Bu Rahma gembira karena putranya sudah datang. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Heran karena selain sepatu Devin, ada sneakers perempuan warna putih.
"Assalamu'alaikum." Bu Rahma mengucapkan salam dengan suara lembut.
"W*'alaikumsalam," jawab Devin dan Kamalia hampir bersamaan.
Senyum ramah terukir untuk Kamalia yang mengangguk hormat. Devin menyalami dan mencium tangan sang mama. Diikuti Kamalia.
"Saya Kamalia, Tante."
Bu Rahma mengangguk. Wajah itu seperti tidak asing. Seperti baru kemarin bertemu.
"Ayo, diminum tehnya." Bu Rahma mempersilakan sambil duduk di sofa depan mereka.
"Terima kasih, Tante."
Kesan pertama bertemu Bu Rahma sangat baik. Tidak seperti bayangannya tadi. Meski rasa gelisah masih merajai hati.
"Sudah lama sampai?"
"Lumayan, Ma."
Mbok Tini datang sambil membawa sepiring brownis kukus dan sepiring buah melon yang telah dipotong kecil.
"Ayo, Dev, Kamalia diajak makan siang. Biar Mama ganti baju dulu."
"Kami sudah makan, Ma."
"O, ya sudah, tunggu Mama ganti baju dulu."
Bu Rahma naik ke lantai dua. Kamalia bisa bernapas lega.
"Nanti kalau ditanya jawab seperlunya saja," kata Devin pelan.
Kamalia mengangguk.
Bu Rahma melepas jilbab dan mengganti bajunya dengan daster rumahan. Kemudian menemui lagi Devin dan Kamalia. Aura keibuannya terpancar. Kamalia seperti bisa melihat sosok ibunya pada diri wanita itu.
"Sekarang cerita ke Mama. Kamalia ini siapa? Teman, rekan bisnis, atau kekasih kamu?"
"Calon istri, Ma," jawab tegas Devin sambil memandang gadis di sofa sebelahnya. Napas Kamalia seperti berhenti sejenak seketika itu.
Bu Rahma yang terkejut kembali tersenyum. Berusaha menyembunyikan rasa kesal karena sejak kemarin ditanya, sang putra tidak mau jujur. Setelah rencana pertemuan dengan keluarga Bu Wini di rancang matang, Devin justru mengenalkan dan membawa pulang gadis yang diakui sebagai calon istri.
"Benar Kamalia?" tanya Bu Rahma memastikan kalau yang dibilang putranya tidak bercanda.
Kamalia mengangguk.
"Ayo, ngobrol di ruang makan. Mama belum makan siang."
Bu Rahma beranjak menuju ruang yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Devin dan Kamalia mengikuti.
Di atas meja sudah tersedia menu makan siang. Sayur sop, tempe goreng, dan ayam goreng.
"Maaf, Tante. Saya mau numpang salat Zuhur," ucap Kamalia sopan.
"Oh, boleh-boleh. Mbok Tini, antar Kamalia ke ruang salat."
Mbok Tini muncul dari dapur. "Iya Bu. Mari, Mbak."
Kamalia mengikuti Mbok Tini menuju kamar samping. Bangunan tambahan yang berukuran empat meter persegi dan langsung menyatu dengan tempat wudhu.
"Kamu enggak bohongi Mama, 'kan, Dev," tanya Bu Rahma setelah Kamalia pergi.
"Tidak, Ma. Buat apa bohong."
"Tapi kenapa kemarin di tanya diam saja. Setelah Mama ngajak ketemuan dengan Ninis, kamu malah membawa gadis lain ke rumah." Bu Rahma menahan rasa geramnya. Selera makan mendadak hilang bersama rasa lapar yang tidak terasa lagi.
"Mama yang terburu-buru. Kemarin aku kan sudah bilang mau nyari sendiri. Mana tahu kalau secepat ini Mama ngajak ketemuan dengan keluarga Ninis."
Bu Rahma berdecak jengkel.
"Sebentar, Mama seperti pernah melihat gadis itu. Apa dia yang Mama lihat di vila kemarin?"
Devin tidak menunjukkan rasa terkejutnya. Padahal dadanya berdebar tak karuan.
