Bu Rahma gembira karena putranya sudah datang. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Heran karena selain sepatu Devin, ada sneakers perempuan warna putih.
"Assalamu'alaikum." Bu Rahma mengucapkan salam dengan suara lembut.
"W*'alaikumsalam," jawab Devin dan Kamalia hampir bersamaan.
Senyum ramah terukir untuk Kamalia yang mengangguk hormat. Devin menyalami dan mencium tangan sang mama. Diikuti Kamalia.
"Saya Kamalia, Tante."
Bu Rahma mengangguk. Wajah itu seperti tidak asing. Seperti baru kemarin bertemu.
"Ayo, diminum tehnya." Bu Rahma mempersilakan sambil duduk di sofa depan mereka.
"Terima kasih, Tante."
Kesan pertama bertemu Bu Rahma sangat baik. Tidak seperti bayangannya tadi. Meski rasa gelisah masih merajai hati.
"Sudah lama sampai?"
"Lumayan, Ma."
Mbok Tini datang sambil membawa sepiring brownis kukus dan sepiring buah melon yang telah dipotong kecil.
"Ayo, Dev, Kamalia diajak makan siang. Biar Mama ganti baju dulu."
"Kami sudah makan, Ma."
"O, ya sudah, tunggu Mama ganti baju dulu."
Bu Rahma naik ke lantai dua. Kamalia bisa bernapas lega.
"Nanti kalau ditanya jawab seperlunya saja," kata Devin pelan.
Kamalia mengangguk.
Bu Rahma melepas jilbab dan mengganti bajunya dengan daster rumahan. Kemudian menemui lagi Devin dan Kamalia. Aura keibuannya terpancar. Kamalia seperti bisa melihat sosok ibunya pada diri wanita itu.
"Sekarang cerita ke Mama. Kamalia ini siapa? Teman, rekan bisnis, atau kekasih kamu?"
"Calon istri, Ma," jawab tegas Devin sambil memandang gadis di sofa sebelahnya. Napas Kamalia seperti berhenti sejenak seketika itu.
Bu Rahma yang terkejut kembali tersenyum. Berusaha menyembunyikan rasa kesal karena sejak kemarin ditanya, sang putra tidak mau jujur. Setelah rencana pertemuan dengan keluarga Bu Wini di rancang matang, Devin justru mengenalkan dan membawa pulang gadis yang diakui sebagai calon istri.
"Benar Kamalia?" tanya Bu Rahma memastikan kalau yang dibilang putranya tidak bercanda.
Kamalia mengangguk.
"Ayo, ngobrol di ruang makan. Mama belum makan siang."
Bu Rahma beranjak menuju ruang yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Devin dan Kamalia mengikuti.
Di atas meja sudah tersedia menu makan siang. Sayur sop, tempe goreng, dan ayam goreng.
"Maaf, Tante. Saya mau numpang salat Zuhur," ucap Kamalia sopan.
"Oh, boleh-boleh. Mbok Tini, antar Kamalia ke ruang salat."
Mbok Tini muncul dari dapur. "Iya Bu. Mari, Mbak."
Kamalia mengikuti Mbok Tini menuju kamar samping. Bangunan tambahan yang berukuran empat meter persegi dan langsung menyatu dengan tempat wudhu.
"Kamu enggak bohongi Mama, 'kan, Dev," tanya Bu Rahma setelah Kamalia pergi.
"Tidak, Ma. Buat apa bohong."
"Tapi kenapa kemarin di tanya diam saja. Setelah Mama ngajak ketemuan dengan Ninis, kamu malah membawa gadis lain ke rumah." Bu Rahma menahan rasa geramnya. Selera makan mendadak hilang bersama rasa lapar yang tidak terasa lagi.
"Mama yang terburu-buru. Kemarin aku kan sudah bilang mau nyari sendiri. Mana tahu kalau secepat ini Mama ngajak ketemuan dengan keluarga Ninis."
Bu Rahma berdecak jengkel.
"Sebentar, Mama seperti pernah melihat gadis itu. Apa dia yang Mama lihat di vila kemarin?"
Devin tidak menunjukkan rasa terkejutnya. Padahal dadanya berdebar tak karuan.
"Bukan. Mama yang salah lihat."
"Bener?"
Devin mengangguk.
"Oke. Sepertinya dia gadis baik. Rumahnya mana?"
