"Aku tidak tertarik denganmu. Kenapa kamu yang kemari? Pulanglah! Aku ingin kakakmu yang ke sini," ucap seorang pria yang duduk di kursi putarnya sambil menghisap rokok. Kedua kakinya masih bersepatu terjulur di atas meja kerja yang penuh tumpukan kertas.
"Aku saja. Jangan kakakku, dua hari lagi dia menikah," jawab Kamalia tenang meski dihujani tatapan tajam pria bermata elang itu.
Pria bernama Devin tersenyum sinis. "Apa peduliku dia mau menikah atau tidak. Suruh dia kemari. Pamanmu telah berjanji padaku, kalau Eva yang akan membayar hutang-hutang lelaki tak berguna itu."
"Hati-hati bicara tentang Pamanku."
Devin tertawa lepas, hingga tubuhnya terguncang.
"Untuk apa kau membelanya, mana ada paman baik yang menumbalkan keponakannya untuk membayar hutang. Demi bisa mencicipi tubuh para pel*c*r jalanan itu, dia merelakan kalian menjadi budak pria lain."
Nyeri terasa di dada Kamalia. Ucapan Devin memang benar, tapi sebagai keponakan yang telah dirawat dari kecil, ia tidak terima kalau orang lain bicara buruk tentang pamannya. Meskipun dirinya sangat membenci perilaku dan sifat sang paman. Berjudi, mabuk, dan main perempuan.
"Bagaimanapun dia Pamanku."
Devin tertawa.
"Pulanglah! Suruh Eva kemari."
"Sudah kubilang, aku yang menggantikan kakakku. Jangan ganggu dia."
"Akan kutelepon pamanmu. Awas saja, dia berani mempermainkanku." Devin meraih ponselnya.
Eveline berjalan mendekat. Beberapa senti dari meja ia berhenti.
"Tidak ada gunanya menelfon. Ponselnya jatuh dan rusak."
Devin menatap tajam Kamalia.
"Aku kemari untuk membayar hutang yang kau minta itu. Jangan khawatir, aku bisa melakukan pekerjaan apa saja hingga hutang pamanku lunas. Dan mulai hari aku bekerja di sini. Jangan lagi memberinya pinjaman."
Pria itu berdiri dan mencondongkan tubuhnya pada gadis dengan rambut bergelombang sebahu. "Apa pamanmu memberitahu dengan cara apa kamu harus membayar hutang?"
"Bekerja di rumahmu. Mengurus rumah dan memasak untuk para pekerja diperkebunanmu."
Devin tersenyum miring. "Apa itu saja?"
"Ya."
"Kamu salah nona, tidak sesederhana itu. Rupanya pamanmu tidak memberitahu yang sebenarnya."
"Apa maksudmu?"
"Baiklah, aku akan memberitahumu. Mari ikut denganku!" Devin melangkah ke arah pintu tinggi berplitur coklat. Rupanya ruang kerja Devin langsung terhubung dengan kamar pribadinya yang luas dan mewah.
Kamalia berdiri di ambang pintu.
"Kenapa diam? Masuklah! Bukankah kamu beriya sangat untuk melunasi hutang-hutang itu."
"Tapi bukan tidur denganmu."
Devin tertawa lepas, kemudian mendekat. Menunduk sambil menatap tajam wajah Kamalia. Sontak gadis itu mundur dua langkah dengan dada berdebar.
"Aku tidak tertarik denganmu, Nona Lia. Jangan berlebihan berpikir bahwa kamu itu menarik hasratku. Tidak sama sekali. Tubuhmu bukan seleraku." Setelah berkata demikian, Devin berbalik dan melangkah ke dekat ranjang besarnya. Meninggalkan Kamalia yang masih diam, antara senang dan geram.
Senang karena mendengar dia bukan selera pria itu, otomotis dia tidak akan tersentuh. Geram karena terdengar merendahkannya.
"Kerja apa yang bisa kulakukan di kamarmu?"