"Bukan. Mama yang salah lihat."
"Bener?"
Devin mengangguk.
"Oke. Sepertinya dia gadis baik. Rumahnya mana?"
"Dari Desa Sumber Agung, Ma. Dia sarjana ekonomi, baru wisuda tahun kemarin."
"Seumuran adikmu, dong?"
"Ya."
"Kamu benar-benar serius, 'kan?"
"Iya. Sangat serius."
"Oke. Mama hargai pilihanmu. Pertama kali melihat tadi Mama sudah suka. Tidak apa-apa, nanti Mama yang akan bicara dengan Bu Wini. Sebenarnya Mama ngajak ketemuan mereka, tapi belum memberitahu kalau kamu ikut serta. Mama khawatir kamunya enggak datang."
Devin lega meski kena 'prank' sang mama.
Pembicaraan terhenti saat Kamalia datang. Wajahnya segar terbasuh air wudhu.
"Makanlah puding ini, Kamalia." Bu Rahma menggeser seporsi puding di piring ke meja depan Kamalia.
"Terima kasih, Tante."
"Kamu serius, 'kan, sama Dev?"
Kamalia mengangguk. Kembali dadanya berdebar kencang. Ia menunduk sambil menyendok puding.
"Baiklah, Mama setuju saja siapapun pilihan Dev. Rencana baik enggak usah ditunda lama. Kapan keluargamu siap menerima lamaran dari kami?"
Kamalia memandang Devin. Ia bingung harus menjawab bagaimana.
"Ma, tidak perlu ada acara lamaran. Kami langsung nikah saja."
"Lah, mana boleh begitu. Apa keluarga Kamalia terima? Anak gadis harus di lamar Dev. Biar dua keluarga juga bisa saling mengenal."
"Kamalia yatim piatu, Ma."
"Oh ya? Maaf, Tante tidak tahu. Tapi kamu masih punya keluarga, 'kan? Kakak, paman, atau bibi?"
"Saya punya seorang Kakak dan beberapa kerabat, Tante."
"Terus untuk wali nikahmu masih ada, 'kan?"
Kamalia menggeleng. "Ayah saya anak tunggal. Yang masih ada, kerabat dari pihak ibu."
"Nah itu, atur waktunya. Agar kita bisa ketemuan." Bu Rahma tampak tidak sabar. Beliau memang bukan orang tua yang terlalu cerewet memilih menantu. Meski anak perempuannya gagal memilih pasangan hidup.
"Keluarga Kamalia orang-orang yang sangat sibuk. Meski hanya pekerja di ladang. Tidak usah ada lamaran, Ma. Kami langsung menikah saja."
"Dev, kenapa sekarang jadi buru-buru, sih. Kemarin nyante aja kalau di tanya."
"Sebab ...."
"Sebab apa?"
"Kamalia sudah mengandung, Ma."
Sendok puding Kamalia terjatuh di meja kaca bersamaan dengan tersedak puding di mulutnya. Gadis itu kaget bukan main. Segera diraihnya gelas air minum. Ia tidak menduga kalau Devin akan berkata senekat itu.
Bu Rahma juga terbelalak tidak percaya dengan ucapan putranya. Bahkan Mbok Tini yang berdiri di dapur juga kaget dan menjatuhkan pisau.
"Dev, kelewatan kamu. Bener Kamalia, kamu hamil?"
Keringat dingin mengucur di pelipis gadis itu. Bahkan tangannya saling menggenggam untuk menyembunyikan jemarinya yang gemetar. Bingung mau menjawab apa.
"Tidak, Ma. Aku hanya bercanda." Devin berkata sambil tersenyum, kemudian memandang Kamalia yang menatapnya tajam.
"Astaga, Devin. Bisa-bisanya kamu mau bikin Mama jantungan. Kamu pikir bagus hamil di luar nikah? Mama memang pengen segera punya cucu, tapi buka dengan cara berzina."
"Maaf, Ma. Maaf banget. Tapi aku serius mau menikah. Makanya jangan memakai acara macam-macam, yang penting kami sah sebagai suami istri."
Bu Rahma mengelus dada.
"Kalian belum terlanjur, 'kan?"
