suatu ketidakbiasaan bagi Fahran. Bahkan setahu Humaira, Fahran benar-benar tidak menyukai warna tersebut. Baginya, warna putih terlihat menyedihkan—sama sekali tak hebat dalam menyembunyikan warna noda lainnya—berdasarkan filosofinya seorang Fahran.Ya, Fahran yang begitu mahir dalam sebuah permainan manipulasi, memang benar-benar terasa anti mengenakan banyak hal berwarna putih—mengingat ia sama sekali tak ingin terlihat kotor, meski sejatinya permaianannya sangat teramat menjerumuskan, dan terkesan penuh noda.Namun meskipun begitu, untuk saat ini, balik lagi pada pasal yang pertama. Apa pun alasannya, Humaira harus bisa resmi menjadi miliknya. Kini, ia tak lagi peduli dengan kaos berwarna putih itu pada badannya, bahkan ia telah merancanakan hal ini dari awal, agar Humaira tak lagi mampu menghindarinya.Ia berharap, pikiran buruk Humaira mengenai ketidaksukaannya terhadap apa pun itu dengan warna terang, terutama warna putih, masih terus membenak—mengingat suatu kejadian, di mana Humaira hampir saja kehilangan nyawanya, akibat baju couple yang secara kebetulan bewarna putih, antara ia dan Tama pada saat itu—saat-saat di mana Fahran tak luput memantau keduanya, dan tak segan-segan menyergap Humaira, hanya karena hal sepele tersebut.“Aku yakin, dia nggak akan mengenali aku dalam pakaian bewarna putihku ini. Dia pasti masih mengingat kejadian itu, sebuah kejadian di mana ia paham betul, bahwa aku benar-benar anti dengan warna ini. Aku yakin, penyamaran ini pasti berhasil. Aku nggak akan mudah dia kenali, dan di saat aku berhasil menemukannya, aku akan dengan mudah mempengaruhinya, bersiasat bahwa aku bukanlah Fahran, melainkan orang asing ... yang sama sekali nggak punya niat jahat apa pun,” tambah Fahran dalam gumamnya.Fahran masih melangkah di sekitar area rumah sakit—memperluas upaya pencariannya, dan hingga saat ini, ia masih terlihat percaya diri, bahkan terlihat semakin yakin dalam hal ini.Dia sangat teramat yakin, bahwa Humaira pasti akan resmi menjadi penghuni setia baru di mansion mewahnya, dan tak akan pernah bisa keluar lagi dari sana.***Setelah beberapa menit berlalu mencarinya, sepertinya nasib baik memang lagi tak berpihak pada Humaira.Kini, ia telah berhasiil menemukan Humaira.Sementara Humaira, saat ini ia tampak mengulas senyuman—melihat tiga buah tentengan yang tengah ia bawa. Entah apa itu, tapi sepertinya, ketiga tentengan itu telah berhasil membuat rasa cemasnya kian memudar.“Alhamdulillah, akhirnya aku bisa lolos dari Fahran. Mengunjungi restoran serba ada itu, bahkan kembali melihatnya ada di sana, dan alhamdulillah-nya ... aku berhasil membeli beberapa menu makanan dan juga buah-buahan ini, lalu bisa kembali sampai ke sini dengan selamat. Alhamdulillah, semoga Ibu dan Zayana suka dengan ini semua.” Humaira tersenyum dalam gumamnya.Tak butuh waktu lama bagi Fahran, untuk bisa merenggut senyuman itu darinya. Merasa tak sabar, setelah sekian lama mencarinya, Fahran pun tak lagi ingin basa-basi melalui penyamaran. Rencananya tak lagi sesuai dengan apa yang sempat ia gumamkan pada sebelumnya.Kini, Fahran telah berhasil meraih tangannya dan turut menariknya.Rencananya yang tadi, telah tak lagi ia ulungkan, tak peduli lagi dengan keadaan sekitar, meskipun saat itu, masih ada beberapa orang yang tengah berlalu lalang.Deg!Hanya dalam beberapa detik setelahnya, tarikan itu pun mulai dilakukan kasar oleh Fahran. Tentunya hal ini telah semakin membuat Humaira merasa terkejut.