"Makanlah, Lia. Pagi tadi kamu hanya sarapan sedikit karena terburu-buru." Sumi menggeser piring porselen yang penuh nasi dan lauk.
"Apa Ibu belum pulang?"
Sumi menggeleng. Mereka bicara sangat lirih agar tidak terdengar dari luar.
"Belum. Beliau masih di paviliun. Tuan sudah pergi ke perkebunan."
"Dia pasti akan memarahiku. Aku tidak membalas semua pesannya karena ponsel sedang aku charge. Apalagi sekarang ponsel itu tertinggal di kamar bawah."
"Nanti aku ambilkan."
"Terima kasih, ya."
Sumi mengangguk. "Makanlah, cepat."
Kamalia meraih piring dan makan dengan lahap. Ia memang lapar dan haus. Apalagi habis setrika baju cukup bayak.
"Ini baju mahal semua, Lia," kata Sumi sambil meraba sebuah kemeja warna dark blue.
"Iya. Harga celana dalamnya saja bisa kubelikan beberapa bajuku."
Sumi terkikik sambil menutup mulut.
"Apa dia memang pria yang cerewet dan banyak mengatur?"
"Tidak. Sebenarnya dia pria yang nggak banyak bicara dan dingin. Kami jarang sekali diajaknya bicara. Tapi sejak Mbak Mita depresi, Tuan jadi mengkhawatirkan banyak hal. Tuan sangat menyayangi kakaknya. Apalagi sejak ibu mendesak Tuan agar segera menikah, membuatnya seperti tertekan."
"Kenapa Mbak Mita tidak diajak tinggal di vila ini saja. Mudah juga untuk mengawasi."
"Dulu juga tinggal di sini. Setelah dua kali mencoba melompat dari balkon, akhirnya dipindahkan ke paviliun."
Kamalia meraih gelas berisi air putih dan meneguk separuh isinya.
"Apa Tuan tidak punya pacar?"
"Aku nggak tahu kalau sekarang. Dulu pernah ada seorang gadis yang sering kemari. Rambutnya disemir pirang. Teman kuliah Tuan. Tapi seperti gadis itu saja yang tergila-gila. Dan sudah lama rumah ini jarang ada tamu sejak Mbak Mita sakit. Semua relasi dan rekan bisnis akan menemui Tuan di gudang. Bisa jadi Tuan membawa pacarnya ke sana."
Kamalia selesai menghabiskan makannya. Air putih juga diteguk habis. "Aku habiskan semuanya, Sum. Siapa tahu bakalan terkurung lama di sini."
"Kalau nggak kamu habiskan aku bakal marah. Untuk ke sini aja tadi penuh perjuangan. Mengendap-endap takut kalau tiba-tiba ibu masuk dan aku masih berada di tengah tangga."
"Terima kasih, ya!" ucap Kamalia sambil menepuk bahu temannya.
"Iya, sama-sama."
"Apa biasanya ibu nyetir sendiri kalau datang ke sini?"
"Nggak. Sama Pak Gino, sopirnya. Tuan melarang ibu nyetir sendiri kalau perjalanan jarak jauh."
Sumi bercerita banyak tentang keluarga majikan. Bu Rahma yang anggun dan sangat baik. Devin yang suka memberikan hadiah untuk para pekerjanya. Ben, adiknya Devin adalah pemuda yang tampan dan humoris. Sifat yang sangat bertolak belakang dengan sang Kakak yang pembawanya selalu serius dan kaku.
"Kamu sendiri sudah telepon keluargamu apa belum?"
Kamalia menggeleng. Dia juga bingung mau menghubungi kakaknya dengan cara apa. Mau memakai ponsel yang dipinjami Devin juga takut. Kalau dia bermasalah dengan Devin, otomatis akan bermasalah dengan pamannya juga. Kamalia malas menghadapi masalah dengan keluarga.
Padahal ingin sekali menelepon Eva yang tadi pagi melangsungkan pernikahan. Pasti kakaknya juga menunggu kabar darinya.
"Teleponlah, Lia. Mereka pasti menunggu kabar darimu."
Sumi tidak tahu kalau hanya sang kakak yang pasti mencemaskannya. Apalagi Kamalia masuk rumah itu sebagai ganti untuk dirinya.
"Aku tak berani memakai handphone Tuan."
"Pakai punyaku. Biar aku ambilkan. Kamu bisa telepon sekarang atau nanti malam."