"Tidak, Tante," jawab cepat Kamalia sebelum keduluan Devin. Daripada nanti jawaban pria itu ngelantur kemana-mana.
"Syukurlah. Jadi perempuan harus pandai jaga kehormatan. Lakukanlah jika kalian sudah halal."
Kamalia menunduk. Rasanya malu diajak membicarakan hal itu. Meski apa yang diucapkan Bu Rahma adalah sebuah nasehat atau peringatan untuk dirinya dan Devin.
"Ya, sudah. Kalian istirahat dulu. Devin masuk ke kamarmu biar Kamalia di antar Mbok Tini di kamar tamu. Nanti malam kita dinner keluar. Besok saja kalian pulang."
š·š·š·
[Tuan, mau membuatku mati berdiri, ya?]
Kamalia menulis pesan setelah rebahan di kamar. Dia mengetik lagi ketika pesannya hanya dibaca saja oleh Devin.
[Atau kita batalkan kesepakatan kita tadi. Tidak apa-apa aku harus bekerja seumur hidup untuk melunasi hutang itu.]
[Tuan.]
Sepi.
Next ....
[Tuan, masih hidup, 'kan?]Hanya dibaca.[Tuan Dev yang terhormat, jangan dibaca saja. Tolong di jawab.]Kamalia menghela napas sebal. Di layar titik-titik itu bergerak. Pertanda di sana sedang mengetik balasan.[Jangan panggil Tuan. Panggil Mas dihadapan Mama. Oke, aku minta maaf untuk yang tadi. Kesepakatan tetap dilanjutkan.]Kamalia meletakkan ponsel di sebelah bantal. Ia merasa sudah masuk perangkap. Mau mundur ia juga ragu, sampai kapan bisa bertahan untuk membayar hutang itu. Apa benar ia mau menua sia-sia.Jika ia menyetujui keinginan Devin, paling tidak ia akan bertahan dua tahun saja. Setelah itu akan bebas. Meski berstatus janda.Akan tetapi, benarkah Devin bukan lelaki sempurna? Kenapa ia ragu. Pria segagah itu, sehat, dan keren, apa mungkin ....Oh, tidak-tidak. Yang penting dia sudah berjan
"Alhamdulillah, kamu datang, Lia. Mbak nungguin kabar darimu. Mbak khawatir? Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Eva memberondong adiknya dengan kata-kata.Wanita itu mengajak sang adik duduk di balai-balai dapur. Dengan ujung jilbabnya ia menyusut air mata."Lihatlah, aku baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat nelepon. Acara nikahannya lancar, 'kan Mbak?""Alhamdulillah, lancar. Ibu bolak-balik nanya tentang kamu.""Oh ya, ibu dan Mas Ragil mana? Kok enggak nampak."Rumah memang sepi."Mas Ragil nganter ibu belanja bahan-bahan roti ke pasar. Habisnya ada yang pesen dadakan tadi. Kalau bapak masih di sawah."Kamalia mengangguk sambil memperhatikan sekeliling. Kakaknya terlihat lebih segar setelah menikah. Pastilah, karena ada yang menjaga dan memperhatikan. Tidak perlu was-was lagi."Siapa kerabat kita yan
Habis salat Maghrib Kamalia membantu Sumi dan Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Beberapa nampan kayu telah siap di antar ke paviliun depan."Kamu tunggu saja di sini, sebentar lagi calon suamimu akan turun. Temani, ya. Aku sama Mbok Darmi mau ngantar makan malam ke depan," bisik Sumi setengah menggodanya.Kamalia tidak menjawab, ia hanya memandang Sumi dengan rasa tak nyaman. Sebagai orang yang lebih tua, Mbok Darmi menangkap ada rahasia di antara Kamalia dan Tuannya. Entah itu apa."Si mbok ngantar ke depan dulu, Lia," pamit Mbok Darmi sambil membawa nampan kayu diikuti Sumi. Kamalia menjawab dengan anggukan kepala.Devin turun dan mendekati Kamalia di ruang makan."Kamu ikut aku keluar. Mama sudah menelepon sebuah butik untuk mengurus baju pengantinmu. Awal bulan depan kita menikah, acara lamaran dan akad nikah akan dilaksanakan dalam waktu yang sama. Pagi lamara