“Ikut denganku!” ucap Fahran di balik masker yang tengah ia kenakan.Humaira tampak teramat shock—matanya membulat—benar-benar merasa tak percaya. Selain itu, ia pun begitu ingat, bagaimana suara dengan intonasi kemarahan itu, sempat hampir saja mencelakainya.“F-Fahran ....” Suaranya gemetar—tak tahu lagi harus berbuat apa.Cengkraman pada pergelangan tangannya sangat teramat kuat, bahkan sempat membuatnya meneteskan air mata.Ia paham betul, bagaimana cengkraman itu bisa perlahan dihentikan. Dengan diam dan sama sekali tak merintih, apalagi sampai memberontak, hal-hal itulah yang harus Humaira lakukan.Ya, Humaira telah cukup sering mengalami hal ini, dan tentunya ia paham, bahwa jika saja ia berani melakukan hal-hal tersebut—hal-hal yang sangat dibenci itu oleh Fahran, maka entah apa yang akan terjadi dengannya, dan juga dengan calon buah hatinya nanti.Lantas itulah mengapa, hanya air mata-lah yang mampu Humaira tampilkan—menyuarakan rasa sakit itu secara spontan.Bugh!Tepat di saat Fahran berhenti melangkah—menemukan sebuah ruangan minim cahaya di dekat sana, lantas ia pun menghempaskan tubuh Humaira pada sebuah dinding yang ada di dalam sana.Sakit tentunya, tapi untungnya Humaira berhasil menahan hempasan itu, untuk tak begitu membuatnya terdorong dengan hebat—menggunakan sisa tenaganya yang masih ada.“Aghhh!” Rintih Humaira dengan teramat pelan, tepat setelah Fahran kembali menarik pergelangan tangannya—menyisakan lingkar setengah goresan yang telah tercap merahnya darah, hanya dalam sekali cengkraman kembali.“Udah kubilang, jangan sesekali melawanku! Kamu pikir aku sebodoh itu? Kamu pergi dari mansionku, dan aku hanya diam saja, menyaksikan itu semua??!” Fahran mulai kembali bersuara, sembari menatap tajam ke arah Humaira yang tengah tersedu-sedu.Kala itu, Humaira masih saja setia, menenteng tiga paper bag bawaannya yang tadi—berharap ia bisa segera lepas darinya.“M-maaf ....” Hanya satu kata itu yang bisa Humaira katakan. Hatinya benar-benar hancur, merasa ia telah kalah dari seorang monster layaknya Fahran.“Aku nggak butuh ucapan maaf itu! Apa pun alasannya, kamu harus penuhi semua keinginanku! Kamu harus hidup setia bersamaku, seutuhnya menjadi milikku, dan aku akan menerima anakmu itu, sebagai bayaran dari persetujuan di antara kita. Bagaimana?”Setelah mengatakan hal itu padanya, Fahran pun kembali melepas cengkraman itu pada pergelangan tangannya Humaira, dan kini ia beralih posisi dengan semakin mendekatinya, turut menatap dekat wajahnya Humaira—menanti jawaban persetujuan—yang sejatinya hanya akan menguntungkan dirinya sepihak.“Ng-nggak. Aku nggak bisa lakukan itu.” Dengan menundukkan pandangannya, Humaira pun lekas mengatakan hal itu secara spontan, dan terdengar sedikit lirih.Mendengar hal itu darinya, Fahran pun tampak tersenyum smirk dan turut berdengus—tak terima. Kala itu, ia pun lebih memillih menjauhi Humaira dalam sejenak, sebelum ia akan kembali melakukan sesuatu—hendak membuat Humaira semakin merasa tak karuan.“Baiklah,” -satu kata penghantar kecemasan yang sesungguhnya. Kini Fahran kembali mendekati wajah Humaira, lalu beralih posisi dalam beberapa detik, menuju ke arah telinganya- “ada satu syarat untuk itu. Bagaimana, jika kita akan melakukan hal itu di sini, dan aku akan membuat calon anakmu bersama Tama ... benar-benar akan tiada pada hari ini juga! Kamu setuju?”“Jadi bagaimana? Kamu mau hidup setia bersamaku?” Fahran.Hening sejenak, memikirkan hal yang sama sekali tak masuk akal itu baginya. Humaira benar-benar bingung akan hal ini. Ia tahu, bahwa Fahran tak akan pernah main-main dengan ucapannya. “M-mana mungkin aku bisa lakukan itu.” Suara Humaira masih lirih, ia benar-benar tampak putus asa, sementara tak ada sedikit celah pun yang tersisa untuk ia bisa kabur dari sana. Setelah Fahran mendengar hal itu darinya, sontak lagi dan lagi Fahran pun lekas mencengkram pergelangan tangannya Humaira. “Aggh!”