Devin melangkah lagi menuju sebuah pintu dari kaca. Saat pintu terbuka, tampaklah walk in closed dengan isi yang fantastis. Ruang ukuran 4x2 meter itu penuh dengan baju-baju mahal, sepatu, dasi, dan di dalam sebuah lemari kaca berjajar jam tangan mahal berbagai merk.
Kamalia masih tercekat di depan pintu.
"Kamu yang mengurus semuanya. Mulai dari menyiapkan pakaianku, membersihkan tempat ini, kamarku, ruang kerjaku, kamar mandiku, juga makananku. Ingat, semua ini barang mahal yang harus kau jaga."
Shit. Sungguh menyedihkan Lia, apa gunanya kuliah, belajar susah payah untuk mendapatkan beasiswa kalau cuma jadi pembantu.
Devin mendekat, berdiri hanya berjarak beberapa senti dari Kamalia.
"Aku tidak suka makanan berlemak. Aku tidak suka bakso, soto ayam, atau apalah yang sejenisnya. Tanya sama Mbok Darmi biar kamu tidak keliru memilih makanan untukku."
Hening.
"Kenapa diam. Paham atau tidak."
"Ya, aku paham."
"Terus satu lagi, jika Mamaku ke sini, jangan sekali-kali menampakkan diri."
"Aku belum tahu yang mana Mamamu."
"Mbok Darmi yang akan menunjukkan fotonya."
"Ya."
"Terus bagaimana penghitungan gaji, biar aku tahu sudah berapa banyak utang pamanku yang telah kubayar dengan tenagaku."
"Tony yang akan melakukan penghitungan dan mencatatnya. Jangan khawatir, aku tidak suka menggelapkan tenaga orang. Tapi kamu juga harus tahu, untuk membayar hutang pamanmu, mungkin kamu akan menua di sini."
Kamalia mengernyitkan dahi sambil mendongak, memandang pria tinggi di depannya. Berapa hutang lelaki tua yang tega memanfaatkan anak saudaranya yang sudah yatim piatu.
"Kamu bisa bebas dari sini dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Suruh Eva menggantikanmu. Dia hanya butuh setahun untuk membayar hutang pamanmu."
"Apa bedanya aku dengan kakakku? Jika pekerjaan yang harus kami lakukan sama."
Devin tersenyum menyeringai.
"Karena aku tertarik dengannya."
"Jangan ganggu kakakku. Aku yang akan membayar hutang pamanku. Seberapa lama aku tidak peduli."
Devin berjalan pelan mengitari gadis itu.
"Kuberi kesempatan untukmu merubah pikiran. Bawa Eva kemari. Apa tidak sayang masa mudamu membusuk di sini?"
"Paman dan saudara-saudaraku sendiri menganggap kami tidak berguna, jadi tidak masalah hidupku sia-sia di sini."
Devin berhenti bergerak. Denyut nyeri terasa di dada. Ada rasa iba yang berusaha menyusup, tapi ditepisnya segera. Dipandangnya rambut lurus sebahu Kamalia dari belakang. Baju kemeja kotak-kotak yang dipakainya sudah lusuh dan pudar warnanya. Celana jeans itu pun telah berubah warna. Dari celah baju dan rambut yang tersingkap karena hembusan angin dari jendela menampakkan kulit bersih gadis itu. Wajahnya mirip dengan Eva. Perempuan yang sempat digilainya, sebelum menolaknya mentah-mentah kala itu.
"Kuberi waktu sampai besok. Jika Eva kemari, kamu bisa pergi."
"Kakakku tidak akan pernah menggantikanku. Sudah kubilang dia akan menikah. Dia sangat mencintai calon suaminya, jadi percuma juga kamu menginginkannya."
Devin mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Sial. Rupanya pria brengsek itu benar-benar telah memikat gadis pujaannya.
"Oke, terserah kamu saja. Jika ingin membusuk di sini."
"Kapan aku mulai bisa bekerja?"
"Sekarang, biar hutang pamanmu segera terbayar."