"Kamu serius mau menikahi adiknya Eva?" tanya Tony siang itu saat keduanya selesai makan siang dan istirahat di gudang."Ya.""Untuk balas dendam?"Devin menatap sahabat yang duduk disebelahnya. Pria itu tersenyum samar. Diambilnya sebatang rokok dan korek api. Menyalakan, kemudian menghisap sambil memandang keluar jendela.Tony tidak bertanya lagi, ia pun mengambil sebatang rokok. Sebenarnya sejak Devin memberitahu akan menikahi Kamalia beberapa hari yang lalu, dia sempat khawatir. Kalau Kamalia hanya akan menjadi korban kekecewaan sahabatnya."Dia gadis baik-baik, Dev.""Hm, aku tahu."Tony tahu kalau Devin adalah pria yang susah jatuh cinta. Sejak ditolak Eva, belum pernah ia mendengar kalau sahabatnya dekat dengan perempuan lain. Cinta pertama yang melukainya sangat parah. Bahkan setelah wisuda S1, Devin mencoba me
Jam delapan malam mereka sampai di rumah minimalis bercat kuning gading, di pinggiran kota. Seorang wanita membuka pintu dan tersenyum."Masuk Dev, ayo Kamalia masuk."Wanita itu sudah tahu nama Kamalia. Dari cara menyambut tamu dia adalah wanita yang ramah."Terima kasih, Mbak.""Silakan duduk, biar aku buatin minum.""Tidak perlu repot-repot, kami sudah minum tadi. Aku mau langsung pulang."Devin dan Kamalia duduk di sofa ruang tamu."Beneran enggak mau minum?""Enggak, aku langsung pulang ini. Udah malam. Shinta dan Shanti sudah tidur, ya?""Sudah dari tadi.""Ya udah, kalau gitu aku pamit."Setelah berbasa-basi sebentar Devin langsung pamitan. Kamalia dan Hesty mengantar hingga di teras.Hesty mengajak Kam
Hampir semalaman Kamalia tidak bisa tidur. Gelisah karena terlalu banyak yang dipikirkan. Tentang kehidupan yang akan dijalani setelah pernikahan.Belum lama terlelap ketika menjelang subuh, Kamalia sudah di bangunkan Sumi. Mengawali paginya dengan salat Subuh, kemudian di rias oleh MUA yang khusus di datangkan Bu Rahma dari kota.Kamalia tidak bisa menyembunyikan rasa gugup ketika harus menyalami satu per satu kerabat Devin yang datang. Rencana pernikahan yang sederhana, ternyata dihadiri kaum kerabat dari luar kota. Sedangkan ia sendirian tanpa didampingi keluarga.Hesty yang datang lebih pagi bersama suami dan orang tuanya segera menghampiri Kamalia yang duduk di tengah keluarga Devin. Wanita itu kasihan melihat Kamalia yang merasa sendirian."Rombongan kakakmu sudah datang," bisik Hesty.Kamalia memandang keluar. Lega melihat Eva datang bersama Mas Ragil,
"Kalian istirahatlah dulu, sore aja berkemas-kemas. Besok pagi-pagi sekali kita berangkat bareng ke kota," kata Bu Rahma setelah para undangan pulang.Ben yang biasa selengean mendekat. Cowok itu anteng sejak pagi, karena sudah diwanti-wanti oleh mamanya agar tidak berulah konyol."Selamat pengantin baru untuk kakakku dan kakak ipar. Semoga sukses malam pertamanya." Ben berkata sambil memberikan kotak berbungkus rapi kertas kado bergambar kartun Hulk.Bu Rahma hanya menggelengkan kepala saat melihat corak kertas kado yang dipilih putra bungsunya."Apa enggak ada yang lebih mengerikan untuk corak bungkus kadomu, Ben?""Ini bagus, Ma. Lain daripada yang lain. Sesuai sama isinya.""Apa isinya?""Mama pengen tahu aja. Ya, biarlah Mas Dev sendiri yang buka.""Sudah-sudah, kalian istirahat sana. Jangan ladeni
