Kamalia terbangun, meraih arloji suaminya di nakas. Beberapa saat lagi adzan subuh berkumandang. Ia menggeliat dan merasakan remuknya persendian.Malam pertamanya dulu tidak seliar ini. Ya, mungkin karena hubungan mereka belum begitu baik. Di samping ia juga keburu hamil.Ketika hendak beringsut, Dev memeluk pinggangnya bersamaan dengan membuka mata."Kita pulang sekarang, Mas. Bagaimana mau salat Subuh kalau aku tidak membawa mukena," kata Kamalia.Dev makin mengeratkan pelukan. Menyusupkan wajah di pundak istrinya."Mas, di rumah masih bisa," bisik Kamalia ketika ia paham gelagat suaminya."Ayolah pulang sebelum subuh."Akhirnya Dev mengiyakan. Setelah rapi memakai baju mereka keluar kamar. Berjalan melewati lorong untuk menuju lift. Suasana masih hening.Seorang resepsionis yang berjaga merapikan rambutnya ketika Dev dan Lia mendekat. Dia pun tampak masih mengantuk."Maaf, Mbak. Saya dan istri mau early check out," kata Dev sambil menyerahkan cardlock dan mengambil dompet untuk mem
Dev sudah keluar dari pintu tol dan berhenti di sebuah minimarket tempat dulu dia sempat singgah bersama istri, adik, dan teman-temannya setelah adu jotos dengan anak buah Amran.Setelah membeli beberapa air mineral, ia duduk di bangku depan minimarket untuk menunggu Adi. Dialah yang akan menemani Dev ke gudang baru yang akan disewa. Dev kembali penasaran dengan akun Ka Rinjani. Dibukanya ponsel dan mulai stalking.Layar dihentikan pada sebuah foto seorang gadis yang diambil dari belakang. Itu foto Kamalia. Akun Willy Je yang menandai akun Ka Rinjani. Caption-nya yang menarik perhatian Dev.'Honey, restu mereka ibarat ajakan untuk kita bertanding, pertandingan panjang yang harus kita hadapi. Kita hanya perlu menjadi pemenang tanpa harus merendahkan. Jika menyerah, kita kalah.'Honey? Jadi itu panggilan sayang untuk Kamalia. Dada Dev makin panas saja. Apalagi komentar di sana, sepenuhnya mendukung mereka untuk berjuang. Niat mengabaikan pun tidak jadi. Sebab ia beralih stalking akun
Senja hampir tenggelam ketika Dev sampai di rumah. Kamalia menyambutnya dengan perasaan lega. Dengan cekatan ia membuatkan segelas teh hangat dan meletakkan di meja rias kamar. Adzan Maghrib berkumandang ketika Dev masih mandi.Akhirnya mereka salat Maghrib berjamaah usai Dev selesai mandi dan Gaffi bersama neneknya."Gaffi rewel tidak seharian ini?" tanya Dev sambil duduk di dekat istrinya yang sedang melipat mukena. "Enggak, karena AC-nya aku nyalain dari tengah hari tadi. Di sini cuaca panas banget."Dev berdiri dan minum teh buatan istrinya."Kerjaan Mas udah beres tadi?""Alhamdulillah, sudah. Di bantu Adi sama Galih.""Alhamdulillah. Aku ambil Gaffi dulu di kamar Mama."Saat Dev melepaskan sarung dan baju kokonya, ponsel Kamalia bergetar di atas nakas. Dev meraihnya dan membuka dari layar notifikasi."Lia, Alhamdulillah, Willy sudah sadar jam tiga sore tadi. Maaf baru bisa ngabari." Pesan dari Yana.Dada Dev kembali berdesir. Sadar? Memangnya cowok itu kenapa? Kalau terjadi se
"Ayo, kita pulang, Mas!" ajak Kamalia pada Dev.Pria itu memandangnya sambil menyipit, hingga alis tebalnya nyaris bertaut.Tanpa banyak bertanya, Dev berdiri. Kemudian melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Kamalia memeluk lengan suaminya yang sedang menggendong putra mereka."Nangis, ya, tadi?" tanya Dev setelah mobil meninggalkan halaman rumah sakit.Kamalia tersenyum. "Maaf. Sebab terharu saja. Maaf, Mas."Dev memandang sejenak istrinya, lalu menggenggam tangan kanan Kamalia yang dingin. Wanita itu bernapas lega saat suaminya tersenyum.Kalau ikutkan perasaan, Dev kecewa. Namun ia tidak ingin membuat keadaan makin buruk. Ia harus paham apa yang terjadi tadi, ia juga harus percaya kalau semua hanya sebatas rasa simpati.Mobil melaju ke arah luar kota. Di mana jalan itu pernah dilewati ketika mereka holiday saat Gaffi masih dalam kandungan."Kita mau ke mana, Mas?" tanya Kamalia heran."Kita cari tempat makan dengan suasana yang berbeda."Keduanya kembali diam. Mereka melewati jala