“Apa maksudmu? Apa itu jawaban? Apa itu sebuah jawaban, Humaira?!!” Fahran benar-benar emosi. Ia benar-benar tak tahan dengan nuansa lama dalam menunggu. Sementara Humaira, ia masih saja dilanda kebingungan. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Ooo, jadi begitu. Itu artinya, kamu mau menerima negoisasi dariku, untuk kita bisa saling memadu kasih, bercumbu liar, dan melakukan hal itu di tempat yang minim cahaya ini? Begitukah?” T
“Nggak usah banyak tanya. Kamu nggak akan pernah kuat, dengar apa pun itu tentang Tama. Aku tahu itu.” Ucapan ambigu darinya ini, telah berhasil membuat Humaira lemah. Ia benar-benar menyangka, bahwa kalimat tersebut Fahran katakan, sebagai bentuk pembenaran dari suatu hal yang tadinya telah ia asumsikan, dan juga sempat ia tanyakan padanya. Benar-benar merasa terpukul. Itulah kini yang tengah Humaira rasakan. Lantas sebab hal ini, dengan pasrah Humaira mengikuti ajakan langkahnya Fahran—hendak menuju ke mansion mewahnya, dan menetap di sana. “Hamba-Mu nggak ngerti Ya Allah. Hamba-Mu nggak paham, kenapa ini semua bisa terjadi di dalam kehidupannya hamba? Apa ini adalah sebuah hukuman, dari sebuah dosa yang dulunya pernah hamba-Mu lakukan?” batin Humaira, menanggung sendu.*** Tak butuh waktu lama, kini mereka pun telah sampai di depan mansion mewah miliknya Fahran. Dalam senyuman, Fahran menoleh ke arah Humaira, yang kini telah berhasil kembali ia bawa. Meskipun ada kisaran sembil
Beberapa saat setelahnya, kini mereka bertiga pun telah tepat memasuki sebuah kamar yang memang diperuntukkan khusus untuk Humaira. Masih dalam keadaan yang sama, tentunya Humaira sama sekali tak peduli dengan banyaknya pernak-pernik sambutan, yang telah Fahran pajang dengan indahnya di dalam sana. Pernak-pernik berkesan elegan dan mahal itu bukannya baru di pasang, melainkan benda-benda indah itu telah Fahran pasang dan dekor sendiri lebih dari sebulan yang lalu—tepat di saat ia merindukan akan kehadirannya Humaira kembali. “Bi Hanum tahu, kalau Non Humaira nggak akan peduli dengan pernak-pernik yang udah Den Fahran pajang. Bibi tahu, kalau Non Humaira juga pastinya ... sama sekali nggak terfokus pada indahnya tulisan rangkaian nama yang ada di sana. Bi Hanum tahu, kalau hal ini wajar Den Fahran dapatkan, Den Fahran memang sepantasnya ... mendapatkan penolakan besar-besaran dari Non Humaira. “Bi Hanum nggak bermaksud mau membenarkan apa pun yang udah Den Fahran lakukan ke Non Huma
"Humaira, Bibi mohon berhenti ... Bibi mengatakan hal itu ... sebenarnya Bibi hanya mau sedikit berdiskusi. Jangan katakan apa pun dulu pada Den Fahran, ini juga demi keselamatannya Non Humaira." Lagi dan lagi dalam perjalannya-mengikuti langkah Humaira, Bi Hanum terus saja memperingatkan Humaira kembali. Mendengar hal itu, Humaira pun memutuskan untuk kembali berhenti sejenak-lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan juga Bi Rahma yang kini telah berada dekat di belakangnya. "Maafkan Humaira, Bi. Bukannya Humaira ingin membantah ucapannya Bibi. Humaira juga tahu, apa yang mungkin saja akan Fahran lakukan nantinya, tapi meskipun gitu, lebih baik Humaira mengatakan hal ini pada Fahran-mengenai tindakan konyolnya, sebelum Fahran akan melakukan hal yang jauh lebih buruk lagi pada dirinya sendiri. "Bibi paham 'kan, kalau Humaira nggak akan pernah selalu berada di sini? Meskipun sekuat tenaga dan dengan berbagai alasan, maupun ancaman yang akan Fahran katakan, Humaira nggak akan pernah tega men
