Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. 🌷🌷🌷Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
"Aku tidak tertarik denganmu. Kenapa kamu yang kemari? Pulanglah! Aku ingin kakakmu yang ke sini," ucap seorang pria yang duduk di kursi putarnya sambil menghisap rokok. Kedua kakinya masih bersepatu terjulur di atas meja kerja yang penuh tumpukan kertas."Aku saja. Jangan kakakku, dua hari lagi dia menikah," jawab Kamalia tenang meski dihujani tatapan tajam pria bermata elang itu.Pria bernama Devin tersenyum sinis. "Apa peduliku dia mau menikah atau tidak. Suruh dia kemari. Pamanmu telah berjanji padaku, kalau Eva yang akan membayar hutang-hutang lelaki tak berguna itu.""Hati-hati bicara tentang Pamanku."Devin tertawa lepas, hingga tubuhnya terguncang."Untuk apa kau membelanya, mana ada paman baik yang menumbalkan keponakannya untuk membayar hutang. Demi bisa mencicipi tubuh para pel*c*r jalanan itu, dia merelakan kalian menjadi budak pria lain."
[Naik ke ruang kerjaku, Kamalia.] Sebuah pesan masuk dari Devin.Kamalia yang duduk di kursi kamar segera berdiri. Setelah mengikat rambut asal-asalan dia keluar kamar.Diketuknya pintu kamar yang tertutup."Masuk." Suara Devin dari dalam."Bereskan semua kertas-kertas ini. Masukkan ke folder sesuai jenis file. Tidak perlu kuajari tentu kamu sudah tahu," kata Devin yang sudah berpakaian rapi di belakang meja kerjanya. Harum parfum mahal mengejek penciuman Kamalia."Ya.""Bereskan secepat yang kamu bisa."Kamalia mengangguk."Makan malam dulu kalau belum makan. Aku tidak mau mendengar pekerjaku sakit dan bikin repot." Setelah berkata demikian Devin melangkah keluar, tapi berhenti di ambang pintu."Di kotak P3K tersedia vitamin yang bisa kamu konsumsi setiap hari. Tanyakan itu pada Sum
"Makanlah, Lia. Pagi tadi kamu hanya sarapan sedikit karena terburu-buru." Sumi menggeser piring porselen yang penuh nasi dan lauk."Apa Ibu belum pulang?"Sumi menggeleng. Mereka bicara sangat lirih agar tidak terdengar dari luar."Belum. Beliau masih di paviliun. Tuan sudah pergi ke perkebunan.""Dia pasti akan memarahiku. Aku tidak membalas semua pesannya karena ponsel sedang aku charge. Apalagi sekarang ponsel itu tertinggal di kamar bawah.""Nanti aku ambilkan.""Terima kasih, ya."Sumi mengangguk. "Makanlah, cepat."Kamalia meraih piring dan makan dengan lahap. Ia memang lapar dan haus. Apalagi habis setrika baju cukup bayak."Ini baju mahal semua, Lia," kata Sumi sambil meraba sebuah kemeja warna dark blue."Iya. Harga celana dalamn
"Kamu sakit, Dev?" tanya Bu Rahma setelah melihat nampan di nakas yang berisi roti bakar dan Paracetamol. Disentuhnya kening sang putra yang tidur terlentang."Panas banget badanmu. Biar di antar Pak Karyo pergi ke dokter.""Tidak usah, Ma. Habis minum obat juga baikan.""Ya, udah. Buruan sarapan terus minum obat. Adekmu datang tadi malam.""Udah ketemu tadi."Bu Rahma melangkah dan membuka jendela kaca, hawa segar menyerbu masuk. Kabut masih tebal di luar. Diperhatikannya setiap jengkal kamar Devin. Selama ini memang jarang masuk kamar putranya. Setiap datang selalu fokus pada putrinya di paviliun."Mama hari ini pulang. Biar adikmu yang di sini. Dia libur sampai Senin nanti."Wanita anggun itu duduk di sebelah Devin yang sedang makan roti bakar."Kamu ingat Ninis, nggak? Putrinya Bu Wini. Seminggu yang
"Kamu tulis apa yang kurang untuk menyimpan dokumen. Sepertinya butuh satu filing cabinet lagi." Devin berkata sambil menyodorkan kertas dan pulpen ke hadapan Kamalia."Besok ada pekerja kebun yang akan turun ke kota untuk belanja."Kamalia menarik kursi di dekatnya, kemudian duduk. Memperhatikan sekeliling lantas mencatat apa yang dibutuhkan."Aku akan memberikan uang bulanan buatmu, yang bisa kamu pakai untuk membeli kebutuhan pribadi.""Bukankah aku kerja di sini untuk membayar hutang?""Ada perhitungan untuk itu. Tenang saja Tony akan merinci secara detail. Kamu tidak akan rugi. Jika aku tidak memberimu uang, bagaimana kamu akan membeli kebutuhanmu?"Kamalia tercenung memandang pria di depannya. Pria ini baik juga, sikapnya tidak seperti pertama kali bertemu. Meski sorot dingin dari tatapan matanya masih sama."Catat sem
Devin sudah masuk ke mobil Hilux. Kamalia membuka pintu belakang dan duduk tepat di belakang pria itu.Mobil meluncur, menuruni jalan berkelok yang kanan kirinya tanaman teh. Di kejauhan para pemetik teh memperhatikan kendaraan sang majikan.Dari spion tengah Devin memperhatikan Kamalia yang menatap samping jalan. Wajah itu ... ah, sudahlah!Kendaraan telah keluar dari perkebunan. Kemudian melewati jalan menanjak di tengah hutan pinus. Tampak ada beberapa orang sedang menoreh. Konon getah pinus itu untuk campuran bahan sabun mandi.Jalanan kembali menurun dan memasuki kampung penduduk. Kamalia ingat pulang. Pulang di bangunan kecil samping rumah sang paman, yang disediakan untuk tempat tinggalnya dan Eva. Pasti ruangan itu kosong sekarang.Devin menepikan mobilnya di depan sebuah warung berdinding bambu khas pedesaan. Namun terlihat klasik dan nyaman.