"Di mana kamarku?"
Devin menarik tangan gadis itu menuju ruang kerjanya, kemudian membuka sebuah pintu yang tertutup lukisan besar.
Ada ranjang single bed di ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Benar-benar ruangan yang aneh. Apa gunanya ruangan demi ruangan itu dibuat menyatu dan keluar hanya lewat satu pintu. Kamarnya terkesan sangat rahasia, berada di dalam ruang kerja.
"Kamu bisa tidur di sini jika mamaku datang dan menginap. Jika beliau tidak ada, kamu bisa tidur di kamar bawah. Tanya sama Mbok Darmi, kamar mana yang bisa kau tempati."
Devin melangkah keluar sambil merogoh ponsel yang berdering di saku celananya. Meninggalkan Kamalia begitu saja. Gadis itu bingung hendak bagaimana.
Beberapa saat setelahnya segera bergegas menuruni tangga mewah setengah melingkar hingga ke lantai bawah.
"Lia, ya? Mari saya tunjukkan kamarnya." Wanita setengah baya itu tersenyum ramah padanya. Kamalia mengangguk dan mengekori Mbok Darmi menuju kamar bagian belakang.
"Ini kamarmu. Sudah bersih. Istirahat saja dulu, besok baru mulai kerja. Tuan sudah memberitahu tadi, untuk mengajarimu bekerja di sini. Panggil saja aku Mbok Darmi. Dan panggil Tuan pada Tuan Muda."
"I-iya, terima kasih, Mbok. Katanya hari ini saya langsung bisa kerja."
"Oh, begitu. Tuan Muda yang bilang?"
Kamalia mengangguk.
"Ya, sudah. Tunggu perintah Tuan di sini saja sambil istirahat."
Mbok Darmi keluar kamar sambil menutup pintu. Kamalia melangkah ke arah jendela yang terbuka. Hawa dingin dan aroma wangi teh langsung menyambutnya. Ia juga takjub saat menyaksikan pemandangan di luar sana. Hamparan kebun teh yang asri dan beberapa pohon buah-buahan.
Tempat itu laksana surga. Villa megah berdiri di tengah kebun teh. Jauh dari pemukiman penduduk. Bahkan untuk mencapai tempat ini harus melewati hutan pinus dengan jalan yang menanjak dan berkelok.
Dikejauhan tampak sebuah gudang dan beberapa rumah. Mungkin itu tempat tinggal para pekerja. Sebab kemarin kakaknya sempat bilang, ada puluhan orang yang bekerja di perkebunan milik Devin. Di antara mereka terdiri dari pasangan suami istri.
Di bawah sana dekat dengan pagar pembatas antara rumah dan kebun, ada sederet tanaman bunga. Ada mawar, lili, melati, dan peony. Di pojok ada bunga bougenville yang marak dengan bunganya yang berwarna putih dan jingga.
Mungkin akan menyenangkan bekerja di sini. Meski tanpa gaji dan jauh dari kerabat.
Kerabat? Apakah mereka masih bisa dibilang kerabat? Jika selama ini memperlakukan dirinya dan sang kakak tidak seperti layaknya manusia. Setelah kepergian orang tuanya, pada saudara itu berebut untuk mendapatkan harta, dengan dalih akan menjaga dirinya dan Eva dengan baik. Tapi kenyataannya ... sungguh miris.
Jika sekarang ia harus terbelenggu di villa ini sebagai pembayar hutang tidak apa-apa. Setidaknya ia bisa menempati kamar yang layak untuk merebahkan badan. Mungkin juga bisa menikmati makanan yang enak dan layak untuk dimakan manusia.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan. Lia bergegas membuka pintu. Mbok Darmi menyodorkan kotak ponsel kepadanya. "Dari Tuan, untukmu."
"Untukku?"
"Iya. Kata Tuan, ponsel ini jangan sampai ditinggalkan. Harus ikut kemana pun kamu pergi. Jika sewaktu-waktu Tuan butuh apa-apa, kamu bisa langsung menyiapkannya."