“Kamu puas Humaira?! Kamu puas melihat suami kamu terbaring lemah seperti ini?” Suara perempuan tua itu terdengar bergetar—menahan pilu—melihat putranya tak sadarkan diri. “Nggak, Bu. Ibu salah besar, mana mungkin ... mana mungkin saya merasa seperti itu ....” Ucapannya terputus—menyesali ketidakharmonisan yang sempat terjadi, sebelum kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi. Plak! Hanya dalam beberapa saat, suara tamparan pun terdengar. “Ini bukan karena kesalahannya Kak Tama, tapi ini murni karena kesalahannya kamu! Kamu itu nggak becus jadi istri! Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Kak Tama!” Selain tamparan, suara makian pun turut terdengar oleh Humaira. Begitu sedih hatinya, ia yang dulunya mendapat banyak perhatian dari sang ibu mertua pun, kini tak lagi mendapatkan hal yang sama. Kini, hanya kebencianlah yang harus ia dapatkan. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Humaira harus mendapatkan perlakuan kasar itu dari mereka, akibat suatu fitnah yang telah berhasil meracuni pikiran
Chapter 2. Merasa Terhina Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya. Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu. Plak! Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran. “Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran. Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah dar
"Humaira, Bibi mohon berhenti ... Bibi mengatakan hal itu ... sebenarnya Bibi hanya mau sedikit berdiskusi. Jangan katakan apa pun dulu pada Den Fahran, ini juga demi keselamatannya Non Humaira." Lagi dan lagi dalam perjalannya-mengikuti langkah Humaira, Bi Hanum terus saja memperingatkan Humaira kembali. Mendengar hal itu, Humaira pun memutuskan untuk kembali berhenti sejenak-lekas menoleh ke arah Bi Hanum dan juga Bi Rahma yang kini telah berada dekat di belakangnya. "Maafkan Humaira, Bi. Bukannya Humaira ingin membantah ucapannya Bibi. Humaira juga tahu, apa yang mungkin saja akan Fahran lakukan nantinya, tapi meskipun gitu, lebih baik Humaira mengatakan hal ini pada Fahran-mengenai tindakan konyolnya, sebelum Fahran akan melakukan hal yang jauh lebih buruk lagi pada dirinya sendiri. "Bibi paham 'kan, kalau Humaira nggak akan pernah selalu berada di sini? Meskipun sekuat tenaga dan dengan berbagai alasan, maupun ancaman yang akan Fahran katakan, Humaira nggak akan pernah tega men
Beberapa saat setelahnya, kini mereka bertiga pun telah tepat memasuki sebuah kamar yang memang diperuntukkan khusus untuk Humaira. Masih dalam keadaan yang sama, tentunya Humaira sama sekali tak peduli dengan banyaknya pernak-pernik sambutan, yang telah Fahran pajang dengan indahnya di dalam sana. Pernak-pernik berkesan elegan dan mahal itu bukannya baru di pasang, melainkan benda-benda indah itu telah Fahran pasang dan dekor sendiri lebih dari sebulan yang lalu—tepat di saat ia merindukan akan kehadirannya Humaira kembali. “Bi Hanum tahu, kalau Non Humaira nggak akan peduli dengan pernak-pernik yang udah Den Fahran pajang. Bibi tahu, kalau Non Humaira juga pastinya ... sama sekali nggak terfokus pada indahnya tulisan rangkaian nama yang ada di sana. Bi Hanum tahu, kalau hal ini wajar Den Fahran dapatkan, Den Fahran memang sepantasnya ... mendapatkan penolakan besar-besaran dari Non Humaira. “Bi Hanum nggak bermaksud mau membenarkan apa pun yang udah Den Fahran lakukan ke Non Huma