"Besok-besok saja. Malam nanti adalah malam pertama Mbak Eva. Aku tidak ingin mengganggunya."
"Oh, kakakmu menikah?"
"Ya."
"Sayang ya, dihari bahagianya kamu nggak bisa hadir. Harusnya minta izin sama Tuan untuk hari ini saja. Tuan baik, kok. Pasti ngizinin."
Kamalia tersenyum tipis. Sumi belum tahu apa yang menyebabkan dia bekerja di vila Devin.
🌷🌷🌷
Jam sepuluh malam Kamalia mendengar pintu kamar dibuka. Pasti Devin baru pulang. Ditariknya selimut karena udara terasa makin menusuk hingga ke tulang.
Pria itu tidak membangunkannya. Tidak juga mengirimi pesan lagi, setelah ia mengirim balasan permintaan maaf karena tidak menjawab telepon atau puluhan pesan yang dikirimnya.
'Apakah dia marah? Ah, bodoh amat.'
Terdengar shower menyala dari kamar mandi. Juga suara bersin yang berulang kali. Setelah itu suara kembali hening. Mungkin Devin sudah beranjak tidur.
Sejak mengantarkan makan malam untuknya tadi sore, Sumi tidak menemuinya lagi. Mungkin dia sibuk di bawah. Kamalia hanya ingin bertanya, apakah mamanya Devin sudah pulang apa belum. Rasanya ia tidak betah terkurung di ruangan itu. Seperti dalam tahanan.
Hingga larut malam Kamalia belum bisa tidur. Ia memikirkan kakaknya. Semoga pernikahannya tadi lancar tidak ada gangguan. Keluarga mertuanya sangat baik, Kamalia sering di ajak ke rumah Mas Ragil. Ibunya yang jualan kue di pasar itu sering mendapatkan pesanan. Makanya Eva sering mengajaknya untuk membantu di sana.
Tentu setelah ini mereka akan kesulitan untuk bertemu. Bahkan mungkin sama sekali tidak akan berjumpa lagi, hingga nanti hutang-hutang itu lunas.
Tidak terasa air mata Kamalia luruh ke sudut netra. Eva, satu-satunya saudara yang tidak bisa disaksikan pernikahannya. Sungguh menyedihkan.
"Biar aku saja yang bayar hutang itu. Mbak, 'kan mau nikah sama Mas Ragil. Jangan membuat keluarga mereka kecewa dengan menunda pernikahan kalian. Lihatlah, betapa baiknya mereka sama kita," kata Kamalia dua hari sebelum pergi ke vila Devin. Eva meneteskan air mata.
"Kita lepas saja lahan sawah yang tinggal sepetak itu. Buat ngelunasi hutang, Paman. Daripada kamu jadi pembantu di sana."
"Jangan, Mbak. Lahan itu bisa Mbak sewakan dan uangnya untuk modal usaha. Mudah-mudahan tahun ini Mas Ragil lolos ikut ujian CPNS. Yang penting Mbak jaga baik-baik sertifikat yang tinggal satu-satunya itu. Jangan sampai jatuh ke tangan mereka."
"Seharusnya kamu kerja lebih layak, Lia. Sayang ijazah kamu."
"Nantilah, kalau hutang itu lunas. Aku akan merintis karier."
Eva yang lemah lembut menyusut air matanya. Ia memang cengeng, tidak seperti Kamalia yang tegas dan tegar.
"Udahlah, nggak usah nangis. Jelek tahu! Calon manten harus bahagia. Jangan memikirkan aku. Pasti aku bisa jaga diri."
Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya, sebelum Kamalia ikut sopir Devin yang menjemput.
🌷🌷🌷
Sejak selesai salat Subuh, Kamalia hanya duduk termenung di atas sajadah. Tadi dia berwudhu ketika jarum jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Agar tidak dipergoki Bu Rahma yang mungkin tidur di vila ini.
Hingga beranjak siang, belum terdengar Devin beraktivitas. Kamalia curiga kalau pria itu sakit, karena tadi malam mendengar Devin bersin beberapa kali.
Gadis itu memberanikan diri keluar dari ruangannya. Benar saja, Devin masih meringkuk memakai selimut. Untuk beberapa saat Kamalia mematung di depan sang majikan. Bingung harus berbuat apa. Ia menarik kembali tangannya yang hendak menyentuh kening.