Kamalia mengangguk.
Setelah kepergian Mbok Darmi, ia duduk di ranjang sambil memperhatikan benda pipih yang cukup mahal itu. Ia pernah melihat harganya di etalase kounter yang terbesar di kota ini. Tidak menyangka ia bisa menggunakannya, meski hanya dipinjami.
Sebuah panggilan masuk dengan nama Tuan Muda tertera di layar. Lia mendadak gugup untuk menerima panggilan, nada deringnya adalah lagu kesukaannya. Ah, pasti hanya kebetulan saja.
"Ha-hallo."
"Siapkan bajuku untuk acara malam ini. Semi formal. Aku hanya mau kemeja dan celana bahan warna hitam."
"Iya."
"Jangan isi ponsel itu dengan nomor orang lain. Hanya ada nomorku dan nomor rumah ini."
"I-iya."
Panggilan diakhiri.
Kamalia termenung sejenak. Kemudian ia segera bergegas menuju lantai dua. Ponsel masih dipegangnya dengan tangan kiri.
Langkahnya terhenti saat melihat Devin tidur terlentang di kamarnya dengan bertelanjang dada. Kakinya masih memakai sepatu dan celana jeans itu telah terbuka kancingnya.
"Kenapa diam di situ? Masuklah!"
Tergesa Kamalia masuk ke ruang penyimpanan baju. Dadanya masih berdebar melihat pemandangan baru saja. Apakah pekerjaannya tidak akan semudah bayangannya?
Kamalia mematung di depan lemari pakaian, bingung hendak memilih kemeja warna apa. Terlalu banyak baju di sana. Akhirnya ia mengambilkan kemeja warna biru langit dan celana bahan warna hitam.
"Apakah Anda suka memakai ini?" tanya Kamalia sambil menunjukkan pakaian yang masih tergantung di hanger.
"Letakkan di situ. Aku akan memakainya," jawab dingin Devin tanpa memandang gadis itu.
Kamalia meletakkan baju di sisi pembaringan. Kemudian ia melangkah keluar.
'Orang kaya memang aneh, habis mandi langsung ambil sendiri baju yang sesuai selera kan lebih mudah. Kenapa harus meneleponnya segala.'
Kamalia menggerutu sambil melangkah turun, dari jendela kaca besar ia melihat ada bangunan paviliun di samping rumah. Ada seorang satpam dan dua orang suster sedang menunggu wanita yang duduk di taman bunga.
Rasa penasaran membuatnya melangkah ke dekat jendela kaca. Wanita yang memakai piyama warna jingga itu tampak bicara dengan boneka yang dipegangnya. Tersenyum lantas menangis. Dari sikapnya seperti orang terganggu kejiwaannya.
Kamalia bergegas ke dapur, di sana ada Mbok Darmi dan gadis seusianya.
"Lia, kenalkan ini Sumi."
Gadis berkulit gelap itu menyalami Kamalia sambil tersenyum ramah.
"Mau puding? Ayo, makanlah!" Sumi menyodorkan sepiring puding buah mangga yang telah di potong kecil.
"Apakah ini jam makan?"
Sumi tersenyum. "Ayo, makan aja! Nggak usah lihat ini jam berapa?"
"Biasanya di rumah orang kaya ada banyak peraturan, walaupun hanya sekedar makan."
"Mungkin itu berlaku di rumah lain, di rumah ini tidak. Tuan orangnya sangat baik."
Baik? Semoga saja begitu.
"Ayo, duduk sini." Sumi menarik kursi buat duduk Kamalia. Sedangkan Mbok Darmi masih sibuk menyusun piring bersih di lemari kaca.
Kamalia meraih garpu kecil yang telah tertancap di potongan puding, lalu meyuapkan ke mulut. Perutnya sebenarnya memang belum terisi sejak pagi tadi. Namun ia sudah biasa menahan lapar.