"Dari Desa Sumber Agung, Ma. Dia sarjana ekonomi, baru wisuda tahun kemarin."
"Seumuran adikmu, dong?"
"Ya."
"Kamu benar-benar serius, 'kan?"
"Iya. Sangat serius."
"Oke. Mama hargai pilihanmu. Pertama kali melihat tadi Mama sudah suka. Tidak apa-apa, nanti Mama yang akan bicara dengan Bu Wini. Sebenarnya Mama ngajak ketemuan mereka, tapi belum memberitahu kalau kamu ikut serta. Mama khawatir kamunya enggak datang."
Devin lega meski kena 'prank' sang mama.
Pembicaraan terhenti saat Kamalia datang. Wajahnya segar terbasuh air wudhu.
"Makanlah puding ini, Kamalia." Bu Rahma menggeser seporsi puding di piring ke meja depan Kamalia.
"Terima kasih, Tante."
"Kamu serius, 'kan, sama Dev?"
Kamalia mengangguk. Kembali dadanya berdebar kencang. Ia menunduk sambil menyendok puding.
"Baiklah, Mama setuju saja siapapun pilihan Dev. Rencana baik enggak usah ditunda lama. Kapan keluargamu siap menerima lamaran dari kami?"
Kamalia memandang Devin. Ia bingung harus menjawab bagaimana.
"Ma, tidak perlu ada acara lamaran. Kami langsung nikah saja."
"Lah, mana boleh begitu. Apa keluarga Kamalia terima? Anak gadis harus di lamar Dev. Biar dua keluarga juga bisa saling mengenal."
"Kamalia yatim piatu, Ma."
"Oh ya? Maaf, Tante tidak tahu. Tapi kamu masih punya keluarga, 'kan? Kakak, paman, atau bibi?"
"Saya punya seorang Kakak dan beberapa kerabat, Tante."
"Terus untuk wali nikahmu masih ada, 'kan?"
Kamalia menggeleng. "Ayah saya anak tunggal. Yang masih ada, kerabat dari pihak ibu."
"Nah itu, atur waktunya. Agar kita bisa ketemuan." Bu Rahma tampak tidak sabar. Beliau memang bukan orang tua yang terlalu cerewet memilih menantu. Meski anak perempuannya gagal memilih pasangan hidup.
"Keluarga Kamalia orang-orang yang sangat sibuk. Meski hanya pekerja di ladang. Tidak usah ada lamaran, Ma. Kami langsung menikah saja."
"Dev, kenapa sekarang jadi buru-buru, sih. Kemarin nyante aja kalau di tanya."
"Sebab ...."
"Sebab apa?"
"Kamalia sudah mengandung, Ma."
Sendok puding Kamalia terjatuh di meja kaca bersamaan dengan tersedak puding di mulutnya. Gadis itu kaget bukan main. Segera diraihnya gelas air minum. Ia tidak menduga kalau Devin akan berkata senekat itu.
Bu Rahma juga terbelalak tidak percaya dengan ucapan putranya. Bahkan Mbok Tini yang berdiri di dapur juga kaget dan menjatuhkan pisau.
"Dev, kelewatan kamu. Bener Kamalia, kamu hamil?"
Keringat dingin mengucur di pelipis gadis itu. Bahkan tangannya saling menggenggam untuk menyembunyikan jemarinya yang gemetar. Bingung mau menjawab apa.
"Tidak, Ma. Aku hanya bercanda." Devin berkata sambil tersenyum, kemudian memandang Kamalia yang menatapnya tajam.
"Astaga, Devin. Bisa-bisanya kamu mau bikin Mama jantungan. Kamu pikir bagus hamil di luar nikah? Mama memang pengen segera punya cucu, tapi buka dengan cara berzina."
"Maaf, Ma. Maaf banget. Tapi aku serius mau menikah. Makanya jangan memakai acara macam-macam, yang penting kami sah sebagai suami istri."
Bu Rahma mengelus dada.
"Kalian belum terlanjur, 'kan?"
"Tidak, Tante," jawab cepat Kamalia sebelum keduluan Devin. Daripada nanti jawaban pria itu ngelantur kemana-mana.
"Syukurlah. Jadi perempuan harus pandai jaga kehormatan. Lakukanlah jika kalian sudah halal."
Kamalia menunduk. Rasanya malu diajak membicarakan hal itu. Meski apa yang diucapkan Bu Rahma adalah sebuah nasehat atau peringatan untuk dirinya dan Devin.