“Nggak usah banyak tanya. Kamu nggak akan pernah kuat, dengar apa pun itu tentang Tama. Aku tahu itu.” Ucapan ambigu darinya ini, telah berhasil membuat Humaira lemah. Ia benar-benar menyangka, bahwa kalimat tersebut Fahran katakan, sebagai bentuk pembenaran dari suatu hal yang tadinya telah ia asumsikan, dan juga sempat ia tanyakan padanya. Benar-benar merasa terpukul. Itulah kini yang tengah Humaira rasakan. Lantas sebab hal ini, dengan pasrah Humaira mengikuti ajakan langkahnya Fahran—hendak menuju ke mansion mewahnya, dan menetap di sana. “Hamba-Mu nggak ngerti Ya Allah. Hamba-Mu nggak paham, kenapa ini semua bisa terjadi di dalam kehidupannya hamba? Apa ini adalah sebuah hukuman, dari sebuah dosa yang dulunya pernah hamba-Mu lakukan?” batin Humaira, menanggung sendu.*** Tak butuh waktu lama, kini mereka pun telah sampai di depan mansion mewah miliknya Fahran. Dalam senyuman, Fahran menoleh ke arah Humaira, yang kini telah berhasil kembali ia bawa. Meskipun ada kisaran sembil
“Jadi bagaimana? Kamu mau hidup setia bersamaku?” Fahran.Hening sejenak, memikirkan hal yang sama sekali tak masuk akal itu baginya. Humaira benar-benar bingung akan hal ini. Ia tahu, bahwa Fahran tak akan pernah main-main dengan ucapannya. “M-mana mungkin aku bisa lakukan itu.” Suara Humaira masih lirih, ia benar-benar tampak putus asa, sementara tak ada sedikit celah pun yang tersisa untuk ia bisa kabur dari sana. Setelah Fahran mendengar hal itu darinya, sontak lagi dan lagi Fahran pun lekas mencengkram pergelangan tangannya Humaira. “Aggh!”“Apa maksudmu? Apa itu jawaban? Apa itu sebuah jawaban, Humaira?!!” Fahran benar-benar emosi. Ia benar-benar tak tahan dengan nuansa lama dalam menunggu. Sementara Humaira, ia masih saja dilanda kebingungan. Entah apa yang bisa ia lakukan untuk saat ini. “Ooo, jadi begitu. Itu artinya, kamu mau menerima negoisasi dariku, untuk kita bisa saling memadu kasih, bercumbu liar, dan melakukan hal itu di tempat yang minim cahaya ini? Begitukah?” T
Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira. Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya. Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana. “Pergi ke mana dia?” gumam Fahran. Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam. “Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... a
Chapter 2. Merasa Terhina Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya. Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu. Plak! Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran. “Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran. Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah dar
“Kamu puas Humaira?! Kamu puas melihat suami kamu terbaring lemah seperti ini?” Suara perempuan tua itu terdengar bergetar—menahan pilu—melihat putranya tak sadarkan diri. “Nggak, Bu. Ibu salah besar, mana mungkin ... mana mungkin saya merasa seperti itu ....” Ucapannya terputus—menyesali ketidakharmonisan yang sempat terjadi, sebelum kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi. Plak! Hanya dalam beberapa saat, suara tamparan pun terdengar. “Ini bukan karena kesalahannya Kak Tama, tapi ini murni karena kesalahannya kamu! Kamu itu nggak becus jadi istri! Kamu itu nggak pantas jadi istrinya Kak Tama!” Selain tamparan, suara makian pun turut terdengar oleh Humaira. Begitu sedih hatinya, ia yang dulunya mendapat banyak perhatian dari sang ibu mertua pun, kini tak lagi mendapatkan hal yang sama. Kini, hanya kebencianlah yang harus ia dapatkan. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Humaira harus mendapatkan perlakuan kasar itu dari mereka, akibat suatu fitnah yang telah berhasil meracuni pikiran