"Oh ya, aku tadi melihat ada seorang wanita dijaga dua suster di paviliun sebelah. Siapa dia?"
Sumi memandang Mbok Darmi.
"Nanti saja kami cerita, Lia," jawab wanita setengah baya itu.
"Habiskan dulu pudingnya, sebelum Tuan memanggilmu lagi." Sumi menggeser puding ke depan Kamalia.
Next ....
[Naik ke ruang kerjaku, Kamalia.] Sebuah pesan masuk dari Devin.Kamalia yang duduk di kursi kamar segera berdiri. Setelah mengikat rambut asal-asalan dia keluar kamar.Diketuknya pintu kamar yang tertutup."Masuk." Suara Devin dari dalam."Bereskan semua kertas-kertas ini. Masukkan ke folder sesuai jenis file. Tidak perlu kuajari tentu kamu sudah tahu," kata Devin yang sudah berpakaian rapi di belakang meja kerjanya. Harum parfum mahal mengejek penciuman Kamalia."Ya.""Bereskan secepat yang kamu bisa."Kamalia mengangguk."Makan malam dulu kalau belum makan. Aku tidak mau mendengar pekerjaku sakit dan bikin repot." Setelah berkata demikian Devin melangkah keluar, tapi berhenti di ambang pintu."Di kotak P3K tersedia vitamin yang bisa kamu konsumsi setiap hari. Tanyakan itu pada Sum
"Makanlah, Lia. Pagi tadi kamu hanya sarapan sedikit karena terburu-buru." Sumi menggeser piring porselen yang penuh nasi dan lauk."Apa Ibu belum pulang?"Sumi menggeleng. Mereka bicara sangat lirih agar tidak terdengar dari luar."Belum. Beliau masih di paviliun. Tuan sudah pergi ke perkebunan.""Dia pasti akan memarahiku. Aku tidak membalas semua pesannya karena ponsel sedang aku charge. Apalagi sekarang ponsel itu tertinggal di kamar bawah.""Nanti aku ambilkan.""Terima kasih, ya."Sumi mengangguk. "Makanlah, cepat."Kamalia meraih piring dan makan dengan lahap. Ia memang lapar dan haus. Apalagi habis setrika baju cukup bayak."Ini baju mahal semua, Lia," kata Sumi sambil meraba sebuah kemeja warna dark blue."Iya. Harga celana dalamn
"Kamu sakit, Dev?" tanya Bu Rahma setelah melihat nampan di nakas yang berisi roti bakar dan Paracetamol. Disentuhnya kening sang putra yang tidur terlentang."Panas banget badanmu. Biar di antar Pak Karyo pergi ke dokter.""Tidak usah, Ma. Habis minum obat juga baikan.""Ya, udah. Buruan sarapan terus minum obat. Adekmu datang tadi malam.""Udah ketemu tadi."Bu Rahma melangkah dan membuka jendela kaca, hawa segar menyerbu masuk. Kabut masih tebal di luar. Diperhatikannya setiap jengkal kamar Devin. Selama ini memang jarang masuk kamar putranya. Setiap datang selalu fokus pada putrinya di paviliun."Mama hari ini pulang. Biar adikmu yang di sini. Dia libur sampai Senin nanti."Wanita anggun itu duduk di sebelah Devin yang sedang makan roti bakar."Kamu ingat Ninis, nggak? Putrinya Bu Wini. Seminggu yang
"Kamu tulis apa yang kurang untuk menyimpan dokumen. Sepertinya butuh satu filing cabinet lagi." Devin berkata sambil menyodorkan kertas dan pulpen ke hadapan Kamalia."Besok ada pekerja kebun yang akan turun ke kota untuk belanja."Kamalia menarik kursi di dekatnya, kemudian duduk. Memperhatikan sekeliling lantas mencatat apa yang dibutuhkan."Aku akan memberikan uang bulanan buatmu, yang bisa kamu pakai untuk membeli kebutuhan pribadi.""Bukankah aku kerja di sini untuk membayar hutang?""Ada perhitungan untuk itu. Tenang saja Tony akan merinci secara detail. Kamu tidak akan rugi. Jika aku tidak memberimu uang, bagaimana kamu akan membeli kebutuhanmu?"Kamalia tercenung memandang pria di depannya. Pria ini baik juga, sikapnya tidak seperti pertama kali bertemu. Meski sorot dingin dari tatapan matanya masih sama."Catat sem