"Sudah subuh," kata Kamalia setelah menyentuh bahu suaminya dan pria itu membuka mata."Iya."Devin mengerjap lantas bangun, duduk sebentar kemudian melangkah ke kamar mandi. Kamalia yang sudah memakai mukena mengambilkan baju ganti dan duduk menunggu di tepi ranjang."Kok, belum salat?" tanya Devin yang keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Handuk warna cokelat melilit di pinggang."Kita salat sama-sama.""Kamu yakin jika kuimami?"Kamalia tidak menjawab, ia membentang dua sajadah di space kosong depan meja rias. Wanita itu tidak sedikitpun menoleh saat Devin memakai baju di sebelahnya.Dua rakaat salat Subuh sudah di tunaikan. Devin segera memakai jaketnya karena udara terasa sangat dingin. Sedangkan Kamalia duduk menyisir rambut di depan meja rias. Wanita itu memperhatikan kado dari Ben semalam.&nbs
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. š·š·š·Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
"Mas," panggil Amara lirih sambil menggoyangkan tubuh Ben tengah malam itu.Ben menggeliat sejenak sebelum membuka mata dan duduk. "Ya, ada apa.""Perutku tiba-tiba mulas. Di celana dalamku ada sedikit darah."Netra Ben langsung terbuka sempurna, kantuknya seketika hilang. Ia melihat kening Amara yang berpeluh."Tunggu, ya. Aku panggil Mama."Ben melompat dari atas tempat tidur. Ia bergegas untuk membangunkan mamanya.Sejenak kemudian Bu Rahma masuk ke kamar putranya. Sedangkan Ben bersiap mengganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit."Sejak kapan Mara mulai mulas?" tanya Bu Rahma sambil mengusap perut menantunya."Baru saja, Ma.""Ya sudah, jangan panik. Kita ke rumah sakit sekarang. Mama ganti baju dulu. Ben, kamu hubungi Dokter Keni, kalau beliau ada di klinik kita ke klinik saja.""Ya, Ma."Kendaraan sepi di jam satu malam itu. Perjalanan ke rumah sakit jadi cepat dan lancar.Sesampainya di depan ICU, mereka sudah ditunggu dua orang perawat lak
"Ben, makin hari tambah bulat aja," seloroh Kamalia saat melihat adik iparnya masuk ke dapur di rumah mamanya pagi itu.Ben yang baru datang dari rumah mertuanya tersenyum sambil mengusap perutnya yang berisi. "Jadi keenakan makan ngikutin selera makan Amara. Nantilah, sebulan lagi auto diet ketat. Oh, ya, kapan sampai?""Tadi malam jam sepuluh. Habisnya Mas Dev ngajak berangkat udah jam tujuh malam. Kata Mama, kamu dan Amara nginap di rumah mertua.""Iya, Bapak lagi sakit, makanya kami tidur di sana. Tapi sekarang sudah agak baikan. Cuman demam biasa.""Oh, Alhamdulilah.""Kenapa datang dadakan?""Kami dapat undangan pernikahan Imelda. Undangannya pun dadakan, karena mereka juga enggak ngadain pesta. Cuma ijab qobul aja.""Hmm, baguslah. Akhirnya nikah juga. Gaffi dan Thisa mana?""Habis sarapan kembali main di kamar sama papanya. Kalau Mama lagi belanja."Ben mengambil air minum di dispenser, kemudian duduk dan menghabiskan segelas air putih."Mau sarapan, enggak? Tadi Mbok Tini bik
Kehamilan Amara disambut bahagia dua keluarga besar mereka. Nasehat demi nasehat diberikan kepada calon ibu muda itu.Amara sendiri masih tetap kuliah. Tapi dia sudah membatasi diri dengan kegiatan-kegiatan kampus di luar jam kuliah.Kebahagiaan Ben-Amara membuat iri sebagian mahasiswa. Apalagi untuk beberapa mahasiswi yang pernah mengidolakan Ben. "Katanya dulu kamu minum pil, Ra. Kenapa bisa hamil?" tanya Rensi saat mereka duduk di kantin."Iya. Cuman aku minumnya enggak teratur. Soalnya selalu pusing setelah minum pil itu.""Apa enggak kepikiran mau ganti pakai yang lain?""Rencananya mau ganti. Kutunda-tunda akhirnya keburu hamil.""Ya itu rezeki, Ra. Pak Dosen kelihatan bahagia banget gitu."Amara tersenyum sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. Ben memang sebahagia itu, kalau di rumah tak henti-hentinya dia menciumi calon buah hatinya yang masih ada di perut."Setelah kandunganku delapan bulan, aku akan ngambil cuti kuliah, Ren. Sementara aku ngambil cuti satu