"Ya, sudah. Kalian istirahat dulu. Devin masuk ke kamarmu biar Kamalia di antar Mbok Tini di kamar tamu. Nanti malam kita dinner keluar. Besok saja kalian pulang."
🌷🌷🌷
[Tuan, mau membuatku mati berdiri, ya?]
Kamalia menulis pesan setelah rebahan di kamar. Dia mengetik lagi ketika pesannya hanya dibaca saja oleh Devin.
[Atau kita batalkan kesepakatan kita tadi. Tidak apa-apa aku harus bekerja seumur hidup untuk melunasi hutang itu.]
[Tuan.]
Sepi.
Next ....
[Tuan, masih hidup, 'kan?]Hanya dibaca.[Tuan Dev yang terhormat, jangan dibaca saja. Tolong di jawab.]Kamalia menghela napas sebal. Di layar titik-titik itu bergerak. Pertanda di sana sedang mengetik balasan.[Jangan panggil Tuan. Panggil Mas dihadapan Mama. Oke, aku minta maaf untuk yang tadi. Kesepakatan tetap dilanjutkan.]Kamalia meletakkan ponsel di sebelah bantal. Ia merasa sudah masuk perangkap. Mau mundur ia juga ragu, sampai kapan bisa bertahan untuk membayar hutang itu. Apa benar ia mau menua sia-sia.Jika ia menyetujui keinginan Devin, paling tidak ia akan bertahan dua tahun saja. Setelah itu akan bebas. Meski berstatus janda.Akan tetapi, benarkah Devin bukan lelaki sempurna? Kenapa ia ragu. Pria segagah itu, sehat, dan keren, apa mungkin ....Oh, tidak-tidak. Yang penting dia sudah berjan
"Alhamdulillah, kamu datang, Lia. Mbak nungguin kabar darimu. Mbak khawatir? Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Eva memberondong adiknya dengan kata-kata.Wanita itu mengajak sang adik duduk di balai-balai dapur. Dengan ujung jilbabnya ia menyusut air mata."Lihatlah, aku baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat nelepon. Acara nikahannya lancar, 'kan Mbak?""Alhamdulillah, lancar. Ibu bolak-balik nanya tentang kamu.""Oh ya, ibu dan Mas Ragil mana? Kok enggak nampak."Rumah memang sepi."Mas Ragil nganter ibu belanja bahan-bahan roti ke pasar. Habisnya ada yang pesen dadakan tadi. Kalau bapak masih di sawah."Kamalia mengangguk sambil memperhatikan sekeliling. Kakaknya terlihat lebih segar setelah menikah. Pastilah, karena ada yang menjaga dan memperhatikan. Tidak perlu was-was lagi."Siapa kerabat kita yan
Habis salat Maghrib Kamalia membantu Sumi dan Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Beberapa nampan kayu telah siap di antar ke paviliun depan."Kamu tunggu saja di sini, sebentar lagi calon suamimu akan turun. Temani, ya. Aku sama Mbok Darmi mau ngantar makan malam ke depan," bisik Sumi setengah menggodanya.Kamalia tidak menjawab, ia hanya memandang Sumi dengan rasa tak nyaman. Sebagai orang yang lebih tua, Mbok Darmi menangkap ada rahasia di antara Kamalia dan Tuannya. Entah itu apa."Si mbok ngantar ke depan dulu, Lia," pamit Mbok Darmi sambil membawa nampan kayu diikuti Sumi. Kamalia menjawab dengan anggukan kepala.Devin turun dan mendekati Kamalia di ruang makan."Kamu ikut aku keluar. Mama sudah menelepon sebuah butik untuk mengurus baju pengantinmu. Awal bulan depan kita menikah, acara lamaran dan akad nikah akan dilaksanakan dalam waktu yang sama. Pagi lamara
"Kamu serius mau menikahi adiknya Eva?" tanya Tony siang itu saat keduanya selesai makan siang dan istirahat di gudang."Ya.""Untuk balas dendam?"Devin menatap sahabat yang duduk disebelahnya. Pria itu tersenyum samar. Diambilnya sebatang rokok dan korek api. Menyalakan, kemudian menghisap sambil memandang keluar jendela.Tony tidak bertanya lagi, ia pun mengambil sebatang rokok. Sebenarnya sejak Devin memberitahu akan menikahi Kamalia beberapa hari yang lalu, dia sempat khawatir. Kalau Kamalia hanya akan menjadi korban kekecewaan sahabatnya."Dia gadis baik-baik, Dev.""Hm, aku tahu."Tony tahu kalau Devin adalah pria yang susah jatuh cinta. Sejak ditolak Eva, belum pernah ia mendengar kalau sahabatnya dekat dengan perempuan lain. Cinta pertama yang melukainya sangat parah. Bahkan setelah wisuda S1, Devin mencoba me