Devin sudah masuk ke mobil Hilux. Kamalia membuka pintu belakang dan duduk tepat di belakang pria itu.Mobil meluncur, menuruni jalan berkelok yang kanan kirinya tanaman teh. Di kejauhan para pemetik teh memperhatikan kendaraan sang majikan.Dari spion tengah Devin memperhatikan Kamalia yang menatap samping jalan. Wajah itu ... ah, sudahlah!Kendaraan telah keluar dari perkebunan. Kemudian melewati jalan menanjak di tengah hutan pinus. Tampak ada beberapa orang sedang menoreh. Konon getah pinus itu untuk campuran bahan sabun mandi.Jalanan kembali menurun dan memasuki kampung penduduk. Kamalia ingat pulang. Pulang di bangunan kecil samping rumah sang paman, yang disediakan untuk tempat tinggalnya dan Eva. Pasti ruangan itu kosong sekarang.Devin menepikan mobilnya di depan sebuah warung berdinding bambu khas pedesaan. Namun terlihat klasik dan nyaman.
Bu Rahma gembira karena putranya sudah datang. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Heran karena selain sepatu Devin, ada sneakers perempuan warna putih."Assalamu'alaikum." Bu Rahma mengucapkan salam dengan suara lembut."Wa'alaikumsalam," jawab Devin dan Kamalia hampir bersamaan.Senyum ramah terukir untuk Kamalia yang mengangguk hormat. Devin menyalami dan mencium tangan sang mama. Diikuti Kamalia."Saya Kamalia, Tante."Bu Rahma mengangguk. Wajah itu seperti tidak asing. Seperti baru kemarin bertemu."Ayo, diminum tehnya." Bu Rahma mempersilakan sambil duduk di sofa depan mereka."Terima kasih, Tante."Kesan pertama bertemu Bu Rahma sangat baik. Tidak seperti bayangannya tadi. Meski rasa gelisah masih merajai hati."Sudah lama sampai?""Lumayan, Ma."&n
[Tuan, masih hidup, 'kan?]Hanya dibaca.[Tuan Dev yang terhormat, jangan dibaca saja. Tolong di jawab.]Kamalia menghela napas sebal. Di layar titik-titik itu bergerak. Pertanda di sana sedang mengetik balasan.[Jangan panggil Tuan. Panggil Mas dihadapan Mama. Oke, aku minta maaf untuk yang tadi. Kesepakatan tetap dilanjutkan.]Kamalia meletakkan ponsel di sebelah bantal. Ia merasa sudah masuk perangkap. Mau mundur ia juga ragu, sampai kapan bisa bertahan untuk membayar hutang itu. Apa benar ia mau menua sia-sia.Jika ia menyetujui keinginan Devin, paling tidak ia akan bertahan dua tahun saja. Setelah itu akan bebas. Meski berstatus janda.Akan tetapi, benarkah Devin bukan lelaki sempurna? Kenapa ia ragu. Pria segagah itu, sehat, dan keren, apa mungkin ....Oh, tidak-tidak. Yang penting dia sudah berjan
"Alhamdulillah, kamu datang, Lia. Mbak nungguin kabar darimu. Mbak khawatir? Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Eva memberondong adiknya dengan kata-kata.Wanita itu mengajak sang adik duduk di balai-balai dapur. Dengan ujung jilbabnya ia menyusut air mata."Lihatlah, aku baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat nelepon. Acara nikahannya lancar, 'kan Mbak?""Alhamdulillah, lancar. Ibu bolak-balik nanya tentang kamu.""Oh ya, ibu dan Mas Ragil mana? Kok enggak nampak."Rumah memang sepi."Mas Ragil nganter ibu belanja bahan-bahan roti ke pasar. Habisnya ada yang pesen dadakan tadi. Kalau bapak masih di sawah."Kamalia mengangguk sambil memperhatikan sekeliling. Kakaknya terlihat lebih segar setelah menikah. Pastilah, karena ada yang menjaga dan memperhatikan. Tidak perlu was-was lagi."Siapa kerabat kita yan