Ah, ia harus tahu apakah Tuannya demam atau tidak. Kembali dihulurkan tangan untuk menyentuh kening Devin. Panas, dia demam.
Saat itu Devin merubah posisi, terlentang dan menyibak selimut.
Padahal lagi demam, tapi ia tidur tidak memakai baju.
"Akan kuambilkan sarapan dan obat," pamit Kamalia sesaat setelah Devin membuka mata dan menatapnya.
Pria itu tidak menjawab, berarti di bawah aman. Mungkin mamanya tidur di paviliun. Akhirnya Kamalia melangkah pergi.
Ketika menarik lebih lebar pintu kamar yang terhubung dengan ruang kerja, Kamalia terkejut bukan main. Ada seorang cowok berwajah mirip Devin berdiri dan menatapnya kaget.
"Siapa kamu?" tanya cowok itu pada Kamalia.
Kamalia menoleh ke arah Devin yang tak kalah kaget, apalagi sang adik menatapnya curiga karena bertelanjang dada.
"A-aku permisi dulu." Kamalia menerobos keluar dan langsung menuju lantai bawah.
Cowok itu masuk dan duduk di tepi tempat tidur Devin.
"Siapa gadis tadi, Mas. Teman kencanmu? Nggak ada takut-takutnya ya, padahal Mama ada di sini?"
Sambil memegangi kepalanya yang pusing berat, Devin bangun dari pembaringan.
"Jangan punya pikiran mesum. Semua tidak seperti yang ada diotakmu. Dia pekerja di sini."
"Ah, yang bener saja. Secantik itu masa iya kerja jadi pembantu. Udahlah! Mas nggak usah ngeles. Gadis itu pacarmu, 'kan? Berapa kali on sampai pusing begitu."
"Diam kamu, Ben. Sudah kubilang kan dia pekerja di sini. Dia masuk kemari karena tahu aku lagi sakit."
"Iyakah?" ejek sang adik sambil tersenyum jahil.
"Awas, kalau kamu bocorin ini ke Mama, jangan buat Mama ngamuk. Akan kupangkas habis uang bulananmu," ancam Devin.
"Yaelah, pakai ngancam segala. Ngapain juga ditutupi, akhirnya Mama bakalan tahu juga. Nikah aja kenapa, sih. Mama kan udah ngebet banget pengen punya cucu."
"Shut up. Sudah kubilang kalau kamu itu salah paham."
"Iya-iya, salah paham."
Ben berdiri kemudian menyingkap gorden yang masih tertutup. Cahaya matahari belum tampak, karena kabut tebal masih menyelimuti.
"Jam berapa kamu berangkat, sepagi ini sudah sampai sini?"
"Aku dah sampai vila jam sembilan malam tadi. Sumi yang bukain pintu."
Devin meraih t-shirt putih yang ada di pojok kasur dan memakainya. Ben kembali duduk di ranjang kakaknya.
"Bener, cewek tadi bukan gebetan, Mas?"
"Bukan. Tidak usah nanya-nanya lagi."
"Oke, berarti ada peluang untuk dideketin, 'kan? Cantik banget dia. Bangun tidur aja udah secantik itu, apalagi kalau di dandanin. Kalah deh, primadona kampusku." Ben menjeling pada kakaknya.
"Jangan macam-macam," dengkus Devin kesal.
"Lah, katanya bukan siapa-siapa. Masa nggak boleh dideketin."
"Bisa diam nggak kamu?"
"Bisa ... kalau ada uang tutup mata. Akan kulupakan bahwa telah melihatnya dikamar ini. Mahalan dikit ini uang suapnya, karena aku juga melihat Mas dalam keadaan telanjang ... dada." Ucapan Ben disertai tawa jahilnya.
"Sialan, keluar sana! Aku mau tiduran. Akan kutransfer nanti."
"Oke, Masku sayang."
Ben geloyor pergi. Di tangga ia berpapasan dengan Kamalia yang membawa roti gandum bakar dan Paracetamol.
"Tunggu!" cegahnya pada gadis itu.
Kamalia berhenti dua tangga di atas Ben.
"Namaku Ben. Apa kamu calon kakak iparku?"
"Bukan. Aku pekerja di sini," jawab tegas Kamalia.
"Hm, oke. Selamat bekerja kalau begitu. Hati-hati sama singa di dalam kamar!" Ben tersenyum menggoda diakhir kalimatnya.
"Kamu bicara dengan siapa, Ben? tanya Bu Rahma yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Kamalia segera naik dengan cepat sebelum ketahuan.