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini
Sabtu pagi Ben dan Amara berangkat ke rumah kedua kakaknya. Pria itu akan mengajak istrinya ke rumah Mita dan sorenya akan ke vila dan menginap di sana.Bu Rahma yang sebenarnya sangat kangen dengan kedua cucunya menolak ikut saat Ben mengajak. Beliau tidak ingin mengganggu kebersamaan pengantin baru. Beliau bisa pergi lain hari."Kita akan sampai berapa jam perjalanan, Mas?" tanya Amara."Kurang lebih dua jam.""Lumayan jauh, ya?""Nanti kalau sudah terbiasa ke sana, dua jam enggak akan lama."Mereka menikmati perjalanan sambil berbincang. Mengenai apa saja. Tentang kampus, saat keduanya dihadapkan sebagai dosen dan mahasiswi. Banyak yang akhirnya tergali tentang diri masing-masing. Jam sembilan mereka sampai di rumah Mita. Kebetulan dokter Nasir juga ada di rumah. Kedua suami istri itu sedang berkebun di pekarangan belakang ketika Ben dan Amara datang.Segera saja Mita belanja dan masak. Rencana awalnya siang nanti mereka akan kulineran ke luar. Berhubung adik dan iparnya datang, w
"Hai, Ben," sapa Nindy sambil tersenyum ramah.Ben makin erat menggenggam tangan istrinya. Ia melangkah mendekat setelah gemuruh di dadanya mereda."Hai, juga.""Ayo, salim sama Om dan Tante." Nindy menyuruh putrinya untuk menyalami Ben dan Amara.Pria itu menunduk ketika tangan kecil terulur. Amara juga melakukan hal yang sama. Senyumnya merekah saat menyentuh pipi tembam anak Nindy. "Siapa namamu, cantik?""Chika, Tante." Ben memandang Nindy. "Umur berapa?""3,5 tahun.""Sebentar lagi masuk PAUD.""Ya.""Kenalin ini Amara, istriku."Nindy terkejut juga, meski tadi sudah mengira kalau wanita berhijab itu kekasih atau istri Ben.Amara menyalami wanita tinggi semampai di depannya. Ia sebenarnya heran karena sejak tadi wanita itu memperhatikannya."Aku Nindy."Amara mengangguk."Kapan menikah? Kenapa enggak ngundang?""Kami menikah Sabtu kemarin. Belum ada pesta, mungkin nanti setelah Amara wisuda.""Wisuda?""Iya, Mbak. Saya masih kuliah semester tiga." Amara yang menjawab.Nindy menj
Amara melipat mukena setelah salat asar berjamaah dengan suaminya dan meletakkan di rak sudut kamar. Kemudian ia duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut.Ben mengambil ponsel untuk melihat beberapa pesan masuk.Kamar Ben cukup besar daripada kamar Amara. Ditambah cat warna putih tulang yang menambah kesan luas pada ruangan.Ranjang king size diletakkan mepet ke dinding. Tidak diletakkan tepat di tengah seperti di kamar lainnya. Sepreinya baru dan wangi, warna biru terang dengan bordir bunga di tepinya. "Kapan ujian oral test, Mas?" tanya Amara sambil memandang Ben yang duduk di tepi ranjang."Malam ini kita mulai duluan," jawab Ben santai sambil menatap istrinya.Amara bisa menangkap maksud dari jawaban suaminya dan itu melenceng jauh dari maksud pertanyaan yang sebenarnya.Oral test mewajibkan mahasiswa mengerjakan ujian dengan melakukan tanya jawab langsung dengan dosen.Test itu akan dilakukan secara one by one. Dan ini menjadi ujian yang menegangkan bagi sebagian mahasiswa