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. 🌷🌷🌷Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
"Mas," panggil Amara lirih sambil menggoyangkan tubuh Ben tengah malam itu.Ben menggeliat sejenak sebelum membuka mata dan duduk. "Ya, ada apa.""Perutku tiba-tiba mulas. Di celana dalamku ada sedikit darah."Netra Ben langsung terbuka sempurna, kantuknya seketika hilang. Ia melihat kening Amara yang berpeluh."Tunggu, ya. Aku panggil Mama."Ben melompat dari atas tempat tidur. Ia bergegas untuk membangunkan mamanya.Sejenak kemudian Bu Rahma masuk ke kamar putranya. Sedangkan Ben bersiap mengganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit."Sejak kapan Mara mulai mulas?" tanya Bu Rahma sambil mengusap perut menantunya."Baru saja, Ma.""Ya sudah, jangan panik. Kita ke rumah sakit sekarang. Mama ganti baju dulu. Ben, kamu hubungi Dokter Keni, kalau beliau ada di klinik kita ke klinik saja.""Ya, Ma."Kendaraan sepi di jam satu malam itu. Perjalanan ke rumah sakit jadi cepat dan lancar.Sesampainya di depan ICU, mereka sudah ditunggu dua orang perawat lak
"Ben, makin hari tambah bulat aja," seloroh Kamalia saat melihat adik iparnya masuk ke dapur di rumah mamanya pagi itu.Ben yang baru datang dari rumah mertuanya tersenyum sambil mengusap perutnya yang berisi. "Jadi keenakan makan ngikutin selera makan Amara. Nantilah, sebulan lagi auto diet ketat. Oh, ya, kapan sampai?""Tadi malam jam sepuluh. Habisnya Mas Dev ngajak berangkat udah jam tujuh malam. Kata Mama, kamu dan Amara nginap di rumah mertua.""Iya, Bapak lagi sakit, makanya kami tidur di sana. Tapi sekarang sudah agak baikan. Cuman demam biasa.""Oh, Alhamdulilah.""Kenapa datang dadakan?""Kami dapat undangan pernikahan Imelda. Undangannya pun dadakan, karena mereka juga enggak ngadain pesta. Cuma ijab qobul aja.""Hmm, baguslah. Akhirnya nikah juga. Gaffi dan Thisa mana?""Habis sarapan kembali main di kamar sama papanya. Kalau Mama lagi belanja."Ben mengambil air minum di dispenser, kemudian duduk dan menghabiskan segelas air putih."Mau sarapan, enggak? Tadi Mbok Tini bik
Kehamilan Amara disambut bahagia dua keluarga besar mereka. Nasehat demi nasehat diberikan kepada calon ibu muda itu.Amara sendiri masih tetap kuliah. Tapi dia sudah membatasi diri dengan kegiatan-kegiatan kampus di luar jam kuliah.Kebahagiaan Ben-Amara membuat iri sebagian mahasiswa. Apalagi untuk beberapa mahasiswi yang pernah mengidolakan Ben. "Katanya dulu kamu minum pil, Ra. Kenapa bisa hamil?" tanya Rensi saat mereka duduk di kantin."Iya. Cuman aku minumnya enggak teratur. Soalnya selalu pusing setelah minum pil itu.""Apa enggak kepikiran mau ganti pakai yang lain?""Rencananya mau ganti. Kutunda-tunda akhirnya keburu hamil.""Ya itu rezeki, Ra. Pak Dosen kelihatan bahagia banget gitu."Amara tersenyum sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. Ben memang sebahagia itu, kalau di rumah tak henti-hentinya dia menciumi calon buah hatinya yang masih ada di perut."Setelah kandunganku delapan bulan, aku akan ngambil cuti kuliah, Ren. Sementara aku ngambil cuti satu