"Nggak ada, Ma. Aku bicara sama handphone," jawab Ben. Padahal ia tidak sedang membawa ponsel.
Bu Rahma yang tahu kalau putra bungsunya suka bercanda segera mendekat. Memandang ke ujung tangga. Sepi.
Ben segera turun, tapi Bu Rahma melangkah naik.
"Mama mau ke mana?"
"Lihat kakakmu, jam segini belum keluar kamar."
Habislah.
Ben hanya bengong melihat sang Mama melangkah cepat hingga sampai tangga atas.
Next ....
"Kamu sakit, Dev?" tanya Bu Rahma setelah melihat nampan di nakas yang berisi roti bakar dan Paracetamol. Disentuhnya kening sang putra yang tidur terlentang."Panas banget badanmu. Biar di antar Pak Karyo pergi ke dokter.""Tidak usah, Ma. Habis minum obat juga baikan.""Ya, udah. Buruan sarapan terus minum obat. Adekmu datang tadi malam.""Udah ketemu tadi."Bu Rahma melangkah dan membuka jendela kaca, hawa segar menyerbu masuk. Kabut masih tebal di luar. Diperhatikannya setiap jengkal kamar Devin. Selama ini memang jarang masuk kamar putranya. Setiap datang selalu fokus pada putrinya di paviliun."Mama hari ini pulang. Biar adikmu yang di sini. Dia libur sampai Senin nanti."Wanita anggun itu duduk di sebelah Devin yang sedang makan roti bakar."Kamu ingat Ninis, nggak? Putrinya Bu Wini. Seminggu yang
"Kamu tulis apa yang kurang untuk menyimpan dokumen. Sepertinya butuh satu filing cabinet lagi." Devin berkata sambil menyodorkan kertas dan pulpen ke hadapan Kamalia."Besok ada pekerja kebun yang akan turun ke kota untuk belanja."Kamalia menarik kursi di dekatnya, kemudian duduk. Memperhatikan sekeliling lantas mencatat apa yang dibutuhkan."Aku akan memberikan uang bulanan buatmu, yang bisa kamu pakai untuk membeli kebutuhan pribadi.""Bukankah aku kerja di sini untuk membayar hutang?""Ada perhitungan untuk itu. Tenang saja Tony akan merinci secara detail. Kamu tidak akan rugi. Jika aku tidak memberimu uang, bagaimana kamu akan membeli kebutuhanmu?"Kamalia tercenung memandang pria di depannya. Pria ini baik juga, sikapnya tidak seperti pertama kali bertemu. Meski sorot dingin dari tatapan matanya masih sama."Catat sem
Devin sudah masuk ke mobil Hilux. Kamalia membuka pintu belakang dan duduk tepat di belakang pria itu.Mobil meluncur, menuruni jalan berkelok yang kanan kirinya tanaman teh. Di kejauhan para pemetik teh memperhatikan kendaraan sang majikan.Dari spion tengah Devin memperhatikan Kamalia yang menatap samping jalan. Wajah itu ... ah, sudahlah!Kendaraan telah keluar dari perkebunan. Kemudian melewati jalan menanjak di tengah hutan pinus. Tampak ada beberapa orang sedang menoreh. Konon getah pinus itu untuk campuran bahan sabun mandi.Jalanan kembali menurun dan memasuki kampung penduduk. Kamalia ingat pulang. Pulang di bangunan kecil samping rumah sang paman, yang disediakan untuk tempat tinggalnya dan Eva. Pasti ruangan itu kosong sekarang.Devin menepikan mobilnya di depan sebuah warung berdinding bambu khas pedesaan. Namun terlihat klasik dan nyaman.