Jam delapan malam mereka sampai di rumah minimalis bercat kuning gading, di pinggiran kota. Seorang wanita membuka pintu dan tersenyum."Masuk Dev, ayo Kamalia masuk."Wanita itu sudah tahu nama Kamalia. Dari cara menyambut tamu dia adalah wanita yang ramah."Terima kasih, Mbak.""Silakan duduk, biar aku buatin minum.""Tidak perlu repot-repot, kami sudah minum tadi. Aku mau langsung pulang."Devin dan Kamalia duduk di sofa ruang tamu."Beneran enggak mau minum?""Enggak, aku langsung pulang ini. Udah malam. Shinta dan Shanti sudah tidur, ya?""Sudah dari tadi.""Ya udah, kalau gitu aku pamit."Setelah berbasa-basi sebentar Devin langsung pamitan. Kamalia dan Hesty mengantar hingga di teras.Hesty mengajak Kam
Hampir semalaman Kamalia tidak bisa tidur. Gelisah karena terlalu banyak yang dipikirkan. Tentang kehidupan yang akan dijalani setelah pernikahan.Belum lama terlelap ketika menjelang subuh, Kamalia sudah di bangunkan Sumi. Mengawali paginya dengan salat Subuh, kemudian di rias oleh MUA yang khusus di datangkan Bu Rahma dari kota.Kamalia tidak bisa menyembunyikan rasa gugup ketika harus menyalami satu per satu kerabat Devin yang datang. Rencana pernikahan yang sederhana, ternyata dihadiri kaum kerabat dari luar kota. Sedangkan ia sendirian tanpa didampingi keluarga.Hesty yang datang lebih pagi bersama suami dan orang tuanya segera menghampiri Kamalia yang duduk di tengah keluarga Devin. Wanita itu kasihan melihat Kamalia yang merasa sendirian."Rombongan kakakmu sudah datang," bisik Hesty.Kamalia memandang keluar. Lega melihat Eva datang bersama Mas Ragil,
"Kalian istirahatlah dulu, sore aja berkemas-kemas. Besok pagi-pagi sekali kita berangkat bareng ke kota," kata Bu Rahma setelah para undangan pulang.Ben yang biasa selengean mendekat. Cowok itu anteng sejak pagi, karena sudah diwanti-wanti oleh mamanya agar tidak berulah konyol."Selamat pengantin baru untuk kakakku dan kakak ipar. Semoga sukses malam pertamanya." Ben berkata sambil memberikan kotak berbungkus rapi kertas kado bergambar kartun Hulk.Bu Rahma hanya menggelengkan kepala saat melihat corak kertas kado yang dipilih putra bungsunya."Apa enggak ada yang lebih mengerikan untuk corak bungkus kadomu, Ben?""Ini bagus, Ma. Lain daripada yang lain. Sesuai sama isinya.""Apa isinya?""Mama pengen tahu aja. Ya, biarlah Mas Dev sendiri yang buka.""Sudah-sudah, kalian istirahat sana. Jangan ladeni
"Sudah subuh," kata Kamalia setelah menyentuh bahu suaminya dan pria itu membuka mata."Iya."Devin mengerjap lantas bangun, duduk sebentar kemudian melangkah ke kamar mandi. Kamalia yang sudah memakai mukena mengambilkan baju ganti dan duduk menunggu di tepi ranjang."Kok, belum salat?" tanya Devin yang keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Handuk warna cokelat melilit di pinggang."Kita salat sama-sama.""Kamu yakin jika kuimami?"Kamalia tidak menjawab, ia membentang dua sajadah di space kosong depan meja rias. Wanita itu tidak sedikitpun menoleh saat Devin memakai baju di sebelahnya.Dua rakaat salat Subuh sudah di tunaikan. Devin segera memakai jaketnya karena udara terasa sangat dingin. Sedangkan Kamalia duduk menyisir rambut di depan meja rias. Wanita itu memperhatikan kado dari Ben semalam.&nbs