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini
Sabtu pagi Ben dan Amara berangkat ke rumah kedua kakaknya. Pria itu akan mengajak istrinya ke rumah Mita dan sorenya akan ke vila dan menginap di sana.Bu Rahma yang sebenarnya sangat kangen dengan kedua cucunya menolak ikut saat Ben mengajak. Beliau tidak ingin mengganggu kebersamaan pengantin baru. Beliau bisa pergi lain hari."Kita akan sampai berapa jam perjalanan, Mas?" tanya Amara."Kurang lebih dua jam.""Lumayan jauh, ya?""Nanti kalau sudah terbiasa ke sana, dua jam enggak akan lama."Mereka menikmati perjalanan sambil berbincang. Mengenai apa saja. Tentang kampus, saat keduanya dihadapkan sebagai dosen dan mahasiswi. Banyak yang akhirnya tergali tentang diri masing-masing. Jam sembilan mereka sampai di rumah Mita. Kebetulan dokter Nasir juga ada di rumah. Kedua suami istri itu sedang berkebun di pekarangan belakang ketika Ben dan Amara datang.Segera saja Mita belanja dan masak. Rencana awalnya siang nanti mereka akan kulineran ke luar. Berhubung adik dan iparnya datang, w
"Hai, Ben," sapa Nindy sambil tersenyum ramah.Ben makin erat menggenggam tangan istrinya. Ia melangkah mendekat setelah gemuruh di dadanya mereda."Hai, juga.""Ayo, salim sama Om dan Tante." Nindy menyuruh putrinya untuk menyalami Ben dan Amara.Pria itu menunduk ketika tangan kecil terulur. Amara juga melakukan hal yang sama. Senyumnya merekah saat menyentuh pipi tembam anak Nindy. "Siapa namamu, cantik?""Chika, Tante." Ben memandang Nindy. "Umur berapa?""3,5 tahun.""Sebentar lagi masuk PAUD.""Ya.""Kenalin ini Amara, istriku."Nindy terkejut juga, meski tadi sudah mengira kalau wanita berhijab itu kekasih atau istri Ben.Amara menyalami wanita tinggi semampai di depannya. Ia sebenarnya heran karena sejak tadi wanita itu memperhatikannya."Aku Nindy."Amara mengangguk."Kapan menikah? Kenapa enggak ngundang?""Kami menikah Sabtu kemarin. Belum ada pesta, mungkin nanti setelah Amara wisuda.""Wisuda?""Iya, Mbak. Saya masih kuliah semester tiga." Amara yang menjawab.Nindy menj
Amara melipat mukena setelah salat asar berjamaah dengan suaminya dan meletakkan di rak sudut kamar. Kemudian ia duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut.Ben mengambil ponsel untuk melihat beberapa pesan masuk.Kamar Ben cukup besar daripada kamar Amara. Ditambah cat warna putih tulang yang menambah kesan luas pada ruangan.Ranjang king size diletakkan mepet ke dinding. Tidak diletakkan tepat di tengah seperti di kamar lainnya. Sepreinya baru dan wangi, warna biru terang dengan bordir bunga di tepinya. "Kapan ujian oral test, Mas?" tanya Amara sambil memandang Ben yang duduk di tepi ranjang."Malam ini kita mulai duluan," jawab Ben santai sambil menatap istrinya.Amara bisa menangkap maksud dari jawaban suaminya dan itu melenceng jauh dari maksud pertanyaan yang sebenarnya.Oral test mewajibkan mahasiswa mengerjakan ujian dengan melakukan tanya jawab langsung dengan dosen.Test itu akan dilakukan secara one by one. Dan ini menjadi ujian yang menegangkan bagi sebagian mahasiswa