Bu Rahma gembira karena putranya sudah datang. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Heran karena selain sepatu Devin, ada sneakers perempuan warna putih."Assalamu'alaikum." Bu Rahma mengucapkan salam dengan suara lembut."Wa'alaikumsalam," jawab Devin dan Kamalia hampir bersamaan.Senyum ramah terukir untuk Kamalia yang mengangguk hormat. Devin menyalami dan mencium tangan sang mama. Diikuti Kamalia."Saya Kamalia, Tante."Bu Rahma mengangguk. Wajah itu seperti tidak asing. Seperti baru kemarin bertemu."Ayo, diminum tehnya." Bu Rahma mempersilakan sambil duduk di sofa depan mereka."Terima kasih, Tante."Kesan pertama bertemu Bu Rahma sangat baik. Tidak seperti bayangannya tadi. Meski rasa gelisah masih merajai hati."Sudah lama sampai?""Lumayan, Ma."&n
[Tuan, masih hidup, 'kan?]Hanya dibaca.[Tuan Dev yang terhormat, jangan dibaca saja. Tolong di jawab.]Kamalia menghela napas sebal. Di layar titik-titik itu bergerak. Pertanda di sana sedang mengetik balasan.[Jangan panggil Tuan. Panggil Mas dihadapan Mama. Oke, aku minta maaf untuk yang tadi. Kesepakatan tetap dilanjutkan.]Kamalia meletakkan ponsel di sebelah bantal. Ia merasa sudah masuk perangkap. Mau mundur ia juga ragu, sampai kapan bisa bertahan untuk membayar hutang itu. Apa benar ia mau menua sia-sia.Jika ia menyetujui keinginan Devin, paling tidak ia akan bertahan dua tahun saja. Setelah itu akan bebas. Meski berstatus janda.Akan tetapi, benarkah Devin bukan lelaki sempurna? Kenapa ia ragu. Pria segagah itu, sehat, dan keren, apa mungkin ....Oh, tidak-tidak. Yang penting dia sudah berjan
"Alhamdulillah, kamu datang, Lia. Mbak nungguin kabar darimu. Mbak khawatir? Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Eva memberondong adiknya dengan kata-kata.Wanita itu mengajak sang adik duduk di balai-balai dapur. Dengan ujung jilbabnya ia menyusut air mata."Lihatlah, aku baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat nelepon. Acara nikahannya lancar, 'kan Mbak?""Alhamdulillah, lancar. Ibu bolak-balik nanya tentang kamu.""Oh ya, ibu dan Mas Ragil mana? Kok enggak nampak."Rumah memang sepi."Mas Ragil nganter ibu belanja bahan-bahan roti ke pasar. Habisnya ada yang pesen dadakan tadi. Kalau bapak masih di sawah."Kamalia mengangguk sambil memperhatikan sekeliling. Kakaknya terlihat lebih segar setelah menikah. Pastilah, karena ada yang menjaga dan memperhatikan. Tidak perlu was-was lagi."Siapa kerabat kita yan
Habis salat Maghrib Kamalia membantu Sumi dan Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Beberapa nampan kayu telah siap di antar ke paviliun depan."Kamu tunggu saja di sini, sebentar lagi calon suamimu akan turun. Temani, ya. Aku sama Mbok Darmi mau ngantar makan malam ke depan," bisik Sumi setengah menggodanya.Kamalia tidak menjawab, ia hanya memandang Sumi dengan rasa tak nyaman. Sebagai orang yang lebih tua, Mbok Darmi menangkap ada rahasia di antara Kamalia dan Tuannya. Entah itu apa."Si mbok ngantar ke depan dulu, Lia," pamit Mbok Darmi sambil membawa nampan kayu diikuti Sumi. Kamalia menjawab dengan anggukan kepala.Devin turun dan mendekati Kamalia di ruang makan."Kamu ikut aku keluar. Mama sudah menelepon sebuah butik untuk mengurus baju pengantinmu. Awal bulan depan kita menikah, acara lamaran dan akad nikah akan dilaksanakan dalam waktu yang sama. Pagi lamara
"Kamu serius mau menikahi adiknya Eva?" tanya Tony siang itu saat keduanya selesai makan siang dan istirahat di gudang."Ya.""Untuk balas dendam?"Devin menatap sahabat yang duduk disebelahnya. Pria itu tersenyum samar. Diambilnya sebatang rokok dan korek api. Menyalakan, kemudian menghisap sambil memandang keluar jendela.Tony tidak bertanya lagi, ia pun mengambil sebatang rokok. Sebenarnya sejak Devin memberitahu akan menikahi Kamalia beberapa hari yang lalu, dia sempat khawatir. Kalau Kamalia hanya akan menjadi korban kekecewaan sahabatnya."Dia gadis baik-baik, Dev.""Hm, aku tahu."Tony tahu kalau Devin adalah pria yang susah jatuh cinta. Sejak ditolak Eva, belum pernah ia mendengar kalau sahabatnya dekat dengan perempuan lain. Cinta pertama yang melukainya sangat parah. Bahkan setelah wisuda S1, Devin mencoba me