Pagi itu Willy sudah bisa duduk dengan santai meski badannya masih terasa sakit semua. Dua bantal diletakkan di belakang punggungnya.Yana yang baru datang meletakkan bubur ayam di atas meja. "Ini pesananmu kemarin. Mau di makan sekarang?" tanya gadis yang rapi dengan baju kerjanya."Nanti saja. Kamu enggak telat kerja nanti?""Enggak, kantorku kan dekat saja dari sini. Oh, ya, Mamamu mana?""Mama masih beli sarapan di kantin. Papa baru saja berangkat kerja."Yana memperhatikan sekeliling. Di pojok ruangan masih ada parcel buah yang belum dibuka."Kemarin Kamalia ke sini, ya?"Willy mengangguk."Sama suaminya?""Ya."Hening sejenak. Yana memeriksa ponselnya. Pesan yang dikirim ke Uci belum dibalas."Lia sudah menemukan kebahagiaannya. Kamu saja yang harus segera move on," kata Yana hati-hati.Willy diam."Aku membaca postingan di Facebook-mu. Seharusnya kamu enggak lagi memposting foto-foto lama itu. Lia sudah menjadi istri orang. Kayaknya suaminya juga sangat baik, meski terlihat di
Suasana sedikit mendung ketika Dev dan Kamalia meninggalkan rumah Mama mereka. "Mau ganti musim agaknya, Mas.""Iya, sekarang cuaca tidak menentu. Kita langsung pulang saja, tidak jadi jenguk Imel." "Kenapa, Mas?""Tidak apa-apa. Doakan saja dia lekas sembuh."Dev mempertimbangkan banyak hal makanya mengambil keputusan itu. Perjalanan yang ditempuh akan dobel. Dari kota mamanya ke kota Imel terus kembali lagi pulang. Pasti sangat melelahkan dan kasihan Gaffi.Belum lagi kalau terjadi drama di sana. Hanya akan menambah masalah baru. Sudahlah, lebih baik sementara ini tidak perlu bertemu Imel dulu."Mas, kalau Bu Wanti pulang umroh nanti kita ke sana, ya?""Ya, Sayang."Gaffi merengek haus yang membuat mereka berhenti berbincang. Kamalia memberinya ASI dan Dev menerima panggilan dari Tony dengan memasang headset di telinganya."Halo, Ton.""Kamu di mana, Dev?""Ini lagi perjalanan pulang. Ada apa?""Mengenai Oki.""Cerita saja, ini sambil aku dengarkan."Sepanjang perjalanan Dev hanya
Hujan deras mengguyur bumi malam itu. Menambah suasana makin terasa dingin. Kamalia menambahkan sweater pada pakaian Gaffi. Kemudian menyelimuti tubuh anaknya dengan selimut yang agak tebal.Perasaannya juga gelisah karena Dev belum pulang dari kota. Padahal tadi sudah menelepon kalau sedang perjalanan pulang. Mungkin masih menepi sejenak karena hujan yang amat deras.Kamalia melihat ke arah jam dinding. Hampir pukul sembilan malam. Ia melangkah ke arah jendela kamar dan menyingkap gorden. Derasnya hujan di luar membatasi pandangan.Baru saja ia duduk di tepi ranjang, bunyi klakson di bawah membuatnya berbinar. Segera dibukanya pintu kamar. Kemudian menunggu di ujung tangga.Benar saja, Dev muncul dari bawah sambil tersenyum."Syukurlah, Mas tidak apa-apa. Aku khawatir tadi," ucap Kamalia menyambut suaminya. Dev tersenyum. "Mas nekat pulang tadi. Kalau nunggu hujan reda entah sampai kapan Mas terjebak di tengah jalan. Gaffi sudah tidur?""Hu um."Keduanya melangkah masuk kamar."Aku
Part 87 Hot DaddyImelda tersenyum ke arah Dev. Begitu pun Pak Hamdad. Mereka bersalaman."Maaf, jika kedatangan kami mengganggu." Nada suara Imel sudah berbeda, tidak seperti dia yang sebelumnya. Namun masih tidak dapat menyembunyikan perasaan yang masih ada."Mari, silakan masuk Om, Imel." Dev mengajak mereka duduk di dalam."Bagaimana kabar istrimu? Katanya dibawa ke klinik?""Iya, Om. Lagi di rawat. Kamalia keguguran.""Keguguran?"Dev mengangguk."Om turut prihatin. Sabar, belum rezeki, Dev.""Iya, Om."Pembicaraan terhenti ketika Mbok Darmi masuk menyuguhkan minuman."Silakan diminum dulu, Om, Mel."Mereka mencicipi teh suguhan dari Mbok Darmi. Pada kesempatan itu, Pak Hamdad juga menjelaskan dan mengembalikan modal milik Dev. Mereka berbincang dengan santai.Setelah itu Pak Hamdad izin keluar sebentar, untuk melihat-lihat perkebunan. Agar anaknya bisa berbincang dengan Dev."Aku ingin minta maaf sama kamu dan Lia. Aku sudah mengacau kehidupan kalian." Imelda langsung bicara me